• Muhammad Rahmat Kurnia, Ketua Lajnah Fa’aliyah DPP HTISiapa sebenarnya di balik para penggugat UU
Penistaan Agama?
• Dalam berkas permohonan uji materil kepada Mahkamah Konstitusi jelas tertera bahwa para penggugat UU tersebut
adalah IMPARSIAL (Rachland Nashidik), ELSAM (Asmara Nababan), PBHI (Syamsudin Radjab), DEMOS (Anton
Pradjasto), Perkumpulan Masyarakat Setara (Hendardi), Desantara Foundation (M. Nur Khoiron), dan YLBHI (Patra M
Zen).
• Selain itu, ada juga perorangan yaitu Abdurrahman Wahid (alm.), Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, dan Maman Imanul
Haq. Mereka memberikan kuasa kepada pihak yang menamakan diri Tim Advokasi Kebebasan Beragama yang
dikomandani Asfinawati.
• Kita tahu kelompok tersebut selama ini adalah para penyeru sepilis (sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme).
Merekalah yang selama ini berteriak membela aliran sesat dan sangat keras menentang penerapan Islam.
• Mereka membela homoseksual/lesbianisme berkembang. Kita masih ingat, mereka adalah gembong Aliansi
Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang sangat sengit membela aliran sesat
Ahmadiyah.
• Apa bahayanya bila MK mengabulkan permohonan mereka?
• Sangat berbahaya. Pertama, aliran sesat akan bermunculan laksana jamur di musim hujan. Mereka akan merasa
bebas dengan dalih HAM. Mereka bersembunyi di balik membela “kebebasan beragama”, padahal sebenarnya
membela “kebebasan menghancurkan agama (Islam)”.
• Kedua, penghancuran Islam akan terjadi secara terang-terangan dan massif. Sekarang saja kartun penghina Nabi,
tuduhan bahwa Islam melecehkan perempuan, Alquran kitab kekerasan, Alquran kitab paling porno, harus ada
amandemen terhadap Alquran, cerita kutukan terhadap homoseks kaum Nabi Luth dalam Alquran adalah cerita
bohong, penulisan Alquran banyak fiktif, dll terjadi di Indonesia. Bila MK mengabulkan tuntutan kelompok Sepilis A+ ini
maka akan terjadi penodaan terhadap Islam secara bebas tanpa konsekuensi hukum.
• Ketiga, bila ini terjadi maka akan terjadi kekisruhan dan konflik di tengah masyarakat. Stabilitas akan terkoyak. Umat
Islam akan disibukkan dengan persoalan ini. Sementara, penghancuran akidah dan akhlak terus berlangsung dengan
mulus.Yang untung adalah pihak asing penjajah dan antek-anteknya yang memang sejak awal memusuhi Islam dan
kaum Muslim serta tidak menginginkan Indonesia aman.
• Jadi memang Sepilis A+ itu musuh Islam dan umatnya!
• Bagaimana agar Indonesia aman dari penghancuran akidah dan ahlak?
• Ya terapkan sistem Islam. Karena Islam sangat memperhatikan penjagaan agama, baik akidah maupun syariah. Salah
satu dari maqashidusy syariah (tujuan penerapan syariah) adalah hifzhu ad-din (menjaga agama). Caranya, melibatkan
tiga pihak secara simultan.
• Pertama, individu. Setiap individu menjaga agamanya dengan terus mengkaji Islam dan menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari.
• Kedua, kelompok. Tiap kelompok turut menjaga agama masyarakat. Misalnya, setiap keluarga melakukan pendidikan
agama dalam keluarganya, sekolah menerapkan Islam di lingkungannya, para pemilik stasiun TV tidak menayangkan
tayangan yang merusak akidah dan syariah. Selain itu, kelompok, organisasi, lembaga, dll tidak segan-segan
melakukan amar-ma’ruf nahi munkar.
• Ketiga, negara. Negara menjaga akidah umat dengan melarang paham yang menghancurkan Islam seperti
sekulerisme, pluralisme, liberalisme, atheisme; serta menerapkan dan menegakkan syariah Islam.[]
Bantahan Hizbut Tahrir Indonesia
Terhadap Permohonan Pengujian Materiil Undang-undang nomor
1/PNPS/1965 Tentang Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan
Agama oleh Tim Advokasi Kebebasan Beragama
1. Dalam materi gugatannya penggugat mengatakan (38a, hal. 19): Seperti dalam Islam, misalnya yang
mengenal banyak aliran keagamaan: Sunni, Syi’ah, Mu’tazilah, Khawarij, dan seterusnya. Dalam satu aliran
dikenal pula beragam mazhab. Setidaknya ada empat mazhab fikih dalam aliran Sunni: Hanafi, Maliki, Syafi’i,
dan Hanbali. Pada level teologi, Sunni bahkan terbagi pula dalam aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah. Begitu
juga, penggugat menyatakan (154, hal. 53): Bahwa keniscayaan tidak tunggalnya pemahaman agama
menimbulkan problematika tentang siapa otoritas yang dipakai untuk menafsirkan bahwa suatu agama telah
dimusuhi, disalahgunakan, atau dinodai. Penggugat juga menegaskan (169, hal. 60): Bahwa seyogyanya
dalam menyikapi perbedaan keyakinan dan/atau agama negara tetap berada di tengah dengan tidak
berpihak pada salah satu ajaran/aliran/tafsir.
• Realitas beragamnya kelompok dan madzhab di tengah kehidupan umat Islam ini dijadikan sebagai dasar
argumentasi bahwa pokok-pokok ajaran tidak memiliki ketentuan yang baku. Padahal kenyataannya tidak
demikian.
• Memang benar, bahwa di tengah kehidupan umat Islam terdapat banyak madzhab seperti yang disebutkan
oleh penggugat. Namun banyaknya madzhab dan kelompok di dalam Islam tidak membuat Islam itu
kehilangan alat ukur untuk menilai apakah sebuah madzahab atau kelompok masih berada dalam koridor
Islam atau sudah keluar darinya. Alat ukur itu tidak lain adalah al-Quran dan al-Sunnah. Sebab, keduanya
merupakan sumber utama ajaran Islam, baik dalam perkara akidah –yang menjadi perkara pokok atau ushûl--
maupun syariah –yang disebut sebagai perkara cabang atau furû’.
