Anda di halaman 1dari 8

Bertaubat, Sebelum Terlambat

Manusia di manapun, baik mereka yang lebih dulu hadir ke dunia maupun yang akan datang
kemudian, tidak pernah terlepas dari penyakit lalai (alpa). Bagai peristiwa sambung-
menyambung, sifat alpa per-tama telah dilakukan oleh Nabiyullah Adam as dan Siti Hawa
dengan memakan buah Khuldi. Maka tepatlah sebuah ung-kapan yang berkata: “insan
ashluhu nisyan”, asal kata insan adalah `an-nisyan (alpa). Ungkapan lain mengatakan: “insan
mahallul khato wan nisyan”, pada diri manusia itu tempatnya salah dan lupa.

Akibat kealpaan itu, manusia dapat terperangkap melakukan kesalahan, pelanggaran,


sampai kepada kejahatan.

Tingkat pelanggaran dalam Islam dikenal dengan istilah `maksiat'. Setiap orang dengan
kealpaannya itu dapat setiap saat terperangkap pada jurang kemaksiatan. Hanya para Nabi
dan Rasul saja yang terpelihara dari sifat tercela itu,lantaran mereka adalah utusan Allah
yang dikenal memiliki sifat makshum (terpelihara dari kemaksiatan).

Satu hal yang juga fitrah dalam diri manusia adalah adanya kecenderungan mereka pada
perasaan kebenaran (recht-gevoel). Istilah itu bisa pula berarti `perasaan hukum'. Manusia
dalam keadaan bagaimanapun selalu diliputi oleh hukum dan berhajat kepada hukum.
Mereka ingin menegakkannya, walaupun terkadang tuntutan hawa nafsu bersikeras
menolaknya. Kalangan ahli hukum menyebut hal ini sebagai `hukum ada di mana-mana'.

Oleh karena perasaan ingin tegaknya hukum itulah, manusia berupaya untuk mewujudkan
keamanan, ketenteraman, dan ketertiban untuk diri, keluarga, dan lingkungannya. Dengan
demikian akan terwujud aturan main kehidupan yang dapat berbeda dengan binatang, di
mana yang kuat dapat dengan sesuka hatinya menguasai dan memakan si lemah.

Kehadiran utusan Allah yakni para Nabi dan Rasul dengan dilengkapi kitab suci-Nya tidak lain
adalah untuk menjelaskan kepada manusia agar tidak terjadi hal yang demikian itu. Manusia
bukanlah hewan yang dengan seenaknya bisa saling memangsa satu sama lain.

Mereka menjelaskan jalan mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak boleh. Di sini
agama memberi peringatan `amar makruf nahi munkar' dengan turunnya utusan-Nya itu.
Kepada mereka yang melanggar, Allah Swt memberi sanksi hukum kepada mereka berupa
dosa. Sedang kepada mereka yang berbuat kebaikan Allah akan diberi ganjaran pahala.

Dosa dan pahala

Tidak ada salahnya kita mengkaji ulang apa yang dimaksud dosa dan pahala. Ini bukan
perkara sepele. Bukankah keduanya selalu berkaitan dengan kehidupan kita? Efek-efeknya
senantiasa menyertai kita kapan dan di manapun juga? Akibat perbuatan dosa, kita menjadi
murung, sedih, kecewa, atau terkadang kehilangan gairah hidup. Jumlah rupiah yang ada di
dompet dan besarnya simpanan uang di bank, rumah yang indah, ladang yang luas, tidak
membuat hidup kita berbahagia akibat dosa yang kita lakukan. Itulah efek dosa.

Sebaliknya, kita terkadang mendapati hidup yang penuh ketenteraman, bahagia —meskipun
kata orang kita hanya `cukup hidup dengan nasi dan garam'—tetapi hal itu tidak mengurangi
rasa senang, tenteram, dan bahagia yang ada di hati kita. Hidup pun penuh optimisme. Hal
ini merupakan buah rasa syukur kita terhadap karunia Allah yang yang telah kita peroleh.
Kemudian kita telah berupaya dengan sekuat tenaga menjauhi perbuatan dosa dan maksiat.
Kita berjalan di atas jalan keridhaan-Nya.

