Anda di halaman 1dari 5

Will u still love me tommorow ?

Shaly Liligan Satolom March 17 at 8:33pm Reply

Akankah kau tetap mencintaiku besok? Akankah waktu yang berlalu takkan memadamkan
cintamu kepadaku? Demikian lantun seorang ibu saat kami berkumpul untuk bersama-sama
merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang ke lima belas. Masa depan yang terbentang di
depan, nampak demikian lelap dalam impian kita semua. Begitulah yang terasa olehku. Dan oleh
kami semua pada malam itu.

Waktu berjalan terus. Dan setiap kali kita meninggalkan detik berlalu di belakang, setiap kali
pula kita merenungkan makna kehidupan ini. Sambil mengharapkan masa depan yang kian
menyenangkan. Ada harapan. Namun ada pula keputus-asaan. Dan kesunyian. Dan kita semua
merasa terbebani oleh masa depan yang sedemikian tak teramalkan. Maka kita, manusia, hidup
bersama bayang-bayang kegembiraan dan kecemasannya masing-masing. Bersama rasa suka dan
dukanya.

Maka mendadak aku tersadarkan. Betapa, malam itu, kami semua memimpikan sesuatu.
Mengharapkan sesuatu. Sesuatu yang indah bagi hidup kami masing-masing. Namun toh, hidup
bukan hanya mimpi atau harapan. Hidup adalah kenyataan. Dan kenyataan itu harus kita hadapi
seorang diri. Hanya seorang diri. Tak seorangpun yang dapat menguasai jalannya waktu. Kita tak
bisa mengelak dari kenyataan itu.

Waktu, waktu yang berlalu takkan kembali lagi. Waktu yang akan datang masih tak kita kenali
ujudnya. Tetapi waktu saat ini, saat dimana kita semua berada dan mengalami, adalah suatu ujud
nyata dari keberadaan kita sebagai insan yang hidup. Kita memang adalah perwujudan dari saat
ini. Karena itulah, kita perlu mencari suatu pegangan agar hidup tidak berjalan dalam
kegamangan belaka. Hidup memang suatu perjuangan. Kita melalui hari-hari yang melelahkan
yang dapat menghancurkan pengharapan kita.

Suatu kebimbangan. Saat kita sedang didera oleh suatu persoalan yang tak terpecahkan. Dan
kadang, kian mencari kita akan kian kehilangan. Oleh sebab itulah kita merindukan seseorang
yang mau berjalan bersama kita. Seseorang yang mau mencintai kita. Seseorang yang
bersamanya patut kita arungi hidup ini bersama. Akankah kau tetap mencintaiku besok? Kita
tidak tahu. Kita tidak akan pernah tahu. Kita hanya dapat berharap.

Tetapi satu hal yang pasti, perubahan akan terus terjadi. Dan semoga perubahan itu selalu
mengarah ke kebahagiaan kita semua. Dan cepat atau lambat, kita semua sadar, betapa hidup ini
terus melaju menuju akhir. Dan di ujung dari segalanya, kita juga tahu, bahwa Dia yang
menyayangi kita akan tetap menunggu. Mungkin cinta kita tidak akan pernah abadi. Mungkin
segala angan, mimpi dan harapan kita tidak akan pernah terwujud. Namun pada saatnya nanti,
percayalah, bahwa Dia masih tetap setia menunggu kita.

Akankah kau tetap mencintaiku besok? Ya, ada yang akan tetap mencintaimu. Hari ini, besok
dan selama-lamanya.
Dia akan tetap mencintaimu. Dia, Sang Penebus kita, yang rela lahir di dunia yang papa, dan
mati dalam derita salib, selalu menunggu kita dengan kasihNya. Dan kita yang berharap dalam
namaNya takkan pernah akan dikecewakan. Percayalah. Maka aku pun tak ragu malam itu. Ikut
bernyanyi sambil, diam-diam, menyadari bahwa waktu hidup yang kian menyempit ini kian
membahagiakan. Karena sesaat lagi aku akan berjumpa denganNya. Sesaat lagi, setelah segala
tugas di dunia ini terjalani. Mengapa kita harus ragu lagi? Dia yang kini telah bangkit selalu akan
menanti kita.

Maka berharaplah pada cintaNya yang abadi. Berharap dan percayalah padaNya.
(Pdk.Ren.com)

Keep faith teenagers


God bless you always
LOVE
Love and Like
Ongen Titawanno March 18 at 8:15pm Reply
Dalam bahasa Inggris, kata "to like" berarti menyukai sedangkan kata "to love" berarti
mengasihi. Sekarang apa perbedaan mendasar antara dua kata ini dalam hal memilih pasangan
hidup? Menurut saya, menyukai mengacu pada kesenangan pribadi yakni menginginkan
seseorang karena ia baik untuk kita dan menyenangkan hati kita. Sebaliknya, mengasihi merujuk
kepada memberikan diri untuk seseorang.