• Jika dikatakan, bukankah semua kelompok dan madzhab berhak untuk mengklaim bahwa pendapatnya
diambil dari al-Quran dan al-Sunnah, mengapa masih terjadi perbedaan? Bukankah itu menunjukkan bahwa
panafsiran terhadap keduanya bersifat relatif sehingga tidak bisa menafikan satu sama lain?
• Kalau ada yang berpendapat demikian, itu menunjukkan bahwa dia tidak mengetahui -atau pura-pura tidak
tahu-- fakta al-Quran dan al-Sunnah. Sebagai sebuah kalam (perkataan) –kaum liberal sering menyebutnya
sebagai ‘teks’--, al-Quran dan al-Sunnah memang berpotensi menimbulkan beragam penafsiran. Akan tetapi
tidak semua ayat al-Quran dan Hadits Nabi saw bersifat demikian. Sebab, dalâlah (penunjukan makna) dalam
kedua sumber itu ada yang bersifat qath’iy (tegas dan jelas) sehingga tidak memungkinkan penafsiran lebih
dari satu makna; dan ada yang bersifat zhanniy (samar dan berisi dugaan), yang membuka peluang
terjadinya perbedaan. Realitas inilah yang dinyatakan oleh al-Qur'an surat Ali Imran [3]: 7, bahwa ayat al-
Quran terbagi menjadi dua, yakni: ayat muhkamât dan ayat mutasyâbihât.
• Penggugat memaknai kebebasan beragama (45, hal.
27): Bahwa kebebasan ‘memeluk’ suatu agama atau
keyakinan meliputi pula kebebasan memilih agama
atau keyakinan, termasuk hak untuk berganti agama
atau keyakinan dengan agama lainnya atau memeluk
pandangan atheistik ….
• Pemaknaan seperti ini jelas tidak sesuai dengan asas
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari sini jelas, bahwa
yang dikehendaki oleh penggugat adalah kebebasan
apapun, kemunculan aliran atau agama baru apapun,
termasuk kebebasan menjadi atheis. Ini adalah usulan
yang akan menghancurkan sendi-sendiri Negara.
Karenanya pandangan seperti ini harus ditolak dan
batal.
• Dalam materi gugatannya penggugat mengatakan (38a, hal.19): Perbedaan pemikiran keagaaman dalam
Islam tidak hanya menyangkut doktrin pinggiran (furu’iyyah), melainkan juga masalah yang lebih fundamental
(ushuli). Perdebatan antara Sunni dan Mu’tazilah bahkan mengenai hubungan antara zat Allah dan sifatnya.
Mu’tazilah mengatakan bahwa al-Quran itu makhluk, oleh karenanya tidak kekal. Sementara Sunni
menganggapnya kekal dan melekat pada diri Allah.” Begitu juga, dalam materi gugatannya penggugat
menyatakan (144, hal. 51): Ahmad Bin Hambal (Tahun 241H/855), dipenjara dan disiksa karena rezim saat itu
mengambil aliran Mu’tazilah sebagai aliran keagamaan resmi Negara, hal mana Ahmad bin Hambal dianggap
menyimpang dari doktrin Mu’tazilah. Setelah Negara mengganti aliran keagamaan resmi, maka saat itu pula
Ahmad Bin Hambal dipulihkan dari status penyimpangannya, bahkan diakui sebagai ulama besar .
• Dalam khazanah tsaqâfah Islam memang dikenal istilah ushûl dan istilah furû’. Istilah ushûl al-dîn merujuk
kepada perkara akidah, sementara istilah furû merujuk kepada perkara syariah. Telah diungkap di muka,
bahwa dalam perkara ushûl al-dîn umat Islam tidak diperbolehkan berbeda. Terhadap perkara ushûl, manusia
diwajibkan meyakininya. Siapa pun yang mengingkarinya meyebabkan seseorang jatuh pada kekufuran.
• Akan tetapi, di dalam perkara pokok itu sendiri terdapat perkara-perkara yang menjadi cabangnya ( far’[un] min
amri ushûliy). Tentu ada perbedaan di antara keduanya. Jika perkara pokok tidak boleh terjadi perbedaan,
sementara dalam perkara cabang dari perkara yang mendasar itu masih memungkinkan terjadi perbedaan.
Dalam perkara ushûl, dalil yang digunakan sebagai dasarnya harus bersifat yang qath’iy, baik tsubût
(ketetapannya sebagai dalil) maupun dalâlah (penunjukan maknanya)-nya. Sementara dalam far’[un] min amri
ushûliy memungkinkan terjadinya perbedaan karena tidak harus dibangun dari dalil yang qath’iy. Perbedaan
dalam perkara inilah yang kemudian melahirkan berbagai madzâhib i’tiqâdiyyah (madzhab akidah), seperti
Ahlussunnah, Muktazilah dan Jabariyah.
• Sebagai contoh, Iman kepada adanya malaikat-malaikat Allah Swt merupakan perkara ushûl. Keimanan ini
didasarkan pada dalil yang qath’iy, baik tsubût maupun dalâlah-nya. Sedangkan perkara nama-nama malaikat
beserta tugasnya merupakan pembahasan cabang. Apabila perkara itu didasarkan kepada dalil yang qath’iy,
maka wajib dimani. Seperti mengimani kebaradaan malaikat Jibril dan Mikail. Maka siapa pun yang
mengingkari keberadaannya, telah menyimpang dan keluar dari Islam. Namun jika keberadaannya didasarkan
pada dalil yang bersifat dzanni, baik tsubût maupun dalâlah-nya, maka pengingkaran terhadapnya tidak
mengakibatkan kekufuran. Misalnya, keberadaan malaikat Munkar dan Nakir. Karena dalil mengenainya tidak
sampai qath’iy, maka kalau ada yang mengingkarinya tidak sampai mengeluarkannya dari Islam.
