Pada tahun ini, 2010, pemerintah mengenakan Bea Keluar (bk) untuk biji kakao yang diekspor sebagai bahan baku tanpa difermentasi sebesar 10% dari nilai fob. Maksud dari peraturan ini agar biji kakao difermentasi oleh industri dalam negeri agar ada pertambahan nilai dalam pendapatan nasional dalam bisnis kakao. Diperkirakan ekspor biji kakao yang tidak difermentasi, sebesar 90% dari hasil kakao Indonesia sebesar 500.000 ton pada saat ini. Selisih harga antara kakao fermentasi dan non fermentasi rata rata $ 250, bangsa ini rugi sebesar satu triliun rupiah tiap tahun karena selisih harga. Untuk memperoleh produk olahan kakao yang bermutu standar, bahan baku biji kakao harus difermentasi terlebih dahulu. Akibatnya pabrikan produsen kakao dalam negeri harus mengimpor kakao fermentasi dengan harga internasional. Saat ini ekspor biji kakao non fermentasi masih bisa dilakukan, karena biji kakao kita masih dapat difungsikan sebagai bahan pencampur dalam produksi coklat, karena disamping mengandung lemak coklat yang tinggi, juga memilik sifat yang tidak mudah meleleh. Pasar biji kakao sebagai pencampur ini, sangat terbatas dan ini, mengancam peningkatan produk kakao kita dimana depan. Ketiga alasan inilah yang mendorong pemerintah melaksanakan gerakan nasional fermentasi kakao Indonesia, dengan memberlakukan Pajak Keluar bagi kakao non fermentasi sebesar rata rata 10%, yang mulai diberlakukan tanggal 1 April 2010.
Dalam melaksanakan gerakan ini, pemerintah melakukan
pendekatan dengan meminta petani kakao memfermentasi biji kakao yang mereka hasilkan dengan bermacam macam insentif. Apa progaram ini akan berhasil? Mari kita lihat uraian dibawah ini. 2
2. Dua wilayah budaya pekerjaan
Pekerjaan memfermentsi kakao terdiri atas dua wilayah budaya
pekerjaan. Wilayah budaya pekerjaan pertama adalah wilayah menghasilkan kakao yang dilakukan petani. Wilayah budaya ini kita sebut sebagai wilayah budaya agraris. Wilayah budaya pekerjaan kedua, adalah melaksanakan fermentasi, yang masuk ke wilayah budaya industri. Wilayah budaya pekerjaan agraris dapat dikerjakan oleh petani kakao secara profesional karena kompetensi mereka ada di wilayah budaya itu. Tugas mereka memelihara kebun agar mampu menghasilkan produk buah kakao yang prima, menanggulangi penyakit tanaman, dan pemupukan Wilayah budaya pekerjaan fermentasi, harus dikerjakan oleh fabrikan fermentasi, di wilayah budaya pekerjaan industri, yang memiliki tututan kemampuan yang berbeda dengan yang mampu dipenuhi oleh petani, seperti mengelola teknologi fermentasi, mengelola manajemen produksi seperti menjaga mutu, menjaga biaya produksi dan menjaga kapasitas.
Kedua wilayah budaya pekerjaan ini tidak dapat dijalankan
sekaligus oleh satu pihak, baik oleh petani maupun oleh fabrikan fermentasi. Untuk berhasil, mutlak diadakan pembagian tugas sesuai dengan keahlian masing masing, dimana petani mengerjakan pekerjaan yang ada di wilayah budaya agraris dan fabrikan fermentasi di wilayah budaya industri.
Kegagalan pemerintah di bidang pemberdayaan petani dan nelayan
selama ini adalah karena tidak mengenali perbedaan kedua wilayah budaya ini, sehingga tidak mengadakan pemisahan dalam pelaksanaannya. 3
Pekejaan bertanam berbeda dengan pekerjaan mengelola usaha
tani, dan pekerjan menangkap ikan berbeda dengan mengelola usaha perikanan. Agar tidak mengulangi kesalahan ini pemerintah harus memberi peluang, terbentuknya lapis kedua pelaksana pemberdayaan pada usaha peningkatan nasib petani dan nelayan, yaitu dengan menciptakan lapis kedua berupa pengusaha dalam wilayah budaya industri.
3. Pembentukan lapis kedua pemberdayaan.
Lapis kedua yang memiliki budaya pekerjaan industri lebih mudah
dikembangkan dibanding dengan mengembangkan budaya pekerjaan agraris, karena sebagai budaya moderen, memiliki pendekatan moderen yang mudah dilaksanakan. Dalam dunia industri moderen, pekerjaan menghasilkan, sudah ditransfer ke alat produksi, dimana manusia tinggal mengendalikan alat produksi yang bersangkutan. Contoh yang mudah dimengerti adalah perbedaan tukang becak dan sopir mobil. Tukang becak memproduksi gerakan becak sedangkan pada mobil, gerakan diproduksi oleh mobil dan orangnya yaitu sopir tinggal mengendalikan garakan mobil tersebut. Demikian juga dengan kemampuan memfermentasi. Pekejaan memfermentasi dihasilkan oleh alat dalam hal ini pabrik dan para karyawan tinggal mengendalikan alat fermentasi tersebut.
