Definisi
Penumpukan cairan di rongga pleura lebih dari normal di sebut dengan efusi
pleura. Banyak keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya penumpukan cairan
tersebut seperti infeksi paru, kelainan jantung, sirosis hepatis, SLE, dan keganasan.
Keganasan dapat di sebabkan oleh keganasan di pleura yaitu mesetelioma, paru dan
ekstra paru seperti Ca mamae, keganasan di gynekologi, lymphoma malignum dll.
Efusi pleura malignan adalah penumpukan cairan pleura yang di sebabkan oleh
langsung oleh proses keganasan yang menyebar sampai ke pleura di mana di temukan
sel-sel ganas dalam cairan ataupun biopsy pleura.1
Efusi pleura malignan (EPM) sering di sebabkan oleh tumor paru 37.5%, ca
mamae 16.8%, limpoma 11.5%, traktus urinarius 9.4%, abdomen 6.9%, tidak di
ketahui 10.7% dan lain-lainnya 7.3%.2 Waren dkk medapatkan tumor mamae
penyebab terbanyak yaitu 50%, paru 25%, ginekologi 12% dan lain lain 13%.3
Diagnosis EPM
1. Gejala klinis
Gejala klinis dapat berasal dari gejala tumor primernya di tambah dengan
gejala efusi pleura. Gejala klinis EPM yang sering di temukan pada pasien adalah
sesak nafas, batuk-batuk, nyeri dada dan penurunan berat badan. Sesak nafas akan
berkurang saat istirahat dan tidur miring kearah yang sakit dan bertambah berat
saat aktivitas.1,2 Pemeriksaan fisis sangat membantu dalam menegakan diagnosis
efusi pleura sebelum melakukan pemeriksaan penunjang yang lain.
2. Rontgen torak dan USG
Pemeriksaan rontgen torak PA sangat penting dalam membantu menegakan
diagnosis efusi pleura. Rontgen torak PA akan tampak kelainan bila cairan telah
berjumlah lebih kurang 300 cc dengan gambaran secara radiologis sudut
kostoprenicusnya tumpul. Untuk memastikan apakah gambaran dengan sudut
kosto prenicus merupakan cairan dapat di lakukan ro lateral decubitus.
Pemeriksaan dengan CT Scan akan memberikan hasil yang lebih sensitif
dimana dengan jumlah cairan lebih kurang 50 cc akan terdeteksi. Keuntungan
lainnya dengan melakukan CT scan torak akan kelihatan massa tumor kalau tumor
1
primernya berasal dari paru. Dengan CT Scan dapat juga di curigai suatu gambaran
tumor mesetelioma yang merupakan tumor primer dari pleura berupa gambaran
permukaan dari pleura bergerigi seperti mata gergaji.
3. Analisa cairan pleura
Gambaran analisa cairan pleura curiga terhadap proses keganasan adalah
secara makroskopis cairan serohemoragis atau hemoragis. Cairan bersifat eksudat
dengan criteria light positif. Gambaran mikroskopis di dapatkan sel erytrosit,
limposit dan eosinofil meningkat. Glukosa dan pH yang menurun juga merupakan
prognosis yang jelek1,2
4. Sitologi dan histopatologi
Sitologi cairan pleura adalah pemeriksaaan yang dilakukan terhadap cairan
pleura. Cairan pleura akan memberikan hasil lebih positif bila cairannya lebih
banyak dan yang di kirim ke bagian patologi anatomi cairan yang bagian bawah /
endapan. Beberapa laporan seperti kepositifan hanya sekitar 40 %, Pemeriksaan
histopatologi dengan melakukan biopsy pleura merupakan pemeriksaan yang lebih
spesifik di bandingkan pemeriksaan sitologi. Sensitifitasnya lebih rendah di
bandingkan sitologi karena pemeriksaan yang di lakukan secara blind dalam
membiopsi pleura hanya sekitar 20%.
Penatalaksanaan EPM
Penatalaksanaan EPM ada dua permasalahan yang di hadapi yaitu terhadap
tumor primer dan kedua terhadap efusi pleuranya sebagai tindakan suportif.
