Anda di halaman 1dari 7

BAB IV: HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Pembuatan Kurva Pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae


Pembuatan kurva pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae dilakukan untuk
mengetahui umur dari kultur dengan tujuan untuk mendapatkan fase pertumbuhan inokulum
yang paling tepat untuk proses fermentasi pakan dan suplemen herba. Karakter yang
diharapkan dari inokulum adalah memiliki fase lag yang singkat dan mampu tumbuh dengan
baik pada substrat yang akan digunakan (Sidhi, 2009). Kurva pertumbuhan Saccharomyces
cerevisiae selama 22 jam pengamatan dapat dilihat pada gambar IV.1.

Gambar IV.1 Kurva Pertumbuhan S. cerevisiae

Gambar IV.2 Perubahan PH sepanjang pengamatan kurva pertumbuhan S. cerevisiae


Pada gambar IV.1 terlihat bahwa pertambahan jumlah sel mulai terlihat sejak 2 jam
pertama pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa kultur telah berada dalam kondisi aktif dan
proses aktivasi yang dilakukan sebelumnya berjalan dengan baik. Kecepatan pertumbuhan sel
pada 2 jam pertama pengamatan lebih rendah dari jam-jam berikutnya. Hal ini disebabkan
karena mikroba masih dalam fase adaptasi (fase lag) dimana sel masih beradaptasi dengan
kondisi lingkungannya. Pada fase ini mikroba merombak substrat menjadi nutrisi untuk
pertumbuhannya. Jika ditemukan senyawa kompleks yang tidak dikenalinya, mikroba akan
memproduksi enzim untuk merombak senyawa tersebut (Casselman, 2005).
Dari akhir jam ke-2 hingga akhir jam ke-6 terlihat adanya percepatan pertambahan sel
mikroba. Hal ini menandakan bahwa inokulum memasuki fase pertumbuhan eksponensial
(fase log). Kavanagh (2005) menyebutkan bahwa pada fase ini S. cerevisiae bereproduksi
dengan tunas. Kecepatan pertumbuhan tertinggi terjadi pada rentang antara jam ke-3 hingga
jam ke-6, sehingga inokulasi kultur pada proses fermentasi pakan paling optimal dilakukan
pada rentang waktu tersebut. Adanya aktivitas pertumbuhan yang tinggi juga terlihat dari
penurunan pH yang cukup tajam hingga akhir jam ke-4 pengamatan. Pada 4 jam pertama
pengamatan, konsentrasi produk metabolit belum membatasi pertumbuhan kultur.
Pada rentang setelah jam ke-6 hingga akhir pengamatan jumlah sel berfluktuasi naik
dan turun. Pertambahan dan penurunan jumlah sel pada rentang waktu ini berkisar antara
60.000 hingga 100.000 sel per mm3, sehingga dapat dikatakan bahwa jumlah sel cenderung
konstan atau pertumbuhan melambat pada rentang tersebut. Adanya penurunan kecepatan

19
tersebut terjadi karena dua sebab, yaitu adanya penurunan konsentrasi nutrisi karena habis
terkonsumsi dan munculnya metabolit tertentu yang menghambat pertumbuhan sel (Chomsri
et al. 2005). Setelah jam ke-18 terlihat adanya penurunan jumlah sel yang lebih tajam dari
sebelumnya. Hal ini menjadi indikasi kultur S. cerevisiae akan memasuki fase stasioner. Pada
fase ini, jumlah nutrisi dalam substrat sudah jauh berkurang dan tidak mencukupi untuk
pertumbuhan kultur (Casselman, 2005).
Dari pengamatan kurva pertumbuhan S. cerevisiae didapatkan bahwa pertumbuhan
tertinggi terjadi pada jam ke-4, sehingga inokulum yang paling baik digunakan untuk proses
fermentasi pakan oleh S. cerevisiae adalah kultur berumur 4 jam.