Jadi membentuk lapisan kedua dapat dilakukan dengan
mengadakan alat produksi, yang sering kita sebut pabrik. Kelemahan bangsa ini adalah tidak mampu mengadakan pabrik, demikian juga pabrik fermentasi. 4
Ketidakmampuan membuat pabrik fermentasi inilah yang akan
menghambat pelaksanaan fermentasi kakao nasional.
4. Pembentukan pabrik fermentasi.
Semua pabrik dan alat produksi, seperti telepon seluler yang
membuat orang mampu ber sms, mesin fotokopi yang membuat orang mampu menyalin dokumen, sampai pabrik mobil yang menghasilkan mobil, secara garis besar terdiri atas tiga komponen. Komponen pertama kita sebut komponen hardware, kalau dalam telepon seluler adalah pesawat teleponnya. Kedua berupa komponen software, yaitu berupa kemampuan yang diinstal kedalam hardware berupa kemampuan mengirim sms. Ketiga berupa komponen program. Komponen ini berupa petunjuk mengoperasikan alat itu langkah demi langkah supaya dapat berfungsi seperti apa yang kita kehendaki. Dengan adanya hardware dan software pada pabrik mobil, para karyawan tinggal mengikuti instruksi yang ada dalam program, di tiap tiap bagian, dan akhirnya seluruh pekerjaan ini akan menghasilkan mobil. Dalam hal ini secara sepintas terkesan karyawan pabrik mobil dengan mudah memproduksi mobil, padahal yang memproduksi itu adalah ketiga komponen pabrik tersebut.
Dalam membentuk pabrik fermentasi dibutuhkan komponen
hardware berupa tanah dan gedung pabrik, mesin pengering, kotak fermentasi, mesin peremuk buah alat marerial handling. Seluruh alat ini sudah memiliki software yang sudah memiliki software masing masing sesuai kebutuhan, ditambah dengan rekayasa akumulasi kemampuan seluruh rangkaian agar proses fermentasi dapat dilakukan. 5
Agar karyawan dapat menjalankan seluruh sistem ini, perlu ada
standar prosedur ( SOP, standard operation procedure) bagi setiap orang yang kita sebut program.
Dalam kasus usaha fermentasi ini, cukup dibuatkan sebuah model
pabrik yang sudah teruji kinerjanya, lalu tinggal mengkopi untuk dibuka di banyak tempat yang ada kakaonya. Dengan adanya pabrik model ini, lapis kedua pemberdayaan terbentuk dengn mudah.
5. Proses fermentasi kakao.
Proses fermentasi kakao dimulai dari pembukaan buah kakao
untuk mengeluarkan biji kakao. Dakam proses ini dihindari kontak biji kakao yang basah bersinggungan dengan metal, sehingga pemecahan buah kakao dilakukan dengan mesin pemecah buah yang terbuat dari kayu, Sesudah itu diadakan pemeraman dengan menggunakan peti kayu yang bagian bawahnya dilobangi kecil kecil untuk jalan keluar lelehan daging buah yang melekat pada biji kakao. Dalam waktu 48 jam didakan pembalikan dan pada hari ketiga sudah dapat dikrluarkan dari peti pemeraman. Selanjutnya adalah proses pengeringan. Proses ini harus dilaksanakan secara hati hati dan teliti karena kekeringan kakao yang ideal adalah 7%, karena bila melewati 6% biji kakao akan mudah remuk, dan bila berada diatas 8%, biji kakao akan jamuran. Untuk memenuhi rentang kekeringan 6% sampai 8%, dibutuhkan mesin pengering yang panasnya stabil, dan kecepatan hembusan angin yang memadai. Alat pengering yang berkarakter seperti ini akan dapat mengeringkan biji kakao dalam waktu 20 sampai 25 jam. 6
Dalam usaha fermentasi dengan membeli buah dari petani, dengan
harga yang mendekati harga jika bijinya diolah, akan membahagiakan petani. Limbah kulit buah kakao yang bobotnya tiga kali bobot kakao kering, merupakan produk sampingan yang berharga karena jumlahnya yang besar. Limbah ini dapat dijadikan makanan tyernak babi, kambing dan domba. Dapat juga diproses lebih lanjut menjadi barang yang lebih tinggi nilainya.
6. Kelatakan usaha fermentasi kakao.
Harga pembelian buah kakao dari petani sebesar Rp. 18.000.-
untuk setara satu kilogram kakao kering, ditambah biaya proses di pabrik sebesar Rp. 2.500,-/kg dan biaya angkutan dan pengemasan Rp. 1000.-/kg, maka harga di gudang pembeli di Jakarta manjadi Rp. 21.500.-. Dengan harga jual Rp. 26.000.- /kg maka margin kotor menjadi Rp. 4.500,- /kg.