Anda di halaman 1dari 2

Si Miskin

Ketika setiap pekikan merdeka menjadi hiasan mulut setiap manusia Indonesia,

Ketika setiap nafas di negeri ini merindukan suara proklamasi empat puluh lima,

Dan ketika setiap jiwa menikmati kemerdekaan yang tak bernyawa.

Disana!!,

Jauh disudut kota Jakarta Raya,

Jauh dari gemerlapnya gempita suasana merdeka,

Seorang miskin yang kurus, berkulit hitam legam yang laksana tak bernyawa,

Bertelanjang dada, tanpa baju, dan bercelana.

Mengais tumpukan sampah yang ada,

Ditemani ribuan lalat hijau yang terbang tanpa cela,

Tanpa malu menyelimuti jiwanya,

Demi sesuap nasi untuk raganya.

Sementara itu di Istana sana,

Para pembesar-pembesar menikmati nikmatnya kemewahan yang ada,

Tertawa lebar tanpa kekhawatiran yang melanda,

Tanpa senyum simpul dengan kekenyangan yang tiada tara.

Perut-perut mereka kini bergeser mendahului mereka,

Baju safari dan pakaian mewah hasil setiap nafas para jiwa,

Keringat, peluh, dari insan-insan yang semuanya berdosa,

Pun tanpa malu mereka kenakan dengan bangga.

Diskusi tentang bocah kecil nan kurus laksana tak bernyawa itu dihiasi dengan tawa diantara
mereka,
Dan disela itu pun, para mereka masih sempat menikmati makanan yang nikmat tiada tara,

Tanpa rasa malu, mereka pun berlomba-lomba berteriak “SAYA AKAN MEMBELA ANDA”,

Namun teriakan itu sirna, dan si miskin pun kembali berkaca-kaca.

Mungkin si miskin pun bertanya-tanya,

Mengapa hidupnya selalu diselimuti janji-janji tak nyata,

Teriakan-teriakan pembelaan tak berjiwa,

Ucapan-ucapan manis yang indah ditelinganya.

Hingga si miskin pun menyadarinya,

Kalau hidupnya tidak akan pernah seindah pembesar-pembesar di Istana sana,

Ketika satu tarikan nafasnya memberikan semangat hidupnya,

Itu jauh lebih baik daripada dia berselimutkan harta haram yang berlumur dosa.

Kini, si miskin pun lega,

Janji-janji itu pun tidak dia dengar ditelinganya,

Dia menutup matanya,

Ketika jiwa raganya kembali Keharibaan-Nya.

Anda mungkin juga menyukai