IV.2 Analisis Proksimat Sampel Pakan


Analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Biokimia, Fakultas MIPA, Universitas
Padjajaran, Jl. Singaperbangsa, Bandung. Hasil pengujian adalah sebagaimana tertera pada
tabel IV.1.

Tabel IV.1 Data Hasil Analisis Proksimat


Proksimat 1A 1B 1C 2A 2B 2C
Air (%) 3,29 4,072 3,458 3,99 4,702 4,088
Abu (%) 10,32 10,26 10,606 11,55 11,367 11,713
Protein Kasar (%) 27,96 27,38 27,499 31,09 30,197 30,316
Serat Kasar (%) 9,41 10,825 10,58 6,16 7,9 7,655
Lemak Kasar (%) 4,36 4,143 4,2 5,44 5,115 5,172
BETN (%) 47,95 47,392 47,115 45,8 45,457 45,18

Dari data pada tabel IV.1 dapat dilihat bahwa kandungan protein kasar dan lemak
kasar dari sampel yang bahan pakan utamanya difermentasi (2*) lebih tinggi dibandingkan
sampel yang bahan pakan utamanya tidak difermentasi (1*). Sampel 2A, 2B dan 2C memiliki
kandungan protein kasar diatas 30% sedangkan sampel lainnya berkisar antara 27,38 % -
27,96 %. Pakan yang menggunakan herba yang terfermentasi (1C dan 2C) juga menunjukkan
kandungan protein yang relatif lebih tinggi dibandingkan pakan yang menggunakan herba
tanpa fermentasi (1B dan 2B), pada jenis perlakuan pakan utama yang sama. Protein pada
sampel 1C (27,499%) lebih tinggi dari sampel 1B (27,38%), sedangkan sampel 2C (30,316%)
lebih tinggi dari sampel 2B (30,197%). Pertambahan kandungan protein substrat secara
umum terjadi dalam fermentasi berasal dari protein penyusun sel dan sintesis asam amino
oleh S. Cerevisiae (Sidhi, 2009).
Protein menjadi komponen paling dominan penyusun tubuh ikan, yaitu 18-30% dari
berat tubuh ikan (Afrianto, 2005) atau 70% dari berat kering ikan (Robinson, 2006). Hal ini

20
membuat kebutuhan protein dalam pakan cukup tinggi. Selain karena protein berperan
sebagai komponen penting dalam proses pertumbuhan, protein juga digunakan sebagai
sumber energi. Yang butuh menjadi bahan pertimbangan, sumber protein dalam pakan relatif
mahal (Afrianto, 2005) sehingga tingginya jumlah protein akan mempengaruhi biaya
budidaya ikan. Hal ini membuat penggunaan protein sebagai sumber energi harus ditekan dan
dioptimalkan untuk perbaikan jaringan dan pertumbuhan.
Untuk ikan jenis catfish secara umum, kebutuhan protein optimal pada usia
pertumbuhan (fingerling hingga sebelum dewasa) berada pada kisaran 30-36% (Andrew,
1976 dalam Afrianto, 2005). Kandungan protein pada sampel dengan bahan pakan utama
terfermentasi (2A, 2B dan 2C) berada pada kisaran ini, sedangkan pakan lainnya yang bahan
utamanya tidak terfermentasi (1A, 1B dan 1C) berada dibawah rentang tersebut. Meski
demikian, kandungan protein yang lebih tinggi belum menjamin pertumbuhan yang optimal
(Sidhi, 2009).
Dari data tersebut juga ditemukan bahwa kandungan lemak juga meningkat pada
sampel dengan bahan pakan utama yang difermentasi (2A, 2B dan 2C) dibandingkan dengan
sampel yang tidak difermentasi (1A, 1B dan 1C). Robinson (2006) menyebutkan bahwa
pakan komersil bagi catfish secara umum memiliki kandungan lemak antara 5-6% sedangkan
SNI 01-4087-2006 (dalam Sidhi, 2009) menyebutkan kandungan minimal lemak pada pakan
lele dumbo adalah 5%. Kriteria tersebut dipenuhi oleh semua sampel dengan bahan pakan
utama terfermentasi tetapi tidak terpenuhi oleh semua sampel dengan bahan pakan utama
tidak terfermentasi.
Hasil uji proksimat juga mengindikasikan fermentasi pakan utama menurunkan
kandungan karbohidrat yang terdiri dari BETN (karbohidrat yang dapat dicerna seperti gula
dan pati) serta serat kasar. Kandungan BETN pada sampel dengan bahan utama tanpa
fermentasi berada diatas 47% sedangkan dengan proses fermentasi kandungannya berada
pada kisaran 45,18-45,8%. Kandungan serat kasar pada sampel dengan bahan utama
terfermentasi berada dibawah 8% dari sebelumnya berada diatas 9,4%. Penurunan
kandungan serat juga terlihat pada sampel dengan herba yang difermentasi dibandingkan
sampel dengan herba tanpa proses fermentasi pada perlakuan bahan pakan utama yang
sejenis.

