Bekerjasama dengan
Laporan yang berjudul Kajian Pengeluaran Publik Gorontalo: Pengelolaan Keuangan Daerah dan
Pelayanan Publik di Provinsi Pemekaran merupakan hasil kerja bersama antara Pemerintah Provinsi
Gorontalo dan Universitas Gorontalo yang di dukung oleh Bank Dunia dan DSF-SOfEI serta pendanaan
yang berasal dari Pemerintah Kerajaan Belanda dan DfID-Kerajaan Britannia Raya melalui
Decentralization Support Facility (DSF).
Kami tidak menjamin kecermatan data yang terdapat pada penelitian ini. Batasan, warna, angka, dan
informasi lain yang tertera pada setiap peta dalam penelitian ini tidak mencerminkan penilaian kami
tentang status hukum sebuah wilayah atau merupakan bentuk pengakuan dan penerimaan atas batasan
tersebut.
Untuk pertanyaan lebih lanjut mengenai laporan ini silakan menghubungi Bambang Supriyanto
(rianto2000id@yahoo.com), sedangkan untuk informasi mengenai pelaksanaan program silakan
menghubungi John Theodore Weohau (jweohau@worldbank.org) atau Bastian Zaini
(bzaini@worldbank.org).
Pengelolaan Keuangan Daerah
dan Pelayanan Publik
di Provinsi Pemekaran
Kajian Pengeluaran Publik Gorontalo 2008
Kajian Pengeluaran Publik Gorontalo 2008
Kata Pengantar
Pemerintah Provinsi Gorontalo
Saya menyambut gembira peluncuran laporan Gorontalo Public Expenditure Analysis (Gorontalo PEA)
yang merupakan laporan komprehensif pertama yang membahas masalah keuangan daerah dalam
pelaksanaan otonomi daerah di Provinsi Gorontalo.
Sebagai salah satu provinsi termuda di tanah tanah air, tentunya tidak sedikit tantangan yang
dihadapi oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo. Tingkat kemiskinan yang tinggi merupakan salah satu
masalah utama yang dihadapi oleh Provinsi yang saya pimpin ini.
Pemerintah, sebagai pengayom masyarakat memiliki tanggung jawab yang berat dan mulia dalam
upaya-upaya pembangunan daerah, pemberantasan kemiskinan dan pelayanan publik dasar – di
bidang pendidikan dan kesehatan misalnya – kepada seluruh lapisan masyarakat.
Dalam melaksanakan ketiga tugas utamanya tersebut, keberhasilan Pemerintah daerah akan sangat
bergantung pada tiga hal. Pertama, visi pemerintahan daerah dalam membangun wilayahnya; kedua,
kapasitas birokrasi pemerintahan; dan ketiga, sumber daya keuangan yang dimilikinya.
Visi yang tajam sangat dibutuhkan dalam mengarahkan upaya-upaya pembangunan daerah sehingga
mampu mensinergikan upaya dari berbagai aktor maupun stakeholders pembangunan lainnya. Lebih-
lebih bagi daerah baru dengan sumberdaya yang terbatas seperti Gorontalo diperlukan visi dan
kepemimpinan yang membumi sehingga dapat memacu seluruh lapisan masyarakat untuk bersama-
sama melepaskan diri dari belenggu kemiskinan menuju masa depan yang lebih sejahtera.
Dalam kurun waktu 2001-2006, Gorontalo telah membuktikan bahwa kemiskinan bukanlah menjadi
hambatan dalam mengelola tata-pemerintahan yang baik dan dalam merumuskan visi dan
perencanaan pembangunan yang maju dan berwawasan. Upaya pengentasan kemiskinan sebenarnya
dapat secara cepat direalisasikan bila daerah mampu mengenali potensi unggulan lokal yang ada dan
kemudian memfokuskan upaya pertumbuhan terhadap sektor-sektor tersebut. Gorontalo telah
merintis hal tersebut dengan Program Agropolitan Jagung serta pengembangan Teluk Tomini sebagai
salah satu etalase pengembangan perikanan nasional dan regional di KTI.
Sebagai provinsi baru, Gorontalo telah berhasil menyusun APBD yang berbasis kinerja sejak tahun
2003. Lalu pada tahun 2004 Provinsi Gorontalo telah berupaya menyusun Standar Pelayanan
Minimal untuk beberapa jenis pelayanan di bidang keuangan dan sekaligus standar biayanya sebagai
dasar penyusunan anggaran kinerja. Ini semua menunjukkan upaya berkelanjutan Pemerintah
Provinsi Gorontalo dalam melakukan reformasi birokrasi terutama terkait dengan pengelolaan
keuangan daerah.
Tentunya masih banyak kekurangan dan tantangan yang dihadapi oleh Gorontalo seperti yang tertulis
dalam laporan ini. Tantangan yang dihadapi oleh Pemerintah Provinsi ke depan pada dasarnya bukan
merupakan hambatan sepanjang upaya-upaya pembangunan daerah terus memperoleh dukungan
dari Pemerintah Kabupaten dan Kota sebagai penggerak utama pembangunan di tingkat akar rumput,
serta dari Pemerintah Pusat dan Lembaga Donor.
Buku ini kiranya dapat menjadi dokumen pembelajaran yang berharga bagi kami, Pemerintah Provinsi
maupun Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Gorontalo agar lebih baik lagi menata keuangan
daerah dan birokrasi pemerintahan menuju entrepreneurial government yang sesungguhnya.
Terwujudnya dokumen ini adalah berkat kerja keras berbagai pihak. Untuk itu, saya mengucapkan
terima kasih atas kerjasama Bank Dunia dan Kantor Decentralization Support Facility Eastern
Indonesia (DSF-SOfEI). Saya juga menyampaikan penghargaan dan rasa bangga atas keterlibatan Tim
Universitas Gorontalo sebagai local knowledge centre dalam memfasilitasi penulisan laporan ini.
Semoga dokumen ini dapat bermanfaat bagi jajaran Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota se-
Provinsi Gorontalo baik sebagai referensi pengelolaan keuangan daerah maupun sebagai planning
tool bagi perencanaan daerah.
Kata Pengantar
Desentralization Support Facility - Eastern Indonesia
Kajian Pengeluaran Publik Gorontalo ini merupakan laporan latar belakang (background report) yang
disusun oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo dan Universitas Gorontalo. Laporan ini merupakan salah
satu output dari Program Kajian Pengeluaran Publik dan Peningkatan Kapasitas, atau lebih dikenal
sebagai program PEACH (Public Expenditure Analysis and Capacity en Hancement).
Program PEACH Gorontalo merupakan program milik Pemerintah Provinsi Gorontalo, yang
mendapatkan dukungan pendampingan teknis dari Bank Dunia dan Kantor Decentralization Support
Facility Eastern Indonesia (SOfEI). Program ini dimulai pada bulan Juni 2006 melalui prakarsa
Gubernur dan Kepala BAPPEDA Provinsi Gorontalo melalui Forum Kawasan Timur Indonesia, suatu
forum pertukaran pengetahuan antar berbagai pelaku pembangunan baik dari kalangan
pemerintahan, perguruan tinggi, maupun organisasi-organisasi non-pemerintah yang dikembangkan
untuk meningkatkan efektivitas pembangunan bagi bangsa Indonesia.
Terlaksananya program ini merupakan wujud kesungguhan Pemerintah Provinsi Gorontalo untuk
memperkuat pengelolaan keuangan daerahnya dalam rangka peningkatan pelayanan publik di
provinsi yang belum lama dimekarkan ini. Kiranya melalui laporan ini pemerintah dan masyarakat di
Provinsi Gorontalo dapat memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang pengelolaan keuangan
daerahnya yang memungkinkan penguatan terstruktur dan terencana bagi peningkatan kinerja
pemerintahan daerah.
Penelitian dan analisa data dilakukan oleh Tim PEACH dari Universitas Gorontalo yang terdiri dari
Bambang Supriyanto, Bachtiar, Duke Arie Widagdo, Elvis Mus Abdul, Fitriary A. Puhi, Hartati Inaku,
Ilyas Lamuda, Mohamad Rolli Paramata, Razak H. Umar, dan Syamsul Qamar Ngabito. Dukungan
selama penelitian dan analisa data diperoleh dari Pemerintah Provinsi Gorontalo, terutama dari kantor
BAPPEDA dan Badan Keuangan Daerah, antara lain dari Prof. DR. Winarni Monoarfa, Bp. Andha Fauzi
Miraza, Bp. Darmadi, Bp. Aryanto Husain dan Bp. Jamal Moodoeto. Sementara itu, pendampingan
teknis dari SOfEI/Bank Dunia diberikan oleh Bastian Zaini, Eleonora Suk Mei Tan, Bambang Suharnoko
dan John Theodore Weohau. Komentar dan input yang berharga juga diberikan oleh Wolfgang
Fengler, Akhmad Bayhaqi dan Diane Zhang. Dukungan manajemen dan logistik diberikan Caroline
Tupamahu dan Chairani Triasdewi. Desain serta layout dikerjakan oleh Nur Syamsul.
Terima kasih atas kerjasama semua pihak yang telah bekerjasama dalam penelitian ini dan telah
menghasilkan dokumen yang dapat mendukung interaksi antar pemerintahan daerah dan nasional.
Apresiasi dan terima kasih juga disampaikan kepada Pemerintah Kerajaan Belanda serta DfID-
Kerajaan Britannia Raya melalui Decentralization Support Facility (DSF) yang telah menyediakan
dukungan pendanaan bagi terlaksananya program ini.
Petrarca Karetji
Team Leader – SOfEI
Daftar Isi
1. PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 2
Geografi 3
Ekonomi 4
Penduduk 7
2. SIKLUS PENGANGGARAN 11
Kerangka Peraturan Perundang-Undangan 12
APBD dan Reformasi Keuangan Daerah 12
Sistem Perencanaan 14
Sistem Penganggaran 16
Managemen Kas dan Pengadaan 18
Akuntansi dan Pelaporan 19
Analisis PFM 19
Rekomendasi 23
4. PENGELUARAN 39
Struktur dan Komposisi Pengeluaran 40
Struktur dan Komposisi Pengeluaran Berdasarkan Klasifikasi Bidang dan Ekonomi 42
Tingkat Realisasi Pengeluaran 46
Belanja Luncuran Provinsi Gorntalo 48
Pengeluaran Dekonsentrasi Pusat 50
Rekomendasi 52
5. ANALISIS SEKTORAL 53
KESEHATAN 54
Kondisi Kesehatan di Provinsi Gorontalo 54
Output Kinerja Kesehatan Gorontalo 55
PENDIDIKAN 60
Kondisi Pendidikan di Provinsi Gorontalo 60
A. Penerimaan Dana Bidang Pendidikan di Provinsi Gorontalo 62
B. Pengeluaran Sektor Pendidikan di Provinsi Gorontalo 63
Rekomendasi 66
INFRASTRUKTUR 67
Kondisi Infrastruktur 67
Penerimaan Infrastruktur 71
Belanja Infrastruktur 71
1. Belanja Menurut Klasifikasi Ekonomi 72
2. Belanja Modal 73
PERTANIAN 74
Program Agropolitan dan Sumberdaya Pertanian 74
Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Komoditi Pertanian
Tanaman Pangan Utama 77
Penerimaan dan Financing 80
Belanja Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi 83
Agriculture Contribution 87
Rekomendasi 90
Daftar Tabel
Daftar Gambar
3.1 Total Realisasi Penerimaan Riil Kabupaten/Kota dan Provinsi Gorontalo Tahun
2002-2005 26
3.2 Proporsi Bagian Penerimaan Kabupaten/Kota di Provinsi Gorontalo Tahun
2002-2005 28
3.3 Dana Perimbangan Provinsi dan Kabupaten/Kota Tahun 2002-2005 29
3.4 Pendapatan Asli Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota Tahun 2002-2005 30
3.5 Pendapatan Asli Daerah Riil Provinsi dan Kabupaten/Kota Tahun 2005 31
3.6 Penerimaan Daerah Perkapita Riil Provinsi dan Kabupaten/Kota 33
3.7 Pendapatan Asli Daerah Perkapita Riil Provinsi dan Kabupaten/Kota 34
3.8 Dana Perimbangan dan DAU Perkapita Riil Provinsi dan Kabupaten/Kota 35
3.9 Proyeksi Pendapatan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Kota 36
6.1 Penggabungan dua Institusi Keuangan Daerah menjadi Badan Keuangan Provinsi
Gorontalo pada Tahun 2003 94
6.2 Perkembangan PNS Pemda Provinsi Gorontalo 95
6.3 Perkembangan Pegawai Provinsi Gorontalo 96
6.4 Perkembangan Jumlah Pegawai dan Rasio Pegawai Kabupaten/Kota 97
6.5 Jumlah Pegawai di Provinsi Gorontalo Menurut Jabatan Tahun 2005 97
6.6 Trend Linear Total Anggaran Tunjangan Kinerja Daerah Tahun 2006-2008 100
6.7 Belanja Pegawai Pemerintah Provinsi Gorontalo selang Tahun 2002 s.d 2005 101
6.8 Rasio Kemandirian Keuangan Pemerintah Provinsi Gorontalo Selang Tahun
2002 s.d. 2005 102
Keunikan sejarah Gorontalo bukan hanya terletak pada keberhasilannya meraih kemerdekaan
sebelum Indonesia yakni tanggal 23 Januari 1942, melainkan juga proses otonomisasi yang
melahirkannya sebagai Provinsi baru di Indonesia melalui Undang-Undang 38 tahun 2000 tanggal 22
Desember 2000. Dalih utama Gorontalo membentuk daerah otonom dari induknya Sulawesi Utara
adalah upaya kuat untuk memperoleh kesetaraan di bidang ekonomi dan memberangus ketidakadilan
di bidang ekonomi dan politik. Dengan segala potensi sumber daya yang dimiliki seperti pertanian,
perikanan dan kelautan, hasil-hasil hutan, dan berbagai potensinya Gorontalo berusaha untuk
bangkit sebagai provinsi baru.
Indikasi kebangkitan Gorontalo dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang rata-rata meningkat
6,55% setiap tahun sejak tahun 2001, yang umum berada diatas rata-rata pertumbuhan ekonomi
nasional 4,62%. Dengan luas wilayah 12.215,44 km2, lima kabupaten satu kota, Gorontalo didiami oleh
penduduk sebanyak 917.949 jiwa. Seperti halnya daerah-daerah lain di Indonesia, penggerak utama
perekonomian Gorontalo adalah sektor Pertanian, sebagaimana tercermin pada pembentuk utama
Produk Domestik Regional Bruto dan jumlah angkatan kerja yang terserap pada sektor tersebut yang
mencapai 48,04 %.
Dibalik tingginya pertumbuhan ekonomi terdapat dua permasalahan berat yang dihadapi, yakni
kemiskinan dan pengangguran. Gorontalo tercatat sebagai provinsi termiskin di Indonesia pada tahun
2004, menempati urutan ketiga setelah Papua dan Maluku. (28,87%). Pengangguran juga cukup
tinggi, data Sakernas tahun 2004 mencatat pengangguran di Gorontalo sebanyak 45.360 jiwa
sementara Susenas mencatat ada 57.412 jiwa.
Seiring banyaknya permasalahan kehidupan ekonomi yang harus diatasi, sebagai pemilik resources
terbesar di daerah tidak ada alasan bagi pemerintah untuk mengelola kebijakan publik secara efektif,
efisien dan ekonomis, terutama pada aspek kapasitas fiskal daerah. Paling tidak, ditengah minimnya
peran swasta dan masyarakat, pemerintah berusaha memaksimalkan peluang-peluang minimal
terutama melalui aspek fiskalnya.
Ada dua tahapan dalam reformasi pengelolaan keuangan daerah Propinsi Gorontalo: (1) tahap pre-
requisite, terdari: penyusunan kebijakan pelayanan publik, sosialisasi dan bimbingan teknik, hingga
mencari pejabat kunci (outsourcing), (2) tahap Penerapan Reformasi Administrasi Keuangan yang
terdiri dari: penyempurnaan perangkat hukum, perencanaan dan penganggaran, perbaikan sistem
dan prosedur akuntansi serta pengembangan kapasitas dan penataan kelembagaan. Tahapan tersebut
menunjukkan bahwa pemerintah Provinsi memiliki skenario yang jelas tentang arah reformasi
pengelolaan keuangan daerah. Sementara itu pada tingkat Kabupaten/Kota, pengelolaan keuangan
daerah mengabaikan skenario akademis sebagaimana pemerintah Provinsi - sebagian memulai dari
aspek penyusunan peraturan tentang pengelolaan keuangan daerah, tetapi sebagian lagi belum.
Kabupaten Gorontalo dan Boalemo telah memiliki Perda tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan
Daerah. Perda ini mengatur pembagian anggaran pendapatan dan belanja daerah. Sedangkan untuk
Kabupaten Pohuwato, Kabupaten Bone Bolango dan Kota Gorontalo sampai saat ini masih melakukan
penyusunan Ranperda tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, sehingga dalam setiap penyusunan
APBD masih mengacu pada ketentuan Nasional yang berlaku.
Pada tataran pelaksanaan baik Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten dan Kota melaksanakan
Musrenbang yang diawali melalui kegiatan musrenbang pada stuktur pemerintahan terbawah yakni
Desa. Dalam rangka memantapkan hasil-hasil musrenbang itu, Pemerintah melalui Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) baik Provinsi maupun Kabupaten dan Kota melakukan
sinkronisasi waktu dengan waktu pelaksanaan Jaring Aspirasi Masyarakat (Jaring Asmara) yang
dilakukan oleh DPRD, agar keduanya tidak memiliki gap yang terlalu jauh. Meskipun demikian, bukan
berarti semua persoalan telah tertangani secara keseluruhan. Ketidakpastian hukum sempat
mewarnai legitimasi dokumen perencanaan daerah di tingkat Provinsi. Dokumen perencanaan yang
dipakai pada tahun 2005 masih mengacu pada perda 31 tahun 2002 yang masa pemberlakuanya
hanya sampai pada tahun 2004. Pembatasan periodisasi perencanaan sebagaimana pada perda
tersebut dibuat untuk mengikuti periodisasi DPRD.
Proses otorisasi telah mengalami 4 kali perubahan mulai dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2006.
Proses otorisasi pada tahun 2002 melalui 15 tahap, mulai dari dinas (SKPD) sampai pencairan melalui
Gubernur. Namun sejak tahun 2006 proses itu mengalami perubahan hanya dengan 3 kali tahapan
mulai dari Dinas, Bendahara Dinas (SKPD) sampai pada pencairan melalui Bagian keuangan. Setelah
itu dinas (SKPD) melakukan proses otorisasi sampai pada tingkat Wakil Gubernur.
Tahapan evaluasi atas proses otorisasi sebagaimana disebut d atas dilakukan dalam rangka
penggunaan anggaran diatur melalui Perda 39/2002. Bentuknya, Laporan Keuangan Berkala dan
Laporan Triwulan, dibuat oleh Kepala Unit Kerja Pengguna Anggaran setiap akhir bulan selanjutnya
kepada kepala daerah dalam bentuk laporan keuangan pengguna anggaran. Sedangkan laporan
triwulan disampaikan oleh pemerintah daerah kepada DPRD sebagai pemberitahuan pelaksanaan
APBD untuk setiap 3 (tiga) bulan tahun anggaran. Laporan triwulan disampaikan paling lambat 1
(satu) bulan setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan.
Berdasarkan Pengukuran Kinerja Pengelolaan Keuangan Publik (PFM) diketahui bahwa kapasitas
pemerintah kabupaten/kota untuk mengelola dana publik secara efisien menunjukkan kinerja yang
baik, namun kurangnya perlengkapan kerja dan latar belakang pendidikan pengelola masih menjadi
hambatan bagi perbaikan proses perencanaan dan penganggaran. Nilai total rata-rata untuk
pengelolaan keuangan publik dari 5 kabupaten/kota yang disurvei adalah 65%, artinya sangat bagus
dan dapat diterima secara substansial. Dua nilai tertinggi diduduki oleh dua daerah yaitu Kota
Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo (masing-masing 72%); dan yang terendah adalah Kabupaten
Bone Bolango (59%).
Dari pengukuran 9 bidang strategis dalam Kinerja Pengelolaan Keuangan daerah, nilai terendah
diperoleh bidang kerangka peraturan, manajemen aset, dan utang investasi publik (masing-masing
48%, 51%, dan 53%). Secara rinci hasil PFM menunjukkan bahwa pemerintah kabupaten/kota
memiliki kerangka peraturan yang sudah cukup baik/cukup dapat diterima untuk meningkatkan
transparansi dan partisipasi publik (57%), mengelola dana publik secara efektif (68%), penegakan
peraturan dan struktur organisasi (46%), audit eksternal secara rutin (55%,) sudah cukup baik dan
pengawasan indipenden yang efektif (88 %) excellent. Kelemahan secara umum pada tingkat
kabupaten/kota adalah manajemen aset, yaitu dalam hal kebijakan, prosedur, pengendalian dan
pengelolaan aset (13 %).
Selain itu pemerintah kabupaten/kota (kecuali kabupaten Gorontalo) juga masih lemah dalam jalur
kebijakan, prosedur, dan pengendalian untuk mendorong pengelolaan kas yang efisien dan sistem
pengaduan resmi pada pengadaan (32 % dan 0 %). Hal ini disebabkan beberapa bagian pokok
pengelolaan keuangan belum diakomodasi, seperti pendelegasian kewenangan, prosedur otorisasi,
prosedur pembukaan rekening dan prosedur yang mengatur hubungan regulasi keuangan dengan
pemerintah pusat. Sementara itu, terkait pengadaan barang dan jasa umumnya pemerintah
kabupaten/kota belum memiliki perda yang mengaturnya secara khusus akibatnya tidak terdapat
sistem pengaduan resmi dalam bidang tersebut. Meskipun demikian segala pengaduan dari rekanan
yang terkait dengan proses tender tetap diakomodasi oleh panitia tender sebagaimana yang
diamanatkan dalam Kepres 80/2003.
Kinerja pengelolaan keuangan daerah, termasuk sistem penganggaran, tercermin pada penerimaan
dan pengeluaran APBD berserta rinciannya. Pengelolaan Keuangan daerah yang baik menghasilkan
keseimbangan antara optimalisasi penerimaan dan efisiensi pengeluaran. Dalam konteks ini
penerimaan rata-rata baik provinsi maupun kabupate/kota selama tahun 2002-2005 mencapai nilai
riil Rp 967,74 M. Nilai ini dapat memenuhi total pengeluaran riil rata-rata Rp 944,64 M, atau 1,02
berbanding 1,00. Berdasarkan persentase peningkatan rata-rata pertahun tersebut terlihat bahwa
terjadi kenaikan penerimaan rata-rata 11,77% dan pengeluaran rata-rata naik 12,30% pertahun.
Sebelum adanya pemekaran daerah Kabupaten Bone Bolango dan Pohuwato, pada tahun 2003
Penerimaan naik 27,38% dan Pengeluaran naik 30,75% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Namun pada tahun 2004 setelah pemekaran, penerimaan hanya naik 5,75% dan begitu pula
pengeluaran hanya naik 5,60% dibandingkan tahun sebelumnya, dan untuk tahun 2005, penerimaan
naik 2,19% dan pengeluaran naik 0,55%. Berdasarkan perbandingan tersebut, ternyata bahwa setelah
pemekaran dua daerah persentase kenaikan dari penerimaan riil dan pengeluaran riil mengalami
penurunan drastis pada tahun 2004 dan 2005. Konsekuensi logis dari sebuah pemekaran adalah
beban anggaran keuangan bagi daerah otonomi baru. Pemekaran wilayah secara otomatis diikuti
dengan mobilisasi asset ke daerah-daerah mekaran. Kabupaten Gorontalo dimekarkan menghasilkan
Bone Bolango, Boalemo menghasilkan Pohuwato
Secara umum penerimaan pemerintah daerah didominasi oleh penerimaan dari sumber Dana
Perimbangan terutama dari Dana Alokasi Umum (DAU). Rata-rata penerimaan Dana Perimbangan
dari pusat pada total kab/kota adalah 90,73%, propinsi 84,08% dan total propinsi dan kab/kota
89,87%. Sisanya adalah penerimaan dari Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak SDA, kecuali
hanya pada tahun 2003 Propinsi Gorontalo menerima Dana Alokasi Khusus. Kontribusi Sumber Daya
Kelautan di Teluk Tomini, Program Agropolitan, potensi mineral dan hasil hutan serta potensi
kekayaan alam lainnya belum menghasilkan sumber pembiayaan pembangunan. Hal ini nampak pada
pembentukan dana dari Bagian Lain-Lain Penerimaan Yang Sah, dan PAD, hanya rata-rata 9,28%.
Sementara itu sepanjang tahun 2002-2005 dana perimbangan yang terbentuk oleh Dana Bagi Hasil
(Pajak dan Bukan Pajak SDA) juga tidak signifikan.
Sebenarnya sumber Penerimaan PAD, Pajak Daerah dan Laba Perusahaan Milik Daerah potensial
dikembangkan mengingat pajak daerah rata-rata meningkat 16,30 %. Sementara itu, Retribusi Daerah
Provinsi sekalipun mencapai rata-rata 146,42 % peningkatannya per tahun namum pada tahun 2004
turun 72,58 %. Dengan demikian peningkatan rata-rata pertahun yang sangat tinggi disebabkan oleh
kontribusi kenaikan sebesar 424,74 % pada tahun 2003 yang merupakan kontribusi dari Retribusi
Sumbangan Pihak Ketiga. Ditingkat Kabupaten/Kota Pajak Daerah rata-rata meningkat 16,73 % dan
Retribusi Daerah rata-rata 24,26 %, tetapi kedua pos penerimaan ini mengalami penurunan pada
tahun 2005. Kemandirian Daerah masih berada pada rentang 2,05% sampai dengan 17,06% jika
dilihat dari proporsi PAD terhadap total penerimaan daerah masing-masing di Gorontalo pada selang
waktu 2002-2005. Secara rata-rata, yang paling rendah proporsinya adalah Bone Bolango (2,62%)
dan yang paling tinggi adalah Provinsi Gorontalo (15,89%). Sedangkan tingkat kemandirian PAD Kota
Gorontalo mencapai 9,87%, Kabupaten Gorontalo 5,26%, Kabupaten Boalemo 4,85% dan Kabupaten
Pohuwato 6,95%.
Penerimaan Daerah Perkapita Riil Boalemo terbesar tahun 2002 2003 dan Kota Gorontalo terbesar
tahun 2004-2005, sedangkan PAD Perkapita Riil Kota Gorontalo Tertinggi dan Bone Bolango
Terendah. Kecuali pada tahun 2003, PAD Riil Kota Gorontalo tertinggi pada tahun 2002, 2004, 2005.
Bahkan pada Tahun 2005 PAD perkapita Kota Gorontalo sangat tinggi melebihi PAD Perkapita
Propinsi.
Dalam hal surplus/defisit, Propinsi Gorontalo mengalami surplus anggaran dalam tahun 2002-2005
sementara Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo mengalami defisit tahun 2003 dan 2005.
Kabupaten Gorontalo defisit yang besar pada tahun 2004 dan 2005 yang menyebabkan daerah ini
memiliki rata-rata defisit 1,9 Milyar pertahun. Sedangkan Penerimaan SILPA (Sisa Lebih Perhitungan
Anggaran) pada tahun sebelumnya menjadi pos andalan dalam penerimaan pembiayaan baik di
Propinsi maupun Kabupaten/Kota. SILPA yang diperhitungkan dari Surplus/Defisit dikurangi dengan
pembiyaan Netto (selisih Penerimaan Pembiayaan dan Pengeluaran Pembiayaan), pada umumnya ada
pada setiap laporan pembiayaan di Propinsi dan Kabupaten/Kota. Bahkan sering menjadi satu-
satunya pos penerimaan pembiayaan. Penerimaan pembiayaan akan digunakan sebagai pengeluaran
pembiayaan, diantaranya adalah penyertaan modal. Penyertaan modal pemerintah belum
dilaksanakan secara maksimal setiap tahun dari pemanfaatan surplus sebagai upaya penambahan
investasi daerah.
IV. Pengeluaran
Perkembangan pengeluaran riil mulai tahun 2003, baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota mengalami
kenaikan antara 24 % hingga 31 %. Keadaan ini tidak terjadi pada tahun 2004 dimana Kabupaten
Gorontalo mengalami penurunan pengeluaran hingga 25,27 % dan Kabupaten Boalemo menurun
39,75 %. Untuk tahun 2005, penurunan terjadi pada Propinsi Gorontalo (5,56%), Kabupaten
Gorontalo (7,68%), dan Kabupaten Boalemo (1,17%). Penurunan terjadi bukan karena pengurangan
anggaran pengeluaran, tetapi karena pelaksanaan pemekaran di daerah-daerah.