• Dalam materi gugatannya penggugat mengatakan bahwa rumusan pokok ajaran agama berbeda pada tiap kelompok. Untuk melegalisasinya dinyatakan (38a, hal.19):
Misalnya apa yang didefinisikan sebagai ajaran pokok Islam oleh Ahmad bin Naqib al-Misri berbeda dengan yang didefinisikan oleh Abu Bakar al-Jazairi, Ali al-Tamimi, dan
Abd al-‘Aziz bin Abu Allah bin Baz. (lihat Abdullah Saeed hal. 44-47). Jika al-Misri mengatakan bahwa ada 9 pokok Islam yang dihukum berat adalah jika: (1) merendahkan di
depan sebuah berhala atau objek, seperti matahari dan bulan; (2) mengeluarkan kata-kata yang berarti ketidakpercayaan, seperti “saya adalah Allah” atau Allah itu tiga”; (3)
menyangkal keberadan Allah, keabadian-Nya tanpa awal dan akhir, atau untuk menyangkal segala karakteristik di mana ada konsesus seluruh Muslim terhadap-Nya; (4}
Menghina Allah dan rasul-Nya; (5) Bersikap sinis pada nama Allah, perintahNya, laranganNya, janjiNya, atau ancamanNya; (6) menyangkal ayat al-Quran atau pun yang
disepakati oleh intelektual menjadi bagiannya, atau menambah ayat yang awalnya tidak ada di dalamnya; (7) meyakini bahwa pembawa pesan Allah atau Nabi adalah
pembohong atau menyangkal mereka dikirim; (8) menyangkal kewajiban yang sudah dikonsesuskan oleh Muslim seperti shalat, bahkan rakaah dari 1 dari 5 kali shalat wajib;
(9) menyangkal keberadaan malaikat atau jin atau surga.
• Sementara itu al-Jazairi mengatakan bahwa ada 5 hal pokok yang dihukum berat: (1) Menghina Allah atau Nabi atau Malaikat; (2) menyangkal untuk mengakui bahwa
Allah adalah Tuhan yang sebenarnya atau kenabian Nabi atau memegang keyakinan bahwa ada Nabi setelah Nabi Muhammad; (3) menolak kewajiban Islam (faridah) di mana
ada kesepakatan umum seperti shalat, zakat puasa, naik haji, berlaku baik pada orang tua, atau jihad; (4} yakin bahwa tindakan pelanggaran hukum seperti adultery, minum
alcohol, pencurian pembunuhan, atau praktek black magic adalah legal; (5) menolak bab, ayat atau surat dari al-Quran.
• Kedua definisi di atas dijadikan contoh oleh penggugat untuk memperkuat argumentasinya bahwa perkara pokok dalam Islam itu berbeda-beda. Padahal, jika dicermati kedua
definisi yang diberikan para ulama itu tidak berbeda, apalagi saling bertentangan. Kalaupun tampak ada perbedaan, itu hanyalah terletak pada redaksional bahasa, bukan
substansial.
• Poin 1 yang disebutkan al-Jazairi: (1) Menghina Allah atau Nabi atau Malaikat, tidak berbeda dengan poin 4 dan 5 yang disebutkan al-Misri: (4) Menghina Allah dan rasul-Nya;
(5) Bersikap sinis pada nama Allah, perintah-Nya, larangan-Nya, janjiNya, atau ancaman-Nya.
• Perkara pokok yang dijelaskan oleh keduanya sesungguhnya adalah sama, yakni melakukan penghinaan atau pelecehan teradap perkara yang disucikan dan wajib diimani.
• Demikian juga dengan poin 2 yang didefinisikan al-Jazairi: Menyangkal untuk mengakui bahwa Allah adalah Tuhan yang sebenarnya atau kenabian Nabi atau memegang
keyakinan bahwa ada Nabi setelah Nabi Muhammad; sejalan dengan poin 2, 3, dan 7 yang disebutkan al-Misri: (2) mengeluarkan kata-kata yang berarti ketidakpercayaan,
seperti “saya adalah Allah” atau Allah itu tiga”; (3) menyangkal keberadan Allah, keabadian-Nya tanpa awal dan akhir, atau untuk menyangkal segala karakteristik di mana ada
konsesus seluruh Muslim terhadap-Nya; (7) meyakini bahwa pembawa pesan Allah atau Nabi adalah pembohong atau menyangkal mereka dikirim.
• Perkara pokok yang dijelaskan oleh keduanya sesungguhnya juga sama, yakni penolakan dan pengingkaran terhadap keimanan kepada Allah Swt dan rasul-Nya. Keimanan
Allah Swt di sini mencakup semua sifat-Nya yang didasarkan pada dalil yang qath’iy, semisal tentang keesaan dan keabadian Allah Swt. Demikian juga keimanan kepada
Nabi-nabi Allah Swt. Keimanan terhadap mereka membawa konsekuensi bahwa mereka terjaga dari kesalahan, termasuk dari perbuatan bohong. Tercakup di dalamnya
adalah keimanan kepada Nabi Muhammad saw sebagai seorang Nabi dan Rasul sekaligus sebagai penutupnya. Ini adalah perkara pokok yang wajib diimani. Maka
pengingkaran terhadapnya menyebabkan pelakunya terjatuh dalam kekufuran.
• Poin 4 yang disebutkan al-Jazairi: Yakin bahwa tindakan pelanggaran hukum seperti adultery, minum alcohol, pencurian pembunuhan, atau praktek black magic adalah legal;
sama dengan poin 8 yang didefinisikan al-Misri: Menyangkal kewajiban yang sudah dikonsesuskan oleh Muslim seperti shalat, bahkan rakaat dari 1 dari 5 kali shalat wajib.
• Perkara pokok yang dikemukakan keduanya sesungguhnya menunjuk kepada perkara yang sama, yakni mengingkari perkara hukum yang telah disepakati oleh kaum Muslim.
Haramnya alkohol, pencurian, black magic atau sihir adalah perbuatan haram yang didasarkan pada dalil-dalil qath’i, baik tsubût maupun dalâlah-nya. Demikian pula dengan
wajibnya shalat 5 waktu merupakan perkara yang qath’iy. Tidak ada perbedaan di kalangan kaum Muslim tentang wajibnya. Maka apabila ada orang yang menyelisihinya,
sudah pasti dia keluar dari Islam.
• Poin 5 yang disampaikan oleh al-Jazairi: Menolak bab, ayat atau surat dari al-Quran; sama dengan poin 6 yang disampaikan oleh al-Misri: menyangkal ayat al-Quran atau pun
yang disepakati oleh intelektual menjadi bagiannya, atau menambah ayat yang awalnya tidak ada di dalamnya.
• Kedua penjelasan ini menunjuk kepada satu tindakan yang sama, yakni mengingkari al-Quran dan kemurniannya, baik seluruhnya maupun sebagian. Termasuk dalam perkara
pokok keimanan adalah keimanan akan kebenaran seluruh isi al-Quran; tidak ada penambahan, pengurangan, atau perubahan. Maka siapa pun yang mengingkarinya, maka
telah mengeluarkannya dari Islam.