Penatalaksanaan terhadap tumor primernya / kausal, apabila dapat ditemukan atau di
tentukan jenis tumor primernya maka dilakukan penatalaksanaan terhadap tumor
primernya. Pemberian kemoterapi terhadap tumor primernya secara otomatis efusi
pleura akan berkurang sesuai dengan respon terhadap tumor primernya. Apabila tidak
di temukannya tumor primer atau tidak dapat di lakukan penatalaksanan terhadap
tumor primernya maka tindakan selanjutnya adalah tindakan terhadap EPM.3
Banyak pilihan dalam penatalaksanaan EPM seperti :
1. Punksi pleura (torakosintesis) berulang
2. Thorak tube,
3. Pleurodesis, pleuroperitoneum shunt dan
4. Pleurektomi
2
Limfoma Malignan Non Hodgkin
Definisi
Limfoma malignan non Hodgkin atau limfoma non Hodgkin adalah suatu
keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat padat. Lebih dari 45.000 pasien
didiagnosis sebagai limfoma non Hodgkin (LNH) setiap tahun di Amerika Serikat.
Limfoma non Hodgkin, khususnya limfoma susunan saraf pusat biasa ditemukan
pada pasien dengan keadaan defisiensi imun dan yang mendapat obat-obat
imunosupresif, seperti pada pasien dengan transplantasi ginjal dan jantung.4
Etiologi dan Patogenesis
Abnormalitas sitogenik, seperti translokasi kromosom. Limfoma malignum
subjenis sel yang tidak berdiferensiasi (DU) ialah LNH derajat keganasan tinggi
lainnya, jarang dijumpai pada dewasa tetapi sering ditemukan pada anak. Subjenis
histologis ini mencakup limfoma Burkitt, yang merupakan limfoma sel B dan
mempunyai ciri abnormalitas kromosom, yaitu translokasi lengan panjang kromosom
nomor 8 (8q) biasanya ke lengan panjang kromosom nomor 14 (14q+).1,2 Infeksi
virus, salah satu yang dicurigai adalah virus Epstein-Barr yang berhubungan dengan
limfoma Burkitt, sebuah penyakit yang biasa ditemukan di Afrika.
Gambaran Klinis
Gejala pada sebagian besar pasien asimtomatik sebanyak 2% pasien dapat
mengalami demam, keringat malam dan penurunan berat badan.5 Pada pasien dengan
limfoma indolen dapat terjadi adenopati selama beberapa bulan sebelum terdiagnosis,
meskipun biasanya terdapat pembesaran persisten dari nodul kelenjar bening. Untuk
ekstranodalnya, penyakit ini paling sering terjadi pada lambung, paru-paru dan
tulang, yang mengakibatkan karakter gejala pada penyakit yang biasa menyerang
organ-organ tersebut. Dengan menerapkan kriteria yang digunakan oleh Rosenberg
dan Kaplan untuk menentukan rantai-rantai kelenjar getah bening yang saling
berhubungan.
Klasifikasi penyakit :
Berdasarkan working formulation Limfoma malignan non hodgkin dapat
diklasifikasikan
A. Tingkat rendah: Tipe yang baik
3
1. Limfositik kecil
2. Sel folikulas, kecil berbelah
3. Sel folikulas dan campuran sel besar dan kecil berbelah
B. Tingkat sedang: Tipe yang tidak baik
4. Sel folikulis, besar
5. Sel kecil berbelah, difus
6. Sel campuran besar dan kecil, difus
7. Sel besar, difus
C. Tingkat tinggi: Tipe yang tidak menguntungkan
8. Sel besar imunoblastik
9. Limfoblastik
10.Sel kecil tak berbelah
Stadium penyakit
Pada penyakit ini dibedakan 2 macam staging :
• Clinical staging
Staging dilakukan secara klinis saja tentang ada tidaknya kelainan organ tubuh.
• Pathological staging.
Penentuan stadium juga didukung dengan adanya kelainan histopatologis pada
jaringan yang abnormal. Pathological staging ini dinyatakan pula pada hasil biopsi
organ, yaitu : hepar, paru, sumsum tulang, kelenjar, limpa, pleura, tulang, kulit.
Staging yang dianut saat ini adalah staging menurut Ann Arbor yang di
modifikasi sesuai konferensi Cotswald.1 Staging menurut sistem Ann Arbor
modifikasi Costwald.
Stage I : Penyakit menyerang satu regio kelenjar getah bening atau satu struktur
limfoid (misal : limpa, timus, cincin Waldeyer).
Stage II : Penyakit menyerang dua atau lebih regio kelenjar pada satu sisi diafragma,
jumlah regio yang diserang dinyatakan dengan subskrip angka, misal : II2,
II3, dsb.
Stage III : Penyakit menyerang regio atau struktur limfoid di atas dan di bawah
diafragma.
III1 : menyerang kelenjar splenikus hiler, seliakal, dan portal
III2 : menyerang kelenjar para-aortal, mesenterial dan iliakal.
4
Stage IV : Penyakit menyerang organ-organ ekstra nodul, kecuali yang tergolong E
(E: bila primer menyerang satu organ ekstra nodal).