Dampak-dampak dosa dan pahala sangat riil dalam hidup. Pahala dan dosa bukan sekadar
kalimat berita, tapi hal yang sangat berkaitan dengan kehidupan kita, senang-susah, bahagia
atau menderita.
Allah Swt berfirman: “Barang siapa mengerjakan perbuatan baik walapun sebesar zarrah,
niscaya Ia akan melihatnya. Dan barangsiapa yang mengerjakan perbuatan jahat meskipun
seberat zarrah, niscaya Ia akan melihatnya”. (QS Al-Zal-zalah:7-8)

Dalam keterangan salah satu hadits disebutkan bahwa raut wajah para pendosa akan
diselimuti kabut hitam, sehingga pandangannya tidak bercahaya. Tak ada kesejukan
manakala orang memandangnya.

Suatu saat dijumpai seorang yang dalam hidupnya melulu diwarnai kesenangan. Setiap hari
tempat parkirnya di diskotik, minumannya arak, makanannya barang haram, teman-temannya
para perampok, dan hiburannya wanita pelacur. Suatu saat ketika ajal akan datang
menjemputnya, ia kembali ke kampung halaman. Masyarakat desa yang tidak tahu-menahu
perilaku si Fulan ketika di negeri rantau, heran melihat tabiat mengenaskan si Fulan.

Di antara rasa sakitnya di pembaringan, ia menangis sejadi-jadinya sambil bersumpah-


serapah. Puluhan orang yang melayat kewalahan memegangi tubuhnya yang meronta-ronta
dengan hebat. Tangisnya melolong-lolong, diiringi teriakan minta ampun. Setelah dengan
susah payah para pelayat memegangi dan menenangkan, akhirnya si Fulan berangkat ke
alam baka dengan tatapan mata menyeramkan. Naudzubillah!

Pada saat yang lain, kita dapati si shalih dalam suasana yang berbeda. Detik-detik menjelang
akhir hayatnya (mutadhor), dengan sabar dia mengikuti talkin yang dibacakan ke dalam
telinganya. Raut mukanya cerah. Dari celah bibirnya selalu terucap kalimat istighfar dan
kalimat tauhid, “La ilaha illah”.

Pada saat-saat terakhir hidupnya ia rasakan akan tiba, segera dikumpulkan segenap anggota
keluarga dan diwasiatkan untuk senantiasa mentaati perintah agama, tidak saling
bermusuhan satu sama lain. Kemudian dengan damai ia kembali ke haribaan Illahi Rabbi
dengan penuh ikhlas. Wajah jasad itupun tampak berseri-seri di tinggal roh yang selama ini
bersemayam dalam dirinya. Ia pergi dengan khusnul khatimah.

Memohon ampun dan bertaubat

Selagi nafas kita masih ada, pintu ampunan Tuhan dibuka seluas langit dan bumi. Allah Swt
berfirman,

“Bersegeralah memohon ampunan dari Tuhanmu, dan mohon surga yang luasnya seluas
langit dan bumi, disediakan untuk orang yang bertaqwa”. (QS Ali Imran: 133)

“Kepunyaan Allah apa saja yang ada di langit dan di bumi. Diampuni-Nya siapa yang
dikehendaki-Nya, dan disiksa siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dia Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”. (QS Ali Imran: 129)

Memohon ampun dan bertaubat hendaknya tidak dilakukan dengan main-main atau
setengah-setengah. Setengahnya insyaf, setengahnya lagi ingin kembali ke pekerjaan
lamanya. Ini sama halnya dengan membiarkan benih penyakit jahat tumbuh kembali dalam
diri. Bagi orang yang bertaubat mesti menanamkan niat yang kuat dalam dirinya untuk
meninggalkan pekerjaan keliru sejauh-jauhnya. Tutup rapat-rapat lembaran hitam itu dan
jangan coba membukanya kembali.