20
IV.3 Uji Biologis Pakan
BAB I

BAB II

BAB III

III.1

III.2

III.3

III.3.1

III.3.2
Selama 8 hari pengamatan dilakukan 3 kali pengukuran berat ikan yaitu pada T0, T1
dan T2 (hari ke-1, ke-5 dan ke-9). Berat rata-rata ikan pada hari pertama pengamatan (T0)
adalah 11,00 ± 1,2 g. Dari hasil pengamatan, dapat dihitung pertumbuhan relatif ikan selama
8 hari yang menghasilkan grafik pada gambar IV.3.

Gambar IV.3 Data pertumbuhan relatif lele selama 8 hari pengamatan

Pada gambar IV.3 dapat dilihat bahwa pertumbuhan relatif tertinggi lele selama 8 hari
pengamatan dicapai pada sampel pakan 1C (0,330 g/hari), selanjutnya disusul sampel 2A
(0,313 g/hari). Pertumbuhan lele yang diberikan sampel pakan 1B dan 2B menunjukkan
perbedaan tipis yaitu masing-masing 0,289 g/hari dan 0,279 g/hari. Nilai pertumbuhan relatif
terendah ditemukan pada kelompok lele yang diberikan sampel pakan 1A (0,110 g/hari).
Dari data tersebut, belum terlihat adanya pola konsisten dari dampak fermentasi
terhadap pakan, baik pada bahan pakan utama maupun tanaman herba. Namun dapat dilihat
perbedaan yang mencolok antara ikan yang diberikan sampel pakan 1A dengan 2A yang
sama-sama tidak mengandung herba tetapi berbeda dalam perlakuan bahan pakan utama.
Pakan 2A menghasilkan pertumbuhan relatif 0,31 g/hari sedangkan sampel pakan 1A
menghasilkan pertumbuhan relatif 0,11 g/hari. Akan tetapi, data tersebut belum dapat
menjadi acuan bahwa fermentasi pakan utama menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik
dibandingkan yang tidak difermentasi, karena kondisi sebaliknya justru terlihat pada sampel
1C (0,33 g/hari) dan 2C (1,59 g/hari).
Pengujian statistik dengan one-way ANOVA dengan sofware SPSS ver. 17
menunjukkan meski adanya hasil yang bervariasi antar sampel pada gambar IV.3, namun
semua sampel tidak berbeda secara nyata. Hal ini diindikasikan dengan ditolaknya hipotesis