A : bila tanpa gejala sistemik
B : bila disertai gejala sistemik yaitu: panas badan ≥ 38˚C yang tak jelas sebabnya;
penurunan berat badan 10 % atau berkeringat malam atau setiap kombinasi
dari 3 gejala itu selama 6 bulan terakhir penyakit ini.
X : bila ada bulky mass (≥ 1/3 lebar thorax dan ≥ 10 cm untuk ukuran kelenjar).
S : bila limpa (spleen) terkena
Penatalaksanaan
Terapi yang dilakukan biasanya melalui pendekatan multidisiplin. Terapi yang
dapat dilakukan adalah:
1. Derajat Keganasan Rendah /indolen:
Pada prinsipnya simtomatik
- Kemoterapi: obat tunggal atau ganda (per oral), jika dianggap perlu: COP
(Cyclophosphamide, Oncovin, dan Prednisone)
- Radioterapi: LNH sangat radiosensitif.
Radioterapi ini dapat dilakukan untuk lokal dan paliatif.
Radioterapi: Low Dose TOI + Involved Field Radiotherapy
2. Derajat Keganasan Menengah / agresif limfoma
- Stadium I: Kemoterapi (CHOP/CHVMP/BU) + radioterapi
- Stadium II - IV: kemoterapi parenteral kombinasi, radioterapi berperan untuk
tujuan paliasi.
3. Derajat Keganasan Tinggi
- Diberikan pengobatan seperti Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)
- Re-evaluasi hasil pengobatan dilakukan pada:
1. setelah siklus kemoterapi ke-empat
2. setelah siklus pengobatan lengkap
Prognosis
Faktor-faktor yang mempengaruhi buruknya prognosis adalah usia >60 tahun,
karnofsky indeks < 80%, stadium > II, peningkatan LDH dan > 1ekstra nodal. 4,5
5
Trombosis Vena Dalam
Definisi
Trombosis Vena Dalam (TVD) adalah terbentuknya bekuan darah didalam
lumen vena dalam, terutama terjadi pada vena-vena ditungkai seperti vena Femoralis
dan Vena Poplitea. Faktor resiko lain dari TVD adalah obesitas, payah jantung,
istirahat lama, hemiplegic, diabetes mellitus fibrilasi Atrium dan defisiensi protein
S,C,dan antitrombin.5,6
TVD cendrung bertahan menjadi kronis yang menyebabkan timbulnya
pembengkakan dan rasa sakit pada tungkai. Pada beberapa kasus ditemukan ulserasi
kulit dan gangguan mobilitas, sehingga penderitanya tidak bias lagi hidup secara
normal. Disamping itu TVD sering juga mendapat serangan berulang.(rekurensi).
Penatalaksanaan TVD haruslah sedini dan seoptimal mungkin sehingga dapat
mencegah terjadinya komplikasi yang serius seperti emboli paru.
Manifestasi Klinis 5,6,7
Keluhan TVD tidak selalu berkorelasi dengan derajat obstruksi aliran darah
dan radang dinding pembuluh darah. TVD bias terjadi pada semua vena diseluruh
tubuh, akan tetapi banyak terjadi didaerah tungkai, yaitu sekitar 40-80%.
TVD dapat menimbulkan 2 konsekuensi yang yang kadang-kadang dapat
menimbulkan kelainan yang serius:
1. Bagian inferior yang tersumbat akan dapat membesar terus sehingga dapat
merusak vena dan katupnya.
2. Bekuan akan dapat pecah dan beredar secara bebas didalam vena, dan dapat
menimbulkan sumbatan diarteri pulmonalis, keadaan ini disebut dengan emboli
paru (EP). Keadan ini cukup serius dan dapat menimbulkan kematian kalau tidak
dikenal secara dini dan diobati dengan sempurna.
Manifestasi Klinis TVD adalah sebagai berikut:7,8
Anamnesis
Edem tungkai yang terjadi secara unilateral, merupakan gejala yang paling
spesifik. Edem yang masif, sianosis dan iskemia (phlegmasia dolens) jarang
ditemukan.
6
Nyeri pada tungkai, ditemukan pada 50% kasus, tapi keluhan ini tidak spesifik.
Sakit dapat terjadi/bertambah pada posisi kaki dorsofleksi(tanda Homans)
Kaki terasa lembut, terjadi pada 75% pasien
Teraba panas atau eritema kulit didaerah thrombosis
Rasa sakit dan nyeri yang berhubungan dengan TVD biasanya tidak berkorelasi
dengan ukuran, lokasi dan luas thrombus.