Taubatan nashuha (taubat yang baik) laksana seseorang membuang kotoran yang keluar
dari perutnya sendiri. Kendati dia tahu persis asal muasal kotoran itu berasal dari makanan
yang enak, tetapi setelah berbentuk kotoran ia tidak akan mau melihatnya lagi apalagi
disuruh untuk (maaf) memeganginya. Ia bahkan berusaha menjauhi sejauh-jauhnya.
Menengokpun tak sudi lagi.

Di samping itu, harus benar-benar bersih, ingin kembali ke jalan lurus yang diridhai Allah.
Tidak terpengaruh unsur-unsur lingkungan atau fisik. Seorang pelacur yang sudah renta,
kemampuan badaniahnya lemah, wajah tidak lagi menarik, yang ingin bertaubat tetapi dalam
hatinya masih tertanam keinginan ke sana, taubat yang seperti ini masih dinodai oleh
kotoran. Ibaratnya, kaki kanan ingin melangkah ke surga sedang kaki kirinya tetap berdiam di
neraka. Taubat seperti ini adalah taubat yang menggantung, yang urusannya hanya Allah
Yang Mahatahu.

Agar kita selamat, Rasululah menuntun kita untuk selalu mengoreksi diri dengan beristighfar
setiap saat. Beliau saw mengajarkan, “Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku. Tak ada Tuhan
kecuali Engkau yang telah menjadikan aku, dan aku adalah hamba-Mu, dan aku tidak punya
kemampuan untuk melaksanakan janji-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dari
keburukan/kejahatan yang telah aku lakukan. Aku mengakui kepada-Mu atas nikmat yang
Engkau berikan kepadaku, dan aku mengakui pula terhadap dosa-dosaku. Maka ampunilah
aku (ya Allah), sesungguhnya tak ada yang dapat memberi ampunan kecuali Engkau”. (HR
Bukhari dari Syaddad bin Aus ra)

Syekh Imam Nawawi berkata,” Siapa yang mengucapkan sayyidul istighfar ini di waktu siang
dengan yakin, bila dia mati pada hari itu sebelum waktu sore, maka dia adalah ahli surga.
Siapa yang mengucapkannya di waktu malam sebelum waktu Shubuh, lalu meninggal dunia
pada malam itu, maka dia adalah ahli surga.”

Wallahu a'lam bish-shawab.

Pasca Hijriyah, Nyalakan Kembali Api


Islam
Sepanjang zaman, orang Yahudi dan Nasrani —terutama di kalangan pemuka-pemuka
agama mereka— bertekad ingin memadamkan cahaya Allah melalui mulut mereka (QS At-
Taubah: 31). Menurut As-Suddi, cahaya Allah itu adalah Islam. Sedang menurut Adh-
Dhahak, cahaya Allah adalah Muhammad. Menurut Al-Kalabi, yang dimaksud cahaya di sini
adalah al-Qur'an. Sebagaimana ahli tafsir mengatakan: cahaya Allah adalah bukti keesaan
Allah dan kenabian Muhammad, karena kedua cahaya itu sebagai bukti yang menunjukkan
hakikat kebenaran.

Firman Allah di atas menggunakan `fi'il Mudhari' yuridu yang mengandung arti masa
sekarang dan yang akan datang. Yang berarti orang Yahudi dan Nasrani akan memadamkan
nur Muhammad, Islam, dan al-Qur'an tanpa kenal henti, berlangsung secara terus-menerus
dan berkesinambungan. Sejak dari zaman Nabi telah muncul gangguan dari orang Yahudi di
Madinah, sekalipun sebelumnya telah diadakan perjanjian yang disepakati bersama. Pada
zaman yang sama telah lahir persekongkolan jahat untuk memadamkan cahaya Allah dari
sebelah utara Madinah (pangkal kekuasaan Romawi dan kabilah-kabilah Arab yang
berlindung di bawah kekuasaan Romawi). Bahkan surat Nabi saw dilemparkan dan diinjak-
injak di atas tanah dan utusan beliau pun dibunuh. Padahal pada masa itu adalah hal yang
sangat dicela membunuh seorang utusan.