• Sesungguhnya, kedua penjelasan ulama mengenai perkara pokok yang wajib dihukum berat itu dapat ditarik benang merah. Bahwa setiap pengingkaran terhadap perkara
yang dibangun atas dalil yang qath’iy (tusbût dan dalâlah), baik dalam perkara ushûl maupun perkara furu’ dapat mengeluarkan seseorang dari keimanan atau murtad.
Demikian juga penghinaan dan pelecehan terhadap perkara yang disucikan (umûr muqaddasah) dalam Islam. Sementara murtad dalam pandangan Islam terkatagori sebagai
perbuatan kriminal yang hukumannya sangat berat, yakni hukuman mati.
• Jelaslah bahwa definisi perkara pokok yang dijelaskan oleh kedua ulama itu tidak berbeda sebagaimana anggapan penggugat. Kalaupun tampak ada perbedaan, itu hanya
menyangkut redaksional bahasanya. Oleh karena itu, dengan sendirinya hal ini tidak bisa digunakan sebagai dasar argumentasi penggugat.
• Dalam materi gugatannya mengatakan (38b dan c, hal.21, 22): “Bahwa apa yang disebut penyimpangan
tafsir sesungguhnya adalah perbedaan tafsir antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, maka
kegiatan yang dianggap menyimpang oleh satu kelompok belum tentu dianggap menyimpang oleh kelompok
lainnya.”
• Pernyataan penggugat ini jelas berusaha merancukan antara perbedaan (ikhtilâf) dengan penyimpangan
(inhirâf). Padahal, dalam Islam keduanya menunjukan fakta yaang berbeda. Jika ikhtilâf masih diperbolehkan,
sementara inhirâf jelas dilarang, bahkan inhirâf bisa menyebabkan pelakunya terjerumus dalam kekufuran.
Karena itu, kerancuan terhadap keduanya bisa berakibat sangat fatal. Sebagai contoh, perbedaan antara NU
dan Muhammadiyah tentang qunut dan tidak qunut dalam shalat Subuh adalah masalah ikhtilâf. Ini berbeda
dengan perbedaan antara Ahmadiyah, yang menyatakan ada Nabi setelah Nabi Muhammad, dengan
kelompok Islam yang menyatakan tidak ada lagi Nabi setelah Nabi Muhammad. Pandangan Ahmadiyah ini
disebut inhirâf (penyimpangan), bukan ikhtilâf.
• Sebagaimana telah diungkap di depan, dalâlah (penunjukan makna) dalam al-Quran dan Hadits Nabi saw
ada dua macam, yakni: qath’iy dan zhanniy. Firman Allah Swt:
َ َ ْ يض ًة َفن ُّ ﴾وإِنْ َطلَّ ْق ُت ُموهُنَّ مِنْ َق ْب ِل أَنْ َت َم
• ِ ض ُت ْم إِالَّ أنْ َي ْع ُفونَ أ ْو َي ْعفُ َو ا َّلذِي ِب َي ِد ِه ُع ْق َد ُة ال ِّن َك
﴿اح ْ ف َما َف َر
ُ ِص َ ض ُت ْم َل ُهنَّ َف ِر
ْ سوهُنَّ َو َقدْ َف َر َ
• Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu
sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika
istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah (QS al-Baqarah [2]:
237).
• Kata al-ladzî bi yadihi uqdat al-nikâh dalam ayat ini memang dapat menimbulkan penafsiran ganda, yakni
suami atau wali perempuan. Sebab, merekalah yang melakukan akad. Jika ditafsirkan ‘suami’, maka yang
dimaksud dengan pemberian maaf suami adalah dengan memberikan mahar sebesar jumlah yang
ditetapkan. Namun jika ditafsirkan ‘wali perempuan’, maka maksudnya adalah membebaskan suami dari
kewajiban membayar mahar.
• Dalam materi gugatannya penggugat mengatakan (38c, hal.22): Sebagai ilustrasi,
dalam penafsiran dan keyakinan orang NU, ziarah kubur dan tahlil adalah bagian
dari ibadah (kegiatan keagamaan). Bagi orang Muhammadiyyah atau Wahabi,
ziarah adalah bid’ah yang menimbulkan syirik. Syirik adalah dosa yang tidak
diampuni oleh Allah Swt. Karena itu, dalam penafsiran orang Muhammadiyyah,
orang NU telah melakukan penafsiran dan kegiatan yang menyimpang. Apabila
rumusan hukum positif membutuhkan penjatuhan pilihan pada pebafsiran tertentu,
penafsiran Muhammadiyyah misalnya, maka akan ada puluhan juta warga NU
yang dikriminalisasi karena melakukan kegiatan keagamaan yang menyimpang.”
• Argumentasi pengugat ini jelas salah dan tidak dapat diterima. Pertama, klaim
bahwa ziarah kubur menurut orang Muhammadiyah dan Wahabi adalah bid’ah
menimbulkan syirik, sementara syirik adalah dosa yang tidak diampuni oleh Allah
Swt merupakan kesimpulan gegabah.
• Ziarah kubur merupakan perbuatan yang memiliki landasan dalil syar’i. Meskipun
Hadits yang dijadikan dalil bersifat zhanniy, tetapi dari segi penunjukkannya jelas.
Rasulullah saw bersabda:
• ور َف ُزو ُروهَا
ِ ار ِة ا ْل ُق ُب
َ َن َه ْي ُت ُك ْم َعنْ ِز َي
• Sebelumnya aku pernah melarang kalian berziarah kubu, maka (sekarang)
berziarahlah (HR Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i dari Abu
Buraidah, Ibnu Majah dari Ibnu Mas’ud, dan Ahmad dari Abu Said al-Khudri).
• Dalam materi gugatannya penggugat mengatakan (38b, hal.21): Islam pasti adalah
penyimpangan nyata dari agama Kristen yang menganggap Yesus sebagai Tuhan,
sementara Islam hanya menganggap Yesus sebagai Nabi. Jika dirujuk ke dalam sejarah,
maka semua agama sebetulnya muncul sebagai bentuk penyimpangan terhadap doktrin-
doktrin agama tradisional sebelumnya.
• Ini jelas merupakan kesimpulan yang gegabah dan mengada-ada. Bahwa akidah Islam
bertentangan dengan agama Nasrani atau Yahudi adalah fakta yang tidak bisa disangkal.