Kabupaten Boalemo adalah kabupaten yang memiliki penerimaan dan pengeluaran riil perkapita
tertinggi dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lainnya selang tahun 2002-2003 dan Kabupaten
Pohuwato tertinggi tahun 2005. Pada tahun 2005 Kabupaten Boalemo menunjukkan penerimaan dan
pengeluaran riil perkapita tertinggi dengan tingkat penerimaan riil mencapai Rp.101.233/Bulan
(Boalemo Rp.87.474/bulan) dan pengeluaran riil perkapita mencapai Rp.90.165/bulan (Boalemo
Rp.84.638/bulan). Kondisi perekonomian Kabupaten Boalemo perkapita sangat baik karena daerah ini
terkenal antara lain sebagai pusat perdagangan, industri manufaktur dan jasa di wilayah Barat
Gorontalo.
Tingkat Kabupaten/Kota alokasi terbesar adalah Belanja Pegawai yang besarannya relatif sama setiap
tahun. Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo, dan Kabupaten Bone Bolango, rata-rata
mengalokasikan belanja pegawai paling tinggi dibanding dengan belanja ekonomi lainnya, dengan
proporsi pengeluaran riil di atas 50 %, yakni masing-masing Kota Gorontalo 52,20%, Kabupaten
Gorontalo 61,65%, dan Kabupaten Bone Bolango 55,35%. Sedangkan belanja Modal/Pembangunan
masing-masing 27,06%, 20,42% dan 29,62%. Sisanya dialokasikan pada belanja ekonomi lainnya.
Rata-rata, Belanja Pegawai 51,39 % dan Belanja Pembangunan 29,60 %.
Kabupaten Boalemo, dan Kabupaten Pohuwato, mengalokasikan Pengeluaran riil dalam belanja
Modal/Pembangunan lebih tinggi dari belanja ekonomi lainnya. Propinsi Gorontalo rata-rata
mengalokasikan 40,83%, Kabupaten Boalemo 41,40 % dan Kabupaten Pohuwato 39,65%. Sedangkan
rata-rata belanja riil Pegawai masing-masing daerah 21,19%, 37,92% dan 33,57 %. Sisanya
dialokasikan pada belanja ekonomi lainnya.
Tingkat realisasi Pengeluaran Propinsi Gorontalo, baik dalam klasifikasi Bidang maupun klasifikasi
ekonomi Ekonomi rata-rata mencapai 89,57% lebih rendah dari pada Kabupaten/Kota yang mencapai
realisasi 92,84%. Dengan demikian, di Kabupaten/Kota tingkat realisasi tertinggi yang terjadi setiap
tahun adalah Bidang Kesehatan, yang direalisasikan di atas 100%, kecuali pada tahun 2004. Kinerja
realisasi anggaran yang mendekati 100% adalah ditingkat Kabupaten/Kota. Tingkat realisasi total
pengeluaran pertahun menurut Klasifikasi Ekonomi adalah sama dengan Klasifikasi Bidang. Tingkat
realisasi anggaran di atas 100 % tidak terdapat di Propinsi Gorontalo dan Kabupaten/Kota, kecuali
hanya salah satu item belanja tahun 2002 yakni Belanja Lain-Lain.
Di Provinsi Gorontalo, pada tahun 2003 dan 2004, terdapat Belanja Luncuran sebagai pengeluaran
yang harus direalisasikan karena belum selesai pelaksanaannya pada tahun sebelumnya. Tahun 2002
dan 2005 tidak terdapat Belanja Luncuran.
Dana Dekonsentrasi yang dikucurkan oleh pemerintah pusat pada tahun 2005 dan 2006 terbilang
sangat besar. Pada tahun 2005 dana ini mencapai Rp 1,16 Trilyun dan tahun 2006 sebesar Rp 2,642
Trilyun. Jumlah ini sangat jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya dimana tahun 2002 hanya
193 Milyar, tahun 2003 menjadi 404 Milyar dan tahun 2004 sebesar 391 Milyar. Proporsi (share) pada
masing-masing bidang setiap tahun relatif sama, terinci dalam 19 Bidang Dana Dekonsentrasi.
Proporsi alokasi dana dominan terbesar dikucurkan adalah bidang Pendidikan, Kebudayaan, dan
Kepercayaan Terhadap Tuhan, rata-rata proporsinya tahun 2002- 2006 adalah 24,24 %/tahun.
V. Sektoral
1. Kesehatan
Pengeluaran bidang kesehatan mengalami peningkatan meski belum signifikan dengan upaya
peningkatan kualitas layanan. Prosentase pengeluaran kesehatan terhadap belanja total APBD selama
lima tahun terakhir dibawah 2 persen. Pengeluaran ini masih jauh dari anjuran Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) yakni paling sedikit 5 persen dari PDB per tahun atau 15 persen dari APBD.
Belanja pegawai merupakan pengeluaran terbesar bidang kesehatan. Tahun 2005, Pengeluaran
kesehatan bersumber dari APBD Propinsi lebih dari 50 % dibelanjakan untuk belanja pegawai (2,6 M),
sisanya untuk belanja barang dan jasa 1,6 M (34 %), belanja modal 280 juta (6%), sedangkan untuk pos
belanja pemeliharaan serta perjalanan dinas pada tahun 2005 dimasukkan pada belanja barang dan
jasa, masing-masing 91 juta (1,9 %) dan 631 juta (12,9 %). Jenis pengeluaran belanja pegawai meliputi
pembayaran gaji dan tunjangan 1,4 Milyar, tambahan penghasilan PNS 834 Juta dan Belanja
Pengembangan Sumber Daya Aparatur Daerah 20 Juta.
Pada tingkat kabupaten/kota belanja Modal lebih besar 39 % dari belanja pegawai 33 %. Strategi
pendanaan kesehatan bersifat insidentil terutama pada saat adanya dana luncuran pemerintah pusat
dan hibah. Provinsi Gorontalo mempunyai pengeluaran perkapita kesehatan Gorontalo sebesar Rp.
86.150/orang. Pengeluaran riil perkapita kesehatan Gorontalo urutan kesembilan secara nasional.
2. Pendidikan
Kebijakan belanja disektor pendidikan difokuskan pada peningkatan: perluasan pemerataan, mutu,
relevansi dan akuntabilitas pendidikan serta peningkatan kualitas profesionalisme pendidikan tinggi.
Secara umum pengeluaran bidang pendidikan jika dibandingkan dengan total Belanja Daerah maupun
bidang lainnya sejak tahun 2002 hingga 2005 hanya 5%. Sebaliknya pada tingkat kabupaten/kota
pengeluaran bidang pendidikan diatas 20%, namun termasuk didalamnya gaji pegawai dan guru
sehingga besaranya hanya berada di bawah 5%.
Belanja pegawai masih mendominasi pengeluaran pendidikan baik pada tingkat propinsi maupun
kabupaten/kota. Besarnya belanja pegawai pada tingkat kabupaten/kota disebabkan adanya
kewenangan pengelolaan guru di daerah sedangkan pada tingkat propinsi oleh masih kecilnya alokasi
pendidikan dibandingkan dengan jumlah pegawai. Adapun untuk Belanja Modal lebih diarahkan
untuk pembangunan gedung kantor dan pembebasan lahan. Belanja program pengembangan
pendidikan berbasis kawasan menyedot anggaran besar dari dana yang bersumber dari APBD propinsi.
Dana ini diperuntukan untuk program Pendidikan berbasis Kawasan (PBK) pada semua jenjang & jenis
pendidikan dengan penguatan pada kompetensi lokal. Pembangunan SMK Pertanian, Diklat Guru,
penyusunan kurikulum dan pencetakan buku PBK. Subsidi penyelenggaraan Paket B dan C. Subsidi
bagi siswa SD termasuk pengadaan ijazah STK dan SD. Sedangkan dana yang bersumber dari dana
Dekonsentrasi dibelanjakan untuk program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Dana ini
sebagian besar diarahkan pada subsidi rehabilitasi gedung sekolah dan perluasan dan peningkatan
mutu sekolah dasar.
3. Infrastruktur
Pada sektor infrastruktur, lebih dari 50% Penerimaan dana bidang Infrastruktur berasal dari sumber
APBD kabupaten/kota, sedangkan bersumber dari pemerintah propinsi dan dana perimbangan.
Belanja modal/pembangunan mendominasi komposisi belanja ekonomi di sektor infrastruktur.
Belanja modal/pembangunan pada tahun 2005 mencapai lebih dari 70 % lebih besar dari belanja
pemeliharaan dan biaya ekonomi lainnya (Gambar 5.3.5 dan 5.3.6). Hal yang sama ditemukan pada
komposisi belanja ekonomi kabupaten. Lebih dari 90 % digunakan untuk belanja modal/pembangunan
lebih besar dari belanja ekonomi lainnya.
Bidang transportasi membelanjakan lebih dari 60 %, kemudian berturut-turut diikuti dengan belanja
dibidang irigasi sebesar lebih dari 15 %, air bersih kurang dari 4 %, dan belanja dibidang kelistrikan
berkisar 3 - 6 %.
4. Pertanian
Di sektor Pertanian, Total realisasi anggaran yang disediakan Pemerintah Daerah Propinsi Gorontalo
baik APBD maupun APBN Bidang Pertanian sebesar 15,82 milyar dan 40,75 milyar. Rata-rata 44,47%
(APBD) dan 38,79% (APBN) diperuntukkan belanja Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan. Besaran
belanja pada sektor pertanian ketahanan pangan), berpengaruh pada upaya pengembangan
pertanian melalui program peningkatan kualitas sumberdaya manusia pertanian, program
Penerimaan dari PAD sektor pertanian meningkat sebesar 107,65%. Sumbangan pihak ke-3 APBD
memberikan kontribusi terbesar, rata-rata sebesar 117,697 juta rupiah, kemudian JAPP, jasa
ketatausahaan dan sumbangan pihak ke-3 dari kegiatan APBN. Berdasarkan total anggaran yang
disediakan oleh Pemerintah Daerah maka proporsi realisasi anggaran Dinas Pertanian dan Ketahanan
Pangan sebesar 54,80%, sedangkan Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Gorontalo 45,20%. Rata-
rata realisasi anggaran yang berasal dari APBD Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Propinsi
Gorontalo pada belanja modal/pembangunan lebih besar (50,74%) dibandingkan dengan belanja non
modal (49,26%), walaupun terjadi kecenderungan menurun sebesar 53,60%. Sebaliknya belanja
perjalanan dinas mengalami kenaikan signifikan sebesar 58,85%. Belanja pegawai, belanja barang
dan jasa, dan belanja pemeliharan mengalami kenaikan yang signifikan masing-masing 31,33%,
26,60%, dan 7,04%. Penggunaan APBD untuk realisasi belanja non modal lebih besar dibandingkan
dengan belanja modal. Belanja modal lebih banyak dipenuhi melalui anggaran yang berasal dari
APBN.
Pada tahun 2005, rata-rata realisasi anggaran pertanian kabupaten/kota Propinsi Gorontalo pada
belanja modal/pembangunan lebih kecil (39,56%) dibandingkan dengan belanja non modal (60,44%).
Proporsi anggaran belanja pegawai pada belanja non modal dominan dibandingkan dengan belanja
lainnya. Penggunaan dana untuk belanja pegawai yang besar terkait dengan upaya pengadaan
pegawai dalam rangka memenuhi kebutuhan daerah. Rata-rata realisasi APBD Dinas Perikanan dan
Kelautan pada belanja modal/pembangunan lebih besar (50,17%) dibandingkan dengan belanja non
modal (49,83%), walaupun terjadi kecenderungan menurun sebesar 37,62%. Sebaliknya terjadi pada
belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja perjalanan dinas dan belanja pemeliharan
mengalami kenaikan yang signifikan masing-masing 34,12%, 28,94%, 18,41%, dan 46,98%. Pada
tahun 2005, rata-rata realisasi anggaran bidang perikanan dan kelautan kabupaten/kota se-Propinsi
Gorontalo pada belanja modal/pembangunan lebih besar (71,03%) dibandingkan dengan belanja non
modal (28,97%). Besarnya jumlah belanja modal/pembangunan dibidang perikanan merupakan
indikasi kuatnya keinginan pemerintah kabupaten/kota untuk meningkatkan potensi sumberdaya
perikanan yang belum dikelola secara maksimal.
Proporsi anggaran rata-rata peruntukan pengembangan jagung lebih besar (79,40%) dibandingkan
dengan non jagung (20,60%). Jumlah anggaran APBN khusus jagung memiliki proporsi lebih banyak
(68,80%), selebihnya 31,20% didanai oleh APBD. Trend anggaran rata-rata yang disediakan untuk
mengembangan jagung mengalami kenaikan signifikan sebesar 36,45%, sebaliknya untuk komoditi
non jagung cenderung turun rata-rata 27,29%. Trend penganggaran tersebut menunjukkan adanya
perhatian Pemerintah Propinsi Gorontalo dan Pemerintah Pusat yang sangat besar, untuk mencapai
tingkat produksi sebanyak 1 (satu) juta ton pada tahun 2005. Selain itu keseriusan dan konsistensi
pemerintah untuk menjadikan jagung sebagai brand komoditi untuk Propinsi Gorontalo, dengan
harapan nilai jual komoditi lebih kompetitif di pasar global.
Dalam rangka memperbaiki citra birokrasi, pemerintah Provinsi Gorontalo mengarahkan Visi pada
entrepreneurial government system. Pendekatannya adalah dengan melakukan re-enginering
terhadap; (1) Mind-set Personalia (budaya kerja dan Pola pikir), (2) System (Perbaikan Strukur,
Mekanisme serta Prosedur Kerja), (3) Performance Kelembagaan Pemerintah, dan (4) Kebijakan
Pemberian Tunjangan Kinerja Daerah (TKD). Langkah-langkah ini sebenarnya merupakan bentuk
penerapan New Public Management ( NPM ) yang merupakan jawaban untuk mereformasi birokrasi
pemerintahan di Provinsi Gorontalo. Upaya Pemerintah Provinsi dalam mengimplementasikan
Konsep New Public Management, dapat diwujudkan dengan program kegiatan: Peningkatan
Kapasitas Pemerintah Daerah, Anggaran Berbasis Kinerja, High Performance Government.
Restrukturisasi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo dilakukan
dalam upaya mendesain organisasi dengan fungsi staff dan lini menuju pada pencapaian-pencapaian
kinerja pembangunan daerah. Komposisi terakhir (2006) organisasi perangkat daerah terdiri dari
Sekretariat Daerah sebagai unsur staf, kemudian unsur lini terdistribusi dalam 9 Badan, 12 Dinas,
Sekretariat Dewan, dan 2 Kantor serta 1 Balai.
Sebelum Pemerintah Pusat memberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuanga Daerah, Pemerintah Propinsi Gorontalo lebih dahulu membentuk Badan
Keuangan Daerah yang merupakan hasil penggabungan Biro Keuangan dan Dinas Pendapatan Daerah
melalui Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2003.
Perubahan ini berdampak pada 2 (dua) aspek yakni: (1) aspek stuktur, terjadi sinkronisasi antara
kebijakan pengelolaan aset dengan kebijakan penganggaran, dan (2) aspek fungsi dengan adanya
pengalihan kewenangan, bukan saja kepada Badan Keuangan tetapi juga kepada masing masing
kepala SKPD.
Tindak lanjut penataan sistem pengelolaan keuangan, dibentuk OTK baru Bagian/Bidang Keuangan
yang otonom (eselon III) dalam struktur Badan/Dinas yang ada di lingkungan Pemerintah Propinsi.
Secara administratif personilnya ditempatkan oleh Badan Kepegawaian berdasarkan rekomendasi
Badan Keuangan untuk membantu dalam penyeragaman sistim pelaporan dan pengendalian
keuangan dimasing masing SKPD. Tetapi dalam implementasinya, kebijakan ini menimbulkan
beberapa kendala di antaranya ;
Masih sangat terbatasnya Sumber daya manusia yang spesifik di bidang pengelolaan
keuangan.
Belum terintegrasinya sistem informasi manajemen pelaporan keuangan secara on line
antara SKPD SKPD dengan Badan Keuangan Propinsi Gorontalo
Dalam kapasitas kelembagaan, masih terdapat adanya tumpang tindih kebijakan disisi
kewenangan pengelolaan keuangan antara intenal SKPD sebagai pelaksana
program/kegiatan dengan Badan Keuangan sebagai pemegang otoritas di bidang keuangan.
Saat ini, daya tarik Pemerintah Propinsi baik bagi pejabat maupun pegawai dari level dan instansi asal
sangat tinggi. Ketertarikan untuk memilih berkarir di Propinsi dipicu oleh aspek kesejahteraan yang
lebih menjanjikan dibanding instansi asal yang kerap dibungkus dengan alasan “ingin membantu
pemerintah propinsi”. Sehingga tidak hanya mobilisasi antara PNS Kabupaten Kota ke Propinsi yang
terjadi, tetapi juga bagi PNS Fungsional (semisal Dosen Perguruan Tinggi) ke Struktural Pemerintah
Propinsi, maupun PNS pusat memilih untuk dipekerjakan di propinsi.
Kesejahteraan yang menjadi incaran semua PNS dari berbagai level adalah adanya pemberian
Tunjangan Kinerja Daerah oleh pemerintah propinsi. Meskipun cerita awalnya berasal dari upaya
mensiasati pos honor honor kegiatan dalam APBD. Honor-honor tersebut dikonversi menjadi
Tunjangan Kinerja Daerah (TKD). Kebijakan Tunjangan Kinerja Daerah merupakan konsep inovatif
dalam bentuk performance pay untuk mendukung pelaksanaan New Publik Management (NPM).
Pada tahun 2004 kebijakan TKD ini mulai diterapkan dengan prinsip trial and error, baru pada tahun
2005 terbit Peraturan Gubernur Nomor 45 tahun 2005 sebagai payung hukum pelaksanaannya.
Peraturan Gubernur dimaksud, dasar pelaksanaannya diinspirasi oleh Peraturan Pemerintah Nomor
105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, didalamnya
menyebutkan bahwa; “Pemerintah Daerah dapat memberikan tambahan penghasilan berdasarkan
Pertimbangan Objektif sesuai dengan kemampuan keuangan daerah dengan Persetujuan DPRD”.
Peraturan Gubernur Nomor 45 Tahun 2005 diantaranya mengatur; Komponen Penilaian Kinerja
Daerah, Mekanisme dan Sistem Pembayaran TKD, Pencapaian Prestasi Tinggi, Ketentuan Tarif
Tunjangan Kinerja Daerah. Sumber dana untuk Tunjangan Kinerja Daerah diperoleh dari Dana Alokasi
Umum. Alokasi Tunjangan Kinerja Daerah tahun 2005 adalah Rp.25.835.017.101 dengan persentase
realisasi anggaran TKD terhadap Total Belanja Pegawai Propinsi Gorontalo pada tahun yang sama
adalah sebesar 39,21%.
Pada tahun 2003 persentase belanja pegawai naik sebesar 89,43% dari tahun 2002, tahun 2004
persentase belanja pegawai naik 69,54% dari tahun 2003, sedangkan pada tahun 2005 turun sebesar
10,39% dari tahun 2004. Ini mengambarkan bahwa upaya Pemerintah Propinsi Gorontalo dalam
mengkonversi honor-honor kepanitiaan dan lain lain (honor yang masuk dalam pos belanja pegawai
non gaji) ke dalam bentuk Tunjangan Kinerja Daerah menunjukkan hasil yang baik. Dengan kata lain
bahwa kebijakan Alokasi Anggaran Tunjangan Kinerja Daerah Pemerintah Propinsi Gorontalo dapat
mengefisienkan anggaran untuk belanja pegawainya.
Latar Belakang
Sulawesi Utara
Gorontalo
24% Sulawesi Tengah
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
35%
19%
Jumlah Kabupaten
Pada saat pembentukan provinsi, Gorontalo hanya memiliki 2 Kabupaten (Gorontalo dan Boalemo)
dan 1 Kota (Gorontalo), dalam beberapa tahun jumlah kabupaten bertambah. Tercatat diantara
Kabupaten yang mekar setelah provinsi adalah Kabupaten Pohuwato (mekaran Kabupaten Boalemo),
Kabupaten Bone Bolango (mekaran Kabupaten Gorontalo) dan Kabupaten Gorontalo Utara (mekaran
Kabupaten Gorontalo). (Gambar 1.2 )
Kota Gorontalo 1%
Bone Bolango 16%
Kabupaten Gorontalo
(Gorontalo Utara) 28%
Pohuwato 37%
Boalemo 18%
Geografi
Gorontalo merupakan salah satu provinsi yang berada dalam pulau Sulawesi, berderetan dengan
Provinsi Sulawesi Utara. Gorontalo dalam posisinya, tepat terletak di mulut Teluk Tomini. (Lihat Peta)
Laut Sulawesi
Sulawesi
Tengah
Sulawesi
Pohuwato Gorontalo Utara
Boalemo
Bone
Bolango
Kota Gorontalo
Teluk Tomini
Gorontalo terletak diantara 0,19'-1,15' Lintang Utara dan 121,23' -123,43' BT. Bagian Barat Gorontalo
berbatasan dengan Sulawesi Utara di bagian Selatan berbatasan dengan Teluk Tomini, dibagian Timur
dengan Sulawesi Tengah. Pada bagian Utara berhadapan dengan Laut Sulawesi.
Ekonomi
Pertumbuhan Ekonomi.
Meskipun Gorontalo merupakan provinsi termuda di Indonesia tetapi pertumbuhan ekonomi,
Gorontalo menunjukkan peningkatan pesat dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Dari tahun 2001
sampai dengan tahun 2005 pertumbuhan ekonomi Gorontalo meningkat rata-rata 6,55 % setiap
tahun.
Gambar 1.3 Pertumbuhan Ekonomi Propinsi Gorontalo
8
6.86
7 7.06
6.93
6 5.49 6.42
5.5
5 4.5
5
4 4.3
3 3.8
Nasional (%)
2 Gorontalo (%)
1
0
2001 2002 2003 2004 2005
Tahun
Level pertumbuhan ekonomi Gorontalo ini berada diatas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional
yang hanya mencapai 4,62 %. Meskipun demikian pertumbuhan ekonomi pada tahun 2004 dan 2005
mengalami stagnasi dibanding dengan pertumbuhan nasional.
Struktur
Sektor Pertanian merupakan pembentuk utama Produk Domestik Regional Bruto di Gorontalo,
walaupun dalam rentang waktu lima tahun pertumbuhannya berjalan konstan. (Gambar 1.4 dan Tabel
1.1)
Gambar 1.4 Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan
PDRB
P D R BProvinsi
P ro p in sGorontalo
i G o ro n ta lo
2,500,000
2 ,50 0 ,0 0 0
2,000,000
2 ,0 0 0 ,0 0 0
1,500,000
1,50 0 ,0 0 0
1,000,000
1,0 0 0 ,0 0 0
500,000
50 0 ,0 0 0
0
- 2000 2001 2002 2003 2004 2005
2000 2001 2002 2003 2004 2005
Pertanian Pertambangan dan Penggalian
P e rta nPengolahan
Industri ia n PListrik,
e rtaGas
m b& aAirng a n da n P en g ga lia n
Bersih
In d u s tri P e n ge lo h an
Bangunan LPerdagangan,
is tri k , G aHotel
s &&Air B e rs ih
Restoran
B a n g u n
Pengangkutan a n& Komunikasi PKeuangan,
e rd a g Persewaan
a n ga n , &HJasa
o tePerusahaan
l & R e s to ra n
P e n ga n g ku ta n & K o m u n ik a s i
Jasa-Jasa K e ua n g a n, P e rs e w a a n & Ja s a P eru s a h a a n
J a s a -J a s a
Sumber: BPS Provinsi Gorontalo 2006
S u m b e r : BP S P r o p in s i G o r o n t a lo 2006
Data olahan Tim PEA Universitas Gorontalo
Da t a O la h a n T im P EA Un iv e r s it a s G o r o n t a lo
Kemiskinan
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak menjamin Gorontalo luput dari hambatan-hambatan besar.
Ditengah pertumbuhan yang terbilang tinggi justru Gorontalo memiliki jumlah penduduk miskin yang
besar. Sekitar 28,87 % pada tahun 2004 penduduk Gorontalo hidup dalam keadaan miskin (lihat
Gambar 1.5).
60
49.54
50
40 32.53 32.13
30
32.94
29.12 28.87
20
10
0
1999 2000 2001 2002 2003 2004
70
60 59.75
50
38.03 Kota Gorontalo
37.3 36.6
40 32.75 32.39
38.03 Kab. Gorontalo
30 35.7 33.39 32.7 32.47
20 Kab. Boalemo
13.27
13.78
10 6.37 10.88
9.85 10.75
0
1999 2000 2001 2002 2003 2004
Persoalan kemiskinan bukan semata-semata dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi. Dalam konteks
kemiskinan ada persoalan yang berhubungan dengan pendidikan, kesehatan, dan paling penting lagi
adalah akses masyarakat terhadap ketersediaan lapangan kerja dan kapital. Faktor terakhir ini
menuntut peran serta pemerintah dalam mengelola kebijakan-kebijakan publik yang lebih berpihak
kepada masyarakat. Oleh sebab itu kebijakan pemerintah harus lebih tepat sasaran.
Disamping kemiskinan, masalah lain yang menimpa Gorontalo ditengah pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, adalah jumlah pengangguran yang relatif besar. Namun perbedaan sangat mencolok terlihat
pada data pengangguran berdasarkan SAKERNAS dengan SUSENAS. (Lihat Gambar 1.8).
200000
150000
100000
50000
0
2001 2002 2003 2004
Terlepas dari data Sakernas dan Susenas, paling tidak ada beberapa faktor yang mempengaruhi
pengangguran diantaranya faktor pendidikan, tetapi paling utama adalah ketersediaan lapangan
kerja, disamping faktor-faktor ekonomi lainya.
Penduduk
Penduduk Provinsi Gorontalo dari tahun ke tahun, cenderung meningkat. Tetapi peningkatan yang
paling signifikan terjadi pada tahun 2003 yakni sebesar 28.130 jiwa. (Gambar 1.9)
940
917.949
Jumlah (Ribuan Jiwa)
920
900 881.057
899.653
880
860 843.259
840 852.927
820
800
2001 2002 2003 2004 2005
Gorontalo memiliki jumlah penduduk paling sedikit diantara provinsi lainya di Sulawesi. (Gambar
1.10). Pada Gambar ini juga nampak bahwa perkembangan jumlah penduduk Gorontalo sebelum dan
setelah provinsi cenderung statis.
Kabupaten Gorontalo, memiliki penduduk terbesar di Provinsi Gorontalo. (lihat Gambar 1.11). 45 %
dari total penduduk Provinsi Gorontalo pada tahun 2005 berada di Kabupaten Gorontalo.
Kota Gorontalo adalah wilayah terpadat di antara Kabupaten Kota se-Provinsi Gorontalo. Meskipun
Kabupaten Gorontalo memiliki persentase jumlah penduduk terbesar pada tahun 2005, tetapi dari segi
kepadatan penduduk, kota Gorontalo memiliki tingkat kepadatan tertinggi berdasarkan perhitungan
penduduk per km2.
Gambar 1.11 Densitas Penduduk Kabupaten Kota di Gorontalo se-Provinsi Gorontalo Tahun 2005
Kab. Pohuwato, 25
Kab. Boalemo, 39
Kepadatan yang tinggi di Kota Gorontalo salah satunya dipengaruhi oleh luas wilayah yang hanya 1%
dari total luas wilayah Provinsi Gorontalo, namun didiami oleh 17% dari total penduduk Provinsi
Gorontalo. Sedangkan 28% dari total luas provinsi (Kabupaten Gorontalo) didiami oleh 45%
penduduk.
Secara hirarkis ketentuan yang mengatur tentang pengelolaan keuangan diatur melalui bab VIII Hal
Keuangan pasal 23 UUD 45 yang merupakan dasar hukum tertinggi dalam pengelolaan keuangan.