Memang sebagian mereka ada yang jujur, lebih cinta kepada Islam (QS Al-Maidah: 82-84).
Yaitu mereka yang semata-mata mencintai kebenaran, tidak diikat oleh kepentingan politik
dan mempertahankan status quo. Namun lebihnya adalah mereka yang tidak senang
posisinya tersaingi oleh pengaruh Islam. Seperti Kaisar Heraclius dan raja-raja Nasrani di
bagian utara (negeri Syam).

Oleh karena itu selama Islam memancarkan cahayanya ke dunia, mereka akan tetap cemas.
Mereka khawatir kedudukannya terancam. Oleh karena itu sangat wajar kalau mereka ummat
Yahudi dan Nasrani sejak zaman Nabi saw sampai hari kiamat pun menginginkan lenyapnya
kaum Muslimin. Apakah kita tidak ingat kejadian dalam Perang Salib, suatu tragedi
kemanusiaan yang sangat memilukan hingga sekarang, sekalipun telah berlangsung
beberapa abad yang silam? Saat itu ratusan ribu kaum Muslimin dibantai, dibunuh, dan diusir
dari tanah kelahiran mereka. Sementara kitab suci al-Qur'an dan kitab-kitab buah pena para
ulama Islam dihancurkan dengan cara membakarnya.

Di zaman keterbukaan ini penjajahan itu semakin menjadi-jadi. Negeri-negeri Islam dijajah
baik dalam aspek politik, sosial budaya, maupun ekonominya sehingga mereka jatuh
terpuruk. Orang-orang orientalis juga secara tekun mempelajari Islam untuk memberikan
penafsiran baru sehingga kaum Muslimin kian ragu terhadap ajaran agamanya.

Sekalipun demikian, Allah Swt tidak membiarkan kebenaran itu dihapus oleh tangan-tangan
manusia yang kotor. Bagaimanapun usaha mereka, Islam akan tetap memancarkan
cahayanya di muka bumi ini. Kebenaran Islam tidak akan terkalahkan oleh kekuatan
manusia. Ibarat kuatnya cahaya matahari, tidak akan berarti sama sekali nyala sejuta lilin
yang dihadirkan sebagai tandingan. Islam adalah cahaya di atas cahaya. Betapa
perkembangan Islam sekarang semakin tampak, yang berarti menunjukkan kegagalan apa
yang telah mereka usahakan.

Ketika Yahudi terusir dari Tanah Arab, Islam berkuasa di Madinah. Pada saat Umar bin
Khattab menjadi khalifah, raja Romawi, Kaisar Heraclius, terpaksa kembali ke Konstantinopel,
dan Palestina sebagai pusat kekuasaan mereka taklukkan. Kemudian terjadi Perang Salib.
Selama 200 tahun bangsa Kristen Eropa memerangi pusat-pusat negeri Islam, sehingga
berdiri kerajaan Kristen di Yerusalem selama 90 tahun lamanya.

Kemudian datang pertentangan keras yang lain, yaitu pengusiran Islam dari negeri Spanyol,
masuknya Turki ke Eropa, serta penjajah-penjajah Kristen datang ke dunia Islam. Proyek
Kristenisasi digencarkan di negeri-negeri Islam. Indonesia sebagai kawasan subur dengan
tingkat perkembangan Islam sangat pesat, menjadi sasaran pula. Setidaknya tiga setengah
abad bangsa Kristen telah meng-obok-obok negeri ini, agar kaum Muslimin bisa lenyap.
Namun pada kenyataannya kita mendapati justru mereka semakin sadar dan bangkit dari
tidurnya. Kesadaran akan kebangkitan Islam di kalangan muda bahkan semakin tidak
terbendung.

Islam akan mengalahkan semua agama sesuai dengan yang telah dijanjikan oleh Allah Swt.
Karena Islam adalah nizham (aturan) yang selaras dengan fitrah manusia. Semakin hari
Islam semakin mendapat tempat di hati manusia. Dengan kemauan sendiri atau dengan
terpaksa oleh kondisi tertentu, thau'an au karhan.