Akan tetapi adanya kontradiksi itu tidak bisa disebut bahwa Islam merupakan sempalan dari
agama Nasrani dan Yahudi. Sebab, sesuatu bisa disebut sebagai sempalan dari yang lain jika
keduanya berasal dari pangkal (agama) yang sama. Dan ini tidak terjadi pada Islam.
• Sejak awal, Islam dideklarasi sebagai agama sendiri yang berbeda dengan agama-agama
lainnya. Dalam kehidupannya, Rasulullah saw sama sekali tidak pernah menjadi pemeluk
dua agama tersebut. Beliau juga tidak pernah menjadikan kitab kedua agama itu untuk
menjustifikasi ajarannya, ataupun beliau menafsirkannya secara menyimpang. Bahkan,
mereka sedang menunggu Nabi baru tersebut (Muhammad) sebagaimana tertera dalam kitab
mereka. Jika demikian, dari mana bisa dikatakan Islam merupakan penyimpangan nyata dari
agama Kristen seperti yang dikemukakan penggugat? Bukankah ungkapan tersebut justru
hanya akan menimbulkan perpecahan dan permusuhan antarumat beragama?
• Ini tentu berbeda halnya dengan Mirza Ghulam Ahmad. Dia mengaku beragama Islam,
namun ajaran yang disampaikannya nyata-nyata bertentangan dengan Islam. Dalam Islam,
Nabi Muhammad saw adalah Nabi dan Rasul terakhir. Tidak ada Nabi dan Rasul sesudah
beliau. Maka, siapa pun dan kelompok mana pun yang mengakui ada nabi lagi, seperti yang
dilakukan oleh Mirza Ghulan Ahmad, telah menyimpang dan keluar dari Islam. Begitu juga
dengan Lia Eden, Ahmad Mosadeq, dkk seperti yang dipersoalkan penggugat, memang
nyata-nyata bisa dianggap telah melakukan penyimpangan dari Islam.
• Dalam materi gugatannya penggugat mengatakan (143, hal. 51): Contoh:
Pada Tahun 763 Masehi Imam Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi,
serta seluruh pengikutnya telah dituduh kafir dan murtad. Beliau
ditangkap dan dipenjara, disiksa dan diracun hingga meninggal dunia di
penjara. Meskipun demikian, ajaran dan pengikut Mazhab Hanafi, sampai
saat ini tetap hidup dan malah semakin berkembang.”
• Sejarah yang diajukan contoh oleh penggugat bertentangan dengan
sejarah yang benar. Tidak ada satu pun buku sejarah yang menceritakan
bahwa Abu Hanifah serta seluruh pengikutnya dituduh kafir dan murtad.
Memang benar beliau pernah dipenjara oleh khalifah saat itu, akan tetapi
bukan lantaran dia dituduh kafir. Abu Hanifah dipenjara karena menolak
tawaran khalifah Abu Ja’far al-Manshur sebagai qadhi.
• Bisa diduga, pembelokan fakta itu hanya digunakan untuk membenarkan
gugatannya. Karena itu, argumentasi itu harus ditolak.
• Secara umum, penggunaan alasan sebagian dalil dalam Islam, realitas
umat Islam dan sejarahnya adalah tidak relevan, tidak sesuai dengan
fakta, digunakan tidak pada konteksnya, dan mengandung unsur
provokasi. Karena itu, semua argumentasi penggugat harus ditolak.
• Secara umum, Tuntutan penggugat adalah UU no. 1/PNPS/1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dinyatakan tidak
memiliki kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya.
Dengan kata lain, mereka menghendaki UU tersebut tidak berlaku.
• Artinya, mereka menginginkan bebas melakukan penafsiran seenak perutnya
terhadap ajaran agama (khususnya Islam) dan penyimpangan terhadap ajaran
pokok agama (pasal 1), penyimpangan tersebut tidak dianggap melanggar hukum
(pasal 2 dan 3). Selain itu, mereka ingin bebas melakukan permusuhan,
penyalahgunaan atau penodaan terhadap agama, juga bebas melakukan hal
tersebut supaya orang tidak menganut agama apapun juga (Pasal 4).
• Intinya, penggugat menginginkan bebasnya bermunculan aliran sesat dan
penistaan/penodaan terhadap ajaran agama (Islam). Hal ini menunjukkan bahwa
mereka mendewakan HAM dan demokrasi. Mereka telah menjadikan HAM dan
demokrasi sebagai agama baru. Semakin banyak aliran sesat muncul maka akan
semakin kokoh agama HAM dan demokrasi tersebut. Ini jelas sikap permusuhan
terhadap agama-agama. Karenanya, tidak mengherankan bila penggugat secara
halus menggiring kepada atheisme.
• Dalam butir 45 dasar mereka menggugat disebutkan: “Bahwa kebebasan ‘memeluk’ suatu agama atau keyakinan
meliputi pula kebebasan memilih agama atau keyakinan, termasuk hak untuk berganti agama atau keyakinan
dengan agama lainnya atau memeluk pandangan atheistik ….” Karenanya, kalau dulu gerakan ini adalah
kelompok sepilis (Sekulerisme, Pluralisme, dan Liberalisme), kini berkembang menjadi kelompok Sepilis A+,
yakni sekulerisme, pluralisme, liberalisme, atheisme, plus pengokohan penjajahan.
• Berdasarkan hal tersebut maka MK sudah seyogyanya menolak permohonan penggugat. Sebab, bila tidak,
dampaknya akan sangat berbahaya:
• Pertama, aliran sesat akan bermunculan laksana jamur di musim hujan. Mereka akan merasa bebas dengan
dalih HAM.
• Kedua, penghancuran Islam akan terjadi secara terang-terangan dan massif. Sekarang saja kartun penghina
Nabi, tuduhan bahwa Islam melecehkan perempuan, al-Quran kitab kekerasan, al-Quran kitab paling porno,
harus ada amandemen terhadap al-Quran, cerita kutukan terhadap homoseks kaum Nabi Luth dalam al-Quran
adalah cerita bohong, penulisan al-Quran banyak fiktif, dll terjadi di Indonesia. Bila MK mengabulkan tuntutan
kelompok Sepilis A+ ini maka akan terjadi penodaan terhadap Islam secara bebas tanpa konsekuensi hukum.
Hari ini MK mengabulkannya, besok berbagai penghinaan dan penyerangan terhadap Islam akan bertebaran.
• Ketiga, bila ini terjadi maka akan terjadi kekisruhan dan konflik di tengah masyarakat. Stabilitas akan terkoyak.