Ketentuan ini mengatur tentang hal pengelolaan keuangan negara melalui Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, sedangkan yang mengatur tentang pengelolaan keuangan daerah (merupakan bagian
dari keuangan negara) selain diatur dalam pasal tersebut juga diatur melalui pasal 18 UUD 45 tentang
Pemerintah Daerah. Bersumber dari UUD 45 inilah kemudian melahirkan produk perundang-
undangan yang mengatur tentang pengelolaan keuangan daerah seperti diatur melalui UU 22/1999,
UU 25/1999, UU 17/2003, UU 1/2004, UU 15/2004,UU 32 Tahun 2004, UU 33 Tahun 2004, serta
peraturan pelaksana dari undang-undang tersebut.
Pemerintah Provinsi Gorontalo yang terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000
yang disahkan pada tanggal 22 Desember 2000, dalam sejarah perjalanan tentang pengelolaan
keuangan daerah mengalami berbagai macam transformasi atau penyesuaian terhadap produk
perundang-undangan di tingkat pusat yang mengatur tentang pengelolaan keuangan daerah.
Peraturan daerah pertama tentang pengelolaan keuangan daerah yakni Perda 39/2002 menyesuaikan
dengan PP 105/2000 dan Kepmendagri 29/2002, kemudian saat ini perda tersebut diganti dengan
Perda 3/2006 menyesuaikan PP 58/2005 dan Permendagri 13/2006. Meskipun pemerintah daerah
melalui kerangka peraturan daerahnya menata pengelolaan keuangan daerah, namun banyaknya
perubahan regulasi dari pemerintah pusat telah membingungkan dan menciptakan ketidakpastian
dalam pengelolaan keuangan daerah.
UU 22/99 UU 15/04
UU UU 25/99
UU 38/00 UU 17/03 UU 32/04
UU 33/04
PP 104/00 PP 24/05
PP PP 105/00
PP 58/05
PP 8/06
PP 108/00
PERATURAN KEPMEN PERMEN
TEKNIS DAGRI 29/02 DAGRI 13/06
PERDA PERDA
PERDA 39/02 3/06
Untuk pertama kalinya pada tahun 2002 Pemerintah Provinsi Gorontalo menyusun APBD-nya. APBD
2002 menggunakan format lama dengan klasifikasi belanja rutin dan belanja pembangunan. Tanggal
30 September 2002 dibentuk Perda 39/2002 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah
sebagai aturan pelaksana dari Kepmendagri 29/2002 yang menjadi dasar dalam penyusunan APBD
tahun 2003 dan 2004, dengan klasifikasi belanja aparatur dan publik. Hal ini sesuai dengan ketentuan
yang ada didalam PP 105/2000 bahwa pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah ditetapkan dengan
peraturan daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan pemerintah melalui Kepmendagri
39/2002.
APBD 2005 masih menggunakan klasifikasi belanja aparatur dan publik sesuai Kepmendagri 29/2002
dan diperkuat Perda 39/2002 yang mendasarinya. Namun pelaporan pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD 2005 menggunakan klasifikasi belanja Operasi dan belanja Modal. Perubahan
format yang dipakai dalam pelaporan menunjukkan inkonsistensi, namun perubahan ini dilakukan
karena menyesuaikan PP 24 Tahun 2005 dan PP 58 Tahun 20051. Best practices dan son practices di
manfaatkan sebagai dasar pelaksanaan APBD.
Provinsi Gorontalo menerapkan dua tahapan pembaharuan/reformasi sesuai dengan kondisi yang di
miliki, yaitu: Tahap awal sebagai suatu Prerequisite dan Tahap Penerapan Reformasi Administrasi
Keuangan. Tahap awal sebagai prerequisite terdiri dari; penyusunan kebijakan pelayanan publik,
sosialisasi dan bimbingan teknik, dan mencari pejabat kunci (outsourcing). Sedangkan tahap
Pengelolaan keuangan daerah untuk setiap kabupaten/kota, jika dibandingkan dengan Provinsi
Gorontalo, sebagian ada yang sudah memiliki peraturan tentang pengelolaan keuangan daerah, tetapi
sebagian lagi masih dalam tahap penyusunan.
Kabupaten Gorontalo telah memiliki Perda tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah yang
dibentuk melalui Perda 44/2002. Pembagian struktur belanja dalam Perda ini masih menggunakan
klasifikasi belanja Aparatur dan belanja Publik. Sampai saat ini Pemerintah Kabupaten Gorontalo
masih melakukan penyesuain terhadap lahirnya peraturan perundang-undangan yang baru untuk
kemudian dikonfersi menjadi Perda pengelolaan keuangan daerah untuk menggantikan perda yang
lama. Demikian juga halnya dengan Kabupaten Boalemo yang telah memiliki Perda tentang
pengelolaan keuangan daerah. Perda yang dimaksud adalah Perda 1/2004 tentang Pokok-pokok
Pengelolaan Keuangan Daerah. Melalui perda ini diatur mengenai pembagian anggaran belanja
daerah menjadi Belanja Aparatur dan Belanja Publik.
Sedangkan untuk Kabupaten Pohuwato, Kabupaten Bone Bolango dan Kota Gorontalo sampai dengan
saat ini masih melakukan penyusunan Ranperda tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Sehingga
dalam setiap penyusunan APBD masih mengacu pada ketentuan Nasional yang berlaku.
Sistem Perencanaan
Penerapan Sistem Perencanaan di Provinsi Gorontalo. Provinsi Gorontalo sejak disahkan pada tahun
2000 selama ini menetapkan sistem perencanaan daerah berdasarkan Tap MPR/IV/1999 tentang
GBHN, UU 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) dan UU 25/2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Berdasarkan peraturan ini kemudian dilahirkan
dokumen perencanaan daerah berupa Perda 1/2002 tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah
Provinsi Gorontalo 2002-2004, Perda 30/2002 tentang Program Pembangunan Daerah Provinsi
Gorontalo 2002-2004, Perda 31/2002 tentang Rencana Strategis Daerah Provinsi Gorontalo 2002-
2004 yang kemudian diganti dengan Perda 4/2006 Tentang RPJMD 2005-2007 dan Rencana
Pembangunan Tahunan Daerah (REPETADA).
Pemerintah Daerah
Dalam kenyataannya proses perencanaan masih menemui beberapa kendala akibat ketidakpastian
hukum. Sebagai contoh dokumen perencanaan yang dipakai untuk tahun 2005 seharusnya renstrada
yang diperdakan melalui Perda 31 tahun 2002, renstrada tersebut hanya berlaku sampai dengan tahun
2004 karena mengikuti periodisasi DPRD. Akibatnya APBD 2006 yang proses perencanaannya dimulai
tahun 2005 tidak dapat menggunakan renstrada tersebut, padahal RPJMD belum ditetapkan. RPJMD
tersebut baru ditetapkan pada tahun 2006 melalui Perda No. 4/2006.
Proses perencanaan di Provinsi Gorontalo dilakukan melalui musyawarah yang dilaksanakan baik di
tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Desa yang dikenal dengan Musrenbang.
Pemerintah Provinsi Gorontalo melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA)
melakukan beberapa inovasi dalam rangka perencanaan dan pembangunan daerah. Salah satunya
adalah dengan melakukan sinkronisasi waktu pelaksanaan Musrembang dengan waktu pelaksanaan
Jaring Aspirasi Masyarakat yang dilakukan oleh DPRD. Biasanya sinkronisasi ini dilaksanakan pada
masa reses anggota DPRD, sehingga apa yang dihasilkan oleh Musrenbang tidak akan berbeda jauh
dengan Jaring Asmara. Melalui sinkronisasi ini diharapkan pembahasan prioritas program di DPRD
tidak lagi terjadi permasalahan dan mengalami waktu yang panjang.
Selain mekanisme Musrembang dan Jaring Asmara, Pemerintah Provinsi Gorontalo dalam rangka
membuat perencanaan daerah juga membuat acara seperti Talk Show melalui RRI setiap bulan, dan
Halo Gubernur. Acara ini merupakan inovasi Pemerintah Daerah Provinsi Gorontalo untuk turun
langsung mengakomodir keinginan masyarakat yang nyata-nyata dibutuhkan.2
PEMDA DPRD
SINKRONISASI
WAKTU PELAKSANAAN
MUSREMBANG DESA
JARING
MUSREMBANG KAB
ASMARA
MUSREMBANG PROV
HALO GUBERNUR
Sumber: Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Kabid. Makro BAPPEDA Propinsi Gorontalo, 2006
Sistem Penganggaran
Disaat daerah-daerah lain di Indonesia masih menerapkan manual keuangan daerah dalam
penyusunan anggaran, Provinsi Gorontalo telah menerapkan anggaran berbasis kinerja tepat pada
tahun 2003, sesuai pemberlakuan Kepmendagri No. 29/2002. Sementara, Standar Pelayanan Minimal
dan Standar Analisa Belanja baru disusun pada tahun 2006.
Proses penyusunan APBD dilaksanakan berdasarkan Perda No. 39 tahun 2002 dengan tahapan-
tahapan sebagaimana pada Tabel 2.4.
2 Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Bidang Makro Bappeda Propinsi Gorontalo..
Pemerintah Daerah bersama-sama DPRD menyusun arah dan Paling Lambat 5 bulan sebelum tahun
kebijakan umum APBD. AKU berpedoman pada Renstrada dan anggaran dimulai
dokumen perencanaan daerah lainnya, pokok-pokok pikiran DPRD,
aspirasi masyarakat, serta kebijakan Nasional.
Berdasarkan arah dan kebijakan umum APBD, Kepala Daerah Paling Lambat 4 bulan sebelum tahun
menyusun strategi dan prioritas APBD. anggaran dimulai.
Kepala daerah menerbitkan Surat Edaran kepada seluruh unit kerja Pada bulan September.
untuk menyusun Rencana Anggaran Satuan Kerja .
Peraturan Daerah tentang APBD yang telah disetujui oleh DPRD, Paling Lambat 1 bulan setelah tahun
disahkan oleh Kepala Daerah menjadi Perda tentang APBD. anggaran dimulai.
Penyempurnaan rancangan APBD tersebut harus disampaikan Paling Lambat 1 bulan setelah
kembali kepada DPRD. tanggal dikembalikan.
Apabila rancangan APBD setelah dilakukan penyempurnaan Paling Lambat 15 hari kerja.
ternyata tidak disetujui DPRD, pemerintah Daerah menggunakan
APBD tahun sebelumnya sebagai dasar pengurusan Keuangan
Daerah.
Sumber : Perda 39/2002.
Provinsi Gorontalo mulai melakukan penyesuaian regulasi terhadap ketentuan proses perencanaan
dan pengganggaran APBD. Saat ini proses penyusunan anggaran di Provinsi Gorontalo mulai
melakukan penyesuaian terhadap ketentuan-ketentuan di tingkat nasional. Sebagai konsekuensinya
APBD Provinsi Gorontalo untuk tahun anggaran 2007 mulai melakukan penyesuaian terhadap PP
58/2005 dan Permendagri 13/2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang diatur melalui Perda
3/2006 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai pengganti Perda 39/2002.
Pelaksanaan anggaran selalu konsisten dilaksanakan per 1 Januari. Kalau pembayaran bersifat
komitmen seperti pengadaan barang dan jasa berdasarkan proses administrasi waktunya paling
singkat 3 bulan. Sementara APBD setelah ditetapkan, diberi waktu 3 hari tetapi hal ini tidak mungkin.
SKPD diberikan uang yang nantinya dipertanggungjawabkan sebelum adanya pembayaran. Uang
tersebut dimasukkan kedalam pemegang kas SKPD.
Pengelolaan kas pada tahun 2002 tidak efisien. Banyaknya prosedur otorisasi penandatanganan,
prosedur pemanfaatan uang dalam rekening bank dan prosedur pembayaran kepada suplier barang
dan jasa belum terakomodasi secara substantif, apalagi diimplementasikan melalui peraturan daerah.
G
G G W
W W W
S
S S A
S
K
A A
K K K
K
D D D K
Keterangan :
D : Dinas (SKPD) S : Sekda
K : Bagian Keuangan W : Wakil Gubernur
Q : Bendahara Dinas G : Gubernur
A : Asisten 2
Untuk memperbaikinya, proses otorisasi telah mengalami 4 kali perubahan mulai dari tahun 2002
sampai dengan tahun 2006. Proses otorisasi pada tahun 2002 melalui 15 kali tahapan, dimulai dari
dinas (SKPD) sampai dengan pencairan melalui Gubernur. Namun sejak tahun 2006 proses itu
mengalami perubahan hanya dengan 3 kali tahapan mulai dari Dinas, Bendahara Dinas (SKPD) sampai
pada pencairan melalui bagian keuangan. Setelah itu dinas (SKPD) melakukan proses otorisasi sampai
pada tingkat Wakil Gubernur.
Pemprov memang telah melakukan pemotongan birokrasi dalam pengelolaan kas, tetapi dalam
penerapan metode pencatatan masih terdapat hambatan. Pencatatan keuangan yang diterapkan di
pemerintah daerah belum sepenuhnya menjelaskan pemanfaatan anggaran pada akhir dan awal
tahun anggaran berikutnya.
Proses pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Gorontalo memiliki keunikan dibandingkan daerah
kabupaten/kota lain di Provinsi Gorontalo yakni dengan melakukan proses tender secara terbuka
dihadapan masyarakat, pemerintah eksekutif, legislatif dan stakeholder. Termasuk juga adanya
otonomi kewenangan dalam pengelolaan pengadaan barang dan jasa di masing-masing SKPD.
Sistem akuntansi di SKPD belum seragam. Meskipun SKPD telah menyusun laporan triwulanan tepat
waktu, tetapi dalam realitasnya bentuk laporan tersebut masih bersifat manual, dan belum
menggunakan sistem aplikasi komputer. Akibatnya Badan Keuangan Daerah yang kemudian
selanjutnya melakukan penyusunan laporan secara komputerisasi.
Dengan demikian, di Provinsi Gorontalo inisiatif pembaharuan dalam pengelolaan akuntansi dan
pelaporan bukan berasal dari bawah (bottom level), melainkan inisiatif pada level atas (top level
management).
Evaluasi yang dilakukan dalam rangka penggunaan anggaran diatur melalui Perda 39/2002 yang
dilakukan dalam bentuk Laporan Keuangan Berkala dan Laporan Triwulan. Laporan keuangan berkala
dibuat oleh Kepala Unit Kerja Pengguna Anggaran setiap akhir bulan paling lambat tanggal 10 bulan
berikutnya kepada kepala daerah dalam bentuk laporan keuangan pengguna anggaran. Sedangkan
laporan triwulan disampaikan oleh pemerintah daerah kepada DPRD sebagai pemberitahuan
pelaksanaan APBD untuk setiap 3 (tiga) bulan tahun anggaran. Laporan triwulan disampaikan paling
lambat 1 (satu) bulan setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan.
Internal Audit
Secara institutional mekanisme pengendalian internal di Provinsi Gorontalo dilakukan oleh Badan
Pengawas Daerah (Bawasda) yang dibentuk berdasarkan Perda 15/2002 dengan uraian tupoksi yang
diatur melalui SK Gubernur Gorontalo 166 tahun 2002. Berdasarkan hasil audit internal yang
dilakukan Bawasda Provinsi Gorontalo selama kurun waktu 2001-2005 terdapat temuan yang dibagi
berdasarkan klasifikasi temuan administratif dan temuan kerugian negara/daerah. Selama tahun 2001
s.d 2005 terdapat 958 temuan adminstrasi. 500 kasus telah selesai, 46 kasus masih dalam proses, 414
belum selesai.
Gambar 2.3 Perbandingan Provinsi dengan Kabupaten/Kota Atas Temuan Bawasda Propinsi
600
488
500
400
332
300 Dalam Proses
200 Kabupaten/Kota
100 82
39
14 7
0
Selesai Dalam Proses Belum
Sebagai contoh temuan administratif berdasarkan Laporan Kinerja Bawasda Provinsi Gorontalo
Tahun 2001-2005 ditemukan bahwa pengelolaan keuangan belum sepenuhnya mengacu pada
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Investasi Publik
Pemerintah Provinsi Gorontalo melakukan investasi pada beberapa bidang di tahun 2002 sampai
dengan tahun 2005. Disamping memberikan pinjaman kepada pemerintah kabupaten. Investasi
dilakukan dalam bentuk Penyertaan modal dan deposito. Kegiatan investasi yang dilakukan pemprov
mempengaruhi kondisi likuiditas pemerintah provinsi. Hal ini nampak pada data likuiditas pemerintah
Provinsi Gorontalo sebagaimana pada Tabel 2.5.
Pengelolaan Aset
Masih dalam konteks monitoring dan evaluasi, sistim pencatatan aset tetap yang dilakukan oleh
pemerintah Derah Provinsi Gorontalo sudah mengacu pada PP 24/2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan, tetapi dalam implementasinya belum sempurna. Contoh, belum adanya pengakuan
beban penyusutan, khususnya tahun 2005. Selain itu pencatatan aset masih dilakukan oleh biro
umum, diluar BKD. Hal ini menyebabkan pengelolaan asset tidak optimal.
Sejak tahun 2002 Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi Gorontalo setelah diajukan ke DPRD
Provinsi selalu diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK-RI). Hasil audit tersebut untuk
pertamakali pada tahun 2004 telah dipublikasikan di media massa. Berdasarkan hasil pemeriksaan
tersebut BPK-RI memberikan penilaian Wajar Tanpa Pengecualian untuk laporan keuangan tahun
anggaran 2002 sampai dengan tahun 2005.
Namun untuk tahun anggaran 2006 terdapat temuan kerugian negara yang belum ditindaklanjuti
berdasarkan data audit BPK-RI. Sampai dengan akhir Semester I TA 2006 terdapat 297 temuan
pemeriksaan, telah ditindaklanjuti sebanyak 189 temuan pemeriksaan. Sisanya belum ditindaklanjuti
sebanyak 108 temuan.
Demikian juga halnya dengan hasil pemeriksaan BPK-RI untuk Semester II TA 2006 menunjukkan
tindak lanjut hasil pemeriksaan terdapat 296 rekomendasi, telah ditindaklanjuti sebanyak 15
rekomendasi. Sisa sebanyak 281 rekomendasi.
Laporan audit BPK-RI memuat opini atas kewajaran penyajian laporan keuangan yang meliputi
laporan realisasi anggaran, neraca, arus kas, dan catatan atas laporan keuangan yang telah disusun
oleh pemerintah daerah. Tipe opini yang digunakan BPK-RI ada lima yaitu; pendapat wajar tanpa
pengecualian (WTP), pendapat wajar tanpa pengecualian dengan paragraph penjelasan (WTP-PP),
pendapat wajar dengan pengecualian (WDP), pendapat tidak wajar dan penyataan tidak memberikan
pendapat.
Analisis PFM
Tabel 2.6 Hasil Survei PFM pada Provinsi, 1 Kota dan 4 Kabupaten
Provinsi Kota Kabupaten
Bidang Strategis Rata-Rata
Gorontalo Gorontalo Gorontalo Boalemo Pohuwato B.Bolango
Kerangka Peraturan 68% 60% 52% 48% 44% 28% 50%
Perencanaan dan 75% 58% 85% 75% 83% 66% 74%
Penganggaran
Pengelolaan Kas 86% 82% 73% 80% 55% 52% 71%
Pengadaan Barang 63% 62% 83% 60% 58% 62% 65%
dan Jasa
Akuntansi dan 78% 89% 74% 81% 70% 85% 80%
Pelaporan
Audit Internal 89% 83% 89% 61% 78% 61% 77%
Utang dan Investasi 63% 75% 63% 38% 25% 63% 55%
Publik
Manajemen Asset 68% 64% 55% 32% 41% 32% 49%
Audit Eksternal dan 89% 78% 78% 56% 78% 78% 75%
Pelaporan
Total 75% 70% 75% 64% 62% 58% 67%
Dari 9 bidang strategis yang disurvei, nilai terendah diperoleh bidang kerangka peraturan, manajemen
aset, dan utang investasi publik (masing-masing 48 persen, 51 persen, dan 53 persen). Secara rinci,
hasil survei PFM menunjukkan bahwa pemerintah kabupaten/kota memiliki kerangka peraturan yang
sudah cukup baik/cukup dapat diterima untuk meningkatkan transparansi dan partisipasi publik (57
persen) Tabel 2.5, untuk mengelola dana publik secara efektif (68 persen) Tabel 2.5, dan untuk
penegakan peraturan dan struktur organisasi (46 persen) Tabel 2.5. Audit eksternal secara rutin (55
3 Survei PFM dilaksanakan oleh Tim PEA Universitas Gorontalo pada tanggal 2-28 Januari dan oleh Unhas tanggal 6 -24 Februari 2007.
persen, Tabel 2.5) sudah cukup baik dan pengawasan indipenden yang efektif (88 persen, Tabel 2.5)
excellent. Kelemahan secara umum pada kabupaten/kota adalah manajemen aset yaitu pada jalur
kebijakan, prosedur, pengendalian dan pengelolaan aset (13 persen), hal tersebut karena tiga
kabupaten bahkan tidak memiliki perda (Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Pohuwato, dan Kabupaten
Bone Bolango).
Pemerintah kabupaten/kota (kecuali kabupaten Gorontalo) masih lemah dalam jalur kebijakan,
prosedur, dan pengendalian untuk mendorong pengelolaan kas yang efisien dan sistem pengaduan
resmi pada pengadaan (32 persen dan 0 persen, Tabel 2.5). Hal ini lebih disebabkan beberapa bagian
pokok pengelolaan keuangan belum diakomodasi, seperti misalnya pendelegasian kewenangan,
prosedur otorisasi, prosedur pembukaan rekening dan prosedur yang mengatur hubungan regulasi
keuangan dengan pemerintah pusat. Demikian pula terkait dengan tidak adanya perda yang
mengatur pengadaan barang dan jasa, sehingga sistem pengaduan resmi tidak diatur secara khusus.
Namun demikian segala pengaduan dari rekanan yang terkait dengan proses tender tetap
diakomodasi oleh panitia tender sebagaimana yang diamanatkan dalam Kepres 80/2003.
Tantangan kedepan pemerintah kabupaten/kota yang teridentifikasi adalah kapasitas staf yang
tersedia, bukanlah pada jumlah staf. Dengan semakin meningkatnya peran daerah dalam pengelolaan
keuangan publik yang lebih baik dengan sendirinya mendorong adanya kebutuhan akan administrator
dengan kualifikasi yang lebih baik terutama dibidang akuntansi dan perencanaan.
REKOMENDASI
1. Inovasi yang dilakukan harus seimbang dengan peraturan yang mendasarinya. Prinsip Asas
Legalitas.
2. Penyusun dan pengguna anggaran sebagaimana amanat pasal 194 UU 32/2004 harus selalu
berpedoman pada Perda tentang Pokok-pokok Penelolaan Keuangan Daerah yang berlaku.
3. Dalam melakukan Penyertaan modal investasi agar lebih memperhatikan tingkat likuiditas.
4. Perlu meningkatkan kapasitas kelembagaan dalam hal pengawasan pertanggungjawaban dan
pengelolaan keuangan daerah.
Total Penerimaan Riil pemerintah daerah di Provinsi Gorontalo pada umumnya mengalami
penurunan. Hal ini disebabkan laju inflasi Gorontalo yang tinggi, bahkan di atas rata-rata inflasi
nasional.
Gambar 3.1 Total Realisasi Penerimaan Riil Kabupaten/Kota dan Propinsi Gorontalo Tahun 2002-2005
1.200,00
1.000,00 112.17
114.01
183.60 107.07 129.65
800,00
239.02 237.92
Milyar Rupiah
154.79
345.72
600,00
96.81 121.28
263.37
400,00 191.48 204.89 195.00
161.81
200,00
265.90 281.60 270.24
194.63
0,00
2002 2003 2004 2005
Provinsi Kota Gorontalo Kab. Bone Bolango
Kab. Gorontalo Kab. Pohuwato Kab. Boalemo
Kecuali Kabupaten Pohuwato dan Bone Bolango, semua daerah mengalami penurunan pada tahun
2005. Provinsi Gorontalo turun sebesar 4,04 %, Kota Gorontalo 4,83%, Kabupaten Gorontalo 0,46%,
dan Kabupaten Boalemo turun 6,44%. Pada tahun 2004, penurunan sangat besar terjadi di Kabupaten
Boalemo (turun 37,90%) dan Kabupaten Gorontalo (turun 30,86%).
PAD Bone Bolango dan Pohuwato pada tahun 2005 meskipun turun, tapi tidak menyebabkan
turunnya pendapatan daerah secara keseluruhan. Karena peningkatan terjadi pada Dana
Perimbangan, khususnya penerimaan dari DAK dan Dana Bagi Hasil Bukan Pajak SDA.
Selain inflasi, faktor-faktor yang berpengaruh pada penurunan total penerimaan riil tahun 2005
adalah sebagai berikut :
1. Provinsi Gorontalo:
Penerimaan PAD Lainnya turun 11,84%
Penurunan pada Dana Perimbangan sebesar 6,63% sebagai akibat Bagi Hasil Pajak Bukan SDA
turun 88,59%, DAU turun 8,93% dan DAK tidak ada penerimaan.
2. Kota Gorontalo:
Penerimaan PAD Lainnya turun 63,19%
Dana Perimbangan turun 8,19% sebagai akibat penurunan pada DAU sebesar 7,02% , DAK
27,54% dan Bagi Hasil dari Pemerintah Provinsi 31,86%.
3. Kabupaten Gorontalo: Dana Perimbangan turun 0,65% sebagai akibat penurunan pada DAU sebesar
3,37%, DAK 1,06% dan Dana Penyesuaian 9,79%
4. Boalemo:
PAD turun 6,06% sebagai akibat turunnya Pajak Daerah 3,64% dan Retribusi Daerah 14,69%.
Dana Perimbangan turun 4,50% sebagai akibat turunnya Bagi Hasil Bukan Pajak SDA 90,36%,
DAU 2,16%, DAK 15,32% dan Bagi Hasil Pajak Provinsi 12,59%.
Pemekaran wilayah merupakan penyebab terjadinya Penurunan penerimaan pada tahun 2004.
Pemekaran wilayah, secara otomatis diikuti dengan mobilisasi asset ke daerah-daerah mekaran.
Kabupaten Gorontalo dimekarkan menghasilkan Bone Bolango, Boalemo menghasilkan Pohuwato.
Item pendapatan yang menyebabkan penurunan pada tahun 2004 adalah :
1. Kabupaten Gorontalo.
PAD turun 43,91% sebagai konsekuensi dari penurunan pada Pajak Daerah sebesar 4,99%,
Retribusi Daerah 10,19% dan PAD Lainnya 86,78%.
Dana Perimbangan turun 27,74% karena turunnya Dana Bagi Hasil Pajak sebesar 19,85%, DAU
30,02% dan Dana Penyesuaian 40,51%
Pendapatan Daerah Lainnya turun 100%.
2. Boalemo:
PAD turun 63,89% sebagai konsekuensi dari turunnya seluruh item penerimaan PAD itu sendiri.
Dana Perimbangan turun 36,20% karena turunnya DAU sebesar 48,56%.
Penerimaan Daerah Lainnya turun 24,74%.
PROPINSI KAB/KOTA
13
14 250
250
7070 600
600
232 6060
12 211
560 568
12 211 559
550
ar R upiah
200
200 550
5050
M ily ar R upiah
Rupiah
Milyar Rupiah
10
10
Rupiah
Milyar Rupiah
M ilyRupiah
Milyar Rupiah
157 4040
150
150 500
500
Milyar
88
3030
Milyar
Milyar
478
66
100
100 2020 450
450
44
1010
50
50
22 -0 400
400
Potensi Sumber daya kelautan di daerah Gorontalo, sebagai sektor unggulan, belum memberi
kontribusi pada perolehan Dana Bagi Hasil Bukan Pajak SDA. Faktor penyebabnya adalah karena
eksplorasi dan eksploitasi Sektor Perikanan Kelautan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan,
dikendalikan oleh pemerintah pusat melalui kewajiban membayar Royalti/Iuran, demikian pula dalam
mengalokasikan atau membagi hasilnya ke daerah. Pemerintah daerah tidak mungkin memungut
iuran atau retribusi hasil laut dari usaha kecil nelayan yang banyak dilakukan oleh masyarakat.
Pajak Daerah dan Laba Perusahaan Milik Daerah merupakan sumber penerimaan PAD yang
meningkat stabil. Kondisi ini menunjukkan bahwa kedua sumber ini potensial dikembangkan
mengingat pajak daerah rata-rata meningkat 16,30 %. Retribusi Daerah Provinsi sekalipun mencapai
rata-rata 146,42 % peningkatannya pertahun, tetapi pada tahun 2004 turun 72,58 %. Jadi
peningkatan rata-rata pertahun yang sangat tinggi karena kontribusi kenaikan sebesar 424,74 % pada
tahun 2003 yang merupakan kontribusi dari Retribusi Sumbangan Pihak Ketiga.