19
nol (nilai significance = 0,418) pada uji statistik Levene, yaitu hipotesis bahwa ada sampel
yang berbeda nyata dengan sampel lainnya. Dengan kata lain, belum terlihat pengaruh yang
cukup nyata dari fermentasi bahan pakan utama dan suplemen herba. Meski demikian,
pertumbuhan relatif terendah yang terlihat pada ikan yang diberi sampel pakan 1A dapat
menjadi indikasi bahwa fermentasi berpengaruh positif terhadap pakan, walaupun tidak
signifikan.
Dengan hasil tersebut diatas, post hoc test tidak perlu dilakukan lagi. Post-hoc test
merupakan metode analisis statistik lanjutan dari hasil one way ANOVA jika jumlah sampel
yang dianalisis berjumlah lebih dari 2 jenis. Jika hasil one way ANOVA menyatakan bahwa
hipotesis nol diterima (ada sampel yang berbeda secara nyata dengan sampel lainnya), maka
butuh diketahui sampel manakah yang memiliki perbedaan nyata tersebut. Dalam post hoc
test, dilakukan perbandingan variansi antar tiap perlakuan sehingga akan diketahui letak
perbedaan diantara sampel-sampel tersebut.
Dibandingkan dengan hasil uji proksimat, hasil ini menunjukkan bahwa kandungan
nutrisi dalam pakan tidak selalu berbanding lurus dengan pertumbuhan ikan lele. Ada faktor-
faktor diluar kandungan nutrisi yang ikut mempengaruhi pertumbuhan lele, diantaranya
akseptabilitas ikan terhadap formula pakan yang diberikan. Selain itu faktor cekaman
lingkungan juga berpengaruh pada penurunan nafsu makan ikan (Datta, 2007) (Li et al.,
2006).
Akseptabilitas lele terhadap pakan diantaranya dipengaruhi komponen bahan baku
penyusun pakan. Meskipun lele termasuk omnivora namun mereka lebih menyukai pakan
hewani. Maka dari itu, harus ada komponen pakan hewani yang berperan sebagai atraktan
(pembangkit selera makan lele). Atraktan akan memberikan sinyal kimiawi yang akan
dirasakan ikan lele melalui sensor di barbell (kumis) (Sidhi, 2009), kemudian merangsang
lele untuk merespons pakan tersebut. Diantara komponen pakan yang umum berperan sebagai
atraktan pada pakan catfish adalah tepung ikan (Robinson & Li, 2006).
Tidak terlihatnya perbedaan nyata antar perlakuan dapat dipengaruhi beberapa faktor,
diantaranya yaitu:
1. Rentang waktu pengamatan yang singkat
Dalam penelitian ini waktu pengamatan pertumbuhan lele hanya 8 hari
pengamatan. Waktu pengamatan yang dianjurkan adalah minimal 2 minggu (14
hari) pengamatan. Hal ini didasari pengujian pakan pada penelitian Sidhi (2009)
yang dilakukan selama 14 hari. Akan tetapi, waktu pengamatan yang lebih
panjang dapat memperlihatkan hasil yang lebih valid mengenai dampak suatu
pakan terhadap pertumbuhan lele.