Kelainan Fisik
Edema, terutama unilateral
Kelembutan, jika ada biasanya hanya terbatas pada otot betis atau disepanjang
aliran pembuluh darah terutama bagian medial paha.
Tanda Homans
Ketidak nyamanan/ rasa sakit yang timbul pada otot betis pada posisi kaki
dorsofleksi dengan lutut lurus, telah menjadi salah satu tanda agak khas untuk
TVD. Namun tanda Homans ini tidak spesifik, ditemukan hanya pada sepertiga
kasus TVD.
Distensi vena, terlihat penonjolan pembuluh darah dibawah kulit.
Adanya tromboflebitis superfisislis ditandai dengan adanya indurasi, cordlike,
lembut dan nyeri dari segmen vena subkutan yang terlibat.
Demam, pasien mungkin mengalami demam , biasanya tidak tinggi.
Faktor resiko untuk terjadinya TVD
Umum
Usia, imobilasi lebih dari 3 hari, kehamilan, dan periode pasca melahirkan,
operasi besar, perjalanan dengan pesawat dan mobil yang lama (>4hari)
Penyakit-penyakit
Trauma
Vaskulitis
Kelainan Hematologik
Obat-obat
Diagnosis TVD
Nyeri dan pembengkakan pada tungkai bawah tidak hanya merupakan
keluhan dari TVD., akan tetapi bisa ditemukan pada berbagai penyakit seperti
tromboflebitis, sindroma post-trombotik, insuffisiensi vena kronis, selulitis, fraktur,
7
hematoma, iskemia arteri akut, limfedema, dan hipoproteinemia (sirosis hepatis dan
sindroma nefrotik).
1. Pemeriksaan laboratotium : test D-Dimer
2. Pemeriksaan laboratorium lain :
Protein S, protein C, antitrombin III, factor V Leiden, antibody antifosfolipid
dan homocysteine. Pemeriksaan ini dianjurkan bila penderita berusia lebih dari 50
tahun, ada riwayat keluarga hiperkoagulasi, dan thrombosis vena ditemukan pada
daerah yang tidak biasa terjadi.
3. Venography
Merupakan pemeriksaan yang paling akurat untuk menentukan ada tidaknya
TVD, dan telah dijadikan sebagai Gold Standard untuk TVD.
4. Ultrasonogradhy Doppler
Dianggap sebagai pemeriksaan yang non invasive terbaik. Untuk thrombosis
vena betis sensitifitasnya cuma 75%.
Penatalaksanaan TVD :
Pengobatan standard untuk TVD adalah :
Pemberian obat golongan antikoagulan
Tidur dengan kaki sedikit ditinggikan
Pemakaian stoking yang elastic dan pemberian tekanan yang intermitten
Pemasangan filter pada V.cava inferior, bertujuan untuk menahan bekuan darah
mengalir ke jantung dan paruu-paru.
Pemberian trombolitik
Terapi trombolitik mempunyai keunggulan terhadap resolusi thrombus,
pencegahan EP, pemulihan sirkulasi vena menjadi normal, pelestarian fungsi katup
vena, dan mencegah sindroma postflebitis. Akan tetapi tidak mencegah penyebaran
bekuan, retrombosis atau embolisasi berikutnya.
8
GAGAL NAFAS9
Definisi
Gagal nafas akut adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan
pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam jumlah yang dapat mengakibatkan
gangguan pada kehidupan.
Klasifikasi
Tipe I : Disebut gagal nafas normokapnu hipoksemia : PaO2 < dan PCO2 normal.
Tipe II : Disebut gagal nafas Hiperkapnu hipoksemia : PaO2 rendah dan PCO2 Tinggi.