Ditingkat Kabupaten/Kota Laba BUMD rata-rata meningkat 123,86 % pertahun dan meningkat terus
diatas 64%. Sedangkan Pajak Daerah rata-rata meningkat 16,73 % dan Retribusi Daerah rata-rata
24,26 %, tetapi kedua pos penerimaan ini mengalami penurunan pada tahun 2005.
Zona zerro retribution. Pemerintah Provinsi menerapkan retribusi nol sebagai upaya untuk
meningkatkan pelayanan publik. Pemberlakuan ini akan dimulai sejak tahun 2006 yang ditunjukan
dengan tidak dianggarkannya Retribusi Daerah pada APBD tahun 2006. Namun hal ini tidak sejalan
dengan kebijakan di tingkat pemerintah kabupaten/kota. Meskipun di tingkat Provinsi Gorontalo
menolkan retribusi, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa kab/kota berlomba menggenjot perolehan
retribusi.
Gambar 3.2 Proporsi Bagian Penerimaan Kabupaten/Kota di Propinsi Gorontalo Tahun 2002 - 2005
PROPINSI KAB/KOTA
% %
120.00 120.00
80.00 80.00
60.00 84.03 84.13 85.23 82.92 60.00 92.67 89.91 90.49 89.83
40.00 40.00
20.00 20.00
Secara rata-rata kab/kota 90,73%, provinsi 84,08% dan total provinsi kab/kota 89,87% penerimaan
setiap tahunnya berasal dari pemerintah pusat, berupa Dana Perimbangan. Sisanya adalah
penerimaan dari Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak SDA, kecuali hanya pada tahun 2003
Provinsi Gorontalo menerima Dana Alokasi Khusus.
Kontribusi Sumber Daya Kelautan di Teluk Tomini, Program Agropolitan, potensi mineral dan hasil
hutan serta potensi kekayaan alam lainnya belum menghasilkan sumber pembiayaan pembangunan.
Hal ini nampak pada pembentukan dana dari Bagian Lain-Lain Penerimaan Yang Sah, dan PAD, hanya
rata-rata 9,28%. Dana perimbangan yang terbentuk oleh Dana Bagi Hasil (Pajak dan Bukan Pajak SDA)
juga tidak signifikan, karena dominan terbesar sepanjang tahun 2002 2005 adalah Dana Alokasi
Umum.
Gambar. 3.4 Pendapatan Asli Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota Tahun 2002 - 2005
PROPINSI KAB/KOTA
40 35
30
30
Milyar Rupiah
Milyar Rupiah
25
20 20
15
10
10
- 5
Pajak
PajakDaerah
Daerah 2002 2003 2004 2005
Retribusi
Retribusi Daerah
Daerah
PajakDaerah
Pajak Daerah
Laba
Laba Perus ahaan Milik
Perusahaan Milik Daerah
Daerah
RetribusiDaerah
Retribusi Daerah
Lain-lain
Lain-lain Pendapat
an Asli
Pendapatan Asli Daerah
Daerah Yang
YangSah
Sah Laba
LabaPerusahaan
PerusahaanMilik
MilikDaerah
Daerah
Lain-lain
Lain-lainPendapatan
PendapatanAsli
AsliDaerah
DaerahYang
YangSah
Sah
Penerapan zona nol retribusi di tingkat Provinsi sangat wajar, karena jumlah retribusinya sangat kecil,
jika dibandingkan dengan kabupaten kota. Gambar 3.4. menunjukkan bahwa PAD Provinsi Gorontalo
mengandalkan Pajak Daerah yang meningkat setiap tahun, sedangkan PAD Kabupaten/Kota lebih
banyak mengandalkan Retribusi Daerah sebagai sumber PAD.
Pemberlakuan retribusi nol tidak hanya mempengaruhi penerimaan pendapatan daerah, juga
berimbas pada tingkat kemandirian daerah. Jika tidak dibarengi dengan peningkatan pada pos
penerimaan lainnya, maka tingkat kemandirian daerah akan semakin rendah. Dengan kata lain,
ketergantungan terhadap pemerintah pusat semakin besar.
Tabel 3.1 Proporsi PAD Propinsi dan Kabupaten/Kota Terhadap Total Penerimaan Masing-Masing Daerah
2002 2003 2004 2005
Tabel di atas menggambarkan bahwa kemandirian daerah masih berada pada rentang 2,05% sampai
dengan 17,06% jika dilihat dari proporsi PAD terhadap total penerimaan daerah masing-masing di
Gorontalo selang tahun 2002 - 2005. Rata-rata yang paling rendah proporsinya adalah Bone Bolango
(2,62%) dan paling tinggi adalah Provinsi Gorontalo (15,89%). Kota Gorontalo tingkat kemandirian
dalam PAD mencapai 9,87%, Kabupaten Gorontalo 5,26%, Kabupaten Boalemo 4,85% dan Kabupaten
Pohuwato 6,95%. Jumlah PAD riil kabupaten kota dan provinsi berada pada rentang Rp. 134 juta
sampai dengan Rp. 46 Milyar, berbanding jauh dengan total penerimaan riil daerah yang berada pada
rentang Rp 96 Milyar sampai dengan Rp 345 Milyar.
Sumber PAD terbesar pemerintah provinsi berasal dari Pajak Daerah, sumber pemerintah kota dan
kabupaten adalah Retribusi Daerah, kecuali Boalemo dan Bone Bolango. Pajak Daerah Provinsi
memiliki kontribusi 77,07%, Retribusi Daerah 6,51%, Laba Perusahaan Daerah 0,43% dan Lain-Lain
PAD Yang Sah 16,03% terhadap pembentukan PAD. Kota Gorontalo memiliki proporsi Retribusi
Daerah terbesar dengan rata-rata 62,53%, selanjutnya Pohuwato 62,24% dan Kabupaten Gorontalo
46,91%. Untuk Laba Perusahaan Daerah proporsi terbesar diperoleh Kabupaten Gorontalo, sebesar
3,01%. Boalemo dan Bone Bolango komposisi PADnya terbesar dibentuk oleh Penerimaan PAD
Lainnya (56,60% dan 59,97%).
Gambar 3.5 Pendapatan Asli Daerah Riil Propinsi dan Kabupaten/Kota Tahun 2005
Kab. Boalemo
Kab. Pohuwato
Kab. Gorontalo
Kota Gorontalo
Provinsi
10 20 30 40 50
Milyar Rupiah
Pajak Daerah Retribusi Daerah Laba Perusahaan Milik Daerah Lain-lain PAD Yang Sah
Tingkat realisasi Dana Bagi Hasil Pajak Bukan SDA Provinsi Gorontalo lebih rendah dibanding Dana
Perimbangan Lainnya dengan perencanaan anggaran yang terkesan asal jadi. Selama kurun waktu
20022005 tingkat realisasi total pendapatan Provinsi Gorontalo dan pemerintah kab/kota ratarata
adalah di atas 90%. Provinsi Gorontalo tingkat realisasi adalah rata-rata 100,12%. Namun dibalik
prestasi tersebut secara parsial, Dana Bagi Hasil Bukan Pajak SDA memiliki tingkat realisasi rata-rata
yang rendah, yaitu 35%. Dengan tingkat realisasi 82,69% (791 juta) pada tahun 2004, di tahun 2005
Fenomena ini menurut penjelasan Bagian Penganggaran pada Badan Keuangan Daerah Provinsi
Gorontalo, disebabkan karena tidak adanya penganggaran dari dinas terkait, baik itu dari bidang
kehutanan, pertambangan maupun perikanan sehingga Badan Keuangan kesulitan dalam
menentukan nilai anggarannya. Konfirmasi lebih lanjut pada Badan Keuangan Provinsi, diperoleh
keterangan bahwa Dana Bagi Hasil Pajak Bukan SDA direalisasikan dari pusat tidak menentu setiap
tahun, bahkan ditingkat Kabupaten/kota ada yang tidak memperolehnya sama sekali. Mengingat dana
ini merupakan kewenangan pada pemerintah pusat dalam menagih, mengumpulkan, dan
mengalokasikan ke daerah, maka pemerintah daerah tidak dapat mengelola dan mengoptimalkan
obyek penerimaan ini, bahkan tidak dapat merencanakannya.
Penerimaan Dana Bagi Hasil Bukan Pajak SDA berasal dari:
Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH).
Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH).
Iuran eksplorasi dan eksploitasi (Royalties) termasuk didalamnya dari Sektor Perikanan Kelautan
dan Pertambangan Umum
Pemberian Hak Atas Tanah
Iuran Tetap (Land Rent)
DAU Provinsi Gorontalo tahun 2005 tingkat realisasinya di bawah 100%. Seluruh tingkat realisasi
penerimaan dari DAU untuk kabupaten/kota selama tahun 2002-2005 senantiasa mencapai 100%,
kecuali untuk Bone Bolango dan Pohuwato yang berupa angka proyeksi. Untuk Provinsi, khusus tahun
2004 realisasinya 99,999% dan tahun 2005 99,26%. Hal ini menurut penjelasan Bagian
Penganggaran pada Badan Keuangan Provinsi disebabkan oleh kekeliruan dan keterlambatan dalam
penagihan kucuran DAU dari Pusat. Secara keseluruhan pendapatan Provinsi dari Dana Perimbangan
terealisasi ratarata 100,83%.
Penerimaan Perkapita
Penerimaan Daerah Perkapita Riil Boalemo terbesar tahun 2002-2003 dan Kota Gorontalo terbesar
tahun 2004-2005. Selama tahun 2002-2003 Pendapatan Daerah Boalemo lebih kecil dibanding
kabupaten/kota lainnya di Gorontalo, namun pendapatan Riil Perkapita terbesar melampaui
pendapatan pemerintah Provinsi/kabupaten/kota. Hal ini disebabkan jumlah penduduknya yang lebih
sedikit. Sebaliknya Kabupaten Gorontalo meski jumlah pendapatan daerahnya terbesar namun
diimbangi oleh jumlah penduduk yang besar sehingga memiliki penerimaan daerah perkapita yang
terendah di antara kabupaten/kota dan Provinsi. Kota Gorontalo di tahun 2004 dan 2005 memiliki
pendapatan daerah perkapita yang lebih tinggi di antara kabupaten/kota bahkan di atas total
Provinsi/kabupaten/kota.
2,000
1,800
1,600
1,400
Ribuan Rupiah
1,200
1,000
800
600
400
200
-
2002 2003 2004 2005
PAD Perkapita
PAD Perkapita Riil Kota Gorontalo Tertinggi dan Bone Bolango Terendah. Kecuali pada tahun 2003,
PAD Riil Kota Gorontalo tertinggi pada tahun 2002, 2004 dan tahun 2005. Bahkan pada Tahun 2005
PAD perkapitanya sangat tinggi melebihi dari PAD Perkapita Provinsi. Peningkatan ini karena
besarnya penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah dimana kebijakan diarahkan pada optimalisasi
pemungutan retribusi dari Pajak Hotel dan Restoran sebesar 10% dari total transaksi yang dilakukan.
Hal ini terbukti dengan peningkatan retribusi selama tahun 2002-2005 berturut turut 7,30%, 23,50%
dan 61,8%.
Kabupaten Pohuwato, setelah dimekarkan dari Kabupaten Boalemo, pada tahun 2004 dan 2005
memiliki PAD perkapita riil tertinggi kedua setelah Kota Gorontalo, yang berarti melebihi dari
Kabupaten induknya.
Gambar 3.7 Pendapatan Asli Daerah Perkapita Riil Propinsi dan Kabupaten/Kota
160,000
140,000
120,000
100,000
Rupiah
80,000
60,000
40,000
20,000
-
2002 2003 2004 2005
Seperti halnya dengan keadaan total Penerimaan Daerah, Kabupaten Gorontalo memiliki PAD Riil
yang tertinggi di antara Kab/Kota. Dengan jumlah penduduk yang terbesar, menyebabkan PAD Riil
Perkapita menjadi kecil, bahkan hanya berada sedikit di atas dari Bone Bolango yang memiliki jumlah
PAD yang terendah.
Trend penerimaan Dana Perimbangan Perkapita Riil adalah sama trendnya dengan penerimaan DAU
Perkapita Riil sebagaimana terlihat dalam Gambar 3.8. Alokasi DAU dari pusat yang sangat
mempertimbangkan populasi penduduk, merupakan bagian terbesar dalam penerimaan Dana
Perimbangan, sehingga trendnya sama dengan penerimaan total Dana Perimbangan perkapita pula.
Pada tahun 2002 - 2003, Kabupaten Boalemo masih dominan tertinggi dalam penerimaan Dana
Perimbangan Perkapita riil dari Pusat. Pada tahun 2004 tertinggi adalah Kota Gorontalo dan tahun
2005 adalah Kabupaten Pohuwato. Jika diperbandingkan antara Kabupaten Pohuwato dan Kabupaten
Boalemo, kedua daerah ini nyaris hampir sama dalam populasi penduduk, tetapi ternyata pada tahun
2005 Kabupaten Pohuwato memperoleh alokasi yang sangat besar dari Dana Perimbangan.
Alokasi DAU Perkapita riil bagi Kabupaten Pohuwato lebih besar dari pada Kabupaten induknya
(Boalemo) dalam tahun 2004 dan 2005, bahkan tahun 2005 menempati urutan pertama di atas
Kabupaten/Kota dan Provinsi, sedangkan tahun sebelumnya menempati urutan kedua setelah Kota
Gorontalo. Dengan demikian terdapat indikasi kesamaan dengan kemampuan Kabupaten Pohuwato
dalam menghasilkan PAD Perkapita Riil tahun 2004-2005 sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya.
Gambar 3.8 Dana Perimbangan dan DAU Perkapita Riil Propinsi dan Kabupaten/Kota
1,800 1,600
1,600 1,400
1,400 1,200
(Ribu)
1,200
(Ribu)
1,000
1,000
800
800
600 600
400 400
200 200
-
-
2002 2003 2004 2005
2002 2003 2004 2005
Kota Gorontalo Bone Bolango
Kota Gorontalo Bone Bolango
Kab.Gorontalo Pohuw ato Kab.Gorontalo Pohuw ato
Boalemo Prov /Kab/Kota Boalemo Prov /Kab/Kota
Proyeksi Penerimaan
Kabupaten Gorontalo dan Boalemo memiliki trend proyeksi yang negatif, Provinsi yang terbesar.
Kondisi ini merupakan imbas dari pemekaran wilayah yang terjadi pada kedua daerah sejak tahun
2003. Jika pemekaran wilayah masih akan terjadi dalam 5 tahun kedepan, maka trend dari keduanya
akan senantiasa menurun. Penurunan ini disebabkan aset dan potensi daerah kemungkinan lebih
banyak berada di daerah pemekaran, sementara konsentrasi penduduk lebih banyak di daerah induk.
Fenomena ini harus lebih disiasati karena akan menyebabkan pesndapatan daerah perkapita semakin
turun dan ketergantungan daerah induk terhadap pemerintah pusat juga akan semakin besar. Namun
secara rata-rata, kabupaten dan kota tetap memiliki trend pendapatan daerah riil yang positif.
854.8 873.5
(Milyar Rupiah)
836.2 906.3
817.5
398.6
362.2 386.5
313.7 338.0
Pembiayaan
Dalam struktur penerimaan yang ada dalam Laporan APBD beserta penjabaran komponennya,
senantiasa diikuti dengan pengelolaan pembiayaan, karena hasil penerimaan akan diteruskan dengan
pengelolaan penerimaan pada pos-pos pembiayaan.
Provinsi Gorontalo mengalami surplus anggaran sementara Kota Gorontalo dan Kabupaten
Gorontalo mengalami defisit. Secara rata-rata meski mengalami defisit di tahun 2003 dan 2005, Kota
Gorontalo memiliki surplu Rp 182 juta pertahun. Tidak demikian halnya dengan Kabupaten Gorontalo.
Defisit yang sangat besar pada tahun 2004 dan dilanjutkan pada tahun 2005 menyebabkan daerah ini
memiliki rata-rata defisit Rp 1,9 Milyar pertahun. Defisit terbesar yang terjadi pada tahun 2004
disebabkan oleh penurunan yang terjadi pada pendapatan lebih besar dibandingkan dengan
penurunan pada pos pengeluaran. Trend surplus pemerintah Provinsi lebih baik dibandingkan dengan
kabupaten kota karena peningkatan pengeluaran dibarengi dengan peningkatan pendapatan yang
seiring dengan peningkatan pengeluaran itu sendiri. Sementara Pohuwato dalam tahun 2004 dan
2005 meski dibawah Provinsi, tetapi surplusnya yang terbesar di antara kabupaten kota.
Tabel 3.3 Surplus/Defisit dan Pembiayaan Netto Pemerintah Daerah di Gorontalo (dalam Milyar Rupiah)
2002 2003 2004 2005
Surplus/ Pembiayaan Surplus/ Pembiayaan Surplus/ Pembiayaan Surplus/ Pembiayaan
Defisit Netto Defisit Netto Defisit Netto Defisit Netto
Penerimaan Pembiayaan
Penerimaan SILPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) pada tahun sebelumnya menjadi pos andalan
dalam penerimaan pembiayaan baik di Provinsi maupun Kabupaten/Kota. SILPA yang diperhitungkan
dari Surplus/Defisit dikurangi dengan pembiyaan Netto (selisih Penerimaan Pembiayaan dan
Pengeluaran Pembiayaan), pada umumnya ada pada setiap laporan pembiayaan di Provinsi dan
Kabupaten/Kota, bahkan sering menjadi satu-satunya pos penerimaan pembiayaan. Tingginya
penerimaan pembiayaan riil Provinsi pada tahun 2003 karena adanya Transfer Dana Cadangan
sebesar Rp 17,5 M, dan pada tahun-tahun berikutnya senantiasa mengalami penurunan, walaupun
tahun 2004 penerimaan kembali pada Pinjaman Sementara, Deposito Yang Dijaminkan, dan Piutang
Pihak Ketiga.
Kota Gorontalo dalam penerimaan pembiayaan selain ada penerimaan Silpa tahun sebelumnya, pada
tahun 2003-2005 menerima piutang pihak ketiga. Tahun 2003 sebesar Rp 3,2 M, 2004 sebesar Rp 4,1
M dan tahun 2005 sebesar Rp 16,64 M. Kabupaten Gorontalo pada tahun 2002 mengalami Defisit
sebesar tahun 2002 sehingga penerimaan pembiayaan juga mengalami defisit dan tidak terdapat
SILPA.
Dalam laporan pembiayaan, secara normatif SILPA yang dihasilkan pada tahun ini, harus nampak pada
penerimaan pembiayaan tahun berikutnya. Namun kenyataannya memiliki perbedaan sebagai akibat
dari adanya pembebanan pencatatan transaksi di luar rekening pembiayaan.
Pengeluaran Pembiayaan
Penyertaan modal pemerintah belum dilaksanakan secara maksimal setiap tahun dari pemanfaatan
surplus sebagai upaya penambahan investasi daerah. Provinsi Gorontalo dalam pengeluaran
pembiayaan secara riil melakukan penyertaan modal dalam jumlah besar pada tahun 2003 yakni ke
BUMD dan perhotelan masing-masing sebesar Rp 5,8 M. Dan tahun 2004 dan tahun 2005 terjadi
penyertaan modal ke BUMD masing-masing Rp 7,8 M dan Rp 5,0 M. Pengeluaran lain terbesar adalah
Pembayaran Pada Pihak Ketiga (Rp 16,5M) tahun 2002, Transfer Ke Dana Cadangan (Rp 17,5 M) tahun
2003.
Kota Gorontalo melakukan penyertaan modal hanya pada tahun 2005 sebesar Rp 1,2 M sebagai
jumlah terbesar dalam penyertaan modal pemerintah. Pengeluaran lainnya adalah pembayaran
pinjaman pada pemerintah pusat tahun 2002, dan pembayaran utang pokok yang jatuh tempo pada
tahun 2005. Kabupaten Gorontalo pada tahun 2005 melakukan penyertaan modal pemerintah hanya
Rp 634 juta dan jumlah terbesar pengeluaran terjadi pada tahun 2003 sebagai Pembentukan Dana
Cadangan sebesar Rp 5,8 M. Pengeluaran Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Berjalan terjadi di
Kabupaten Boalemo dan Kabupaten Pohuwato sebagai pengeluaran terbesar, dimana Kabupaten
Boalemo sebesar Rp 19,2 M pada tahun 2003 dan Kabupaten Pohuwato sebesar Rp 17,2 M pada tahun
2005.
Tabel 3.5 Perbandingan Nilai Total Surplus/Defisit, Pembiayaan, dan Silpa Propinsi Tahun 2002 2005
2002 2003 2004 2005
Surplus/Defisit 4,179,028,004 12,878,691,307 13,031,963,191 17,814,689,110
Penerimaan 22,695,917,346 28,030,938,405 19,513,101,477 6,665,250,000
Pengeluaran 13,844,006,945 24,990,000,000 7,502,220,894 14,320,567,564
SILPA 13,030,938,405 15,919,629,712 25,042,843,774 10,159,371,546
REKOMENDASI
1. Rencana zero retribution revenue harus diimbangi dengan kebijakan yang dapat mendukung upaya
mengoptimalkan pos pendapatan lainnya agar kemandirian lebih meningkat seperti:
a.. Pajak Daerah:
Pajak Kenderaan di Air.
Pajak Air Permukaan dan Air Bawah Tanah.
b. Laba Perusahaan Milik Daerah (penyertaan modal pada perusahaan yang memiliki rentabilitas
yang tinggi),
c. Lain Lain PAD Yang Sah :
Pendapatan Denda atas Keterlambatan Pelaksanaan Pekerjaan.
Pendapatan Denda Pajak.
2. Konsentrasi penduduk terbesar di Kabupaten Gorontalo harus diimbangi dengan pengelolaan
potensi daerah seefisien dan seefektif mungkin.
3. Harus ada dukungan kebijakan dari pemerintah kabupaten kota dengan kebijakan yang relevan
4. Identifikasi dan optimalisasi sumber-sumber pendapatan harus dilakukan agar pemerintah daerah
mampu untuk membiayai pelaksanaan pembangunannya
5. Investasi usaha pada sektor kelautan, perlu ditumbuh-kembangkan dan dikendalikan oleh
pemerintah daerah Gorontalo; Proporsi jumlah dana bagi hasil bukan SDA diperjelas pada
pemerintah pusat; Perlu ada perubahan regulasi usaha di sektor kelautan yang dikendalikan oleh
pemerintah pusat.
6. Perlu adanya arah kebijakan umum yang berorientasi jangka panjang yang dapat menyeimbangkan
struktur penerimaan dari pusat dan struktur penerimaan yang mandiri
7. Pengalihan pencatatan SILPA harus dimunculkan dengan jelas dalam APBD agar tidak
menimbulkan interprestasi yang berbeda atas penggunaan dana daerah dan untuk menghindari
penambahan pengeluaran belanja daerah yang tidak nampak dalam APBD baik menurut Klasifikasi
Bidang dan Klasifikasi Ekonomi maupun dalam Pembiayaan itu sendiri.
8. Pemerintah dapat melakukan penyertaan modal sebagai upaya penambahan investasi daerah.
Jika dirata-ratakan total penerimaan kumulatif provinsi dan kabupaten/kota pada selang tahun 2002-
2005 yang mencapai nilai riil rata-rata Rp.967,74 M, maka dapat memenuhi total pengeluaran nilai riil
rata-rata Rp 944,64 M, atau 1,02 berbanding 1,00. Namun dalam hal persentase peningkatan rata-
rata pertahun, menunjukkan bahwa kenaikan penerimaan mencapai rata-rata 11,77% dan
pengeluaran rata-rata naik 12,30% pertahun.
Sebelum adanya pemekaran daerah Kabupaten Bone Bolango dan Pohuwato, pada tahun 2003
Penerimaan naik 27,38 % dan Pengeluaran naik 30,75 % dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Namun pada tahun 2004 setelah pemekaran, penerimaan hanya naik 5,75 % dan begitu pula
pengeluaran hanya naik 5,60% dibandingkan tahun sebelumnya, dan untuk tahun 2005, penerimaan
naik 2,19% dan pengeluaran naik 0,55%.
Berdasarkan perbandingan tersebut, ternyata bahwa setelah adanya pemekaran dua daerah,
persentase kenaikan dari penerimaan riil dan pengeluaran riil mengalami penurunan drastis pada
tahun 2004 dan 2005. Konsekuensi logis dari sebuah pemekaran adalah beban anggaran keuangan
bagi daerah otonomi baru.
Perkembangan pengeluaran riil pada tahun 2003, baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota mengalami
kenaikan antara 24 % hingga 31 %. Keadaan ini tidak terjadi pada tahun 2004 dimana Kabupaten
Gorontalo mengalami penurunan pengeluaran hingga 25,27 % dan Kabupaten Boalemo menurun
39,75 %. Untuk tahun 2005, penurunan terjadi pada Provinsi Gorontalo (5,56%), Kabupaten Gorontalo
(7,68%), dan Kabupaten Boalemo (1,17%). Penurunan terjadi bukan disebabkan oleh pengurangan
anggaran pengeluaran, namun nilai penerimaan keuangan daerah makin berkurang seiring dengan
pelaksanaan otonomisasi di daerah-daerah.
Gambar 4.1 Komposisi Pengeluaran Riil Propinsi dan Kabupaten/Kota Tahun 2002-2005
1,200,00
1,000,00
109.81 108.53
182.27 97.16 115.48
800,00
257.97 238.16
145.79
600,00 345.21
95.70 117.56
252.37
400,00
194.87 199.78 201.22
156.60
200,00
250.85 267.27 252.42
189.55
0
2002 2003 2004 2005
Provinsi Kota Gorontalo Kab. Bone Bolango Kab. Gorontalo Kab. Pohuwato Kab. Boalemo
Kabupaten Boalemo adalah kabupaten yang memiliki penerimaan dan pengeluaran riil perkapita
tertinggi dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lainnya pada selang tahun 2002-2003 dan
Kabupaten Pohuwato tertinggi tahun 2005. Dengan jumlah penduduk yang relatif sedikit maka
Kabupaten yang merupakan mekaran dari Kabupaten Gorontalo ini, mempunyai penerimaan riil
perkapita rata-rata selang tahun 2002-2005 sebesar Rp 114.100/bulan dan pengeluaran perkapita riil
rata-rata Rp 110.370/bulan, dibandingkan dengan total Provinsi Kab/Kota di Gorontalo yang memiliki
penerimaan riil perkapita Rp 90.876/bulan dan pengeluaran perkapita riil Rp 88.698/bulan. Sekalipun
demikian, Boalemo memiliki rata-rata perkembangan penerimaan riil perkapita perbulan turun
10,28% dan pengeluaran riil perkapita perbulan turun 8,75%.
Agak berbeda dengan Kabupaten Pohuwato sebagai daerah mekaran dari Kabupaten Boalemo, pada
tahun 2005 Kabupaten Boalemo menunjukkan penerimaan dan pengeluaran riil perkapita tertinggi
dengan tingkat penerimaan riil mencapai Rp.101.233/Bulan (Boalemo Rp 87.474/bulan) dan
pengeluaran riil perkapita mencapai Rp.90.165/bulan (Boalemo Rp 84.638/bulan). Kondisi
perekonomian Kabupaten Boalemo perkapita sangat baik karena daerah ini terkenal antara lain
sebagai pusat perdagangan, industri manufaktur dan jasa di wilayah Barat Gorontalo.
Gambar 4.2 Komposisi Penerimaan dan Pengeluaran Perkapita Riil Propinsi dan Kabupaten/ Kota
Tahun 2002-2005
7,000,00
6,000,00
1,035.01 1,035.01
5,000,00
1,081.98
918.31
1,746.24
4,000,00
621.37 572.14
1,500.87
3,000,00 779.30 953.00
845.37
626.27
2,000,00 1,355.04 1,286.13
1,335.11
1,129.49
1,000,00
1,102.73 1,145.32 1,136.00
873.46
0
2002 2003 2004 2005
Provinsi Kota Gorontalo Kab. Bone Bolango Kab. Gorontalo Kab. Pohuwato Kab. Boalemo
Pengeluaran menurut klasifikasi Bidang terdiri dari 21 bidang, data di Tingkat Provinsi dan Kabupaten
yang mempunyai pos pengeluaran adalah 19 bidang. Dalam analisis ini, klasifikasi bidang dibagi atas
Administrasi Umum Pemerintahan, Pertanian, Perikanan dan Kelautan, Pendidikan dan Kebudayaan,
Pekerjaan Umum, Perhubungan, dan Bidang Lainnya.
