Anda di halaman 1dari 2

MANAJEMEN PILKADA DIATUR ULANG

Oleh: Dr.H.Supardi.MM

Pemilihan Kepala Daerah dari waktu ke waktu dan akhir-akhir memberikan gambaran yang
buruk dalam membangun paradigma demokrasi di bumi nusantara ini. Alhamdullilah Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2009 bisa berjalan lancar dan ketenangan masyarakat
(baca rakyat) terjaga, jauh dari konflik fisik, anarkisme juga dapat dijauhi. Namun tidak
demikian apa yang terjadi pada tahun 2010. Pilihan Kepala Daerah (Pilkada) sekarang sedang
terpuruk dengan berbagai peristiwa konflik, bentrok, anarkis dan sejenisnya. Baru calon bupati
tidak lulus seleksi, para pendukungnya sudah demostrasi dan anarkis lagi. Pilkada membikin
perpecahan persaudaraan, Pilkada membuat arogansi daerah dengan jargon “putra daerah” dan
“non putra daerah”. Peristiwa terakhir yang terjadi di Sidoarjo memberikan “pukulan telak” dan
peristiwa yang memalukan pembangunan demokrasi di negeri ini. Menurut logika sederhana,
dipastikan tidak terjadi, mengingat tingkat pendidikan masyarakat di Kabupaten/Kota di P.Jawa
ini sudah cukup untuk membangun demokrasi. Tetapi kenyataannya peristiwa anarkis dalam
Pilkada meledak di Sidoharjo. Belum lagi di daerah daerah lain terutama di luar Jawa yang
sangat sering konflik dan anarkisme.
Rasanya sudah waktunya Pemerintah Pusat bersama DPR melakukan kajian dan
mengatur ulang atau meninjau kembali system Pilkada dengan melakukan penyederhanaan agar
lebih efektif dan efisien serta nilai demokrasi dapat terjaga. Beberapa pertimbangan peninjauan
kembali system Pilkada: Pertama , system Pilkada secara langsung memiliki dampak negative
yang lebih banyak dibanding dengan Pilkada melalui perwakilan. Pilkada langsung
menimbulkan konflik dan anarkisme selama masa reformasi dibangun ini; meletakkan “putra
daerah” lebih dari segalanya; politik uang tidak bisa dihilangkan dan lebih lanjut menjadikan
rakyat terbentuk perilaku memilih dengan pertimbangan uang. Politik uang ini memang sulit
dibuktikan, tetapi jikalau kita ke desa-desa yang masyarakatnya masih jujur mereka akan
mengatakan “saya memilih karena ada lembaran uang berwarna merah, yang bisa mengalahkan
uang yang berwarna biru atau hijau”. Serangan fajar dengan “tebar -uang” pun terjadi.
Sementara pemilihan Kepada Daerah (Bupati/Walikota) dengan melalui DPRD lebih sederhana.
Konflik hanya terjadi pada elite politik, dan tidak akan menjadi konflik horizontal pada akar
rumput. Kalau toh harus ada politik uang, maka dengan pengawasan lembaga penegak hukum
termasuk KPK dapat dioptimalkan, terlebih jikalau laporan kekayaan para pejabat dan anggota
DPRD juga merupakan keharusan.
1. Kedua, dari sisi penyelenggaraan oleh pemerintah lebih sederhana dan biaya akan
sangat rendah. APBN, APBD dalam rangka Pilkada dapat dipergunakan untuk program
dan kegiatan mensejahterakan rakyat. Berapa biaya Pilkada untuk 500 san
Kabupaten/Kota di Indonesia. Setiap 5 tahun sekali setiap hari akan selalu ada Pilkada
yang juga mengerahkan personalia dan dan yang sangat besar. Belum lagi pemilihan
kepala daerah tingkat propinsi, yaitu terdapat 33 propinsi. Tahun 2010 ini Pilkada
Kotawaringin Barat saja mencapai Rp. 13 milyard atau naik 6 kali lipat dibanding Pilkada
tahun 2005. Biaya Pilkada Kabupatten Kebumen (Jawa Tengah) sebesar Rp. 23,8 milyard
(bisa untuk mengaspal 50 Km). Pilkada di Jember (JAwa Timur) sebesar Rp. 33 milyard.
Menteri Dalam Negeri RI pun merasa terkejut bahwa biaya penyelenggaraan Pilkada
untuk 244 Daerah mencapai Rp 3,5 triliyun (PosKota). Biaya inipun dari Pusat belum
kagi yang di APBD kan oleh masing-masing pemerintah daerah. Pengamat politik dari
Universitas Airlangga, Surabaya, Daniel Sparringa, menilai, biaya demokrasi di
Indonesia sangat mahal, bahkan cenderung tidak masuk akal. Diperlukan langkah politik
yang radikal untuk membuat sistem politik lebih rasional dan efisien (Kompas, 24 Jan
2009). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencemaskan tingginya biaya pemilihan
kepala daerah. Ia menilai ongkos pemilihan yang kelewat tinggi tak sesuai dengan
hakikat demokrasi. "Kalau ini terus berkembang, bukan hanya mahal ongkos politiknya
tapi juga menyimpang dari hakikat bagaimana rakyat memilih pemimpin," katanya
(Tempointeraktif.com, 18 Mar 2010).
Ketiga, hasil Pilkada langsung ternyata juga masih jauh dari harapan mengembangkan
potensi daerah, tidak berhasil mensejahterakan rakyat, masih banyak kepala daerah yang lebih
mengutamakan janji dari pada mewujudkannya, banyak kepala daerah yang menjadi “raja-raja
kecil” yang sangat berkuasa. Membangun demokrasi di tingkat paling bawah juga tidak berhasil.
Hanya ego-centric kedaerahan dan kesukuan yang lebih menonjol. Bagaimana semangat NKRI
dan nilai Bhineka Tunggal Ika yang telah ditetapkan oleh Pendiri Bangsa dan Negara ini.
Melihat sedikit argumentasi dan dalam rangka kontribusi bagi perbaikan manajemen
Pilkada agar lebih bersih, efektif dan efsien, tetap mengutamakan nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika
dan tetap satu mempertahankan NKRI rasanya sudah waktunya Pemerintah bersama DPR
melakukan kajian dan pembahasan untuk memperbaiki system Pilkada baik di tingkat
Kabupaten/Kota dan Propinsi. Sementara PilPres dan PilWapres masih bisa dilaksanakan secara
langsung oleh rakyat. Semoga.

Penulis adalah
Dosen Pascasarjana FE UII dan UTY Yogyakarta
Direktur Pusat Studi Bisnis dan Etos Kerja (PusBEK) FE UII

Anda mungkin juga menyukai