Mekanisme Gagal Nafas
A. Hipoventilasi Hipoventulasi menyebabkan retensi CO2 , Penyebabnya :
1. Kerusakan atau depresi pada system saraf pengontrol pernafasan.
2. Gangguan neuromuscular
3. Obstruksi paru
4. Restriksi paru
B. “ V/Q Mismatching “
V/Q rendah artinya : perfusi lebih besar dari ventilasi, sehingga terjadi
hipoksemia karena darah yang dibawa dari alveolar tidak teroksigenasi
seluruhnya. V/Q Tinggi artinya : Ventilasi lebih besar daripada perfusi, sehingga
darah yang teroksigenasi tidak dapat diperfusikan. Penyebabnya adalah :
1. Gangguan pada luas daerah untuk ventilasi
2. Gangguan pada luas permukaan untuk perfusi
C. Shunt ( Pirau )
Darah yang dibawa dari jantung sebelah kanan dibawa ke jantung kiri tanpa
dioksigenasi, penyebabnya adalah :
1. kolaps pada alveoli
2. gangguan difusi
D. Gangguan difusi
1. Penumpukan cairan
2. Gangguan pada area untuk berdifusi
Penatalaksanaan
• Terapi suportif :
9
Pertahankan Oksigenasi dan Ventilasi
1. Oksigenasi pada Kegagalan Ventilasi :
Cara sederhana dengan flow rendah dengan sasaran PaO2 50 – 60 mmHg,
dapat diberikan dengan cara :
- Nasal kanula
- Masker (venturi mask)
- Ventilator
2. Oksigenasi pada Kegagalan Oksigenasi :
Dapat diberikan dengan cara
- Nasal kanula atau masker
- FIO2 40 – 60%
- Ventilator
Dapat juga diberikan obat-obatan berikut
Jika terjadi bronkospasme dapat diberikaan bronkodilator
Antibiotika sesuai dengan peta kuman yang ada
Bila terdapat retensi sputum dapat dilakukan hidrasi, nebulisasi, fisioterapi
dada dan suction
10
ILUSTRASI KASUS
12
Kesadaran : CMC Keadaan Umum : Sedang
Tekanan Darah : 130/80 mmHg Status gizi : baik
Frekuensi Nadi : 86 x/mnt BB : 46 kg
Frekuensi Nafas : 32 x/mnt TB : 150 cm
Suhu : 370C BMI : 21 kg/m2
Ikterus : (-) Kesan : Normoweight
Edema : (-)
Anemia : (-)
Kepala : Normocephal
Rambut : Uban (+), tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva tidak anemis
Sklera tidak iketrik, Arcus senilis (+/+)
Telinga : Tidak ada kelainan
Hidung : Tidak ada kelainan
Tenggorokan : Tidak ada kelainan
Gigi dan Mulut : Caries (+), gigi tidak lengkap
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Kelenjar tiroid tidak membesar
Paru Depan
13
Inspeksi : Statis Asimetris, kiri lebih cembung dari kanan.
sela iga melebar
Dinamis Pergerakan kiri tertinggal dari kanan, sela
iga melebar.
Palpasi : kiri Fremitus melemah dari kanan
Perkusi : kanan sonor
kiri pekak dari RIC III kebawah
Auskultasi kanan bronkovesikuler, rhonki (+) basah halus
nyaring di lapangan atas paru, Wheezing
(-)
Kiri suara nafas menghilang dari RIC III
kebawah
Paru belakang
Inspeksi : Asimetris, kiri lebih cembung dari kanan.
sela iga melebar
Palpasi : kiri Fremitus melemah dari kanan
Perkusi : kanan sonor
kiri pekak dari Thoracal V kebawah
Auskultasi kanan bronkovesikuler, rhonki (+) basah halus
nyaring di lapangan atas paru, Wheezing
(-)
Kiri suara nafas menghilang dari Thoracal IV
kebawah
Jantung
Inspeksi : Iktus tidak terlihat
Palpasi : Iktus sukar dinilai
Perkusi : Batas Jantung kanan : 3 jari lat LSD, Atas : RIC II,
kiri : sukar dinilai
14
Auskultasi : Bunyi jantung menjauh, murni, teratur,
bising (-) M1 > M2, P2 < A2,
Abdomen
Inspeksi : Perut tidak membuncit, kolateral (-), sikatrik (-)
Palpasi : Hepar teraba 2 jari bac, 2 jari bpx, kenyal, permukaan
rata, pinggir tumpul, nyeri tekan (-) lien tidak teraba
Ballotement ginjal (-)
Teraba massa ukuran 8x7x2 cm di regio lumbalis
Sinistra, warna sama dengan sekitar, konsistensi keras,
permukaan tidak rata, terfiksir, fluktuasi (-), nyeri
tekan (-), bising (-)
Perkusi : Pekak di lokasi massa, shiffting dullness (-)
Auskultasi : Bising usus (+) N
Punggung : Costa Vertebrae Angle Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-)
Alat kelamin : Tidak diperiksa
Anus : Tidak diperiksa
Anggota Gerak : Reflek fisiologis (+/+),Reflek Patologis (-/-)
Status lokalis tungkai kiri
Inspeksi : kaki kiri lebih besar dari kaki kanan, tampak edema, kaki berwarna
kemerahan.
Palpasi : pada perabaan teraba panas, Homan sign (+), kulit halus (+).