Di Provinsi Gorontalo, Administrasi Umum Pemerintahan merupakan bidang tertinggi proporsi alokasi
pengeluaran, dengan rata-rata proporsi 39,04 % pertahun. Bidang tertinggi berikutnya adalah
pekerjaan umum yakni 16,93 % pertahun, disusul dengan bidang Perhubungan yang proporsinya
mencapai 8,18 %. Bidang Pertanian dan Bidang Perikanan dan Kelautan sebagai program unggulan
Provinsi Gorontalo hanya memiliki proporsi 7,70 % dan 3,45 % pertahun.
Pada Tahun 2005 Bidang Administrasi Umum Pemerintahan di Provinsi Gorontalo merupakan
proporsi alokasi terbesar sejak tahun 2002 yang proporsinya mencapai 45,78 %. Bidang pekerjaan
Umum pada tahun 2003 dialokasikan sebesar 24,12 %, lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2004
dan 2005. Agak berbeda dengan bidang Perhubungan yang proporsi pada tahun 2003-2005 sudah
sangat kecil dibandingkan dengan tahun 2002 yang proporsinya mencapai 24,47 %. Prioritas untuk
alokasi layanan dasar yakni Bidang Pendidikan dan Pertanian masih relatif kecil proporsi pengeluaran
sebagaimana prioritas program pembangunan. Begitu pula pemberian layanan dasar bidang
kesehatan yakni rata-rata hanya 1,19 %.
Alokasi rata-rata proporsi bidang pertanian sebagai sektor unggulan Provinsi Gorontalo rata-rata
hanya dialokasikan 7,70 %, sedangkan Bidang Administrasi Umum merupakan proporsi terbesar
dengan rata-rata 45,75 %. Gorontalo dengan jumlah penduduk yang sebagian besar bekerja di bidang
pertanian dan karakteristik daerahnya yang masih merupakan daerah pertanian, seharusnya lebih
memberdayakan potensi ekonomi pada sektor pertanian. Apalagi cakupan target dalam program
unggulan daerah merupakan sektor pertanian seperti perikanan dan kelautan, agropolitan, kehutanan
dan perkebunan, dan sektor-sektor lain bidang pertanian.
Gambar 4.3 Proporsi Pengeluaran Menurut Klasifikasi Bidang di Propinsi Gorontalo Tahun 2002-2005
100%
14.19
90% 17.18
19.91 23.92
2.33
80% 4.40
2.52
20.95
70% 24.47
24.12 18.70
60% 5.52
3.94 1.80
3.33 4.37 2.91
50% 0.94 5.63 1.20
2.83 6.54
4.40 0.84
3.65 6.55
40% 12.08 5.62
30%
45.78
20% 39.91
33.66 36.83
10%
0%
2002 2003 2004 2005
Administrasi Umum merupakan bidang yang menyerap banyak dana karena di Provinsi Gorontalo
terdapat sekitar 11 lembaga/badan yang harus dibiayai dalam operasional administrasi umum,
sebagaimana penuturan staf Badan Keuangan Provinsi Gorontalo. Alokasi untuk Sekretariat Daerah
(Setda) paling tinggi menyerap dana dimana rata-rata tahun 2002-2005 proporsi alokasi yang
direalisasikan mencapai 47,65 %. Alokasi ini terdistribusi pada 8 Biro dan Pimpinan Setda. Urutan
berikutnya adalah Bawasda yang proporsi alokasinya rata-rata mencapai 10,59 %. Untuk DPRD
mencapai 9,89 %, dan Sekretariat DPRD sebesar 6,88 %. Sedangkan Badan Keuangan/Dipenda rata-
rata proporsi alokasi mencapai 6,59 % dan Kepala Daerah (Gubernur dan Wakil Gubernur) sebesar 5,00
%. Pengeluaran bidang Administrasi umum lainnya tersebar pada BKD dan Diklat (4,22%), Bappeda
(4,51 %), Badan Perwakilan Jakarta (3,91 %), KPU (1,47 %), dan Badan Kesbang Linmas (2,82%).
Jika dilihat secara total daerah Gorontalo, dominan alokasi pengeluaran perbidang adalah bidang
Pendidikan dan kebudayaan sebagaimana dalam gambar berikut :
Gambar 4.4 Proporsi Kumulatif Pengeluaran Rata-Rata Riil Perbidang Propinsi dan Kabupaten / Kota
Tahun 2002-2005
100%
5.31
1.70 8.71
12.18
90% 16.19 1.12
1.37 16.50
0.58 11.38
80% 15.01 11.82
70%
32.17
60% 34.84
35.60
50% 38.16
40% 9.86
9.64 0.98
2.64
8.01 1.35
30% 6.87 1.38
0.54 0.28 2.00
2.66
20%
33.14
23.20 26.13 28.67
10%
0%
2002 2003 2004 2005
Bidang pendidikan dan kebudayaan, rata-rata dialokasikan 35,19 % pertahun sebagai komitmen
Kabupaten/Kota dalam pemberdayaan SDM terutama pendidikan dasar 9 tahun. Jika di tingkat
Provinsi, Administrasi Umum dan Pemerintahan sebagai bidang yang banyak menyerap dana, namun
ditingkat Kabupaten/Kota sebagai jumlah terbesar kedua dengan rata-rata 27,78 %. Selanjutnya
bidang Pekerjaan Umum rata-rata dialokasikan 13,68 %. Untuk layanan dasar Kesehatan agak sedikit
lebih besar dari Provinsi, yakni rata-rata 8,59 %.
Proporsi alokasi bidang Pertanian merupakan alokasi rata-rata relatif rendah, yakni 2,17 %, begitupula
bidang Perikanan dan Kelautan yang hanya mengalokaskan rata-rata 0,79 % pertahun.
Setiap tahun rata-rata proporsi untuk Belanja pegawai Provinsi mencapai 21,19% dan Barang dan
Jasa dialokasikan 17,78 %. Namun keadaan jadi berubah pada tahun 2005 dimana dalam Barang dan
Jasa tersebut terdapat Belanja Perjalanan Dinas dan Pemeliharaan, sehingga pada tahun 2005 ini
tidak nampak pencatatan keuangan secara terpisah.
Gambar 4.5 Proporsi Kumulatif Belanja Riil Menurut Klasifikasi Ekonomi Propinsi Gorontalo Tahun 2002-2005
100%
12.91 15.38 12.23
17.78
80%
27.75
27.67
44.31
60%
2.40
63.60 8.38
33.92
1.55
40% 15.92
6.79
14.16
20% 1.00
2.36 30.25
7.13 26.10
20.28
8.14
0%
2002 2003 2004 2005
Tingkat Kabupaten/Kota alokasi terbesar adalah Belanja Pegawai yang besarannya relatif sama setiap
tahun. Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo, dan Kabupaten Bone Bolango, rata-rata mengalokasi-
kan belanja pegawai yang paling tinggi dibanding dengan belanja ekonomi lainnya, dengan proporsi
pengeluaran riil di atas 50 %, yakni masing-masing Kota Gorontalo 52,20%, Kabupaten Gorontalo
61,65%, dan Kabupaten Bone Bolango 55,35%. Sedangkan belanja Modal/Pembangunan masing-
masing 27,06%, 20,42% dan 29,62%. Sisanya dialokasikan pada belanja ekonomi lainnya. Secara rata-
rata, Belanja Pegawai 51,39 % dan Belanja Pembangunan 29,60 %.
Khusus Belanja Perjalanan Dinas dan Belanja Pemeliharaan pada Provinsi Gorontalo, Kabupaten
Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango, berdasarkan data yang berhasil dihimpun, pada tahun 2005
tidak mengalokasi kedua jenis belanja tersebut karena telah dimasukkan sebagai bagian dari Belanja
Barang dan Jasa.
Gambar 4.6 Proporsi Kumulatif Pengeluaran Riil Menurut Klasifikasi Ekonomi pada Kabupaten/Kota
Tahun 2002-2005
26.16 22.92
80% 31.84
37.46
1.41
3.94 2.28
2.41
3.01
60% 2.11
10.63 15.94
1.02 0.77 10.80
3.42
40%
0%
2002 2003 2004 2005
Tingkat realisasi Pengeluaran Provinsi Gorontalo, baik dalam klasifikasi Bidang maupun Ekonomi rata-
rata mencapai 89,57 % lebih rendah dari pada Kabupaten/Kota yang mencapai realisasi 92,84 %.
Perbandingan tingkat realisasi menurut Klasifikasi Bidang antara Provinsi dan Kabupaten/Kota selama
tahun 2002 -2005 adalah sebagai berikut :
Tahun 2002, tingkat realisasi tertinggi di Provinsi Gorontalo adalah Bidang Lain-Lain yang
direalisasikan sebesar 135,74% dan yang terendah realisasinya adalah bidang Sosial yakni 45,09
%, dengan tingkat realisasi total pengeluaran 91,98%. Sedangkan Kabupaten/Kota tingkat
realisasi tertinggi adalah Bidang Kesehatan sebesar 104,98% dan terendah adalah bidang
Perindustrian dan Perdagangan yakni 73,49%, dengan tingkat realisasi total pengeluaran
93,40%.
Tahun 2003, tingkat realisasi tertinggi di Provinsi Gorontalo adalah Bidang Kependudukan yakni
100,60 % dan yang terendah adalah bidang perindustrian dan Perdagangan yakni 61,17 %,
dengan tingkat realisasi total pengeluaran 89,64 %. Sedangkan Kabupaten/Kota tingkat realisasi
tertinggi adalah Bidang Kesehatan sebesar 102,47 % dan terendah adalah bidang kependudukan
yakni 73,61 %, dengan tingkat realisasi total pengeluaran 93,19 %.
Tahun 2004, tingkat realisasi tertinggi di Provinsi Gorontalo adalah Bidang Lingkungan Hidup
yakni 98,08 % dan yang terendah adalah bidang Ketenagakerjaan yakni 75,31 %, dengan tingkat
realisasi total pengeluaran 88,89 %. Sedangkan Kabupaten/Kota tingkat realisasi tertinggi adalah
Bidang Kesehatan sebesar 97,94 % dan terendah adalah bidang Lain-Lain yakni 45,85 %, dengan
tingkat realisasi total pengeluaran 91,01 %.
Tahun 2005, tingkat realisasi tertinggi di Provinsi Gorontalo adalah Bidang Kesehatan yakni
95,71 % dan yang terendah adalah bidang Perikanan dan Kelautan yakni 82,04 %, dengan tingkat
realisasi total pengeluaran 87,76 %. Sedangkan Kabupaten/Kota tingkat realisasi tertinggi adalah
Bidang Kesehatan sebesar 105,68 % dan terendah adalah bidang Lain-Lain yakni 58,18 % ,
dengan tingkat realisasi total pengeluaran 93,78 %.
Dengan demikian, di Kabupaten/Kota tingkat realisasi tertinggi yang terjadi setiap tahun adalah
Bidang Kesehatan, yang direalisasikan di atas 100 %, kecuali pada tahun 2004. Kinerja realisasi
anggaran yang mendekati 100 % adalah ditingkat Kabupaten/Kota.
Tabel 4.1 Tingkat Realisasi Pengeluaran Propinsi dan Kab/Kota Berdasarkan Bidang Tahun 2002-2005
2002 2003 2004 2005
Bidang
Provinsi Kab/Kota Provinsi Kab/Kota Provinsi Kab/Kota Provinsi Kab/Kota
ADUM PEMERINTAHAN 87.79 91.88 90.78 86.80 85.46 87.31 85.59 90.80
PERTANIAN 99.70 91.10 84.99 87.66 92.88 87.31 92.85 89.94
PERIKANAN & KELAUTAN 84.62 92.67 83.62 89.44 89.87 86.88 82.04 92.86
PERTAMBANGAN & ENERGI 74.77 97.55 66.30 - 95.35 - 93.50 -
KEHUTANAN & PERKEBUNAN 70.68 87.20 84.20 86.87 86.66 86.02 90.16 91.46
PERINDUSTRIAN & PERDAGANGAN 67.20 73.49 61.17 97.28 92.58 71.32 95.23 83.94
PERKOPERASIAN - 93.06 - 87.39 - 83.30 - 87.60
PENANAMAN MODAL - - - - - - - -
KETENAGAKERJAAN 58.96 91.33 74.58 88.27 75.31 89.41 90.67 92.01
KESEHATAN 67.59 104.98 69.23 102.47 92.17 97.94 95.71 105.68
PENDIDIKAN & KEBUDAYAAN 86.22 92.93 83.17 93.08 89.81 92.94 92.21 94.37
SOSIAL 45.09 93.51 65.85 96.71 97.89 89.95 93.46 93.00
PENATAAN RUANG - 87.89 - 98.75 - - - -
PERMUKIMAN - 88.56 - 99.20 - 72.58 - 99.82
PEKERJAAN UMUM 82.18 98.49 96.93 99.27 92.32 93.17 89.19 93.31
PERHUBUNGAN 95.10 96.80 83.12 93.06 91.32 92.21 90.66 94.41
LINGKUNGAN HIDUP 95.89 88.58 96.06 95.98 98.08 95.22 91.32 95.40
KEPENDUDUKAN - 84.30 100.60 73.61 - 92.45 - 87.60
OLAH RAGA - 86.80 - - - - - -
KEPARIWISATAAN - 90.73 - 92.05 - 74.71 - 93.72
PERTANAHAN - 74.91 - 98.46 - 95.46 - 99.30
LAIN-LAIN 135.74 100.00 93.31 99.90 90.58 45.85 83.69 58.18
TOTAL 91.98 93.40 89.64 93.19 88.89 91.01 87.76 93.78
Sumber : - Badan Keuangan Propinsi Gorontalo, 2007
- Tim PEA Universitas Gorontalo
Tingkat realisasi total pengeluaran pertahun menurut Klasifikasi Ekonnomi adalah sama dengan
Klasifikasi Bidang. Perbandingan tingkat realisasi menurut Klasifikasi Ekonomi antara Provinsi dan
Kabupaten/Kota selama tahun 2002 2005 adalah sebagai berikut :
Tahun 2002, pada Provinsi Gorontalo, tertinggi adalah Belanja Lain-Lain (118,77%) dan terendah
adalah Belanja Pegawai (57,68%). Sedangkan Kabupaten/Kota, tertinggi adalah Belanja
Modal/Pembangunan (94,90%) dan terendah adalah Belanja Pemeliharaan (77,04%).
Tahun 2003, pada Provinsi Gorontalo, tertinggi adalah Belanja Modal/Pembangunan (95,27 %)
dan terendah adalah Belanja Pegawai (75,70 %). Sedangkan Kabupaten/Kota, tertinggi adalah
Belanja Modal/Pembangunan (98,01%) dan terendah adalah Belanja Pemeliharaan (80,14 %).
Tahun 2004, pada Provinsi Gorontalo, tertinggi adalah Belanja Perjalanan Dinas (96,87%) dan
terendah adalah Belanja Modal/Pembangunan (84,29 %). Sedangkan Kabupaten/Kota, tertinggi
adalah Belanja Pegawai (92,26 %) dan terendah adalah Belanja Lain-Lain (75,48%).
Tahun 2005, pada Provinsi Gorontalo, tertinggi adalah Belanja Pegawai (92,19 %) dan terendah
adalah Belanja Lain-Lain (83,76 %). Sedangkan Kabupaten/Kota, tertinggi adalah Belanja Barang
dan Jasa (97,59 %) dan terendah adalah Belanja Lain-Lain (87,10%).
Tingkat realisasi anggaran di atas 100 % tidak terdapat di Provinsi Gorontalo dan Kabupaten/Kota,
kecuali hanya salah satu item belanja tahun 2002 yakni Belanja Lain-Lain.
Tabel 4.2 Tingkat Realisasi Pengeluaran Propinsi dan Kab/Kota Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi
Tahun 2002-2005
Di Provinsi Gorontalo, pada tahun 2003 dan 2004, tercatat Belanja Luncuran sebagai pengeluaran
yang harus direalisasikan karena belum selesai pelaksanaannya pada tahun sebelumnya. Tahun 2002
dan 2005 tidak terdapat Belanja Luncuran.
Belanja Luncuran secara riil tahun 2003 dianggarkan sebesar Rp 7,63 M, dan realisasinya adalah Rp
7,04 M dengan Belanja Luncuran terbesar adalah Pembangunan Gedung Pemerintah Provinsi
Gorontalo. Dalam tahun 2003 itu, terdapat 23 kegiatan yang harus didanai oleh Belanja Luncuran
tahun sebelumnya, yang tersebar pada 10 Bidang, dan Bidang Pekerjaan Umum merupakan belanja
terbesar. Sedangkan dalam tahun 2004 dianggarkan sebesar Rp 4,37 M dan realisasinya adalah Rp
3,49 M dengan Belanja Luncuran Terbesar adalah Pembangunan/Rehab Kantor PU dan Kimpraswil
sebagai bagian dari pembangunan gedung pemerintah. Dalam tahun 2004 itu, terdapat 29 kegiatan
yang harus didanai oleh Belanja Luncuran tahun sebelumnya, yang tersebar pada 8 Bidang, dan
Bidang Perhubungan merupakan belanja terbesar.
Tahun 2002 tidak terdapat Belanja Luncuran karena sistem penganggaran belum sepenuhnya baik
sejak dibentuknya Provinsi Gorontalo pada pertengahan tahun 2001. Selanjutnya pada tahun 2005
tidak terdapat lagi Belanja Luncuran karena pemerintah Provinsi Gorontalo telah menggunakan
sistem anggaran berbasis kinerja.
Tabel 4.3 Belanja Luncuran Propinsi Gorontalo Tahun 2003 (Miliar Rupiah)
No Kegiatan Bidang Anggaran Realisasi Proporsi
1. Pembangunan Gedung Samsat ADUM 0.06 0.06 0.83
2. Penimbunan Halaman Rumah Dinas ADUM 0.09 0.09 1.23
3. Penunjang Penelitian & Evaluasi Prog. Pembangunan ADUM 0.03 - -
4. Penunjang Sarana Perlengkapan & Humas ADUM 1.34 1.25 17.76
5. Pelaksanaan Pengawasan Provinsi ADUM 0.07 0.03 0.46
6. Pengembangan Agribisnis Perkebunan KEHUTANAN & PERKEBUN 0.04 0.03 0.48
7. Pemantapan & Rehabilitasi Kawasan Hutan & Lahan KEHUTANAN & PERKEBUN 0.13 0.05 0.64
8. Peningkatan Pelayanan Kesehatan KESEHATAN 0.05 - -
9. Pengembangan Iklim Pendukung Usaha KUKM KETENAGAKERJAAN 0.22 0.22 3.11
10. Peningkatan Pendidikan & Olahraga PENDIDIKAN 0.17 0.01 0.14
11. Pembangunan Jembatan Timbang PERHUBUNGAN 0.05 - -
12. Peningkatan Mutu Sumber Daya Kelautan & Perikanan PERIKANAN & KELAUTAN 0.44 0.06 0.86
13. Eks. Proyek Pengembangan Industri Kecil & Menengah PERINDAG 0.03 0.03 0.38
14. Pembinaan & Pengembangan Usaha Tani Holtikultura PERTANIAN 0.04 - -
15. Pembinaan & Pengembangan Usaha Tani Ternak PERTANIAN 0.13 0.13 1.77
16. Biaya Pemeliharaan Transportasi - Dinas PU PU 0.18 0.18 2.56
17. Marina and Coastal Resources Management PU 0.07 - -
18. Penanggulangan Banjir Wilayah I PU 0.65 0.65 9.29
19. Pembangunan Jalan Provinsi Gorontalo PU 0.93 0.93 13.14
20. Pembangunan Jalan Akses Provinsi Gorontalo PU 0.18 0.17 2.41
21. Pembangunan Jembatan Provinsi Gorontalo PU 0.63 0.51 7.17
22. Pembangunan Gedung Pemerintah Provinsi Gorontalo PU 2.11 2.10 29.86
23. Pembuatan Saluran Duicker PU - 0.56 7.92
Total 7.63 7.04 100.00
Proporsi dari realisasi dan dalam satuan Persen
Sumber : - Badan Keuangan Propinsi Gorontalo, 2007
- Tim PEA Universitas Gorontalo
Tabel 4.4 Belanja Luncuran Propinsi Gorontalo Tahun 2004 (Miliar Rupiah)
No Kegiatan Bidang Anggaran Realisasi Proporsi
1. Pembangunan Ruang Serba Guna Wagub ADUM 0.22 0.22 6.24
2. Pembebasan Tanah Kamla Kwandang ADUM 0.08 - 0.00
3. Pengadaan Mobil Jabatan Sekda ADUM 0.29 - 0.00
4. Pembuatan Pagar Rudis Pagar DPRD ADUM 0.01 0.01 0.33
5. Biaya Konsultan ADUM 0.02 0.02 0.49
6. Pengaspalan Jalan UPT Samsat Pohuwato ADUM 0.06 0.06 1.75
7. Pengaspalan Jalan UPT Samsat Boalemo ADUM 0.04 0.04 1.13
8. Pemagaran UPTD Samsat Limboto ADUM 0.02 0.02 0.47
9. Pembang. Uji Fisik Kend. Bermotor UPTD Pohuwato ADUM 0.03 0.03 0.79
10. Pembang. Uji Fisik Kend. Bermotor UPTD Boalemo ADUM 0.02 0.02 0.49
11. Research Desain Konstruksi & Training Komp. Samsat ADUM 0.26 0.26 7.42
12. Survey and Mapping ADUM 0.03 0.03 0.91
13. Rapat Konsultasi Publik Renstra dan Zonation Plan ADUM 0.02 0.02 0.43
14. Diklat Kepemimpinan Tk III angakatan I ADUM 0.26 0.24 6.94
15. AMDAL/UKL-UPL Proyek Pembang. Jembatan Talumolo LINGKUNGAN HIDUP 0.04 0.04 1.03
16. Seminar Dewan Riset Daerah LINGKUNGAN HIDUP 0.05 0.04 1.23
17. Instalasi Sumur Bor Pusat PPP Sapi Unggul PERTANIAN 0.05 0.05 1.37
18. Alat Angkutan Apung Bermotor PERIKANAN & KELAUTAN 0.23 0.21 6.10
19. Bintek & Prototip Alat Industri, Yodisasi garam di MBO PERINDAG 0.06 0.06 1.65
20. Pelatihan Teknis & Bantuan Alat Industri Pakan Ternak PERINDAG 0.19 0.19 5.32
21. Pengembangan Usaha Eko. Produktif/Modal Bergulir PERINDAG 0.06 0.05 1.56
22. Pelaksanaan Pengawasan&Tera Ulang UTTP pd Sidang PERINDAG 0.04 0.01 0.31
23. Pembangunan Jalan Pangea 17 Km KETENAGAKERJAAN 0.75 0.36 10.19
24 Jalan Akses Tobango Barat cs PU 0.00 - 0.00
25. Pembangunan / Rehab Kantor PU / Kimpraswil PU 0.69 0.68 19.40
26. Pembebasan Tanah Jembatan Timbang PERHUBUNGAN 0.17 0.13 3.80
27. Pembangunan Terminal Cargo PERHUBUNGAN 0.11 0.11 3.22
28. Pembangunan Obyek Wisata Otanaha PERHUBUNGAN 0.29 0.29 8.19
29. Pembangunan Jembatan Timbang PERHUBUNGAN 0.32 0.32 9.24
Total 4.37 3.49 100.00
Proporsi dari realisasi dan dalam satuan Persen
Sumber : - Badan Keuangan Propinsi Gorontalo, 2007
- Tim PEA Universitas Gorontalo
Dana Dekonsentrasi yang dikucurkan oleh pemerintah pusat pada tahun 2005 dan 2006 terbilang
sangat besar. Pada tahun 2005 dana ini mencapai Rp.1,16 Trilyun dan tahun 2006 sebesar Rp. 2,642
Trilyun. Jumlah ini sangat jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya dimana tahun 2002 hanya
Rp 193 Milyar, tahun 2003 menjadi Rp 404 Milyar dan tahun 2004 sebesar Rp 391 Milyar. Proporsi
(share) pada masing-masing bidang setiap tahun relatif sama yang terinci dalam 19 Bidang Dana
Dekonsentrasi. Proporsi alokasi dana yang dominan terbesar dikucurkan adalah bidang Pendidikan,
Kebudayaan, dan Kepercayaan Terhadap Tuhan, rata-rata proporsinya tahun 2002-2006 adalah
24,24 %/tahun.
Bidang dana Dekonsentasi yang terbesar berikutnya adalah Bidang Kesejahteraan Sosial, Kesehatan
dan Peranan Wanita, yakni rata-rata proporsi alokasi adalah 17,13%/tahun. Selanjutnya bidang
Transportasi, Meteorologi dan Geofisika mencapai rata-rata proporsi sebesar 14,42 %. Dari semua
bidang ini, proporsi rata-rata terkecil adalah Bidang Politik Dalam Negeri, Hubungan Luar Negeri,
Informasi dan Komunikasi, yang hanya mencapai 0,04 % / tahun, karena dana dikucurkan hanya pada
tahun 2003 saja. Dana Dekonsentrasi untuk pemerintah provinsi hanya ada sejak tahun 2004.
Sedangkan Bidang Industri yang senantiasa dikucurkan tiap tahun, tapi proporsi alokasi rata-ratanya
hanya 0,23 % pertahun.
2006
2006
2005
2005
2004
2004
2003
2003
2002
2002
0%
0% 20%
20% 40%
40% 60%
60% 80%
80% 100%
100%
INDUSTRI
Industri
PERTANIAN,KEHUTANAN,
Pertanian, Kehutanan, dan DAN PERIKANAN
Perikanan
Pengairan
PENGAIRAN
TENAGA KERJA
Tenaga Kerja
Perdagangan, Pengembangan
PERDAGANGAN, PENGEMBANGAN UsahaUSAHA
Nasional
NASIONAL
TRANSPORTASI, METEOROLOGI
Transportasi, Meteorologi DAN GEOFISIKA
dan Geofisika
Pertambangan danDAN
PERTAMBANGAN Energi
ENERGI
Pembangunan Daerah
PEMBANGUNAN DAERAHdanDAN
Transimigrasi
TRANSMIGRASI
LINGKUNGAN HIDUPdan
Lingkungan Hidup DAN TATA
Tata RUANG
Ruang
PENDIDIKAN,KEBUDAYAAN NASIONAL,KEPERCAYAAN
Pendidikan, Kebudayaan Nasional, Kepercayaan Terhadap THD TUHAN
Tuhan
KEPENDUDUKAN
Kependudukan dan DAN KELUARGA
Keluarga SEJAHTERA
Sejahtera
KESEJAHTERAAN SOSIAL,KESEHATAN,PERANAN
Kesejahteraan Sosial, Kesehatan, Peranan Wanita, AnakWANITA,ANAK DA
PERUMAHAN
Perumahan dan DAN PERMUKIMAN
Permukiman
AGAMA
Agama
ILMU
Ilmu PENGETAHUAN
Pengetahuan danDAN TEKNOLOGI
Teknologi
HUKUM
Hukum
APARATUR NEGARA
Aparatur Negara dan DAN PENGAWASAN
Pengawasan
POLITIK DALAMNegeri,
Politik Dalam NEGERI, HUBUNGAN
Hubungan Luar LUAR
Negeri,NEGERI, INFORMASI
Informasi DAN KOMUNIKASI
dan Komunikasi
PROVINSI
Provinsi
REKOMENDASI
KESEHATAN
Ketersediaan sarana dan tenaga kesehatan Gorontalo secara umum memadai namun distribusi belum
merata. Tercatat tahun 2005 jumlah Rumah sakit pemerintah 6 buah, rumah sakit swasta 1 buah.
Puskesmas 60 unit, Pustu 216 unit, posyandu 738 buah, pondok bersalin desa (Polindes) 259 unit.
