Industri perkebunan tebu bersifat kolonial yang cenderung mengeksploitasi tanah dan
tenaga kerja. Industri perkebunan tebu juga digambarkan sebagai struktur hierarki dan
represif yang sengaja di disciptakan oleh penguasa perkebunan. Tujuan diciptakan sistem
hierarki itu jelas untuk melindungi kepentingan kaum pemilik modal dan melanggengkan
mekanisme eksploitasi untuk menekan biaya produksi semurah mungkin. Tanah sebagai
penerapan teknologi dan tenaga kerja pribumi sebagai pelaksana dari teknologi produksi
pada industri gula. Namun, selama abad ke-19, pembudidayaan tebu tidak berjalan
lancar. Baru menjelang akhir abad tersebut, industri gula berkembang kembali. Hal ini
berlangsung terus selama dekade-dekade awal abad ke-20, ketika kemerosotan pasar
tahun 1930-an menjadi pukulan berat bagi industri gula. Sedangkan, pada masa
pendudukan Jepang Industri Gula tidak beroprerasi.
Situasi pasca kemerdekaan telah mengubah peta hierarki sosial maupun hierarki kerja
yang telah ada sejak zaman kolonial. Mobilitas vertikal berhasil ditembus tanpa adanya
batas-batas kedudukan dan lapisan sosial. Banyak anak-anak petani dan borjuis kecil
berhasil memperoleh pendidikan dan menduduki jabatan dalam pemerintahan atau
bergerak di bidang swasta.
Mekanisasi ada industri gula terutama dengan penggunaan teknologi produksi gula,
menjadikan pengerahan tenaga kerja tidak lagi menjadi masalah. Masalah yang dihadapi
pada masa kolonial Beland adalah membangun hubungan antara pabrik gula dengan
masyarakat sekitar pabrik untuk usaha simbiosis mutualisme, terutama dalam masa
penanaman tebu dan waktu penggilingan.
Teknologi gula yang ada adalah warisan dari masa kolonial. Mulai dari sistem
penanaman hingga mekanisasi di pabrik adalah warisan pada masa kolonial. Namun, PG
Madukismo bukanlah pabrik yang dahulu dibangun oleh Belanda melainkan dibangun
sesudah masa kolonial. Pembangun pabrik tentu saja menimbulkan pertanyaan pada
penulis bahwa pembanguan pabrik akan meneruskan cara-cara kolonial atau membangun
sebuah sistem baru dalam teknologi produksi gula yang dikelola oleh anak negeri.
Kebanyakan studi mengenai teknologi gula dan tenaga kerja memang masih berlatar
skala zaman kolonial teruma pada masa akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dari
sinilah, muncul ide untuk mengangkat teknolgi dan tenaga kerja pabrik gula pada masa
kemerdekaan. Dalam hal ini, ruang yang akan dijadikan objek penelitian adalah Pabrik
Gula Madukismo dengan tahun 1948 sebagai pijakan awal penelitian. Dimana saat itu
pemerintahan Republik Indonesia memasuki zaman untuk mempertahankan
kemerdekaannya dan membangun siistem ekonomi yang berbasis pada rakyat. Terutama,
penggunaan teknologi dan tenaga kerja ketika pada masa kemerdekaan yang diasumsikan
sebagai ”masa kebebasan”.
Asumsi dasar tahun 1967 dijadikan akhir temporal penelitian ini karena pada tahun itu
volume produksi dan hasil gula putih di Jawa pada medio lima-puluhan mengalami
penurunan dalam nilai ekspor gula, tahun 1964 nilai ekspor gula tinggal 0,3% dan tahun
1966 nilai ekspor gula Indonesia telah berhenti. Titik puncaknya terjadi pada tahuan
1967, Indonesia mulai benar-benar mengimpor gula.