20
2. Frekuensi agitasi atau gangguan yang dialami ikan
Perilaku yang teramati selama pengujian adalah, lele biasanya akan berhenti
merespons pakan yang diberikan jika sebelumnya terlebih dahulu mengalami
gangguan, misalnya saat dilakukan proses penimbangan, penggantian air dan
pengukuran faktor fisika kimia. Kemungkinan besar perlakuan-perlakuan tersebut
memicu stress pada ikan. Pengaruh stress tersebut dapat bertahan selama beberapa
jam hingga lebih dari 24 jam (1hari). Hal ini tentunya secara tidak langsung dapat
berpengaruh pada pertambahan bobot.
Kondisi tersebut telah disiasati dengan melakukan perlakuan penimbangan,
penggantian air dan pengukuran faktor fisika-kimia kurang lebih 1 jam setelah
pemberian pakan. Penentuan waktu 1 jam didasari perilaku yang teramati selama
proses aklimatisasi ikan, dimana terlihat bahwa pakan yang telah dimakan akan
kembali dimuntahkan oleh ikan jika ikan mengalami stress karena perlakuan-
perlakuan diatas. Jeda 1 jam diberikan dengan asumsi makanan telah tercerna
dengan baik dan telah mulai diolah di usus, sehingga tidak akan dimuntahkan
kembali.
Selain itu karena potensi stress paling berat adalah saat penimbangan ikan, maka
frekuensi pengukuran berat ikan dilakukan tidak terlalu sering dengan
memberikan jeda 4 hari antar pengambilan data. Stress karena penimbangan
terjadi pada saat pengambilan ikan menggunakan jaring. Selain itu stress muncul
disebabkan ikan berada dalam wadah penimbangan tanpa air selama beberapa
menit. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan akurasi pengukuran, karena ikan
bergerak lebih lincah saat wadah diisi dengan air sehingga mempengaruhi hasil
yang terbaca di neraca digital.
Untuk ikan lele, penimbangan dapat dilakukan dengan wadah tanpa air, karena
ikan dapat hidup tanpa air dalam waktu yang cukup lama. Datta (2007)
menyebutkan bahwa genus Clarias memiliki organ neomorfik yang
memungkinkan pengambilan oksigen secara langsung dari udara bebas. Hal ini
membuat mereka dapat hidup selama beberapa jam dalam kondisi air yang minim
atau berada dalam tingkat DO yang rendah. Meskipun begitu, tingkat kelembaban
kulit lele butuh untuk tetap dijaga.

19
IV.1 Pengamatan Kondisi Fisika Kimia
IV.1.1 Pengukuran pH
Pengukuran pH dilakukan bersamaan dengan pengukuran berat ikan. Nilai rata-rata
dari hasil pengukuran pH dalam bentuk grafik dapat dilihat pada gambar IV.4.

Gambar IV.4 Grafik perubahan pH air selama uji pakan

Nilai pH yang diperoleh berada pada kisaran 7,11-8,12, dengan rata-rata 7,62 ± 0,51.
Prihatman (2000) menyebutkan bahwa kisaran pH untuk budidaya lele adalah 6,5-9, sehingga
nilai pH yang terukur diatas masih berada dalam kisaran yang ditoleransi lele.

IV.1.2 Pengukuran DO
Pengukuran DO tidak dapat dilakukan karena tidak ada alat (DO meter), sehingga
tidak ada indikator kondisi kadar oksigen terlarut dalam air. Akan tetapi telah dilakukan
antisipasi untuk menjaga ketersediaan oksigen terlarut dalam air dengan pemasangan aerator
dan penggantian air rutin setiap dua hari. Banyaknya penggantian air disesuaikan dengan
tingkat kekeruhan yang teramati secara visual. Datta (2007) menyebutkan penggantian air
dapat mencapai 70-80%, namun pada penelitian ini, penggantian air rata-rata adalah 25%
atau 5 L dari total 20 L volume air dalam akuarium.

IV.1.3Pengukuran Suhu
Pengukuran Suhu dilakukan dengan menggunakan termometer ruangan setiap 2 hari
sekali. Data suhu yang didapatkan dapat dilihat pada gambar IV.5.

Gambar IV.5 Grafik perubahan suhu selama pengujian

Kisaran suhu yang optimal bagi budidaya lele adalah antara 25-28 0C, namun lele
masih dapat hidup secara normal pada suhu 20 0C (Prihatman, 2000). Suhu yang terukur
selama pengamatan berkisar antara 23,1 – 24,8 0C hal ini mengindikasikan bahwa
pengamatan dilakukan tidak pada suhu pertumbuhan yang optimal, akan tetapi lele masih
berada dalam kisaran suhu yang sesuai untuk pertumbuhan yang normal. Li (2006)
menyebutkan bahwa pertumbuhan ikan jenis catfish akan melambat pada suhu yang rendah.
Pada suhu 50 0F (10 0C) catfish akan berhenti makan dan jika berlangsung dalam waktu yang
lama akan berakibat pada penurunan berat badan.

19

Anda mungkin juga menyukai