Dokter umum 128 orang, Bidan 234 orang.1
Kesenjangan ketersediaan dokter dan bidan terhadap layanan kesehatan masyarkat terjadi antar kota
dan kabupaten. Di kota Gorontalo pelayanan kesehatan cukup terjangkau dibandingkan di kabupaten
(Gorontalo, Boalemo, Pohuwato dan Bone Bolango) lihat Tabel 5.1.1
Banyaknya polindes yang tidak layak huni dan minim fasilitas menyebabkan bidan sering tidak berada
di tempat kerja. Ketersediaan jamban, air bersih yang belum memadai dan tempat tinggal bidan desa
merupakan bagian penting yang turut memperburuk kondisi pelayanan kesehatan Polindes, banyak
bidan yang lebih memilih tinggal di kota dari pada desa.2
Akses masyarakat miskin terhadap layanan kesehatan masih rendah. Program JPKM dan BLT tahun
2005 yang ditujukan kepada kelompok masyarakat miskin belum sepenuhnya dinikmati. Sebagian
besar masyarakat miskin belum memperoleh layanan kesehatan baik melalui program Jaminan
Pelayanan Kesehatan Mandiri (JPKM) maupun penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT). 3
35
30.88
30 28.9
27.25
Kota Gorontalo
25 23.34
19.5 20.18 19.4 18.8 Kab. Gorontalo
20
15 Kab. Boalemo
10 8.6
7.79 Kab. Pohuwato
5.05
5
Kab. Bone Bolango
0
2001 2002 2003
Dalam hal pertolongan persalinan pertama lebih banyak ditangani Tenaga medis 59 % dan dukun 41
%. Angka ini masih dibawah rata-rata nasional 71 %. Meskipun resiko kematian ibu melahirkan yang
ditangani oleh dukun cukup tinggi namun pemanfaatan jasa dukun masih tinggi. Tingginya
penanganan persalinan oleh dukun terjadi di Kabupaten Boalemo 84,65 % dan terendah di kota
Gorontalo hanya 31,96 % (Susenas : BPS). Penanganan persalinan oleh dukun ini secara umum lebih
disebabkan oleh biayanya murah serta masih minimnya jumlah bidan utamanya di desa-desa
terpencil. 5
Sebanyak 65% balita di Gorontalo belum mendapat imunisasi komplit. Angka ini lebih tinggi dari
angka national 27%. Pemberian imunisasi komplit di bawah 13-24 bulan didominasi kelompok
pengeluaran tinggi (Poorest) baik pada rata-rata provinsi maupun kabupaten/kota.
3 Data susenas 2005 menunjukan 83,07 % masyarkat miskin belum memiliki jaminan kesehatan, sedangkan dari 79,256 kk miskin rumah
tangga penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) tahun 2005 terdapat 62,53 % yang tidak mampu berobat ke puskesmas/poliklinik.
Sumber BPS Propinsi Gorontalo ; Susenas 2005 dan Profil Penduduk miskin Gorontalo 2005.
4
Strategi Penanggulangan Kemiskinan tahun 2003
5 Keterbatasan ekonomi adalah salah satu penyebab masih tingginya penanganan persalinan oleh tenaga dukun. Biaya persalinan oleh dukun
relatif murah, mudah dan lebih bersifat komunikatif-kekrabatan. Selain itu penanganan persalinan cukup menyeluruh mulai pembersihan ari-
ari hingga perawatan ibu dan bayi yang biasanya berlangsung selama 40 hari.
1,20
1,00
0,80
0,60
0,40
0,20
0,00
Rata-rata Provinsi Kab. Boalemo Kab. Gorontalo Kab. Pohuwato Kab. Bone Bolango Kota Gorontalo
1 (poorrest) 2 3 4 5 (richest)
Rendahnya perilaku hidup bersih masyarakat menyebabkan besarnya jumlah kasus penyakit menular
dan penyakit tidak menular. Untuk kasus penyakit demam berdarah Dengue (DBD) misalnya ada tahun
2004 kasus ini hanya berjumlah 14 dan tahun 2005 meningkat tajam menjadi 213.6
1%
23%
APBD Propinsi
APBD Kab/Kota
Dekonsentrasi
76%
Penerimaan Dana bidang kesehatan masih mengandalkan sumber pendanaan pemerintah pusat.
Dukungan pendanaan kesehatan oleh pemerintah masih rendah ditingkat kabupaten/kota. Alokasi
penerimaan rata berkisar antara 5-20 persen sedangkan pada tingkat provinsi tidak cukup 2 persen.
Sumber-sumber penerimaan APBN berasal dari JPKM, tugas pembantuan.
Pengeluaran bidang kesehatan mengalami peningkatan namun belum signifikan dengan upaya
peningkatan kualitas layanan di daerah. Prosentase pengeluaran kesehatan terhadap belanja total
APBD selama lima tahun terakhir dibawah 2 persen. Pengeluaran ini masih jauh dari anjuran
Organisasi Kesehatan sedunia (WHO) yakni paling sedikit 5 persen dari PDB per tahun atau 15 persen
dari APBD.
8.000 100%
7.000 5.846
6.000 80% 588
422 Belanja modal/pembangunan
5.000 4.536 6.714 1.339
Millions
490
4.000 3.208 40% Belanja pemeliharaan
4.536
3.000 2.100 Belanja perjalanan dinas
1.780 2.917
2.000 40% 2.234
Belanja barang dan jasa
1.000 1.463
1.797 1.158 1.207 2.600
Belanja pegawai merupakan pengeluaran terbesar bidang kesehatan. Selama empat tahun (2002-
2005) belanja pegawai menggunakan anggaran lebih dari 50 persen dari total belanja bidang
kesehatan. Besarnya porsi belanja pegawai juga terjadi di tingkat kabupaten/kota. Belanja ini
diperuntukan bagi pegawai pada dinas kesehatan maupun pengelola rumah sakit daerah.
Pada tingkat provinsi belanja pegawai terbesar pada tahun 2004. Peningkatan ini terjadi karena
adanya penambahan pos Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) sebesar Rp 939,275,000.
Untuk tahun 2005 Pengeluaran kesehatan yang bersumber dari APBD pada tingkat provinsi lebih dari
50 % dibelanjakan untuk belanja pegawai (2,6 M), sisanya untuk belanja barang dan jasa 1,6 M (34 %),
belanja modal 280 juta (6%) sedangkan untuk pos belanja pemeliharaan serta perjalanan dinas pada
tahun 2005 dimasukan pada belanja barang dan jasa, masing-masing Rp 91 juta (1,9 %) dan 631 juta (
12,9 %). Jenis pengeluaran belanja pegawai meliputi pembayaran gaji dan tunjangan 1,4 Milyar,
tambahan penghasilan PNS Rp 834 Juta dan Belanja Pengembangan Sumber Daya Aparatur Daerah
Rp 20 Juta.
Pada tingkat kabupaten/kota belanja Modal lebih besar 39 % dari belanja pegawai 33 %. Strategi
pendanaan kesehatan lebih bersifat insidentil jika ada dana luncuran pemerintah pusat dan hibah. Hal
ini mengakibatkan tidak kontinyuitasnya program dan penanganan kesehatan bagi masyarakat
miskin. Pemerintah daerah (dinas kesehatan) tidak dapat berbuat banyak bagi peningkatan program
kesehatan sebab alokasi anggaran dinas untuk pembangunan-publik bersumber dari APBD lebih
banyak diarahkan pada sharing dana DAK/Dekonsentrasi sisanya untuk program dinas yang lebih
bersifat rutin dan ceremonial.
Komposisi Pengeluaran Kesehatan menurut Klasifikasi Ekonomi (2005) Komposisi Belanja Modal Bidang Kesehatan tahun 2005
0,0 0,0
100% 6,2
0,0 0,0
90%
80% 33,2 26% 36%
36,5 Belanja lain-lain
70% Modal tanah untuk
2,2 0,7 Belanja Modal/Pembangunan Bangunan Gedung
60%
Bangunan Gedung
50% 24,4 Belanja Pemeliharaan
Tempat Kerja
40% Belanja Perjalanan Dinas
Alat-alat Studio
30% 57,3
Belanja barang dan jasa dan Kom bapekesman
20% 39,5
Belanja Pegawai Lain-lain
10% 17%
0%
Provinsi
21%
Kabupaten/Kota
Provinsi Gorontalo mempunyai pengeluaran perkapita kesehatan Gorontalo sebesar Rp. 86.150
/orang. Pengeluaran riil perkapita kesehatan Gorontalo urutan kesembilan secara nasional.
9
300
8
250 7
6
200
5
%
Rp
150
4
100 3
2
50
1
0 0
Papua
Kalimantan
Kalimantan
Sulawesi
Riau
NAD
Kalimantan
Maluku
Gorontalo
Jambi
Average
DKI Jakarta
Maluku
Bali
Sumatera
NTT
Sulawesi
Kalimantan
Bengkulu
Sulawesi
DI Yogyakarta
Bangka
Sumatera
Sulawesi
Sumatera
NTB
Jawa
Jawa
Lampung
Jawa Barat
Banten
REKOMENDASI
PENDIDIKAN
Sektor Pendidikan merupakan bagian penting program unggulan pemerintah Provinsi Gorontalo
dalam hal pengembangan Sumber Daya Manusia.7 Pembangunan sektor pendidikan menjadi pilihan
strategis pencapaian visi pembangunan Gorontalo.
Kondisi pendidikan sejak tahun 2001 mengalami peningkatan. Data BPS Gorontalo tahun 2005 yang
dikonsolidasi dengan Dinas Pendidikan Provinsi menunjukan bahwa terdapat SD/MI berjumlah 849
buah, SMP/Mts 178 buah dan SMA/MA 74 buah. Ketersediaan guru umumnya memadai, namun
distribusi guru yang tidak merata antar kabupaten/kota. Selain itu ketidaksesuaian guru dengan mata
pelajaran yang diasuh masih menjadi persoalan.
Lemahnya manajemen pengeloaan pendidikan dan political will pemerintah daerah menjadi bagian
dari sebab masalah ketidakmerataan Guru. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang
kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom dalam hal kewenangan
pendidikan belum optimal dilaksanakan.
Kotak 1.
Untuk kepentingan pemerataan Guru, Bupati Gorontalo mengeluarkan SK No 821.2/08/SK/52/2006 tanggal 20
November 2006 tentang Mutasi Guru.
Kebijakan ini ditempuh sebagai implementasi dari SK mendiknas nomor 195/F/TU/2006 yang menetapkan
Kabupaten Gorontalo sebagai pilot project Better Employment and Re-development Management Universal
Teacher Up-grading tahun 2006-207
Kebijakan ini mendapat reaksi keras beberapa orang guru yang menilai bahwa mutasi dilakukan secara sewenang-
wenang dan tanpa melalui pertimbangan yang matang. Namun pemerintah daerah beralasan untuk peningkatan
pelayanan pendidikan dan beradasr pada peraturan kepegawaian. Gugatan diproses di PTUN Manado Sulawesi
utara.
Pemerintah daerah yang mempunyai otoritas pengelolaan guru sering dihadapkan pada kebijakan
yang dinilai 'sewenang-wenang' dan tidak populis. Hubungan antara pemerintah daerah dan
pemerintah provinsi sering tidak harmonis dalam hal pengaturan dan alih fungsi guru dalam dan
lintas kabupaten-kota.
7 Renstrada Propinsi Gorontalo 2001-2006. Program unggulan propinsi Gorontalo yakni pengembangan sumber daya manusia, pertanian dan
perikanan.
Angka Partisipasi sekolah di Gorontalo merata baik pada kelompok masyarakat miskin (poorest) dan
kaya (richest). Analisa manfaat pendidikan berdasarkan data Susenas 2005 menunjukan bahwa Angka
partisipasi sekolah pada semua strata pengeluaran masyarakat diatas 90 %, demikian halnya angka
melek huruf dan penggunaan sarana pendidikan. Tingginya angka partisipasi sekolah juga terjadi
tingkat kabupaten/kota. (Gambar 5.2.1)
Angka Partisipasi Sekolah Kab/Kota Tahun 2005 Angka Partisipasi Sekolah Gorontalo (Tahun 2001-2005)
1 120,0
0,98
100,0
0,96
80,0
0,94
0,92 60,0
0,9
40,0
0,88
20,0
0,86
0,84 0,0
Rata-rata Kab. Kab. Kab. Kab. Bone Kota 2001 2002 2003 2004 2005
Provinsi Boalemo Gorontalo Pohuwato Bolango Gorontalo
1 (poorest) 2 3 4 5 (richest) APK SD APM SD APK SLTP APM SLTP APK SMA APM SMA
Kesejanjangan output pendidikan antar kabupaten/kota terjadi dan berada dibawah rata-rata
nasional maupun di wilayah Timur Indonesia. Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi
Murni (APM) sebagai salah satu indikator penting yang digunakan untuk mengukur output
pendidikan. Kota Gorontalo output pendidikan relatif baik dibandingkan kabupaten. Selama tahun
2002-2005 Angka Partisipasi Kasar Pendidikan (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) Sekolah
Dasar (SD/MI) naik 0,7 persen. Peningkatan efesiensi output pendidikan signifikan terjadi pada
tingkat SLTP dan SMU, meskipun masih kecil dan masih dibawah rata-rata nasional. (Gambar 5.2.3)
Akses masyarakat terhadap layanan pendidikan belum merata. Jarak Sekolah Dasar di Kabupaten
Pohuwato dan Boalemo harus + 44 km dibandingkan kota Gorontalo yang hanya 4 km. Perbedaan
yang menonjol terjadi pada Sekolah lanjutan (SLTP/SMA). Rasio sekolah dengan siswa masih menjadi
permasalahan pendidikan yang perlu di seriusi.
1. Kota Gorontalo 98,04 113,46 88,09 87,82 144 25 17 0,4 2,6 3,8 80,7 3,79 5,58
2. Kab. Gorontalo 93,32 113,61 52,56 32,64 385 68 23 8,9 50,4 149,0 68,3 3,94 8,78
3. Kab. Boalemo 93,82 99,80 61,96 27,95 82 17 7 27,4 132,2 321,2 51,9 4,06 10,93
4. Kab. Bone Bolango 82,25 102,46 65,30 39,70 127 24 12 15,6 82,7 165,4 75,3 3,15 5,33
5. Kab. Pohuwato 85,22 79,59 41,56 20,46 102 27 10 44,0 166,3 449,1 49,0 4,13 10,92
Province 90,53 101,8 61,89 41,71 840 161 69 14,5 75,9 177,0 65,8 3,84 7,92
Average 90,53 101,78 61,89 41,71 280 54 23 18,5 85,0 210,9 65,17 3,82 8,24
Minimum 82,25 79,59 41,56 20,46 82 17 7 0,4 2,6 3,8 49,03 3,15 5,33
Maximum 98,04 113,61 88,09 87,82 840 161 69 44,0 166,3 449,1 80,74 4,13 10,93
Dana pemerintah pusat (dekonsentrasi) masih mendominasi penerimaan dana bidang pendidikan.
Meskipun demikian penerimaan ini masih dapat diimbangi kabupaten/kota penerimaan cukup besar
dibandingkan provinsi yang hanya dua persen dari APBD. Struktur penerimaan dana pendidikan lebih
banyak mengandalkan luncuran dana dari pemerintah pusat. Sumber dana pendidikan pada APBD
lebih bersifat sebagai 'umpan' dan pendampingan program pendidikan nasional.8
8 Pendidikan belum menjadi pilihan bagi pengembangan SDM di daerah. Minimnya dana pendidikan yang dialokasikan setiap tahun adalah
bukti akan hal ini. Meskipun dana alokasi APBD besar, biasanya untuk menyiasati luncuran dana APBN/hibah pendidikan. Syaratnya harus ada
dana pendamping 10-30 % dari total dana yang diluncurkan. Jadi strategi 'serang' jika ada dana menjadi hal yang biasa dilakukan untuk
terhadap dana pendidikan di daerah.
Sumber: Wawancara tenaga pendidikan kabupaten Gorontalo.
2%
39%
APBD Propinsi
APBD Kab/Kota
59% Dekonsentrasi
300.000
250.000
200.000
Millions
Kab/Kota
150.000
Provinsi
100.000
50.000
Secara umum pengeluaran bidang pendidikan jika dibandingkan dengan total Belanja Daerah maupun
bidang lainnya sejak tahun 2002 hingga 2005 hanya 5%. Sebaliknya pada tingkat kabupaten/kota
pengeluaran bidang pendidikan diatas 20%, namun jika di keluarkan gaji pegawai dan guru maka
dibawah 5%
Gambar 5.2.4 Pengeluaran Bidang Pendidikan Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi Tahun 2005
0,1
100 %
0,5 11,3
90 % 11,9
0,2
Belanja lain-lain
80 % 2,0
Belanja modal/pembangunan
70 %
22,4
60 % Belanja pemeliharaan
0,6
50 %
1,3 Belanja perjalanan dinas
86,1 2,7
40 %
Belanja barang dan jasa
30 %
20 % 33,0 Belanja pegawai
10 %
0%
Kabupaten/Kota Provinsi
Belanja pegawai masih mendominasi pengeluaran pendidikan baik pada tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota. Besarnya belanja pegawai pada tingkat kabupaten/kota disebabkan adanya
kewenangan pengelolaan guru di daerah sedangkan pada tingkat provinsi oleh masih kecilnya alokasi
pendidikan dibandingkan dengan jumlah pegawai. Adapun untuk Belanja Modal lebih diarahkan
untuk pembangunan gedung kantor dan pembebasan lahan.
12%
15% 44%
29%
Belanja program pengem-bangan pendidikan berbasis kawasan menyedot anggaran besar dari dana
yang bersumber dari APBD provinsi. Dana ini diperuntukan untuk program Pendidikan berbasis
Kawasan (PBK) pada semua jenjang & jenis pendidikan dengan penguatan pada kompetensi lokal.
Pembangunan SMK Pertanian, Diklat Guru, penyusunan kurikulum dan pencetakan buku PBK. Subsidi
penyelenggaraan Paket B dan C. Subsidi bagi siswa SD termasuk pengadaan ijazah STK dan SD.
Sedangkan dana yang bersumber dari dana Dekonsentrasi dibelanjakan untuk program wajib belajar
pendidikan dasar sembilan tahun. Dana ini sebagian besar diarahkan pada subsidi rehabilitasi gedung
sekolah dan perluasan dan peningkatan mutu sekolah dasar.
Kotak 2.
Pendidikan Berbasis Kawasan (PBK) adalah entry point program pengembangan SDM Gorontalo. Sejak dibuatnya
master plan PBK tahun 2002 beberapa kegiatan srategis yang telah dilakukan adalah uji coba di SD,SMP dan SMU
tahun 2003. Pertengahan tahun 2004 PBK diterapkan pada semua jenjang pendidikan melalui pendekatan
Teknobisnis Agrokompleks dengan melibatkan 11.218 siswa dan 167 guru yang tersebar di 101 SD , 33 SMP dan
31 SMA. Tahun 2006 pengelolaan PBK memperoleh nilai 'sangat baik' dari BPKP Perwakilan SULUT.
Belanja bidang pendidikan Gorontalo pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota fluktuatif dan
cenderung menurun dari tahun ke tahun. Kecuali belanja dekonsentrasi membaik. Meskipun demikian
secara Nasional Gorontalo memiliki anggaran pendidikan riil perkapita penduduk ketiga setelah NAD
dan Papua. Kenaikan percapita ini naik duakali lipat pada tahun 2005. Adapun untuk belanja kebutuhan
masyarakat untuk pendidikan masih dibawah nasional. Dana share mengalami kenaikan hanya 0,7
persen sejak tahun 2002.
REKOMENDASI
1. Mendesak bagi pemerintah daerah untuk melakukan distribusi guru ke wilayah terpencil.
Ketersediaan guru didaerah umumnya memadai, namun penyebarannya belum merata. Rasio
Guru dengan siswa antar desa-kota masih tinggi akibatnya beban mengajar guru pun bervariasi.
Permasalahan lainnya berpengaruh adalah minimnya kehadiran guru dalam memenuhi beban
mengajar pada proses belajar mengajar.
2. Peningkatan Partisipasi Sekolah pada jenjang lebih tinggi perlu diikuti oleh penyiapan
sarana prasarana dan dukungan infrastruktur didaerah. Keterbatasan sarana pendidikan pada
tingkat SLTP/SMU menyebabkan akses pendidikan masyarakat terbatas. Melimpahnya jumlah
siswa SLTA diwilayah perkotaan (Kota Gorontalo dan Limboto) merupakan bagian dari belum
baiknya pengelolaan pendidikan dan minimnya sarana- prasarana.
3. Pengelolaan yang lebih baik terhadap pengangkatan dan penempatan guru. Lemahnya
perencanaan kebutuhan, pengangkatan dan penempatan guru akibat rendahnya kemampuan
daerah dalam penyiapan basis data dan analisis kebijakan pendidikan. Ketersediaan data
pendidikan didaerah dapat dioptimalkan untuk kepentingan kebijakan yang lebih terukur dan
dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu Pemerintah daerah perlu memperhatikan
permasalahan kualifikasi, jenjang dan spesialisasi, dan kompotensi guru.
4. Ketepatan dan keakuratan informasi pencairan keuangan pendidikan sangat penting bagi
pencapaian program pendidikan yang lebih baik. Keterlamabatan transfer anggaran
pemerintah pusat ke daerah sering menimbulkan mandeknya program pendidikan. Tidak jarang
instansi teknis mengembalikan dana ke pusat karena keterbatasan waktu, meskipun kegiatan
dilaksanakan biasanya lebih bersifat ceremonial menghabiskan anggaran.
INFRASTRUKTUR
Kondisi Infrastruktur
Sebagian besar pembangunan infrastruktur di Gorontalo disediakan oleh pemerintah. Pada sektor lain
seperti pertambangan, industri rumah tangga, kelistrikan, sanitasi, komunikasi, sebagian besar
dibangun oleh pihak swasta. Rata-rata 30 % dari biaya modal dalam lima tahun terakhir dialokasikan
untuk penyediaan sarana air bersih, dan fasilitas sanitasi, jaringan jalan, dan irigasi, dan listrik.
Pembangunan infrastruktur di Gorontalo lebih rendah dari tingkat rata-rata nasional. Rumah tangga
yang mendapat akses pipa air PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum), kondisi jalan baik, dan fasilitas
sanitasi, masih berada pada tingkat lebih rendah dari rata-rata nasional. Indikator lainnya
menunjukkan lebih tinggi dari rata-rata nasional seperti lahan irigasi sebagai persentase terhadap
luas lahan pertanian, dan tingkat kepadatan jalan, (Tabel 5.3.1).
Transportasi darat dalam hal ini jalan menjadi transportasi utama yang digunakan di Gorontalo.
Jaringan jalan yang tersedia di Gorontalo yaitu sepanjang 4123,49 km, dengan panjang jalan Nasional
sebesar 616,24 km, jalan provinsi sebesar 468,22 km, jalan kabupaten sepanjang 3039,03 km, dan jalan
desa sepanjang 229,85 km (Gambar 5.3.1)10 . Lebih dari 70 % jaringan jalan tersebut tersebar di empat
kabupaten. Sebagai penunjang program agropolitan pemerintah provinsi membangun jalan akses ke
wilayah sentra produksi pangan sepanjang 156,7 km.
Kabupaten,
3309.03
Tingkat kepadatan jalan di Gorontalo relatif lebih tinggi dari rata-rata nasional. Rata-rata tingkat
kepadatan ruas jalan di Gorontalo sebesar 4,54 km/1000 lebih tinggi dari rata-rata nasional sebesar
1,7 km/1000 orang.
Kondisi jalan dalam keadaan baik lebih rendah daripada rata-rata nasional. Kondisi baik jaringan jalan
di Gorontalo, jalan nasional 29 %, jalan provinsi 32,55 % dan jalan kabupaten sebesar 49%.
Bagaimanapun juga, ada 37% jaringan jalan perlu mendapatkan perbaikan secepatnya (Tabel 5.3.2).
Persentase jalan nasional merupakan tipe jalan aspal tertinggi di Gorontalo. Tipe jalan aspal secara
berturut-turut yaitu jalan nasional 96 %, jalan provinsi 63 %, dan jalan kabupaten 57 %.
Bagaimanapun juga tipe jalan non aspal persentasenya rata-rata berada dibawah jalan aspal (Tabel
5.3.3).
Keadaan fisik jalan selang tahun 2002-2005 cenderung didominasi oleh pekerjaan pemeliharaan
jalan. Hal ini dilihat pada keadaan setiap tahun pada Tabel 5.3.4, dimana pekerjaan pemeliharaan
mendominasi pekerjaan ruas jalan, kemudian diikuti dengan pekerjaan pembangunan dan sedikit
pekerjaan peningkatan status jalan.
Akses untuk mendapatkan air bersih dari PDAM di Gorontalo lebih rendah daripada rata-rata nasional.
Sebesar 16,01 % populasi di gorontalo mendapatkan air minum dari pipa PDAM lebih rendah daripada
rata-rata nasional sebesar 18,5% (Gambar 5.3.2).
Gambar 5.3.2. Akses mendapat air minum dari pipa PDAM di Indonesia (%)
Pr o v . PaProv.p u Papua
a B aBaratrat
Pr o v .Prov.
Pa p ua
Papua
Pr o v . MProv.
a lu Maluku
k u U ta ra
Utara
Pr o v .Prov.
M aMaluku
lu k u
Pr o v . G o r Gorontalo
Prov. o n ta lo 16
Pr o v . S u la wProv.e sSulawesi
i T e n gTenggara
gara
Pr o v . S u la w Sulawesi
Prov. e s i B aBarat
rat
Pr o v . S u laProv.
w eSulawesi
s i S e la ta n
Selatan
Pr o v . S u laProv.
w eSulawesi
s i T e nTengah
gah
Pr o v . S u la w Sulawesi
Prov. e s i U ta ra
Utara
Pr o v . K a Prov.
lim aKalimantan
n ta n T im ur
Timur 45
Pr o v . K a lim a nKalimantan
Prov. ta n S e la ta n
Selatan
Pr o v . K a lim a n ta n T e n
Prov. Kalimantan Tengahg a h
Pr o v . K a lim
Prov.aKalimantan
n ta n B aBarat rat
Pr o v . N u s a Prov.
T e nNusa
g g Tenggara
a r a T im ur
Timur
Pr o v . N u s a Prov.
T e nNusa
gga r a B aBarat
Tenggara rat
Pr o vProv.
. B Bali
a li 41
Pr o v . Prov.
Ban te n
Banten
Pr o v . J aProv.
w aJawa T im ur
Timur
Pr o v . D I Prov.
Y o gDIyYogyakarta
a k a r ta
Pr o v . J a w a Jawa
Prov. T e nTengah
gah
Pr o v . J aProv.
w aJawa B aBarat
rat
D K I JDKI a kJakarta
a r ta 47
Pr o v . K e Prov.
p u laKepulauan
u a n R ia u
Riau
Pr o v . K e p u la uKepulauan
Prov. a n B a nBangkag ka
Pr o v . LProv.a mLampung
pung
Pr o v . B e nBengkulu
Prov. g k u lu
Pr o v . S u mProv.
a teSumatera
r a S e la ta n
Selatan
Pr o v Prov.
. J a Jambi
mbi
Pr o vProv.
. R ia u
Riau
Pr o v . S Prov.
u m aSumatera
tr a B aBaratrat
Pr o v . S Prov.
u m aSumatera
tr a U ta r
Utaraa
Rumah tangga yang memiliki fasilitas sanitasi di Gorontalo terendah dari seluruh provinsi di
Indonesia (Gambar 5.3.3). Kenyataan ini menunjukkan bahwa meskipun sebagian keluarga atau
rumah tangga di Gorontalo telah memiliki standar minimum fasilitas sanitasi, namun masih sekitar 47
persen rumah tangga di Gorontalo belum memiliki kemampuan untuk membangun fasilitas sanitasi
sama sekali11, lebih tinggi dari rata-rata nasional yang hanya sebesar 19,5 %.
Gambar 5.3.3 Proporsi populasi yang memiliki akses Sanitasi di Indonesia (%)
Pr o v . PaProv.p u Papua
a B aBarat
rat
Pr o v .Prov.
Pa p Papua
ua
Pr o v . MProv.
a lu Maluku
k u U ta Utara
ra
Prov. Maluku
Pr o v . M a lu k u
Pr o v . G o r Gorontalo
Prov. o n ta lo 16
Pr o v . S u la wProv.e sSulawesi
i T e n gTenggara
gara
Pr o v . S u la Prov.
w Sulawesi
e s i B aBarat
rat
Pr o v . S u laProv.
w eSulawesi
s i S e la Selatan
ta n
Pr o v . S u laProv.
w eSulawesi
s i T e nTengah
gah
Pr o v . S u la w Sulawesi
Prov. e s i U ta ra
Utara
Pr o v . K a Prov.
lim aKalimantan
n ta n T im Timur
ur 45
Pr o v . K a lim a nKalimantan
Prov. ta n S e la ta n
Selatan
Pr o v . K a lim a nKalimantan
Prov. ta n T e nTengah
gah
Prov.aKalimantan
Pr o v . K a lim n ta n B aBaratrat
Pr o v . N u s a Prov.