Pertentangan kasta yang terdapat di agama Hindu, pemahaman hidup sebagai Sangsara,
tanpa memiliki prinsip-prinsip ketuhanan bagi agama Budha, perlahan akan ditinggalkan
manusia.

Demikian halnya dengan agama Nasrani yang mengajarkan bahwa tuhan itu adalah SATU
ditambah DUA sama dengan SATU, atau SATU sama dengan TIGA dan TIGA sama dengan
SATU. Dosa juga bisa diwariskan kepada orang lain. Yang jelas agama Nasrani bersifat
dogmatis. Orang disuruh membuang fungsi akal lebih dahulu, baru bisa taat dalam
beragama. Maka pada hari Ahad pergi ke gereja, pada hari berikutnya akal dipergunakan
untuk memikirkan urusan yang lain. Dalam gereja mereka berurusan dengan Tuhan, dan di
luar gereja lepas dari agama. Agama berkaitan dengan sikap individu, sedangkan kehidupan
sosial berada pada aspek lain.

Bertambah meningkat kemajuan berpikir, semakin rindu bagi seseorang untuk datang ke
pangkuan Islam. Mereka semakin menyadari bahwa kemunduran yang dialami kaum
Muslimin pada hakikatnya disebabkan oleh menurunnya iltizam (komitmen) mereka terhadap
Islam. Jika ummat Islam ini masih tetap komit terhadap agamanya, dengan menegakkan
hujjah serta menjadi teladan dalam menegakkannya dalam diri dan keluarga, pasti ummat
pilihan ini akan ikut menyelesaikan kemelut dunia sekarang ini. Di mana manusia dilanda
rasa gelisah yang tak kunjung ketemu obatnya.
Manusia modern kini sedang haus akan obat rohani. Menurut penelitian seorang sosiologi,
sejak abad ke-17 dan 18 karena mulai bergelut dengan mesin dan industri, orang mulai
meninggalkan agama. Tetepi setelah abad ke-20, terutama setelah munculnya Perang Dunia,
manusia saat ini sedang mencari pegangan hidup untuk ketenteraman jiwa. Mereka mencari
agama yang sesuai dengan kehidupan modern. Aturan yang tidak menolak kehidupan di
dunia dan bahkan menuntunnya kepada yang lebih baik. Tidak mengutuk dunia dan tidak
diperbudak olehnya, tetapi mempergunakannya untuk keselamatan hidup di dunia dan
akhirat. Dan pada akhirnya manusia modern mulai memikirkan tentang hari esok, hari akhirat.
Seorang ahli pikir dari Belanda, Prof Huizinga, pernah mengatakan bahwa kemajuan ilmu
pengetahuan yang tidak memikirkan untuk hari esok adalah kecelakaan bagi manusia.

Sekarang dunia sedang menjerit menunggu kedatangan Islam, yang telah dibuktikan lewat
sejarah bahwa Islam telah mampu melepaskan dahaga jiwa manusia. Hanya Islam yang
memiliki seperangkat peraturan yang bisa menyelamatkan manusia.

Allah Swt akan membuktikan janji-Nya. Kebenaran Islam akan mengalahkan agama lain
sekalipun orang-orang musyrik tidak senang. Ummat Islam wajib menyalakan api (spirit)
Islam kembali. Tugas ini memang amat berat bagi kita, karena memerlukan pengorbanan
seluruh potensi kita secara optimal, baik potensi ruhiyah maupun fikriyah. Kita menyadari
bahwa setelah Islam berusia 14 abad, pada masa 700 tahun yang terakhir mengalami
kemunduran secara drastis. Banyak pemikir-pemikir asing yang telah menodai kesucian
Islam, sehingga ummat Islam menjadi jumud (beku). Kita dininabobokan oleh sejarah
keemasan masa lampau, dan tidak sadar akan bencana yang menimpa kita dalam segala
aspek kehidupan.