Karnofsky Indeks
40 : Tidak dapat bekerja, harus dirawat dirumah sakit, perlu bantuan untuk
aktivitas
Laboratorium
Hemoglobin : 10,4 gr/dl Ureum : 25 mg/dl
Leukosit : 13.700/mm3 Kreatinin : 0,7 mg/dl
LED : 104 mm/jam 1 GDS : 95 mg/dl
DC : 0/0/1/88/8/3 Natrium : 134meq/l
15
Hematokrit : 33% Kalium : 3,7meq/l
Trombosit : 498.000/mm3 Klorida : 101meq/l
Gaambaran darah tepi : E : normositik normokrom, polikromasi (+)
L : Leukositosis, neutrofilia shift to the right
T : Jumlah meningkat
Urinalisa Feses
Makroskopis Makroskopis
Warna : kuning Warna : Coklat
Mikroskopis Konsistensi : Lembek
Lekosit : 1-2/LPB Darah : (-)
Eritrosit : 0-1/LPB Lendir : (-)
Silinder : (-) Mikroskopis
Kristal : (+) Lekosit : 0-1/LPB
Epitel : (+) Eritrosit : (-)
Kimia Amuba : (-)
Protein : (-) Telur Cacing : (-)
Glukosa : (-)
Bilirubin : (-)
Urobilinogen : (+)
Diagnosis Kerja
Diagnosis Primer : Efusi Pleura Sinistra ec susp metastase Limfoma Malignum Non
Hodgkin Type Lymphoblastik stadium IV
Diagnosis Sekunder : Susp. Ca Bronchogenik
Susp. Trombosis Vena Dalam Pedis Sinistra
Bronkhopneumonia Dupleks
Terapi :
Istirahat/ MC 1500 kkal (Karbohidrat 750 kkal, Protein 200 kkal, lemak 300
kkal)/ O2 2 L/menit
IVFD Aminofuchsin L 600 : Triofuchsin = 1:2 = 500 cc/8 jam
Ceftriakson 1 x 2 gram
16
Ambroksol syrup 3 X 30 mg
Neurotropik 3 x 1
Pemeriksaan Anjuran :
SGOT, SGPT, Albumin,
Globulin, Alkali Fosfatase PT dan aPTT
Marker hepatitis (HbsAg, Anti D Dimer
HCV) Echo Dopler
Kalsium, fosfat Analisa Gas Darah
Asam urat EKG
Rontgen Thorak
FOLLOW UP
14 Mei 2010
S/ batuk (+) sesak nafas (+) Demam (-)
O/ KU: Sedang Ksdrn : CMC TD : 130/80mmHg
Nafas : 30 x/mnt Nadi : 80 x/mnt Suhu : 36,70 C
17
Laboratorium :
PT: 14.7 (10-13.6)
aPTT : 24.3 (29.2 – 39.4)
D Dimer : 1.7
Kesan : DVT
Advis : Echo Dopler
Keluarga menolak untuk dilakukan echo dopler
Sikap : inj. Fondaparinux 1 x 2.5 mg sc
Hasil Astrup :
pH : 7.32
pCO2 : 52
PO2 : 88
HCO3- : 26.7
BE : -0.2
SO2 : 96 %
Kesan : Asidosis respiratorik
Jam 13.00
Dikeluarkan cairan pleura warna serohemorrhagis jumlah +/- 250 cc
Post pengeluaran Cairan pleura :
S : sesak berkurang (+),
O/ KU: Sedang Ksdrn : CMC TD : 120/80mmHg
Nafas : 24 x/mnt Nadi : 90 x/mnt Suhu : 36,70 C
Advis : Ro thorak PA post parasintesis :
Hasil Ro thorak PA : Kesan efusi pleura setinggi RIC IV
15 Mei 2010
S/ batuk (-) sesak nafas (+) Demam (-),
O/ KU: jelek Ksdrn : apatis TD : 120/80mmHg
Nafas : 30 x/mnt Nadi : 100 x/mnt Suhu : 37.10 C
18
Laboratorium :
Hemoglobin : 10,9 gr/dl Ureum : 45mg/dl
Leukosit : 13.200/mm3 Kreatinin : 0.7 mg/dl
LED : 160 mm/jam 1 GDS : 65mg/dl
DC : 0/0/1/90/9/0 Natrium : 131meq/l
Hematokrit : 34% Kalium : 4.1 meq/l
Trombosit : 397.000/mm3 Klorida : 97meq/l
Eritrosit : 3.970 juta/mm3 Albumin : 3,9 g/dl
MCV : 87 fL Globulin : 1.8 g/dL
MCH : 27 pg Bilirubin total : 0.6
MCHC : 31 %
SGOT : 48 U/L
SGPT : 31 U/L
Alkali Fosfatase : 196
Hasil Astrup :
pH : 7.28
pCO2 : 50
PO2 : 99
HCO3- : 23.6
BE : -3.0
SO2 : 97 %
Kesan : Asidosis respiratorik
16 Mei 2010
S/ sesak nafas (+) Demam (-),
O/ KU: jelek Ksdrn : somnolen TD : 130/80mmHg
Nafas : 40 x/mnt Nadi : 110 x/mnt Suhu : 37.00 C
Jam 20.00
19
Hasil Astrup :
pH : 7.30
pCO2 : 56
PO2 : 69
HCO3- : 27.6
BE : 0.5
SO2 : 92 %
Kesan : Asidosis respiratorik dengan gagal nafas tipe 2
Konsul ICU :
Kesan : Gagal nafas tipe 2 dengan keganasan stadium akhir
Advis : - Beritahu keluarga jika kondisi pasien jelek
- Inform consent tentang penyakitnya
- O2 2 Liter/menit
- Bila tidak ada perbaikan pasang sungkup NRM 10 Liter/menit