T e nNusa
g g Tenggara
a r a T im ur
Timur
Pr o v . N u s a Prov.
T e nNusa
gga r a B aBarat
Tenggara rat
Pr o vProv.
. B Bali
a li 41
Pr o v . Prov.
Ban Banten
te n
Pr o v . J aProv.
w aJawa T im ur
Timur
Pr o v . D I Prov.
Y o gDIyYogyakarta
a k a r ta
Pr o v . J a w Prov.
a Jawa
T e nTengah
gah
Pr o v . J aProv.
w aJawa B aBarat
rat
D K I JDKI a kJakarta
a r ta 47
Pr o v . K e Prov.
p u laKepulauan
u a n R ia u
Riau
Pr o v . K e p uProv.
la uKepulauan
a n B a nBangka
g ka
Pr o v . LProv.a mLampung
pung
Pr o v . B Prov.
e nBengkulu
g k u lu
Pr o v . S u mProv.
a teSumatera
r a S e la Selatan
ta n
Pr o v Prov.
. J a Jambi
mbi
Pr o vProv.
. R iaRiau
u
Pr o v . S Prov.
u m aSumatera
tr a B aBarat
rat
Prov. Sumatera
Pr o v . S u m a tr a U ta r a Utara
3. Irigasi
Persentase lahan irigasi terhadap lahan pertanian lebih rendah dari rata-rata nasional. Sekitar 63.34 %
atau 22.669 Ha dari total lahan pertanian (35.789 Ha), berfungsi sebagai lahan irigasi, lebih tinggi dari
rata-rata nasional sebesar 54,6%.
Penerimaan Infrastruktur
Lebih dari 50% Penerimaan dana bidang Infrastruktur berasal dari sumber APBD kabupaten/kota,
sedangkan bersumber dari pemerintah provinsi dan pemerintah pusat berimbang.
Gambar 5.3.4 Penerimaan Bidang PU Kimpraswil
20%
26%
APBD Propinsi
APBD Kab/Kota
Dekonsentrasi
54%
Belanja Infrastruktur
Belanja Infrastruktur di Provinsi Gorontalo mengalami kenaikan selama lima tahun terakhir. Hal ini
mengindikasikan bahwa Provinsi Gorontalo mempunyai perhatian yang sangat besar dalam
pembangunan infrastruktur di Gorontalo. Pengeluaran tersebut dipergunakan untuk membiayai
pembangunan di sektor transportasi serta penyediaan irigasi dan fasilitas air bersih.
51.75 52.87
60 45.45
50
Milyar Rupiah
40
30
20 6.14
10
0
2002 2003 2004 2005
Gambar 5.3.6 Komposisi Belanja Ekonomi Propinsi Gorontalo pada Sektor Infrastruktur Tahun 2005
Belanja Pegaw ai,
Belanja
9.14%
Lain-lain,
Belanja Barang dan
5%
Jasa,
12.02%
Belanja Pemeliharaan,
0.00%
Gambar 5.3.7 Komposisi Belanja Ekonomi Kab/Kota se-Propinsi Gorontalo pada Sektor Infrastruktur
Tahun 2005
Belanja Perjalanan
Dinas
Belanja Modal dan
1%
Pembangunan
91%
2. Belanja Modal
Belanja modal/pembangunan infrastruktur bidang transportasi menyerap dana terbesar selama lima
tahun terakhir. Bidang transportasi membelanjakan lebih dari 60 %, kemudian berturut-turut diikuti
dengan belanja dibidang irigasi sebesar lebih dari 15 %, air bersih kurang dari 4 %, dan belanja
dibidang kelistrikan berkisar 3 - 6 % (Gambar 5.3.7).
Gambar 5.3.7 Komposisi Belanja Ekonomi Kab/Kota se-Propinsi Gorontalo pada Sektor Infrastruktur
Tahun 2005
Irigasi,
Irigasi,
27.58% 14.81%
Sanitasi,
Air Bersih
2.26% Transporta dan
si, 62.94% Sanitasi,
2.26%
PERTANIAN
Pembangunan sektor pertanian sebagai core competency Provinsi Gorontalo, dilaksanakan melalui
pengembangan agropolitan berbasis jagung untuk mewujudkan corn province. Pengembangan
agropolitan dengan maize economy diwujudkan melalui implementasi 9 pilar pembangunan
pertanian yakni 1) penyediaan alsintan dalam bentuk Unit Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) dan
angkutan agropolitan; 2) penyediaan dana penjaminan petani (APBN, APBD, Askrindo, Bank); 3)
penyediaan benih unggul, pupuk dan pengendalian hama/penyakit; 4) memperlancar pemasaran
dengan jaminan harga dasar melalui BUMD kerjasama dengan pengusaha antar pulau dan ekspor; 5)
pembangunan/penyediaan irigasi dan jalan akses agropolitan; 6) show window disetiap kabupaten
dan posko agropolitan; 7) peningkatan SDM pertanian; 8) meningkatkan efektivitas peran maize
centre dalam penelitian dan pengkajian teknologi pertanian modern berbasis organik; dan 9)
perencanaan dan koordinasi serta limited government intervention.
Aplikasi teknologi yang spesifik seperti perluasan areal tanam, peningkatan mutu intensifikasi dan
optimalisasi pengelolahan hasil, penyimpanan dan pasca panen serta pemasarannya, dilakukan untuk
memaksimalkan produksi dan produktivitas pertanian. Pengembangan kawasan pertanian yang
berpotensi menjadi kawasan agropolitan, dilakukan melalui:
1. Pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis melalui pengembangan sistem dan usaha agribisnis
yang efisiensi. Sistem ini dapat meningkatkan produksi, produktivitas komoditi pertanian serta
produk-produk olahan pertanian;
Pemberdayaan melalui pelatihan dan mindsetting pelaku ekonomi pertanian dalam meningkatkan
produksi dan produktivitas pertanian serta penguatan permodalan terutama dilakukan pada
industri-industri.
2. Penguatan kelembagaan petani;
Pembentukan kelompok tani melibatkan pemerintah desa dan kecamatan untuk mengefisienkan
dan mengefektifkan pelaksanaan program-program dan penyaluran bantuan kepada petani. dan
mengoptimalkan fungsi sarana dan infrastruktur pertanian yang telah dibangun
3. Pengembangan kelembagaan sistem agribisnis (penyedia agroinput, pengelolaan hasil,
pemasaran dan penyedia jasa);
Klinik agropolitan sebagai salah satu usaha yang dikembangkan berfungsi membantu dalam
penyediaan sarana produksi pertanian dan layanan teknologi produksi.
4. Pengembangan kelembagaan penyuluhan pembangunan terpadu;
Pengembangan lembaga penyuluhan untuk mensosialisasikan kegiatan dan program
peningkatan produktivitas petani dan pertanian. Pembenahan kuantitas dan kualitas penyuluh
dilaksanakan untuk memenuhi target produksi.
5. Pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi;
Pembangunan infrastruktur penunjang dan perbaikan iklim serta sistem investasi mendukung
peningkatan kerjasama wilayah terutama di kawasan regional Sulawesi. Pelaksanaan program
Celebes Corn Belt, ditujukan untuk percepatan peningkatan produksi tanaman jagung.
Kerjasama wilayah di Sulawesi dalam rangka pengembangan jagung melalui Celebes Corn Belt,
bertujuan mewujudkan pembangunan pertanian (maize economy), dalam upaya peningkatan
competitive advantage, value added, dan value changed potensi daerah. Langkah implementatif
dimulai tahun 2002 dengan melaksanakan 3 (tiga) program, yaitu Program Ketahanan Pangan,
Program Pengembangan Agribisnis dan Program Pengembangan Komoditi Unggulan Berbasis Jagung
yang merupakan Program Pengembangan Kawasan Agropolitan Provinsi Gorontalo.
Daya serap tenaga kerja di sektor pertanian dibandingkan dengan sektor lainnya di Provinsi Gorontalo
sangat besar dan prospektif. Gambar 5.4.1 memperlihatkan total jumlah tenaga kerja disektor
pertanian mengalami penurunan sebesar 23,98%. Walaupun pada sektor formal mengalami kenaikan
sekitar 62,22%, sebagai akibat penambahan jumlah tenaga penyuluh pertanian dan pegawai yang
bekerja di instansi pemerintah. Namun pada sektor pertanian informal (petani), terjadi penurunan
sekitar 28,30%. Persentase tenaga kerja informal lebih besar (93,27%) dibandingkan dengan formal
(6,73%). Produktivitas tenaga kerja dibidang pertanian Provinsi Gorontalo, masih dibawah angka 1
(satu) yakni rata-rata LQ 0,57. Angka produktivitas ini hampir sama secara nasional.
Rata-rata persentase jumlah tenaga yang bekerja di sektor pertanian lebih besar (54,67%)
dibandingkan dengan sektor lainnya. Hal ini lebih disebabkan luas lahan yang masih tersedia yakni
sekitar 37,95% (1.221.544 Ha) dari total luas wilayah Provinsi Gorontalo dan berpotensi untuk
dikembangkan sebagai lahan usaha pertanian dan berkembangnya sektor agribisnis.
200
80%
195 159 187 13.28 15.88
155
Persentase (%)
150 11.77
60% 13.33
146
140
100
40%
56.78 52.55
50
20%
10 13 16
7
0 0%
2001 2002 2003 2005
Tahun
Laki-laki Perempuan
Secara nasional, jumlah tenaga kerja yang dapat diserap oleh sektor pertanian di Provinsi Gorontalo,
berada pada urutan kedua dari bawah, hal ini dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang rendah
(Gambar 5.4.2)
Serapan tenaga kerja dan terbukanya lapangan pekerjaan baru dibidang pertanian, berpengaruh pada
penerimaan dan pengeluaran petani dan keluarganya. Gambar 5.4.3 memperlihatkan pada tahun
2001 sekitar 83,85% penduduk yang berprofesi petani memiliki pengeluaran per bulan lebih kecil dari
Rp 150.000,-. Pada tahun 2005, terjadi peningkatan pengeluaran petani sebanyak Rp 183.930,-
(48,26%) atau rata-rata per tahun sebanyak Rp 61.310,-
Penerimaan rumah tangga yang semakin meningkat dialami oleh petani yang berstatus ekonomi
Gambar 5.4.2 Perbandingan Jumlah Tenaga Kerja Pertanian Propinsi Gorontalo dengan Propinsi Lain
di Indonesia
8,000
7,371
7,388
2003
7000 2004
6,154
5,986
6000
Jumlah Tenaga Kerja (ribuan jiwa)
5,000
4,406
3,862
4,000
2,527
3,000
2,374
2,000
2,060
1,917
1,950
1,791
1,781
2,000
1,371
1,423
1,066
1,093
988
937
936
866
837
832
812
813
830
728
743
753
689
1,000
669
705
649
647
640
676
651
534
555
521
527
481
485
405
346
367
384
370
245
250
227
196
195
181
185
138
136
10
11
0
DKI Jakarta
Gorontalo
Bangka Belitung
Maluku Utara
Maluku
Kalimantan Timur
Kalimantan Tengah
Sulawesi Utara
Bengkulu
Sulawesi Tengah
Sulawesi Tenggara
DI Yogyakarta
Bali
Kalimantan Selatan
Jambi
Banten
Riau
Sumatera Barat
Kalimantan Barat
Sulawesi Selatan
Sumatera Selatan
Bandar Lampung
Sumatera Utara
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Provinsi
600
565
500
Pengeluaran (Ribuan Rp)
430
400 444
300 381
200
100
0
2002 2003 2004 2005
Tahun
Sumber: Data Susenas, BPS Propinsi Gorontalo, 2005
lemah yang memiliki lahan dengan luas kurang dari 1 (satu) hektar. Gambar 5.4.4, menunjukkan
jumlah individu yang tergolong strata ekonomi miskin, lebih banyak menguasai atau memiliki lahan
pertanian, dan cenderung berkurang pada masyarakat yang memiliki level ekonomi yang lebih tinggi.
Kecuali Kota Gorontalo, umumnya lahan pertanian lebih banyak dikuasai oleh masyarakat yang
memiliki tingkat ekonomi yang lebih tinggi, namun petani yang bekerja sebagai buruh tani di lahan
pertanian tersebut tergolong petani miskin.
0,60
Persentase (%)
0,40
0,20
0,00
Provinsi Gorontalo Kab. Boalemo Kab. Gorontalo Kab. Pohuwato Kab. Bone Bolango Kota Gorontalo
Kabupaten/Kota
1. Poorest 2 3 4 5. Richest
Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Komoditi Pertanian Tanaman Pangan Utama
Tanaman jagung dan padi merupakan tanaman pangan utama di Provinsi Gorontalo, jumlah produksi
pada tahun 2006 (angka perkiraan) masing-masing sebesar 416.222 ton dan 192.583 ton (lihat Kotak
1). Jika dibandingkan dengan komoditi pangan lain (kedelei, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu dan
ubi jalar), produksi kedua komoditi sangat besar. Hal ini sangat terkait dengan besarnya perhatian
Pemerintah Daerah cukup besar dalam mengembangkan kedua komoditi ini dan kebutuhan
masyarakat yang tinggi.
Gambar 5.4.5 Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jagung dan Padi Propinsi Gorontalo Tahun 2002 -2005
Jagung Padi
120,000
Produktivitas (kw/ha)
300,000
Produksi (ton)
28.50
Luas Panen (ha)
250,000 100,000
251,223 20.00 43.50
80,000 43.21
200,000 183,998
42.74 43.00
15.00 60,000
150,000
107,525 34,652 36,731 42.50
130,251 10.00 40,000
100,000 39,110
58,716 34,635 42.00
5.00 50,000
50,000 72,529
45,718 0 41.50
0 0
2002 2003 2004 2005
2002 2003 2004 2005
Tahun
Tahun
Gambar 5.4.5 memperlihatkan, luas panen, produksi dan produktivitas jagung mengalami
peningkatan signifikan masing-masing 135,19%, 207,1% dan 30,29%. Sedangkan komoditi padi luas
panen dan produksi mengalami kenaikan sebesar 12,87% dan 9,1%, tetapi produktivitasnya
cenderung mengalami penurunan sebesar 3,35%.
Ada indikasi bahwa penurunan produktivitas padi, disebabkan oleh lebih intensifnya pengembangan
tanaman jagung dalam mendukung program agropolitan dengan komoditi unggulan jagung.
Disamping adanya upaya intensifikasi dan ekstensifikasi melalui penggunaan benih unggul dan
penggunaan lahan-lahan yang produktif termasuk lahan tidur, sehingga produksi jagung mengalami
peningkatan yang signifikan setiap tahunnya.
Jika dibandingkan perkembangan kedua komoditi pada level nasional, maka berdasarkan Gambar
5.4.6, tingkat produktivitas jagung Provinsi Gorontalo mengalami kenaikan dan berada di atas
produktivitas nasional pada tahun 2004/2005. Sebaliknya tanaman padi mengalami penurunan, dan
tetap berada di bawah level nasional. Walaupun persentase luas panen dan produksi jagung maupun
padi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Gambar 5.4.6 Perbandingan Produktivitas dan Persentase Luas Jagung dan Padi Gorontalo Terhadap Nasional
40.00 48.00
34.70
35.00 47.00
46.18
43.21
30.00 46.00
45.38 45.36
44.69
Produktivitas (kw/ha)
Produktivitas (kw/ha)
25.00 45.00
45.09
20.00 44.00
44.22 43.21
42.74
10.00 43.00
10.00 42.00
28.50
30.88
31.34
32.41
34.64
33.44
37.13
34.54
37.91
34.70
5.00 41.00
0 40.00
Tahun
Gambar 5.4.7. memperlihatkan bahwa pada tahun 2004-2005 produktivitas dan laju rata-rata
kenaikan komoditi pangan lainnya (kedelei, kacang tanah dan kacang hijau) Provinsi Gorontalo lebih
tinggi dibandingkan nasional. Sebaliknya produktivitas ubi kayu dan ubi jalar masih berada di bawah
rata-rata nasional.
163
159
155
149
160 Gorontalo
140 Nasional
117
119
115
114
120
105
104
101
103
Produktivitas (ku/ha)
94
94
95
92
100
80
60
47
46
45
43
45
46
45
43
38
37
35
35
35
40
33
32
31
14
13
13
14
13
13
13
20
12
11
13
11
12
12
12
12
12
11
12
10
10
10
10
10
10
0
Padi
Jagung
Kedelai
Kacang
Kacang
Ubi
Ubi
Padi
Jagung
Kedelai
Kacang
Kacang
Ubi
Ubi
Padi
Jagung
Kedelai
Kacang
Kacang
Ubi
Ubi
Padi
Jagung
Kedelai
Kacang
Kacang
Ubi
Ubi
2003 2004 2005 2006
Tahun/Jenis Komoditi
Kotak 3
L U A S P A N E N K O M O D IT I P A N G A N
Produksi Perikanan Luas Panen Komoditi Pangan
352
2 ,7 0 8 2005
60100 U b i J a la r 404 20 0 4
506
20 0 3
1 ,0 4 8
55,073 950 20 0 2
50,000 U b i K a yu 796
929
Produksi
J e n i s K o m o d it i
40,316
Produksi (ton)
595
40,000 43,286 perikanan dari k a c a n g H ij a u
793
680
248
38,123
tahun 2002 4 ,3 4 1
30,000 4 ,3 2 7
sampai 2005, K a c a ng T a na h 3 ,3 4 4
2 ,0 1 4
20,000 menunjukkan 2 ,9 0 7
1 ,1 2 4
K e d e le i
trend 541
1 ,5 1 8
4 5 ,7 1 8
3 9 ,1 1 0
3 6 ,7 3 1
Padi 3 4 ,6 3 5
2002 2003 2004 2005 3 4 ,6 5 2
Tahun - 2 0 ,0 0 0 4 0 ,0 0 0 6 0 ,0 0 0 8 0 ,0 0 0 1 0 0 ,0 0 0 1 2 0 ,0 0 0
700,000
Kambing
tahun 2002 726
637
kacang Hijau
Jumlah (ekor)
745
600,000 Sapi Potong sampai 2005, 249
167,153
160,306
Padi
2002 2003 2004 2005 156,158
153,222
Tahun - 50,000 100,00 150,00 200,00 250,00 300,00 350,00 400,00 450,00
0 0 0 0 0 0 0 0
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Gorontalo, 2006 Produksi (ton)
Peningkatan produksi dan produktivitas jagung yang besar membuka peluang Provinsi Gorontalo
melakukan ekspor dan perdagangan antar pulau komoditi. Data dari Dinas Pertanian dan Ketahanan
Pangan Provinsi Gorontalo tahun 2006 (Gambar 5.4.8) memperlihatkan kenaikan ekspor dan
perdagangan antar pulau jagung rata-rata sebesar 11.377 ton.
Gambar 5.4.8 Ekspor dan Perdagangan Antar Pulau Jagung dan Perikanan Propinsi Gorontalo
140,000
127,561
120,000
100,000
Volumen (ton)
80,000
67,704
60,000
52,207
40,000
27,554
20,000
8,967 9,234 10,157
1,669
6,700 1,177
0
2001 2002 2003 2004 2005
Tahun
Jagung Perikanan
Sebagai perbandingan jumlah ekspor komoditi perikanan dari tahun 2001 sampai 2005 kapasitasnya
masih berada dibawah komoditi jagung. Jumlah ekspor perikanan cenderung mengalami kenaikan,
dengan rata-rata setiap tahun sebesar 30,71%.
Total realisasi anggaran yang disediakan Pemerintah Provinsi Gorontalo yang berasal dari APBD dan
APBN untuk Bidang Pertanian yakni sebesar 15,82 milyar dan 40,75 milyar. Rata-rata 44,47% (APBD)
dan 38,79% (APBN) diperuntukkan untuk belanja Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan. Besaran
belanja pada sektor pertanian ketahanan pangan), berpengaruh pada upaya pengembangan
pertanian melalui program peningkatan kualitas sumberdaya manusia pertanian, program
intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, pengembangan agribisnis tanaman pangan dan
hortikultura.
Berdasarkan Gambar 5.4.9 total anggaran yang berasal dari APBN dan APBD mengalami peningkatan
rata-rata 60,94%. Sedangkan jumlah realisasi total mengalami peningkatan rata-rata 63,37%.
Proporsi suplai anggaran yang berasal dari APBN dalam bentuk dana dekonsentrasi lebih besar (rata-
rata 71,53%) dibandingkan dengan dana yang disediakan oleh Pemerintah Daerah melalui dana
APBD, yakni rata-rata 28,47%.
Gambar 5.4.9 Jumlah Anggaran dan Realisasi APBD dan APBN Tahun 2002-2005 Dinas Pertanian dan
Ketahanan Pangan Propinsi Gorontalo
Realisasi
2005
Anggaran
Realisasi
2004
Tahun
Anggaran
Realisasi
2003
Anggaran
Realisasi
2002
APBD
Anggaran APBN
Gambar 5.4.10 Jumlah Anggaran dan Realisasi APBD Tahun 2002-2005 Bidang Pertanian Kabupaten/Kota
se-Propinsi Gorontalo
Anggaran dan Realisasi Belanja Bidang Pertanian
Anggaran dan Realisasi Belanja Bidang Pertanian (Kabupaten/Kota)
(Kabupaten/Kota)
2005
a hun
2004
T Tahun
2003
Realisasi
2002
2002 Anggaran
0.000 5.000
5.000 10.000
10.000 15.000
15.000 20.000
20.000 25.000
25.000
2002 2003 2004 2005
Jumlah
Jumlah (Milyar(Milyar
Rupiah) Rupiah)
Gambar 5.4.10 menunjukkan total anggaran dan realisasi yang berasal dari APBD bidang pertanian
kabupaten/kota mengalami peningkatan rata-rata 21,12% dan 21,27%. Dukungan Pemerintah
dalam memenuhi jumlah anggaran yang dibutuhkan dalam mengembangkan pertanian di Provinsi
Gorontalo signifikan, walaupun anggaran yang berasal dari APBD sangat terbatas, namun perhatian
Pemerintah Provinsi Gorontalo dalam upaya menggiatkan dan menjalankan program-program
pertanian sangat besar, dengan kenaikan anggaran sangat besar setiap tahunnya.
200
150
Juta Rupiah
100
50
-
2002 2003 2004 2005
Tahun
Gambar 5.4.12 Komponen Pendapatan Asli Daerah Propinsi Gorontalo tahun 2002-2005
160
Jasa Ketatausahaan 140.289
140 JAPP
120 SP-3 APBD 107.061
105.738
SP-3 APBN
100
Juta Rupiah.
80
60 50.189
40
17.704 18.525
20 11.800
7.285 5.260
- - - - - - -
0
2002 2003 2004 2005
Tahun
Gambar 5.4.13 menunjukkan bahwa nilai APBD dan APBN (riil) dari tahun ke tahun lebih besar
dibandingkan dengan nilai nominalnya. Berdasarkan koreksi Indeks Harga Konsumen (IHK) Kota
Gorontalo, trend realisasi APBD dan APBN (riil) mengalami peningkatan masing-masing rata-rata
218,96% dan 33,84%. Peningkatan jumlah realisasi APBD dan APBN, lebih dipengaruhi oleh
peningkatan jumlah anggaran yang disediakan oleh pemerintah daerah dan pusat dan relatif tidak
terpengaruh secara signifikan oleh inflasi yang terjadi di Provinsi Gorontalo.
Gambar 5.4.13 Trend Realisasi APBD dan APBN (Riil) Tahun 2002-2005 Dinas Pertanian dan Ketahanan
Pangan Propinsi Gorontalo
25.00
20.00
Milyar Rupiah
15.00
10.00
5.00
0
2002* 2003 2004 2005
Tahun
Berdasarkan total anggaran yang disediakan oleh Pemerintah Daerah maka proporsi realisasi
anggaran Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan sebesar 54,80%, sedangkan Dinas Perikanan dan
Kelautan Provinsi Gorontalo 45,20%.
Gambar 5.4.14 menunjukkan bahwa rata-rata realisasi anggaran yang berasal dari APBD Dinas
Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Gorontalo pada belanja modal/pembangunan lebih besar
(50,74%) dibandingkan dengan belanja non modal (49,26%), walaupun terjadi kecenderungan
menurun sebesar 53,60%. Sebaliknya belanja perjalanan dinas mengalami kenaikan signifikan
sebesar 58,85%. Sedangkan belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja pemeliharan
mengalami kenaikan yang signifikan masing-masing 31,33%, 26,60%, dan 7,04%. Penggunaan dana
yang berasal dari APBD untuk realisasi belanja non modal lebih besar dibandingkan dengan belanja
modal. Belanja modal lebih banyak dipenuhi melalui anggaran yang berasal dari APBN.
Gambar 5.4.13 Trend Realisasi APBD dan APBN (Riil) Tahun 2002-2005 Dinas Pertanian dan Ketahanan
Pangan Propinsi Gorontalo
1.634
5.889
Belanja modal/pembangunan 5.915
-
-
Belanja Lain-lain/Bantuan Sosial -
-
0.020 2005
Klasifikasi Ekonomi
0.066 2004
0.107
Belanja pemeliharaan 0.093 2003
0.027
2002
0.726
0.202
Belanja perjalanan dinas 0.125
0.042
5.035
0.251
Belanja barang dan jasa 0.241
0.287
2.178
2.230
Belanja pegawai 0.856
0.558
Gambar 5.4.15 menunjukkan bahwa pada tahun 2005, rata-rata realisasi anggaran bidang pertanian
kabupaten/kota Provinsi Gorontalo pada belanja modal/pembangunan lebih kecil (39,56%)
dibandingkan dengan belanja non modal (60,44%), Proporsi anggaran bagi belanja pegawai pada
belanja non modal lebih dominan dibandingkan dengan belanja lainnya. Penggunaan dana untuk
belanja pegawai yang besar terkait dengan upaya pengadaan pegawai dalam rangka memenuhi
kebutuhan daerah.
Gambar 5.4.15 Realisasi Anggaran Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi Bidang Pertanian Kabupaten/Kota
se-Propinsi Gorontalo
0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00
Gambar 5.4.16 Realisasi Anggaran Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi
Gorontalo
1,583.61
3,089.22
Belanja modal/pembangunan 6,727.71
-
1,590.57
Belanja Lain-lain/Bantuan Sosial -
-16.60
2005
134.31
Klasifikasi Ekonomi
1,727.25
Belanja barang dan jasa 1,024.97
99.16
142,94
2,131.27
2,394.18
Belanja pegawai 835.73
420.87
Gambar 5.4.16 menunjukkan bahwa rata-rata realisasi anggaran yang berasal dari APBD Dinas
Perikanan dan Kelautan pada belanja modal/pembangunan lebih besar (50,17%) dibandingkan
dengan belanja non modal (49,83%), walaupun terjadi kecenderungan menurun sebesar 37,62%.
Sebaliknya terjadi pada belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja perjalanan dinas dan belanja
pemeliharan mengalami kenaikan yang signifikan masing-masing 34,12%, 28,94%, 18,41%, dan
46,98%.
Gambar 5.4.17 Realisasi Anggaran Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi Bidang Perikanan dan Kelautan
Kabupaten/Kota Se-Propinsi Gorontalo
Belanja pemeliharaan
Klasifikasi Ekonomi
Gambar 5.4.17 menunjukkan bahwa pada tahun 2005, rata-rata realisasi anggaran bidang perikanan
dan kelautan kabupaten/kota se-Provinsi Gorontalo pada belanja modal/pembangunan lebih besar
(71,03%) dibandingkan dengan belanja non modal (28,97%). Besarnya jumlah belanja
modal/pembangunan dibidang perikanan merupakan indikasi kuatnya keinginan pemerintah
kabupaten/kota untuk meningkatkan potensi sumberdaya perikanan, yang belum dapat dikelola
secara maksimal.
Perhatian Pemerintah Provinsi Gorontalo terhadap dua dinas unggulan dalam pemenuhan
sumberdaya manusia baik secara kuantitas maupun kualitas serta meningkatnya kinerja pegawai
berpengaruh pada beberapa pos belanja terutama non modal.