Cara lain untuk membedakannya ialah, menyukai hanya meminta kita menjadi pengamat,
sedangkan mengasihi mengharuskan kita menjadi pelaku. Misalnya, kita menyukai mainan,
kendaraan, dan rumah, tetapi kita mengasihi adik, orangtua serta istri kita. Mainan dan kendaraan
bertujuan untuk menyenangkan atau memudahkan kehidupan kita tanpa kita harus terlibat di
dalamnya (menjadi bagian dari mainan atau mobil itu). Mengasihi keluarga menuntut kita untuk
terlibat di dalamnya (menjadi bagian dari kehidupan mereka); dengan kata lain, kita mesti
menjadi pelaku, bukan sekedar pengamat yang mencicipi kenikmatan objek tersebut.

Adakalanya kita dibingungkan dengan kata "suka" dengan "cinta". Tidak bisa disangkal, pada
tahap awal pertemuan, rasa suka akan mendominasi hubungan kasih kita. Kita menyukai
wajahnya, cara bicaranya, tertawa renyahnya, kelembutannya, kepemimpinannya, atau
wibawanya. Namun seyogianya rasa suka ini bertumbuh menjadi rasa cinta yakni kerelaan untuk
memberi yang terbaik dari diri kita demi yang terbaik untuknya. Jika metamorfosis ini tidak
terjadi, maka kita pun akan terlibat dalam suatu relasi yang kerdil dan dangkal. Kita akan
berhenti pada peran pengamat yang hanya menikmati tontonannya dengan penuh kekaguman.
Yang lebih berbahaya lagi, kita akan menuntutnya untuk bersikap dan melakukan hal-hal yang
dapat terus melestarikan kenikmatan dan kekaguman kita terhadapnya.

Berbeda dengan suka, kasih masih menyisakan benih-benih kekaguman tanpa membuat kita
terpukau kaku dan pasif. Kasih melibatkan kita dalam hidupnya sebagai pelaku yang rela
mengotorkan tangan, bukan sekedar sebagai penonton yang disenangkan oleh pertunjukkan yang
indah.

Kasih bertanya, "Apa yang dapat kuberikan?", sedangkan suka bertanya, "Apa yang dapat kau
berikan?". Saya kira istilah C.S. Lewis, "need-love", mencerminkan definisi menyukai yang telah
saya jabarkan. Menurut Lewis, "need-love" merupakan kasih yang keluar dari kebutuhan dan
berorientasi pada pemenuhan kebutuhan itu. Dengan kata lain, kita memilihnya menjadi istri atau
suami karena ia akan dapat memberikan yang kita butuhkan. C.S. Lewis tetap menyebutnya,
kasih, tetapi saya cenderung memanggilnya, suka.

Sekali lagi saya tegaskan bahwa suka pada dasarnya sesuatu yang alamiah dan bersifat netral.
Rasa suka merupakan bagian awal dari rangkaian pertumbuhan relasi di mana pada puncaknya,
kasihlah yang mencuat dengan indahnya. Problem muncul tatkala benih suka tetap tinggal
sebagai biji suka dan tidak pernah bertumbuh menjadi pohon kasih. Pernikahan yang seperti ini
akan ditandai dengan dua nada: frustasi dan kejam.

Kita merasa frustasi karena kita mengalami delusi sebab ternyata yang kita harapkan tidak
menjadi kenyataan. Kita terbangun dari mimpi dan melihat rupa pasangan kita yang sebenarnya
-- ternyata dia bukan pangeran yang mengherankan kita. Dia tidak memberikan yang kita
butuhkan bahkan kitalah yang harus mengisi kebutuhannya.

Kita juga bisa berubah kejam. Kita dapat terus menghujamnya dengan tuntutan demi tuntutan
secara bertubi-tubi dan membabi buta. Kita tidak mau tahu akan realitas sebab kita merasa
terpedaya dan terperangkap. Kita menganggap bahwa ia berhutang pemberian kepada kita. Kita
menjadi kejam karena ternyata tontonan itu tidak menarik sama sekali. Rasa suka pun berubah
menjadi benci.

Kembali kepada konsep "need-love" yang diutarakan C.S. Lewis, ternyata hubungan kasih
memang sarat dengan kebutuhan, misalnya kebutuhan untuk dikasihi, dihargai, dan keamanan.
Ternyata pemilihan pasangan hidup juga tidak terlepas dari penentuan akan siapa yang kira-kira
dapat memenuhi kebutuhan kita itu. Kita tidak memilih siapa saja; kita memilih dia yang
berpotensi atau yang kita duga akan sanggup mencukupi kebutuhan kita. Selama kebutuhan itu
tidak terlalu besar, biasanya hubungan nikah akan dapat berjalan langgeng. Namun jika
kebutuhan itu terlalu menggunung, konflik pasti akan meletus.

Kesimpulannya adalah, sadarilah kebutuhan yang kita miliki itu dan akuilah harapan yang
terkandung di dalam hati kita. Komunikasikanlah harapan itu kepada pasangan kita dan carilah
jalan tengah agar kebutuhan itu dapat dipenuhinya tanpa harus terlalu melelahkannya. Semakin
dini kita menyadari dan mengkomunikasikannya, semakin besar kemungkinan kita
menyelamatkan pernikahan kita kelak.

Sumber : Sabda Org

Anda mungkin juga menyukai