Kalaupun ada pemikir-pemikir Islam yang dengan upaya keras membuka ajaran Islam yang
murni, mulutnya kembali terkunci manakala memperhatikan kondisi realitas ummat yang jauh
dari nilai-nilai Islam. Terasa `amunisi ruhiyah dan fikriyah'-nya tidak cukup untuk menghadapi
semuanya itu.

Ummat Islam kebanyakan melaksanakan aktivitas keislaman yang kosong dari subtansi.
Mereka mulai kehilangan ruh Islam, idealisme Islam, cita-cita Islam. Mereka menunggu
datangnya Imam Mahdi dengan pemahaman yang salah. Seakan-akan Allah akan
menurunkan emas dari langit, buat menolong mereka.

Semestinya kita tidak perlu `dibuai mimpi' dengan menanti datangnya Imam Mahdi. Apalagi
hadits tersebut, menurut sebagian ulama, tidak sah untuk dijadikan dalil. Lebih baik kita
jadikan diri kita sebagai `Imam Mahdi' penegak kebajikan.

Orang Yahudi di dunia ini tidak lebih dari 1/10 (sepersepuluh) dari jumlah penduduk kaum
Muslimin dunia, setelah mereka susah payah menunggu datangnya messias (juru selamat)
tetapi tak kunjung datang. Akhirnya mereka menyusun gerakan Zionis, dibantu oleh Amerika,
Inggris, dan Rusia, sehingga mampu mendirikan kerajaan Israil di Tanah Air bangsa Arab.

(sholih hasyim)

Nakhoda Keluarga
Siapa yang mesti memimpin dan siapa yang harus dipimpin, kerap menjadi pertanyaan besar
bagi kalangan suami-istri. Siapa yang harus taat dan siapa yang harus ditaati, tampaknya
kian kabur dan kian banyak terjadi kekeliruan.
Akibat gencarnya tuntutan persamaan hak dan emansipasi yang didengungkan di mana-
mana —mulai pertemuan arisan, penataran, perkantoran hingga yel-yel demonstrasi yang
ditayangkan di layar kaca dan di media massa— para istri mulai berani menuntut persamaan
derajat dan kekuasaan kepada suami mereka. Tak ayal lagi terjadi perebutan kekuasaan
dalam biduk rumah tangga. Akibat kepatuhan istri terhadap suami berkurang, beberapa
keluarga lebih didominasi sang istri dalam memimpin keluarga. Dilema semacam ini hampir
selalu terjadi dalam keluarga yang berpaham emansipasi.

Bagi mereka yang mengaku sebagai keluarga Muslim, mestinya tidak ada keraguan lagi
untuk mendudukkan suami di singgasana kekuasaan. Kodrat dan fitrah lelaki memang telah
dirancang Allah Swt agar sesuai tugas itu.

Allah dengan jelas telah memberikan ketegasan: “Suami sebagai wali yang berkuasa atas
istrinya, karena kelebihan yang telah diberikan oleh Allah pada masing-masing, dan karena
belanja yang mereka berikan dari harta mereka sendiri. Maka wanita shalihah itu ialah yang
taat, dapat memelihara diri sewaktu tidak ada suami, sebagaimana pemeliharaan Allah “. (QS
An-Nisaa': 34)

Ibarat sebuah kapal, suami adalah nakhodanya. Ibarat kerajaan, suami adalah rajanya dan
istri permaisuri sekaligus rakyatnya. Pendeknya, suami adalah pimpinan rumah tangga dan
istri wajib taat kepadanya. Sebaliknya, suami wajib memberikan perlindungan kepada rakyat
yang dipimpinnya, lahir batin.

Keluarga Rasulullah saw adalah perumpamaan kerajaan ideal yang patut diteladani, dengan
Muhammad sebagai raja dan Khadijah sebagai rakyatnya. Keluarga mulia ini diawali dengan
keberadaan istri yang berharta banyak dan berkedudukan bangsawan di mata masyarakat
pada saat itu. Sementara suami yang tanpa membawa harta sepeserpun, hanya
menyandang jawatan sebagai pengembala kambing.