- ICU tidak dapat menerima pasien karena umur dan pasien menderita
keganasan terminal stage
17 Mei 2010
Jam 09.00 WIB
S/ sesak nafas (+) meningkat,
O/ KU: jelek Ksdrn : somnolen TD : 110/70mmHg
Nafas : 50 x/mnt, Nadi : 88 x/mnt Suhu : 37.00 C
Advis : - Pasang sungkup NRM 10 L/menit
- Thoracosintesis segera jika keluarga setuju
-Kontrol intensif
20
Nafas : 50 x/mnt, Nadi : 100 x/mnt Suhu : 37.00 C
Advis : - Pasang sungkup NRM 10 L/menit teruskan
-Kontrol intensif
Jam 10.00 WIB pasien apneu, TD tak terukur, nadi tidak teraba, pasien dinyatakan
meninggal dihadapan petugas dan keluarga dan dokter
Daftar Masalah :
Efusi Pleura Maligna
Limfoma Malignum Non Hodgkin
Susp. Ca Bronchogenik
Susp. Trombosis Vena Dalam Pedis Sinistra
Bronkhopneumonia Dupleks
Gagal Nafas Tipe 2
-
-
DISKUSI
21
Diagnosis Sekunder : Susp. Ca Bronchogenik
Susp. Trombosis Vena Dalam Pedis Sinistra
Bronkhopneumonia Dupleks
Efusi pleura sinistra ditegakkan karena dari anamnesis pasien datang dengan
keluhan utama sesak nafas yang dirasakan meningkat sejak 15 hari sebelum pasien
dirawat di rumah sakit. Pasien merasa lebih suka jika tidur miring ke kiri. Dari
pemeriksaan fisik paru terlihat bahwa dada sebelah kiri tertinggal pergerakannya dan
lebih cembung dibanding dada sebelah kanan. Ditemukan bunyi pekak dan suara
nafas menghilang setinggi RIC III ke bawah. Dari Rontgen dada yang dilakukan
tampak perselubungan homogen di paru sinistra dan telah terjadi pendorongan
jantung dan mediastinum ke kanan. Pada pasien telah dilakukan sitologi cairan pleura
yang hasilnya suspek metastase Limfoma Malignum Non Hodgkin. Pada saat dirawat
di bangsal paru telah dilakukan 4 kali thorakosintesis dengan jumlah total cairan 1600
cc. Karena efusi pada pasien ini bersifat maligna sehingga penambahan cairan terjadi
cepat, terbukti setelah dilakukan thorakosintesis kembali terjadi penambahan cairan.
Untuk efusi pleura maligna seharusnya kita lakukan pemasangan WSD, namun
setelah dicoba pemasangan WSD tidak berhasil dan direncanakan untuk pemasangan
Thoraks tube, namun pada rontgen dan CT-Scan tidak tampak adanya batas yang
tegas antara tumor dan ascites sehingga pemasangan Thoraks Tube dibatalkan.
Pada pasien dari anamnesis dikatakan bahwa terdapat benjolan yang awalnya
muncul di leher kiri, kemudian muncul diketiak kiri dan lipat paha kiri. Benjolan ini
tidak nyeri sehingga tidak begitu dikeluhkan oleh pasien. Benjolan ini lebih kurang 6
bulan dirasakan oleh pasien. Juga pasien merasakan penurunan nafsu makan, keringat
malam dan penurunan berat badan sejak 1 bulan yang lalu. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan benjolan di atas teraba kenyal, mudah digerakkan dan tidak terfiksir
dengan daerah sekitarnya. Setelah dilakukan pemeriksaan Biopsi Aspirasi Jarum
Halus pada kelenjar tersebut didapatkan hasil Limfoma Malignum Non Hodgkin
condong pada tipe lymphoblastik. Dari CT- Scan Thoraks ditemukan adanya massa
yang berbatas tegas yang diduga merupakan suatu Karsinoma Bronkhogenik sinistra
yang didiagnosa banding dengan suspek metastase karsinoma ke paru. Juga terjadi
pembesaran kelenjar getah bening peribronkhial. Setelah dilakukan pemeriksaan
22
bronkoskopi didapatkan hasil displasia sedang. Sehingga tidak dapat ditegakkan
diagnosa karsinoma bronkhogenik. Diduga massa tersebut masih merupakan
bahagian dari limfoma malignum non hodgkin, karena sangat jarang terjadi seseorang
menderita keganasan yang berbeda pada satu pasien.
