Anda di halaman 1dari 3

Endekhomai dan Iblis dalam Iptek

* Oleh Liek Wilardjo

BUKU Melawan Iblis Mephistopheles (MIM) diluncurkan 23 Februari 2008 lalu,


bersamaan dengan diskusi Forum Kepedulian Akademisi (FKA) di STF Driyarkara.

MIM adalah bunga rampai anti-PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) fissi. FKA
berakhir dengan pernyataan sikap menentang rencana pembangunan PLTN di kawasan
Muria Kabupaten Jepara, yang ditandatangani oleh likuran (21ñ29) akademiwan dalam
forum itu.

Inti pernyataan FKA dimuat di Kompas (24 Februari 2008), dan mendapat reaksi keras
dari Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Bapeten, dan MPEL (Masyarakat Peduli
Energi dan Lingkungan).

Buku MIM ”dibedah” di Jakarta, Yogyakarta, dan di Semarang. Bedah MIM di Jakarta
digelar di Galeri Cemara, 24 Maret 2008. Salah seorang pembedahnya, Vic, mengirimi
saya konsep uraian yang akan disajikannya. Vic adalah fisikawan yang meneliti
energi terbarukan dan fusi dingin.

Saya mengomentari bagian awal dan bagian akhir konsep yang dibuatnya. Di bagian
awal ada pesan yang kuat, yang diungkapkan dengan prosa yang dramatis. Tetapi yang
dilukiskan Vic adalah perikeadaan hipotetis. Jadi berbeda dari narasi Joyce
Hollyday, yang bukan hanya memukau, melainkan juga mengungkapkan kejadian nyata
ketika kepanikan dan ketakutan mencekam penduduk Harrisburgh dalam musibah PLTN
Three Mile Island.

Di bagian akhir disebutkan kemungkinan timbulnya tumor otak sebagai akibat paparan
radiasi. Lagi-lagi, itu juga hipotetis. Padahal pengamatan dan penelitian
epidemiologis tentang efek radiasi itu, seperti yang diberikan oleh Darlene Keju
Johnson dan Rosalie Bertell, misalnya, sudah diketahui publik. Bertell adalah
pemenang hadiah Tyler, yang setara dengan Nobel, tetapi khusus di bidang ilmu
lingkungan.

Maka, saya menuturkan kejadian nyata yang menimpa pekerja di bidang teknologi
nuklir. Ahli yang berprofesi di bidang nuklir itu menderita kanker hati yang
bermetastasis ke otak, menjadi tumor ganas di kepalanya.

Dapat diduga, bahwa ada hubungan antara penyakitnya itu dan dosis kumulatif
paparan radiasi yang diterimanya di tempat kerja. Tetapi, tentu saja kebenaran
dugaan itu tidak dapat dibuktikan dengan aras keyakinan yang tinggi.

Efek cemaran berkadar rendah, termasuk pula paparan zarah-zarah dan sinar
radioaktif, memang bersifat transaintifik. Adalah di luar kemampuan sains untuk
membuktikan kebenaran atau kesalahan dugaan tentang efeknya itu. Hal yang sama
juga berlaku pada teknologi tinggi yang kompleks dan berskala besar.

PLTN termasuk dalam kategori teknologi canggih yang kompleks dan berskala besar,
sehingga bersifat transaintifik. Itu pernyataan Alvin M Weinberg, ahli dan
pendukung energi nuklir. Oleh fisikawan nuklir Austria, Wolf Haefele,
transaintivitas disebut hipotetikalitas. Astrofisikawan dan fisikawan nuklir
Jerman, Carl Friedrich von Weizsaecker, menyebutnya endekhomai.

Karena catatan saya itu, konsep tersebut diganti Vic dengan makalah yang lebih
teknis, antara lain tentang analisis risiko dalam perancangan reaktor. Dalam
makalah itu, kata ”iblis” dalam MIM ditulis di dalam kurung. Alasannya, untuk
”memfokuskan diri pada ranah argumentasi rasional”.

Kalau saja Vic mengurung kata ”Iblis” itu karena tak sesuai dengan seleranya, kita
mengerti. Bukankah over smaak valt niet te twisten (cita rasa tak bisa
disawalakan)? Tetapi tujuan Vic adalah agar argumentasinya rasional. Tersirat
pandangan Vic bahwa kata ”Iblis” itu akan membuat argumentasinya berkesan tidak
rasional. Saya tidak sreg, tidak merasa pas dan nyaman dengan pendapat itu.

Makhluk Hipotetis

Dalam argumentasi ilmiah, kata ”iblis” atau ”jin” dipakai; dan itu tidak
mengurangi rasionalitas argumentasi. Dalam Termodinamika dan Mekanika Statistis
ada ”Jin Maxwell”, yakni makhluk hipotetis yang mengatur buka atau tutupnya pintu
lubang mikroskopik di dinding adiabatik antara dua bejana yang berisi gas pada
suhu yang sama.

Dengan kekuasaannya untuk mengatur ”buka-tutup”-nya pintu lubang itu, Jin Maxwell
bisa menurunkan entropi gas itu sebagai suatu keseluruhan. Dengan demikian, ia
melanggar hukum Termodinamika kedua; sebab menurut hukum itu, proses-proses alami
meningkatkan entropi.