Namun setelah tali ikatan perkawinan terjalin, toh tanpa ragu-ragu dan canggung Khadijah
menyerahkan tampuk kekuasaan ke tangan `bocah telantar' yang mengawininya. Dan secara
gemilang berhasil mewujudkan ketaatan sebagaimana seorang rakyat terhadap rajanya.
Alhasil, perjalanan keluarga inipun berjalan mulus dan harmonis.

Sepertinya tak perlu ada dilema bagi keluarga-keluarga zaman sekarang. Contoh yang
diperankan Khadijah sebagai wanita karier yang sukses dengan perkembangan dagangnya
yang pesat, telah jelas nyata di depan mata. Para wanita pekerja perlu meneladaninya,
sekarang.

Suatu ketika di zaman Rasulullah, datang seseorang dari Hira, menceritakan tentang orang-
orang yang bersujud kepada kepala negaranya. Maka Abu Hurairah datang kepada Nabi dan
berkata, “Engkau ya Rasulullah, lebih layak bagi kami bersujud kepadamu.” Maka Rasululah
pun bersabda, “Andaikan saya mengizinkan seseorang bersujud kepada manusia lain, tentu
saya menyuruh istri bersujud kepada suaminya.”

Riwayat tersebut menerangkan, sebenarnya adalah kepatutan semata apabila ada perintah
bagi istri untuk mensujudi suaminya. Tersirat gambaran betapa mutlaknya ketaatan istri
kepada suaminya. Bahkan juga melebihi ketaatan kepada orang tuanya sendiri. Memang,
sebelum seorang gadis memasuki jenjang pernikahan, adalah kewajiban baginya untuk taat
kepada kedua orang tua sebagai wali dirinya. Tetapi setelah bersuami, ia menjadi lebih
mengutamakan ketaatan kepada suami karena suamilah yang bertanggung jawab atas
dirinya. Tentu saja, sepanjang ketaatannya itu berada di jalan Allah Swt.

Rasulullah bersabda, “Jika istri melakukan shalat lima waktu, puasa Ramadhan sebulan
penuh, memelihara kehormatannya dan mematuhi suaminya, ditawarkan kepadanya,
`Masuklah ke surga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki'”.
Masya Allah! Mudah benar tampaknya persyaratan seleksi wanita calon penghuni surga.
Tetapi kenyataannya, teramat sulit bagi seorang istri untuk dapat melaksanakan persyaratan
terakhir itu. Wajar bila Allah menghargai ketaatan istri dengan surga, karena nilainya adalah
seperti jihad di dalam perang bagi laki-laki. Derajatnya sama dengan mati syahid.

Dalam haditsnya yang lain Rasulullah menjelaskan, “Sampaikan kepada wanita-wanita yang
engkau jumpai, bahwa patuh kepada suami dan memenuhi hak-haknya, sama pahalanya
dengan pahala jihad. Tetapi hanya sedikit di antara mereka yang melakukan itu.”

Asiyah, istri Fir'aun, adalah contoh orang yang telah mengalami pahit getirnya cobaan hidup
dalam hal taat kepada suami. Hati wanita mulia ini berpihak kepada Musa yang
membawanya kebenaran, sementara ia mendapatkan kenyataan bahwa dirinya terbelenggu
oleh kedudukannya sebagai istri seorang tirani musuh kebenaran.

Posisi sebagai istri itu, mewajibkan ia tetap melayani suami sebaik-baiknya, sepanjang
perintah yang ia terima tidak bertentangan dengan keyakinan ketauhidannya. Seburuk-buruk
Fir'aun, ia adalah pemimpin rumah tangga yang mempunyai hak untuk dilayani. Tetapi
manakala Fir'aun menyuruh Asiyah meninggalkan ketauhidannya, ia tak bersedia mentaati
perintah itu. Akibat penolakannya, nyawa Asiyah harus melayang di tangan suaminya sendiri.