Diagnosis Trombosis Vena Dalam pedis sinistra pada pasien ditegakkan
setelah terlihat bahwa tungkai pasien tidak simetris, dimana tungkai kiri lebih besar
dibanding tungkai kanan yang dimulai dari bahagian paha ke bawah. Juga pada
perabaan tungkai kiri terasa lebih hangat dibandingkan tungkai kanan. Pasien juga
merasakan nyeri saat dilakukan pemeriksaan Homan Sign. Pada pemeriksaan PT
didapatkan hasil 14. 7 (10-13.6) dan aPTT 24.3 (29.2-39.4). Sedangkan pemeriksaan
d Dimer didapatkan hasil 1.7 Ug/ml. Faktor resiko untuk terjadinya DVT pada pasien
ini cukup banyak, dimana pasien dengan keganasan mempunyai resiko yang lebih
tinggi menderita DVT ditambah lagi pasien sudah lama immobilisasi. Selain itu
limfoma malignan pada pasien ini juga mempengaruhi aliran balik darah vena. Sesuai
dengan Trias Virchow faktor tersebut diatas memberikan kontribusi terhadap
terjadinya DVT. Namun pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan echo dopler
karena keluarga pasien menolak. Pada pasien ini diberikan injeksi fondaparinux 1 x 5
mg sub kutan. Menurut literatur efektifitas LMWH baik lebih baik terhadap regresi
thrombus dibandingkan UH. Pemberian UH menghasilkan regresi thrombus 40,2%
kasus, sedangkan LMWH 2x sehari 53,4% dan 53,5% untuk yang 1x sehari
Demam, adanya batuk yang produktif dan leukositosis merupakan tanda-tanda
adanya bronkhopneumonia pada pasien ini. Dari hasil kultur sebelumnya terlihat
bahwa pemberian Antibiotik Ceftriakson masih sensitif untuk kuman Staphylococcus
sp yang ditemukan saat mengambil bilasan bronkoskopi. Sehingga antibiotik pada
pasien ini dilanjutkan .
Penyebab meninggal pada pasien ini diduga adalah gagal nafas tipe 2. Dimana
dari hasil Analisa Gas Darah ditemukan kadar PO2 69 mmHg dan PCO2 56 mmHg.
Gagal nafas pada pasien ini disebabkan oleh gangguan difusi O 2 kedalam alveoli
karena terkompresi oleh cairan pleura yang masif. Pasien ini telah dikonsulkan ke
ICU untuk dilakukan pemasangan ventilator, namun mengingat usia pasien yang
sudah tua dan menderita penyakit terminal pihak ICU tidak setuju merawat pasien.
23
Direncanakan untuk dilakukan thoracosintesis pada pasien ini namun karena kondisi
pasien yang jelek keluarga menolak untuk dilakukan tindakan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Light RW. Pleural Diseases, 5th ed. Philadelphia: Lippincoot Williams & Wilkins,
2007
24
2. Halim, H., Penyakit-penyakit pleura dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II, Edisi IV. Editor Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I dkk. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta, 2007
3. Heffner JE, Klein JS. Recent Advances in the Diagnosis and Management of
Malignant Pleural Effusions. Mayo Clin Proc. 2008
4. Sumantri R., Penyakit hodgkin dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II,
Edisi IV. Editor Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I dkk. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta, 2007
5. Bakta , I. M., Hematologi klinik ringkas,Cetakan 1, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, 2007
6. Acang N. Penatalaksanaan Trombosis Vena Dalam. Dalam Naskah lengkap PIB
IPD 2010. Bag Penyakit Dalam FKUA. 2010
7. Setiabudy RD. Patofisiologi Trombosis. Dalam Hemostasis dan Trombosis. Edisi
III. FKUI. 2007
8. Wahid I. Trombositosis Esensial dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II,
Edisi IV. Editor Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I dkk. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta, 2007
9. Amin, Z., Gagal Nafas Akut dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi
IV. Editor Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I dkk. Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2007
25