Umat Islam akan disibukkan dengan persoalan ini. Sementara, penghancuran akidah dan akhlak terus
berlangsung dengan mulus. Yang untung adalah pihak asing penjajah dan antek-anteknya yang memang sejak
awal memusuhi Islam dan kaum Muslim serta tidak menginginkan Indonesia aman.
• Akhirnya kami mengingatkan para hakim MK, bahwa apa yang Anda putuskan akan dimintai
pertanggungjawaban oleh Allah SWT satu per satu:
• ﴿ضل َّ َع ْن ُك ْم ُ ش َف َعا َء ُك ُم الَّذِينَ َز َع ْم ُت ْم أَ َّن ُه ْم فِي ُك ْم
َ ش َر َكا ُء لَ َقدْ َت َق َّط َع َب ْي َن ُك ْم َو ِ َولَ َقدْ ِج ْئ ُت ُمو َنا ُف َرادَ ى َك َما َخلَ ْق َنا ُك ْم أَ َّول َ َم َّر ٍة َو َت َر ْك ُت ْم َما َخ َّو ْل َنا ُك ْم َو َرا َء ُظ ُه
ُ ور ُك ْم َو َما َن َرى َم َع ُك ْم
َ﴾ َما ُك ْن ُت ْم َت ْز ُع ُمون
• "Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya,
dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami kurniakan kepadamu; dan Kami tiada melihat
besertamu pemberi syafa`at yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu.
Sungguh telah terputuslah (pertalian) antara kamu dan telah lenyap daripada kamu apa yang dahulu kamu
anggap (sebagai sekutu Allah)." (QS al-An'am [6]: 94)
FOTO: Aksi Damai Menolak Gugatan Terhadap
UU No. 1/1965 Tentang Penistaan Agama
Akal Sehat tidak Bisa Terima
Argumen Pemohon
• Bagaimana akal sehat yang wajar bisa menerima legal
standing YLBHI yang menyatakan bahwa a quo
berpotensi merugikan pihaknya. “UU tersebut sudah
berlaku 45 tahun, lain cerita kalau baru diterbitkan!”. ujar
Advokad Lutfie Hakim, perwakilan dari MUI.
• Tidak ada kekacauan akibat diterapkannya a quo
tersebut. Kekacauan itu adanya dalam benak pemohon
saja. a quo tidak melarang orang untuk menafsirkan
agamanya tetapi hanya melarang orang menyebarkan
pemahaman yang menyimpang dari agama resmi di
wilayah hukum Indonesia.
• Dengan adanya a quo saja aliran sesat marak. Apalagi
kalau a quo dijadikan kekuatan hukum yang tidak
mengikat seperti yang diinginkan pemohon. Dan yang
aneh lagi pemohon tidak menjadikan nilai agama
sebagai pertimbangannya.
• “Para pemohon tidak memiliki legal standing, mereka
tidak bergerak di bidang keagamaan ,argumentasi
mereka banyak kekeliruan, maka permohonan pemohon
harus ditolak” tegasnya mewakili Tim MUI.
(mediaumat.com, 4/2/2010)
Tokoh Islam Bongkar Gugatan
Kelompok Liberal
• HTI Press. “Ini bukan perkara main-main karena segila-gilanya dan sesesat-sesatnya
aliran sesat tetap saja ada pengikutnya!” Tegas Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia
Muhammad Ismail Yusanto dalam acara Temu Tokoh: Membongkar Gugatan
Kelompok Liberal, Selasa (2/2) malam di Kantor Pusat DPP HTI, Crown Palace,
Soepomo, Jakarta Selatan.
• Pertemuan tersebut dimaksudkan untuk membangun langkah sinergi ormas Islam
dalam rangka menolak pengujian materiil UU No.1/PNPS/1965 tentang Penodaan
Agama yang diajukan oleh kelompok liberal, baik di dalam maupun di luar gedung
Mahkamah Konstitusi.
• Anggota Tim Pengacara Muslim Mahendradata menyatakan bahwa TPM dan HTI tadi
siang sudah mengajukan diri sebagai Pihak Terkait dalam sidang uji materiil tersebut
ke MK. “Bukan sekedar mengajukan sebagai pihak terkait kami sekaligus menyertakan
rincian sanggahan yang merontokan argumentasi kelompok liberal” tegasnya di
hadapan sekitar 35 tokoh yang hadir.
• Ternyata di samping menggunakan argumen yang mengacu kepada hukum positif
kelompok liberal yang dimotori Dawam Raharjo, mendiang Gus Dur, Siti Musdah Mulia
dan Asmara Nababan itu memelintir ajaran Islam untuk dijadikan argumennya.
• Kemudian Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI Rokhmat S Labib menyampaikan
sanggahannya agar umat Islam tidak terkecoh dengan akal licik antek-antek penjajah
Amerika dan Yahudi tersebut.
• Bantahan tersebut sudah pula diserahkan ke MK dan dibagikan kepada peserta yang
hadir di acara Temu okoh ini, di antaranya adalah Achmad Michdan (TPM), Moh.
Asyari (Muhammadiyah), Ahyandin Sodri (Mer-C), Ferry Nur (Kispa), A. Rochman (Al
Azhar), M. Ryanto (BKPRMI), A. Faresa (PB PII), Nurni Akma (PP Aisyiah), Nurdiati
Akma (PP Forsap), dan Moh. Naufal D. (Front Hizbullah).
• Bagi kaum Muslim yang ingin mendapatkan makalah Bantahan Hizbut Tahrir Indonesia
Terhadap Permohonan Pengujian Materiil Undang Undang Nomor 1/PNPS/1965
Tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama oleh Tim Advokasi Kebebasan
Beragama tersebut silakan klik di sini.
• Umat Islam harus mengawal terus sidang yang akan berlangsung lama dan alot ini,
yang akan di mulai dari 4 Februari mendatang. Jangan sampai MK mengabulkan
keinginan embahnya penganut aliran sesat itu. Allahu Akbar![] joko prasetyo
Jubir HTI
• Kelompok-kelompok liberal antek penjajah terus saja berulah. Melalui Judicial Review ke
Mahkamah Konstitusi, mereka menggugat Penetapan Presiden No.1/PNPS/1965 yang sudah
diundangkan melalui UU No.5 Tahun 1969 tentang Penodaan Agama. Siapa mereka dan apa
motifnya? Untuk menjawab itu wartawan mediaumat.com berbincang dengan Jurubicara Hizbut
Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto. Berikut petikannya.