Ilya Prigogine, pemenang Nobel untuk Kimia, menyebut jin seperti itu dengan ”Jin
Laplace”. Mungkin bukan hanya James Clerc Maxwell, melainkan Pierre Simon Marquis
de Laplace juga menggunakan istilah jin itu dalam karya keilmuannya.

Baik Maxwell maupun Laplace, adalah ilmuwan besar. Teori Maxwell tentang
Elektrodinamika kemudian ternyata sudah relativistik, padahal teori itu
dibangunnya sebelum Einstein menghadirkan Teori Relativitas. Kenyataan itu membuat
The Houw Liong (guru besar Fisika ITB Indonesia) ”merinding”.

Setelah memindai karya ilmiah yang dipersembahkan Laplace, kaisar Perancis,


Napoleon Bonaparte, bertanya: ”Dan di mana masuknya Tuhan dalam kerangka
pemikiranmu?”

Jawab Laplace: ”Seri Baginda, hamba tidak membutuhkan hipotesis itu.” Laplace,
seperti beberapa ilmuwan dan falsafawan besar lain, semisal Bertrand Russell,
Friedrich Nietzsche, Richard Dawkins, dan Stephen Weinberg, adalah atheis.
Laplace rasional, tetapi atheisme dan rasionalitasnya tidak membuat kata ”Jin
Laplace”, setidak-setidaknya dalam pemakaiannya secara hipotetis dan metaforis,
menjadi tabu.

Mephistopheles ialah Iblis. Tokoh itu ada dalam puisi Johann Wolfgang von Goethe,
yang kemudian digubah menjadi opera oleh Charles Gounod. Opera ”Faust” gubahan
Gounod itu mengilhami Alvin Weinberg untuk merekacipta konsep ”Kontrak Faust” (The
Faustian Bargain) sebagai metafora penerimaan teknologi pembangkitan energi nuklir
oleh masyarakat.

Ironisnya, Alvin Weinberg bukan penentang PLTN. Ia justru pendukung PLTN. Ia ahli
nuklir dan pernah menjadi direktur Laboratorium Nasional Oak Ridge (ORNL) di
Tennessee, Amerika.

Prigogine juga tidak menabukan penggunaan kata ”iblis” atau ”jin” dalam
argumentasi ilmiah. Pandangan Prigogine berseberangan dengan Einstein. Albert
Einstein menganggap waktu tak lebih dari ilusi. Baginya, jagad raya ini
deterministik; sehingga kita dapat membuat ramalan dengan kepastian sepenuhnya.
Waktu terbalikkan arahnya, dan karena itu tak bermakna.

Dalam ”dunia ruang-waktu caturmatra”-nya Hermann Minkowski, waktu ”diruangkan”


(spatialized) menjadi matra (dimensi) ruang yang keempat.
Prigogine mendekonstruksi pandangan dunia deterministik. Menurut Prigogine, di
jagad raya ada kementakan yang tertakrifkan (definable probabilities), serta
kehidupan dan materi mengada terus dalam creatio continua, tanpa ada kepastian.
Dalam pandangan dunia Prigogine, ”anak panah waktu”, yang menentukan arah
perjalanan waktu dan membuatnya tak-terbalikkan, itu ada; dan sudah senantiasa ada
”dari sono-nya”.

Semua proses nyata adalah disipatif dan tak terbalikkan. Telur yang dipecah,
dibumbui, dikocok, lalu digoreng menjadi telur orak-arik, tidak dapat dikembalikan
menjadi telur mentah yang utuh.

Tidak Alergi

Maxwell, Laplace, Weinberg, dan Prigogine adalah ilmuwan-ilmuwan besar yang


rasional. Tetapi mereka tidak alergi terhadap istilah atau konsep Iblis, jin atau
setan.

Dalam suatu pembicaraan dengan Vic (sambil menikmati secangkir kopi), Karlina
(astronomiwati/kosmologiwati-cumfalsafawati) mengaku berperan sebagai advocatus
diaboli yang menyodorkan ”gagasan gila” tentang materi gelap (dark matter). Secara
harfiah, the Devil’s advocate berarti pendukung iblis. Bagi Karlina, kata ”iblis”
bukan tabu dalam argumentasi ilmiah.

Argumentasi yang diawali dengan pernyataan bahwa masalah yang dibahas itu
merupakan lingkaran setan (vicious circle), tidak serta-merta membuat bahasan
tersebut irasional. Mereka yang sok ilmiah dan menampik apa-apa yang dianggapnya
berbau metafisika, tidak sadar bahwa ilmu sendiri pun bertumpu kepada asumsi
metafisis.

Dakuan yang tak pernah dibuktikan karena dianggap ”sudah jelas dengan sendirinya”
(self evident) atau memang tak perlu atau tak dapat dibuktikan itu dipakai sebagai
titik-tolak. Konsklusi prediktif dari jabarannya saja yang diverifikasi atau
difalsifikasi.(68)

–– Prof Dr Liek Wilardjo, Guru Besar Ilmu Fisika dan Etikawan dari UKSW Salatiga.

Anda mungkin juga menyukai