3.000
2.689
2.536
2.500
2.166
2.090
2.000
Milyar (Rupiah)
1.658
1.547
1.500 1.383
1.218
1.074
1.000 0.879
0.801 0.754
0.758
0.446
0.500
0.262
0.217
0.032 0.050 0.085
0.030 0.022
0.0220.013 0.033 0.009
0.000
Kota Gorontalo Kabupaten Boalemo Pohuwato Bone Bolango
Gorontalo
Kabupaten/Kota
Gambar 5.4.19 Trend Anggaran APBN dan APBD pada Pengembangan Jagung dan Non Jagung
18.00
12.00
10.591
10.00
8.00
7.080
6.434
6.00 5.108
4.877
5.870
4.00 4.328
3.210 4.136
2.704
2.00
1.685 0.080 0.364
0.397
0.00
2002 2003 2004 2005
Tahun
Gambar 5.4.19 menunjukkan bahwa proporsi anggaran rata-rata yang diperuntukkan untuk
pengembangan jagung lebih besar (79,40%) dibandingkan dengan non jagung (20,60%). Jumlah
anggaran yang berasal dari APBN, khusus pengembangan jagung memiliki proporsi lebih banyak
(68,80%), selebihnya 31,20% didanai oleh APBD. Trend anggaran rata-rata yang disediakan untuk
mengembangan jagung mengalami kenaikan yang signifikan sebesar 36,45%, sebaliknya untuk
komoditi non jagung cenderung turun rata-rata 27,29%. Trend penganggaran tersebut menunjukkan
adanya perhatian Pemerintah Provinsi Gorontalo dan Pemerintah Pusat yang sangat besar, untuk
mencapai tingkat produksi sebanyak 1 (satu) juta ton pada tahun 2005. Selain itu keseriusan dan
konsistensi pemerintah untuk menjadikan jagung sebagai brand komoditi untuk Provinsi Gorontalo,
dengan harapan nilai jual komoditi lebih kompetitif di pasar global.
Agriculture Contribution
Sektor Pertanian merupakan salah satu sektor lapangan usaha yang memberikan kontribusi yang
besar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Provinsi Gorontalo dan mengalami
peningkatan dari tahun 2002 sampai 2006.
Berdasarkan harga yang berlaku tahun 2002 2005, PDRB pertanian berkisar 660,587 juta rupiah pada
tahun 2002 dan 981,125 juta rupiah pada tahun 2005. Sedangkan berdasarkan harga konstan tahun
2000, juga mengalami peningkatan yakni 533,708 juta rupiah pada tahun 2002 menjadi 617.383 juta
rupiah (lihat Gambar 5.4.20).
Gambar 5.4.20 Produk Domestik Regional Bruto Sektor Pertanian Propinsi Gorontalo tahun 2002-2005
617,383
2005
981,125
575,307
2004
853,681
Tahun
557,678
2003
804,665
Harga Konstan
533,708
2002 Harga Berlaku
660,587
Jutaan Rupiah
Sumber: BPS Propinsi Gorontalo, 2006
Gambar 5.4.21 Persentase Produk Domestik Regional Bruto Sektor Pertanian Propinsi Gorontalo tahun
2002-2005
100%
90%
80%
32.24 31.52 30.41 30.48
70%
Persentase (%)
60%
50%
40%
10%
0%
Kontribusi pertanian terhadap peningkatan PDRB Provinsi Gorontalo menunjukkan persentase yang
signifikan dibandingkan dengan sektor lapangan usaha lainnya. Gambar 5.4.21 menunjukkan bahwa
sektor pertanian memberikan kontribusi pada PDRB atas dasar harga berlaku sebesar 30,75% dan
cenderung menurun sampai tahun 2005 yakni 28,97%, walaupun pada tahun 2003 mengalami
peningkatan sebesar 32,45%. Rata-rata PDRB atas harga berlaku dari tahun 2002 2005 adalah
30,66%. Sedangkan berdasarkan harga konstan mengalami penurunan dari 32,24% pada tahun 2002
menjadi 30,48% pada tahun 2005 atau rata-rata 31,16% dari total PDRB Provinsi Gorontalo.
Gambar 5.4.22 Produk Domestik Regional Bruto Sub Sektor Pertanian Propinsi Gorontalo tahun 2002-2005
152,975
118,205
P erikanan
110,932
105,597 2005
25,434 2004
20,702
Kehutanan 2003
42,874
44,363 2002
151,883
Sub Sektor
138,106
P eternakan
128,284
97,741
250,598
224,859
Tanaman P erkebunan
202,896
144,602
400,234
351,808
Tanaman B ahan M akanan
319,679
268,284
Jutaan Rupiah
Sumber: BPS Propinsi Gorontalo, 2006
Seluruh subsektor mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, kecuali subsektor kehutanan.
Tanaman bahan makanan memberikan sumbangan terbesar dan mengalami kenaikan dari 268.284
pada tahun 2002 menjadi 400.234 pada tahun 2005, disusul subsektor tanaman perkebunan,
perikanan, peternakan dan kehutanan (Gambar 5.4.22).
Berdasarkan ratio PDRB pertanian Provinsi Gorontalo dan PDRB pertanian secara Nasional atas dasar
harga konstan, maka nilai LQ sektor pertanian di Provinsi Gorontalo lebih besar dari satu dan
cenderung mengalami penurunan dari tahun 2002 sampai 2004, berarti peranan sektor pertanian di
Provinsi Gorontalo lebih menonjol dibandingkan secara nasional. Ratio PDRB Kabupaten/Kota di
dalam Provinsi Gorontalo dan PDRB pertanian Provinsi Gorontalo memiliki nilai LQ >1, kecuali Kota
Gorontalo yakni hanya mempunyai nilai LQ rata-rata 0,31.
Location Quotient sektor pertanian yang lebih besar dari satu tersebut menunjukkan produk pertanian
di Provinsi Gorontalo mengalami surplus dan dapat diekspor. Hal ini mengindikasikan prospek
komoditi utama yang dikembangkan terutama jagung tumbuh lebih cepat dari rata-rata nasional.
Dengan demikian Provinsi Gorontalo memiliki keunggulan komparatif secara nasional untuk sektor
pertanian.
Peningkatan PDRB pertanian ini ditentukan oleh peningkatan pendapatan pada subsektor tanaman
pangan yang memiliki kontribusi yang sangat besar, selanjutnya sub sektor tanaman perkebunan,
peternakan, perikanan. dan kehutanan. Peningkatan PDRB menunjukkan peningkatan pendapatan
dan kesejahteraan masyarakat Gorontalo, terutama masyarakat pertanian.
REKOMENDASI
1. Dukungan anggaran belanja yang bersumber dari APBD dan APBN diperlukan dalam rangka
membangun infrastruktur penunjang, pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan sistem
dan usaha agribisnis yang efisiensi.
2. Pendekatan pembangunan wilayah berbasis komunitas lokal, tidak terfokus pada pengembangan
satu komoditi unggulan tetapi didasarkan pada potensi dominan daerah, sehingga kontinuitas
ketahanan pangan daerah dan pengembangan agribisnis lebih terjamin.
3. Standar harga jagung dan komoditi dominan harus diupayakan lebih tinggi dengan tetap
melaksanakan limited government intervention, jika terjadi penurunan harga di bawah harga
standar yang telah ditetapkan.
4. Perlu peningkatan jumlah penerimaan APBD melalui pencapaian peningkatan PAD di sektor
pertanian.
5. Peningkatan proporsi belanja modal/pembangunan perlu ditingkatkan dan realisasi belanja
difokuskan pada kegiatan produktif
6. Peningkatan secara proporsional anggaran belanja berdasarkan klasifikasi ekonomi, dengan
memperhatikan efektivitas dan efisiensi serta benefitivitas setiap pos belanja.
7. Kebijakan pemerintah harus lebih propoor dan hasil pembangunan perlu diupayakan lebih
merangsang peningkatan pendapatan petani dan pelaku pertanian lainnya, dengan tetap
memperhatikan daya serap dan produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian.
8. Koordinasi dan sinergitas langkah Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/kota dalam menjalankan
program pengembangan pertanian dan perikanan perlu dilakukan dengan tetap melihat proporsi
anggaran pembangunan.
Untuk memperbaiki citra birokrasi pemerintahan, maka Pemerintah Provinsi Gorontalo melalui Visi
Pemerintahannya mengarahkan pada enterpreneurial government system. Pendekatannya adalah
dengan melakukan reenginering terhadap: Mind-set Personalia ( budaya kerja dan Pola pikir ), System
(Perbaikan Strukur, Mekanisme serta Prosedur Kerja), Performance Kelembagaan Pemerintah, dan
Kebijakan Pemberian Tunjangan Kinerja Daerah (TKD). Semua pendekatan itu adalah bentuk
penerapan dari New Public Management ( NPM ) yang merupakan jawaban untuk me-reformasi
birokrasi pemerintahan di Provinsi Gorontalo.
New Public Management bukanlah konsep yang baru sebagai alat untuk memperbaiki pelayanan
terhadap masyarakat, namun pemerintah Provinsi Gorontalo berusaha menjadikannya sebagai suatu
konsep bernilai yang dapat diimplementasikan secara nyata melalui penataan budaya pemerintahan.
NPM, ditujukan untuk melakukan reinvention terhadap pemerintah daerah agar dapat memenuhi
tuntutan kinerja, memberikan kecepatan pelayanan publik dengan penekanan terhadap perilaku
manajemen pemerintahan yang berjiwa wirausaha (entrepreneurship government), untuk
pencapaian hasil dan akuntabilitas dalam rangka menjamin pemanfaatan anggaran publik secara
efektif dan efisien.
Sebagai sebuah gerakan kultural di lingkungan pemerintah daerah, konsep NPM memang belum
dipahami secara luas oleh kalangan pejabat setingkat eselon I dan II, serta sebagian kecil pada eselon
III dan IV. Para PNS lebih banyak mengenal Tunjangan Kinerja Daerah dibanding NPM. Meski
sebenarnya TKD merupakan salah satu bentuk manifestasi NPM. Paling tidak ada dua faktor yang
menyebabkan kurangnya pemahaman NPM dikalangan PNS Pemerintah Provinsi. Pertama, faktor
tingkat kerumitan memahami konsep NPM itu sendiri. Kedua, faktor belum optimalnya sosialisasi
konsep ini.
sumber daya dari Kampus dengan kualifikasi pendidikan S3, pencangkokan pejabat pusat ke
daerah dalam rangka sharing knowledge and experience. Kebijakan ini menimbulkan sinergitas
yang sangat baik antara aparat birokrat murni dengan akademisi.
Pemerintah Provinsi Gorontalo telah menerapkan Performance Based Budgeting sejak tahun
2003. Dalam realitasnya juga sejak tahun 2003 adanya otonomi dalam penyusunan dan
pemanfaatan anggaran oleh masing-masing satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Pada tahun
2004 telah dibuat kontrak kinerja (performance agreement) antara pimpinan SKPD dengan
Gubernur. Kontrak kinerja ini telah dijadikan dasar dalam menyusun anggaran berbasis kinerja
melalui APBD hemat dan efektif.
Tahun 2004 telah di dipublikasikan Laporan Neraca Keuangan Daerah diberbagai media masa lokal
dan nasional sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat (akuntabilitas Publik), yang
diakui secara nasional.
Berkenaan dengan anggaran berbasis kinerja, bersamaan dengan itu pemerintah mulai
menerapkan Tunjangan Kinerja Daerah. Pemerintah Provinsi Gorontalo melihat bahwa untuk
mencapai target kelembagaan pemerintah, harus sejalan dengan target-target individu yang
menjadi penggerak lembaga pemerintah (PNS). Pada konteks kelembagaan, target yang dimaksud
adalah produktivitas pemerintah, sedangkan untuk individu-individu yang bekerja di pemerintah
target dimaksud adalah produktivitas yang sebanding dengan kesejahteraan.
Pemerintah Pusat belum menetapkan Standar Pelayanan Minimum (SPM), Pemerintah Provinsi
Gorontalo di beberapa SKPD telah berupaya mengkonversi Standard Operasional Procedure (SOP)
sebagai pengganti pengukuran Standar Pelayanan Minimum. Petunjuk tekhnis tentang
Penyusunan SPM sudah ada, tetapi kendala yang dihadapi dalam pembuatannya adalah kurang
tersedia sumber daya manusia yang dapat merancang dan mengimplementasikan SPM
berdasarkan karakteristik tugas pelayanan organisasi.
Struktur Organisasi
Restrukturisasi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo dilakukan
dalam upaya mendesain organisasi dengan fungsi staf dan lini menuju pada pencapaian-pencapaian
kinerja pembangunan daerah.
Komposisi terakhir ( 2006 ) organisasi perangkat daerah terdiri dari Sekretariat Daerah sebagai unsur
staf, kemudian unsur lini terdistribusi dalam 9 Badan, 12 Dinas, Sekretariat Dewan, dan 2 Kantor serta
1 Balai.
Sebelum Pemerintah Pusat memberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuanga Daerah, Pemerintah Provinsi Gorontalo telah lebih dahulu membentuk Badan
Keuangan Daerah yang merupakan hasil penggabungan Biro Keuangan dan Dinas Pendapatan Daerah
melalui Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2003.
Perubahan ini berdampak pada 2 (dua) aspek yakni: aspek stuktur diharapkan terjadi sinkronisasi
antara kebijakan pengelolaan aset dengan kebijakan penganggaran, dan aspek fungsi dengan adanya
pengalihan kewenangan, bukan saja kepada Badan Keuangan tetapi juga kepada masing masing
kepala SKPD.
Gambar 6.1 Penggabungan dua Institusi Keuangan Daerah menjadi Badan Keuangan Propinsi Gorontalo pada
tahun 2003
GUBERNUR /
WAKIL GUBERNUR
SEKDA
DISPENDA ASIST.PEMB
ASIST.ADMIN
BIRO UMUM
BADAN KEUANGAN
BIRO KEUANGAN
Sebagai tindak lanjut penataan sistem pengelolaan keuangan maka dibentuk OTK baru Bagian/Bidang
Keuangan yang otonom (eselon III) dalam struktur Badan/Dinas yang ada di lingkungan Pemerintah
Provinsi Gorontalo. Secara administratif personilnya ditempatkan oleh Badan Kepegawaian
berdasarkan rekomendasi Badan Keuangan untuk membantu dalam penyeragaman sistim pelaporan
dan pengendalian keuangan dimasing masing SKPD. Kebijakan ini menimbulkan beberapa kendala di
antaranya:
Masih sangat terbatasnya sumber daya manusia yang spesifik di bidang pengelolaan
keuangan.
Belum terintegrasinya sistem informasi manajemen pelaporan keuangan secara on line
antara SKPD SKPD dengan Badan Keuangan Provinsi Gorontalo
Dalam kapasitas kelembagaan, masih terdapat adanya tumpang-tindih kebijakan disisi
kewenangan pengelolaan keuangan antara intenal SKPD sebagai pelaksana
program/kegiatan dengan Badan Keuangan sebagai pemegang otoritas di bidang keuangan.
Untuk melihat kapasitas kelembagaan birokrasi pemerintahan provinsi dari segi ketersediaan
penyelenggara layanan publik, dapat dilihat dari jumlah serta komposisi menurut golongan, jenjang
kepangkatan pegawai negeri sipil dalam beberapa tahun terakhir sebagaimana digambarkan pada
gambar 6.2.
Pegawai
Sumber: BKD dan Diklat Propinsi Gorontalo Tahun 2006
Gambar di atas menunjukkan bahwa jumlah pegawai negeri sipil meningkat selama empat tahun
terakhir. Ini diakibatkan oleh adanya kebijakan rekriutmen dan juga proses perpindahan pegawai
Kabupate /Kota menjadi pegawai di Provinsi Gorontalo.
Daya tarik Pemerintah Provinsi baik bagi pejabat maupun pegawai biasa di Kabupaten Kota
sangat tinggi. Faktor ini dipengaruhi oleh, terutama dari aspek kesejahteraan yang lebih menjanjikan
dibanding memilih berkarir di Kabupaten Kota, formasi struktur yang belum terisi, tempat kerja di
pusat kota. Juga adanya pengalihan status PNS Fungsional (semisal Dosen Perguruan Tinggi) ke
Struktural Pemerintah Provinsi dan penempatan PNS pusat dipekerjakan di pemerintah daerah.
Perkembangan PNS Pemerintah Provinsi Gorontalo dapat dijadikan indikator kemampuan pemerintah
dalam mengelola pegawai. Untuk melihat komposisi PNS berdasarkan Golongan dan pendidikan
dapat disampaikan melalui gambar 6.3. di bawah ini.
1000 700
869 617
800 600 555
Kenaikan jumlah berdasarkan Golongan selama empat tahun terakhir menunjukkan bahwa
penjenjangan karir Golongan dan kepangkatan PNS di Provinsi Gorontalo berjalan dengan baik.
Sementara Penurunan persentase pada jenjang pendidikan SLTA, yang diikuti dengan kenaikan
persentase jenjang pendidikan Diploma dan Sarjana, menunjukkan keberhasilan pemerintah dalam
meningkatkan kompetensi pegawai. Hal ini terwujud karena ; adanya kebijakan pemberian izin belajar
yang diberikan Pemerintah Provinsi Gorontalo kepada pegawai, memotivasi pegawai untuk
meningkatkan pendidikan secara formal dengan harapan dapat mencapai karir yang lebih baik dalam
struktur organisasi kepegawaian.
Rekruitmen tenaga honorer daerah untuk pengisian formasinya, belum diumumkan secara terbuka
dan transparan kepada masyarakat dan cenderung menggunakan spoil system. Kecuali, untuk
rekruitmen tenaga Guru Kontrak yang di umumkan melalui media massa. Data tahun 2005 menurut
data Badan Kepegawaian dan Diklat Provinsi Gorontalo, bahwa jumlah pegawai honorer daerah yang
terdaftar adalah 1417 orang.
Dibandingkan dengan Kabupaten lainnya, Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo adalah pemberi
sumbangan terbesar terhadap keberadaan jumlah pegawai yang ada di Provinsi Gorontalo pada awal
Pemerintahan Provinsi.
Kota Gorontalo Kab. Gorontalo Kab. Bone Bolango Kota Gorontalo Kab Boalemo Kab. Bone Bolango
Kab Boalemo Kab. Pohuwato Kab. Gorontalo Kab. Pohuwato
Rasio PNS dengan jumlah penduduk kabupaten kota yang berada di bawah rasio PNS Pemerintah
Provinsi dengan jumlah penduduk, dipengaruhi juga oleh jumlah pegawai berdasarkan kelompok
jabatan yang tidak berimbang. PNS kabupaten kota lebih banyak di dominasi oleh kelompok jabatan
Fungsional (Guru dan Tenaga Kesehatan) dibanding dengan kelompok jabatan struktural seperti
tenaga struktural seperti yang nampak dalam gambar berikut ini.
Gambar 6.5 Jumlah Pegawai Di Propinsi Gorontalo Menurut Jabatan Tahun 2005
Jumlah Pegawai di Provinsi Gorontalo Menurut Jabatan Tahun 2005
1000 882
645 484 486 513
352 197 10
0
Kota Gorontalo Kab. Gorontalo Kab. Bone Bolango Kab Boalemo Kab. Pohuwato Provinsi Gorontalo
Struktural Fungsional
Latar belakang kebijakan Pemberian Tunjangan Kinerja Daerah adalah untuk mensiasati pos honor
honor kegiatan dalam APBD. Bentuk honor-honor kegiatan seperti ini kurang adil dan kurang
berdampak positif pada kinerja, sebab setiap ada kegiatan yang dilaksanakan oleh unit-unit kerja,
biasanya honor-honor tersebut hanya dinikmati oleh pejabat pejabat tertentu, sementara beban kerja
justru lebih besar tertumpu pada aparat pelaksana pada jenjang yang ada dibawahnya.
Setelah melalui kajian dan mempelajari kondisi keuangan daerah sejak tahun 2002, akhirnya honor
honor tersebut dikonversi menjadi Tunjangan Kinerja Daerah (TKD). Kebijakan Tunjangan Kinerja
Daerah merupakan konsep inovatif dalam bentuk performance pay untuk mendukung pelaksanaan
New Public Management (NPM).
Pada tahun 2004 kebijakan TKD ini mulai diterapkan dengan prinsip trial and error, baru pada tahun
2005 Peraturan Gubernur Nomor 45 tahun 2005 menjadi payung hukum bagi pelaksanaannya.
Peraturan Gubernur ini dasar pelaksanaan dijiwai oleh Peraturan Pemerintah Nomor 105 tahun 2000
tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, yang didalamnya menyebutkan
bahwa Pemerintah Daerah dapat memberikan tambahan penghasilan berdasarkan pertimbangan
objektif sesuai dengan kemampuan keuangan daerah dengan Persetujuan DPRD.
Hal yang diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 45 Tahun 2005 adalah: Komponen Penilaian
Kinerja Daerah, Mekanisme dan Sistem Pembayaran TKD, Pencapaian Prestasi Tinggi, Ketentuan Tarif
Tunjangan Kinerja Daerah. Kajian tentang ketentuan yang diatur dalam Pergub. 45 tahun 2005 dapat
disajikan sebagaimana berikut ini :
a. Elemen Disiplin
Disiplin yang diterapkan dalam komponen penilaian kinerja langsung membawa pengaruh
positif terhadap absensi pegawai di lingkungan Pemerintah Provinsi Gorontalo. Kehadiran
Pegawai tepat waktu meningkat secara signifikan, dari 65% rata rata sebelumnya menjadi
93% setelah adanya kebijakan TKD. (Sumber : BKD & Diklat Provinsi Gorontalo Tahun 2006)
b. Elemen Pemahaman Tupoksi, Inovasi, Kecepatan kerja, Keakuratan Kerja dan Kerjasama
Semua elemen tersebut di atas sangatlah sulit untuk ditentukan kuantifikasinya dalam bentuk
angka ataupun persentase, nilai relatifitasnya cukup tinggi. Seharusnya Penentuan kriteria
penilaian dan pembobotan kinerja akan sangat berbeda untuk masing masing satuan kerja.
Hal itu bisa dilihat pada analisa jabatan (job analysis) dan analisa beban kerja (work load
analysis) untuk setiap satuan kerja. Akan lebih bijaksana jika perhitungan penilaian kinerja
berdasarkan pada satuan kerja masing masing.
Jika pada Penilaian Kinerja mencantumkan Komponen/Elemen dan indikator variabel sebagai dasar
untuk menentukan nilai Kinerja yang dijadikan standar pembayaran TKD, maka dalam Penentuan Tarif
TKD tidak terdapat dasar penetapan angka untuk pembayaran nominal Rupiah menurut jabatan.
1. Menurut anda komponen mana dari penilaian kinerja yang mudah anda pahami untuk
dilaksanakan? 9 dari 10 responden menyatakan komponen disiplin yang mudah dipahami.
2. Menurut anda komponen mana dari penilaian kinerja yang sulit untuk anda pahami dan
laksanakan? 7 dari 10 responden menyatakan komponen Inovasi yang sulit untuk dipahami.
3. Menurut anda apakah mekanisme penilaian kinerja yang diterapkan sudah dijalankan secara
optimal ? 6 dari 10 responden menjawab : Belum Optimal.
4. Menurut anda apakah standar penilaian kinerja yang ada sudah memenuhi unsur keadilan? 7 dari
10 respoden menjawab: Belum Memenuhi
Keterangan : Responden diambil dari staf pegawai dan tenaga honor daerah karena memiliki populasi
terbanyak dan secara langsung bersentuhan dengan operasional pekerjaan.
Sumber dana untuk Tunjangan Kinerja Daerah diperoleh dari Dana Alokasi Umum. Dengan alokasi
Tunjangan Kinerja Daerah untuk tahun 2005 adalah Rp.25.835.017.101 dengan persentase realisasi
anggaran TKD terhadap Total Belanja Pegawai Provinsi Gorontalo pada tahun yang sama adalah
sebesar 39,21%.
Berdasarkan pada perkembangan jumlah pegawai menurut jabatannya, maka dapat diproyeksikan
jumlah anggaran Tunjangan Kinerja Daerah untuk tahun tahun kedepan, sebagaimana tergambar
pada hasil analisis trend linier di Gambar 6.6.
Gambar 6.6 Trend Linier Total Anggaran Tunjangan Kinerja Daerah Tahun 2006-2008
33
32 31
31
30
29
Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008
Berdasarkan trend analysis di atas, dapat dilihat bahwa rata-rata setiap tahunnya anggaran untuk
Tunjangan Kinerja Daerah akan mengalami penambahan sebesar ±Rp 2 milyar per tahun.
Untuk melihat dan mengukur pengaruh kebijakan TKD terhadap anggaran belanja pegawai
pemerintah Provinsi Gorontalo dapat dijelaskan pada Gambar 6.7.
Gambar 6.7 Belanja Pegawai Pemerintah Propinsi Gorontalo Selang Tahun 2002 s.d. 2005
80,00
70,00
60,00
50,00
40,00
30,00
20,00
10,00
0,00
2002 2003 2004 2005
Belanja Pegawai
Pada tahun 2003 persentase belanja pegawai naik sebesar 89,43% dari tahun 2002, tahun 2004
persentase belanja pegawai naik 69,54% dari tahun 2003, sedangkan pada tahun 2005 turun sebesar
10,39% dari tahun 2004.
Ini mengambarkan bahwa upaya Pemerintah Provinsi Gorontalo dalam mengkonversi honor-honor
kepanitiaan dan lain-lain (honor yang masuk dalam pos belanja pegawai non gaji) ke dalam bentuk
Tunjangan Kinerja Daerah menunjukkan hasil yang baik. Dengan kata lain bahwa kebijakan Alokasi
Anggaran Tunjangan Kinerja Daerah Pemerintah Provinsi Gorontalo dapat mengefisienkan anggaran
untuk belanja pegawainya.
Selanjutnya ukuran kinerja Pemerintah Provinsi Gorontalo dapat dinilai dari capaian kemandirian
keuangan daerah secara umum pada Gambar di bawah ini.
Gambar 6.8 Rasio Kemandirian Keuangan Pemerintah Propinsi Gorontalo Selang Tahun 2002 s.d. 2005
Pada tahun 2002 Rasio kemandirian keuangan daerah sebesar 15,97%, tahun 2003 turun menjadi
15,77%, tahun 2004 turun hingga 14,77% (capaian terendah) serta tahun 2005 naik mencapai
17,07% ( capaian tertinggi ). Kebijakan Tunjangan Kinerja Daerah memberikan sumbangan positif
terhadap kondisi kemandirian keuangan yang dicapai Pemerintah Provinsi Gorontalo dan
memberikan gambaran hasil yang baik terhadap Pencapaian Kinerja Aparatur serta tercapainya
Efisiensi dan Efektifitas Penganggaran sebagai akibat performance pay dalam bentuk Tunjangan
Kinerja Daerah.
Sebagai bahan perbandingan, Tabel 6.2 menyajikan perbandingan penerapan TKD di Provinsi
Gorontalo dan Kabupaten/Kota.
Kota Pekanbaru Semangat good government Menghilangkan Disiplin kerja Keputusan - Efisien penggunaan APBD
meliputi ; peningkatan Ketimpangan penghasilan Walikota - Menghilangkan rasa iri
kapasitas, manajemen pegawai akibat pameo “ pegawai
Berbasis Kinerja dalam meja basah “ - Peningkatan Disiplin pegawai
pengelolaan asset, pelayanan dan “ meja kering “ - Peningkatan dan Pemerataan
masyarakat dan upaya pendapatan Pegawai
pemberantasan korupsi
Kabupaten Jembrana Upaya menciptakan efisiensi Program kerja bersama Disiplin kerja Keputusan - Meminimalisir kecemburuan
dalam pemerintahan dengan dalam rangka upaya Bupati antar pegawai
kondisi keterbatasan mewujudkan tata - Efisiensi anggaran
sumberdaya alam dan pemerintahan yang baik - Peningkatan Motivasi kerja
manusia - Diterima baik seluruh oleh
pegawai
REKOMENDASI
1. Pemerintah Daerah perlu melakukan kajian tentang komposisi struktur kepegawaian secara ketat,
melakukan reposisi dan manajemen personil, baik menyangkut recruitment, placement,
development, appraisal serta renumeration.
2. Pemerintah Daerah Perlu menerbitkan Konsep New Public Management yang dibuat dalam
bentuk buku pegangan (buku saku) dan dibagikan kepada semua pegawai di lingkungan
pemerintah
3. Memfasilitasi pembuatan SPM untuk semua SKPD dengan melibatkan tenaga ahli (expert) yang
kompeten.