• Siapa saja penggugat itu?
• Kita mendapatkan informasi dari Mahkamah Konstitusi (MK) para penggugat itu Asfinawati, dll.
mengatasnamakan Tim Advokasi Kebebasan Beragama. Tim ini mewakili para pemohon tujuh
lembaga (Imparsial, Elsam, PBHI, Demos, Setara Institute, Desantara Foundation, YLBHI) dan
empat individu (Abdurrahman Wahid, Musdah Mulia, Dawam Raharjo, Maman Imanul Haq).
• Memang di dalam dokumen yang kita terima itu tidak disebut-sebut Aliansi Kebangsaan untuk
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dan figurnya pun hanya yang tadi disebut di
atas. Jauh dari nama-nama yang tertera dari AKKBB. Tetapi kita tidak terlalu sulit
menyimpulkan bahwa mereka ini adalah kelompok inti dari AKKBB.
• Jadi sebenarnya kita bisa menyatakan bahwa permohonan pencabutan PNPS ini adalah
kelompok yang sedari dulu begitu getol mendukung aliran sesat Ahmadiyah.
• Apa motifnya?
• Setidaknya ada dua motivasi. Pertama, motif sosiologis, dalam arti ini menjadi pintu bagi
mereka untuk melindungi kelompok-kelompok yang mereka sebut dengan kelompok minoritas.
• Karena selama ini mereka melihat bahwa kelompok-kelompok yang dianggap melakukan
penyimpangan terhadap agama itu disebut sebagai penistaan terhadap agama, misalnya
seperti Lia Eden, Ahmad Musadeq, Ahmadiyah, dll. Itu selalu terkena pasal yang mereka gugat
itu. Maka kemudian AKKBB melihat UU tersebut itulah sebagai biang dari munculnya
kriminalisasi terhadap–yang mereka sebut sebagai–kebebasan beragama.
• Kedua, motif ideologis yaitu mereka ingin menegakkan sekularisme, pluralisme, dan liberalisme
(sipilis) dan UU yang mereka gugut itu dianggap sebagai UU yang sangat bertentangan
dengan paham sipilis. Jadi saya melihat pada akhirnya motif ideologi itu yang lebih kental
mewarnai dari tuntutan Asfinawati, dkk kepada MK untuk mencabut UU itu.
Pemerintah Tolak Permohonan Pemohon
• Sekitar seribu massa dari berbagai ormas Islam melakukan aksi tolak judicial review Penetapan
Presiden No.1/PNPS/1965 yang sudah diundangkan melalui UU No. 5 Th 1969 oleh kelompok
liberal AKKBB di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
• Aksi yang dimotori Front Pembebasan Islam itu menegaskan agar Ketua MK Mahfudz MD tidak
perlu menyidangkan permohonan pembatalan Undang-Undang Pencegahan
Penodaan/Penistaan Agama itu.
• “Tidak usah sidang, tolak saja langsung! Kalau Mahfudz MD beragama Islam tolak saja, ga usah
dikabulin.” tegas Habib Selon dari FPI.
• Dengan adanya regulasi ini saja berbagai aliran sesat dan menyimpang masih bisa tumbuh
menjamur hingga lebih dari 400 aliran. Bagaimana kalau dicabut? Orang semacam Lia Eden
dan Ahmad Musadeq akan bebas berkeliaran mengacak-acak ajaran yang dianut oleh mayoritas
penduduk negeri ini.
• Kemudian Habib Selon dan sejumlah pimpinan ormas Islam di antaranya Cep Hermawan (Garis),
Alfian Tanjung (Taruna Muslim), Sholihin Sani (PITI), dan Pakar Aliran Sesat Amin Djamaludin
menyampaikan penolakannya.
• Namun sayang, Ketua MK sedang melakukan rapat tertutup sehingga utusan dari sejumlah
ormas tersebut hanya diterima staf administrasi.
• Rencananya massa akan mengikuti sidang terkait masalah tersebut hari ini namun sidang
tersebut diundur pada 4 Pebruari 2010 atas permintaan Departemen Agama.
• Proses persidangan akan berlangsung panjang, umat harus mengawal. “Jangan biarkan MK
diperalat oleh AKKBB untuk melegalisasi aliran sesat dan melegitimasi penistaan agama!” pekik
salah seorang orator. [mediaumat.com, 28/1/2010]
• KH Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU
• Agresi Terhadap Perasaan Umat
• Judicial review tersebut harus ditolak. Karena secara
konstitusional konstitusi melindungi agama di Indonesia. Yang
dimaksud melindungi itu adalah negara tidak boleh membiarkan
agama itu dirusak. Konstitusi pun mengajarkan kebebasan
beragama. Kebebasan yang dimaksud itu memilih agama yang
ada dalam UU dan realita bukan kebebasan merusak agama yang
ada.
• Sedangkan secara moral, orang yang beragama kemudian dinodai
itu bukan bagian dari demokrasi. Tetapi itu bagian dari agresi
terhadap perasaan umat. Jadi tidak bisa diikutkan dalam koridor
kebebasan dan demokrasi. Karena kebebasan itu berbatas
dengan kebebasan orang lain dan etika.
• Nah, kalau itu sampai dicabut akan rawan masalah keamanan.
Karena kalau ada hukum, orang yang menodai agama cukup
diproses secara hukum, tapi kalau cantolan hukumnya tidak ada
dan umat merasa tersinggung maka umat akan bertindak sendiri
Masalah Prinsip, Bukan Menang-menangan
• AKARTA- Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ahmad Bagdja menegaskan,
kuatnya kalangan Islam menolak uji materi peraturan perundangan tentang penodaan agama
bukan sikap menang-menangan kelompok mayoritas.
• “Ini soal prinsip, bukan menang-menangan,” kata Bagdja di Jakarta, Senin. Dikatakannya, umat
Islam, khususnya NU, sangat menghormati pemeluk agama dan keyakinan atau kepercayaan
yang lain, namun bukan berarti lantas bersikap permisif terhadap aliran yang jelas-jelas
melakukan penodaan terhadap agama yang diakui undang-undang.
• “Ketika suatu aliran mengaku bagian dari agama tertentu, namun dalam beberapa hal prinsip
mereka jelas-jelas berbeda dengan agama itu sendiri, apa itu bukan penodaan?” katanya.