Itulah risiko bagi wanita yang bersuami sekarakter atau seide dengan Fir'aun. Sejelek-jelek
perangai suami, selama ia memerintah istri dengan perintah benar. Wajib bagi istri untuk
mematuhinya.

Ketaatan yang dituntut bagi seorang istri bukannya tanpa alasan. Suami sebagai pimpinan,
bertanggung jawab langsung menghidupi keluarga, melindungi keluarga dan menjaga
keselamatan mereka lahir batin, dunia akhirat.

Tanggung jawab seperti itu bukan main beratnya. Para suami harus berusaha mengantar istri
dan anak-anaknya untuk bisa memperoleh jaminan surga. Apabila anggota keluarganya itu
sampai terjerumus ke neraka karena salah bimbing, maka suamilah yang akan menanggung
siksaan besar nantinya (al-Hadits).

Di kali yang lain, Rasulullah menambahkan, “Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat
tidur, ia tak bersedia, sehingga menimbulkan kemarahan suami, maka ia dikutuk malaikat
sampai pagi.”

Keinginan untuk berkumpul, kadang-kala datang tidak bersamaan antara suami istri. Di
sinilah dituntut perjuangan kaum istri untuk bisa melayani kehendak suami dengan sebaik-
baiknya, walau dia sendiri tak berkeinginan. Dan di sini sebenarnya wanita telah dianugerahi
kekuatan luar biasa untuk tidak menampik keinginan kekasihnya. Ia bisa melayani keinginan
suaminya kapan saja.

Tetapi terkadang memenuhi panggilan seperti itu tidak mudah dilakukan. Apalagi bila tubuh
sedang penat, pikiran kusut, tulang-tulang terasa ngilu, belum lagi bila rasa kantuk
menyerang mata, sehingga panggilan itu menjadi berat. Begitu pula di saat perasaan sedang
marah, jengkel, atau dilanda kesusahan.

Seharusnya hal-hal seperti itu tak dijadikan alasan untuk menolak keinginan suami.
Utamanya bagi mereka yang lebih banyak berada di luar rumah. Bekerja di luar rumah akan
menghabiskan banyak kekuatan fisik, menimbulkan ketegangan pikiran, kelelahan yang luar
biasa, dan mental yang kacau akibat hiruk-pikuk suasana di luar. Akibatnya, mereka
menemui satu kondisi yang berlainan dan bahkan berlawanan dengan kodratnya yang
lembut.

Dalam hal ketaatan ini Rasulullah menambahkan, “Tidak boleh bagi seorang istri melakukan
puasa (sunat) sedangkan suaminya ada, kecuali dia (suami) mengizinkannya. Dan ia tidak
boleh mengizinkan orang masuk ke rumahnya melainkan dengan izin suaminya.”
Menurut ajaran hadits tersebut, seorang istri dilarang menerima kehadiran seorang teman
tanpa izin suaminya. Tampaknya aneh dan janggal aturan ini. Namun jika kita teliti lebih jauh,
itu memang wajar untuk dilaksanakan. Dengan aturan ini istri akan lebih bisa menjaga
kehormatan di balik pembelakangan suami dan menghilangkan terjadinya bahaya fitnah.

Mu'adz bin Jabal menerangkan, ia pernah mendengar Rasululah saw bersabda, “Tidak boleh
bagi seorang istri yang beriman kepada Allah untuk memberi izin seseorang di rumah
suaminya, sementara suaminya benci-patuh kepada seseorang, meninggalkan tempat
tidurnya dan membahayakannya.” Bila mereka hendak pergi keluar rumah hendaklah terlebih
dahulu meminta izin kepada suaminya.

Sungguh indah Islam yang telah mengatur hubungan suami-istri ini. Suami pergi ke luar
rumah mencari nafkah, sementara istri mengurus pekerjaan di rumah, mendidik anak dan
menjaga kehormatannya di rumah. Apabila sebuah keluarga telah menerapkan ajaran ini,
suasana cerah ceria akan selalu menghiasai rumah. Insya Allah, keluarga sakinah yang
didambakan bukan hanya sebuah khayalan.

Anda mungkin juga menyukai