• Lain halnya jika aliran itu tidak mengaku-aku bagian dari agama tertentu atau tidak mengambil
sebagian ajaran dan praktik ibadah agama tertentu yang kemudian diubah semaunya sendiri.
• “Kalau sampai aturan tentang penodaan agama itu dicabut, hal-hal semacam ini akan semakin
marak karena bisa dilakukan dengan leluasa,” katanya.
• Dikatakannya, ketika aturan itu dibuat, saat itu Indonesia sudah merupakan negara pluralis,
sudah ada beberapa agama dan aliran kepercayaan yang eksis. Aturan itu dibuat sebagai
tatanan agar kehidupan beragama dan berkeyakinan berjalan tertib.
• “Para pendiri bangsa ini pun telah bersepakat bahwa negara ini bukan negara agama, namun
mereka memberikan penghargaan yang tinggi kepada agama,” kata kandidat ketua umum
PBNU itu.
• Melalui aturan yang ada, lanjutnya, negara bukan bermaksud mencampuri urusan internal
agama atau keberagamaan warga negaranya, namun menjaga agar tercipta kehidupan
beragama yang tertib dan damai.
• “Kalau terjadi ada aliran tertentu yang jelas-jelas menodai agama tertentu, apakah negara atau
pemerintah harus diam saja, tidak mau tahu, dan menyerahkan urusan itu ke umat? Tentu
anarkhi yang timbul,” katanya.
• Menurutnya, memberikan kebebasan bagi tindakan penodaan terhadap agama bukanlah suatu
prestasi yang patut dibanggakan bagi sebuah bangsa. (republika.co.id, 8/2/2010)
Habieb Rizieq
• Gerakan Islam tidak boleh bosan untuk terus mengupayakan agar Ahmadiyah
bisa dibubarkan secara tuntas dari negeri yang mayoritas Muslim ini. “Kita jangan
cukup puas dengan SKB yang banci!” tegas Habib Rizieq Shihab dalam acara
Bedah Buku Jejak Hitam Sang Pendusta dan Pengkhianat Agama: Mirza Ghulam
Ahmad Qadiyani dan Fakta Penghinaan Ahmadiyah terhadap Agama karya Pakar
Aliran Sesat Amin Djamaluddin, Selasa (26/1) di Hotel Bidakara, Jakarta.
• Beberapa saat sebelum bedah buku karya Pakar Aliran Sesat KH Amin
Djamaluddin itu dimulai kepada mediaumat.com Habib Rizq menyatakan bahwa
kelompok-kelompok liberal AKKBB begitu ngotot ingin menghapuskan Perpres No.
1 Th. 1965 tentang Penodaan Agama lantaran selama ini mereka gagal
menjalankan paket-paket dari biangnya liberal internasional.
• “Karena gerakan liberal ini bukan gerakan lokal, tetapi merupakan gerakan
internasional, mereka mencegah SKB turun, ternyata SKB turun. Mereka
mencegah agar Ahmad Musadeq, Lia Eden untuk tidak dihukum, tetapi ternyata
tetap diproses dan dijebloskan ke penjara.” tandasnya.
• Artinya, regulasi yang mereka gugat sekarang ini memang efektif untuk menjerat
aliran sesat. Makanya mereka gerah. Jadi kalau mereka ingin melindungi aliran
sesat harus runtuhkan dulu itu perundang-undangannya.
• Karena Dewan HAM PBB pada 26 Maret 2009 telah meloloskan resolusi yang
menyatakan bahwa penistaan agama merupakan sebuah pelanggaran terhadap
HAM. “Jadi kalau itu sudah menjadi keputusan PBB tidak ada alasan lagi mereka
mengatakan kalau kita melarang penistaan agama itu melanggar HAM” ujarnya.
• Jadi yang melanggar HAM itu kalau melarang orang untuk menjalankan
agamanya. Orang dipaksa masuk Islam, misalnya, itu melanggar HAM. Tetapi
kalau menolak penistaan bukan melanggar HAM justru untuk melindungi HAM
umat beragama yang agamanya dinodai.
• “Penistaan agama yang kita maksud itu bukan hanya kepada agama Islam,
agama apapun tidak boleh kita nistakan. Islam mengajarkan kita tidak boleh
menghinakan agama apapun,” ujarnya.
• Kalau begitu, justru itu menunjukkan merekalah yang telah melanggar HAM. Oleh
karena itu Habib pun menandaskan akan melakukan perlawanan melalui jalur
hukum karena mereka menggunakan jalur hukum.
• Karena prinsip FPI begitu, “Anda menantang kami perang intelektual, ayo perang
intelektual. Anda menantang kami perang ekonomi, ayo perang ekonomi, mau
perang media, ayo perang media, kalau mereka menantang perang hukum ya
perang hukum. Kalau mereka menantang perang otat ya kita perang otot”.
• “Jadi sederhana saja prinsipnya, istilahnya orang Betawi, ikan bawal buah terong,
elu jual gua borong! ” pungkasnya.[mediaumat.com, 27/1/2010]
• Prof Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah
• Mendewakan HAM dan Demokrasi
• Sikap saya pribadi dan Muhammadiyah sangat jelas dan tegas menolak
judicial review terhadap Keppres tersebut atau UU yang mengukuhkannya
karena dalam penilaian kami Keppres dan UU tersebut sudah sesuai dengan
konstitusi serta logika sehat.
• Kalau ada pihak yang mengusulkan, memang hak mereka di alam demokrasi
tetapi pada saat yang sama kita umat beragama khususnya umat Islam
memiliki hak pula untuk menolak usulan mereka itu.
• Mengapa mereka melakukan itu kita tidak tahu persis. Tapi mungkin karena
mereka lupa bahwa persoalan ini berada pada wilayah theologis,
menyangkut keyakinan beragama tidak bisa didekati dengan pendekatan
HAM dan Demokrasi.
• Selain itu, kalau keinginan mereka itu dikabulkan Mahkamah Konstitusi
sehingga tidak ada aturan hukum terhadap penoda dan penista agama maka
tidak dapat dibayangkan akan mudah terjadi anarkis yang meninbulkan
konflik horizontal di tengah masyarakat.
• Atas dasar konstitusional tersebut dan pertimbangan sosiologis serta moral
kami berpendapat adanya aturan hukum terhadap para penista agama
sangat-sangat mutlak perlu.
• Namanya juga penodaan dan penistaan maka itu mengandung pengertian
negatif karena bisa mengganggu kesucian agama
Muhammadiyah Tolak Seluruh Gugatan