com/2008/02/06/bidang-kajian-sosiologi-dan-interaksi-
sosial/
Pengantar Sosiologi
Bag 1
Pengertian Sosiologi
Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang pergaulan hidup antara
seseorang dengan seseorang, perseorangan dengan golongan atau golongan dengan golongan.
Dengan demikian terdapat dua unsur pokok dalam sosiologi, yaitu manusia dan hubungan sosial
(masyarakat). Terdapat berbagai pendapat tentang kedudukan individu dan masyarakat ini. Di
satu pihak ada yang berpendapat bahwa individu lebih dominan daripada masyarakat, tetapi di
pihak lain berpendapat bahwa masyarakat lebih dominan daripada individu. Sementara itu
terdapat pendapat yang mengambil posisi tengah yang mengatakan bahwa antara individu dan
masyarakat terjadi proses saling mempengaruhi. Sejumlah kritik diajukan kepada sosiologi, yaitu
1) sosiologi adalah ilmu yang sulit, 2) sosiologi hanya merupakan kumpulan dari berbagai kajian
ilmu sosial lainnya, dan 3) tidak ada lapangan yang khusus bagi sosiologi karena objeknya telah
banyak digarap oleh ilmu-ilmu sosial lainnya.
Sosiologi merupakan cabang ilmu sosial yang dahulunya berinduk pada ilmu filsafat. Dengan
demikian pokok-pokok pikiran sosiologi tidak bisa terlepas dari pemikiran para ahli filsafat yang
mengkaji tentang masyarakat. Sosiologi mengalami perkembangan yang pesat pada abad ke-20,
di mana pada masa ini mulai banyak bermunculan berbagai cabang sosiologi, seperti sosiologi
industri, sosiologi perkotaan, sosiologi pedesaan, dan lain-lain. Pemikiran para ahli yang
mengkonsentrasikan diri pada masalah kajian sosiologi ini dibedakan atas tokoh-tokoh sosiologi
klasik dan tokoh-tokoh sosiologi modern.
Sosiologi sebagai ilmu sosial yang mempunyai fokus kajian mengenai tingkah laku manusia
mempunyai bidang kajian yang sangat luas, antara lain bidang kajian Sosiologi Industri,
Sosiologi Hukum, Sosiologi Pendidikan, Sosiologi Perkotaan, Sosiologi Pedesaan, Sosiologi
Kesehatan, dan lain-lain.
Sosiologi Industri mengkaji masalah fenomena industri dengan menitikberatkan kajiannya pada
faktor manusia, dan mengaitkannya dengan faktor mesin serta mekanisme kerja pabrik yang
berorientasi pada efisiensi dan efektivitas. Sedangkan Sosiologi Hukum merupakan cabang
sosiologi yang mengkaji fenomena-fenomena hukum yang ada di masyarakat. Sementara itu
Sosiologi Pendidikan mengkaji proses-proses sosiologis yang berlangsung dalam lembaga
pendidikan dengan tekanan dan wilayah tekanannya pada lembaga pendidikan. Di lain pihak
Sosiologi Perilaku Menyimpang mengkaji perilaku dan kondisi yang dianggap tidak sesuai
dengan norma-norma yang sudah disepakati dalam masyarakat.
Dalam melakukan kajiannya, terutama pada masyarakat modern, sosiologi perlu bekerja sama
dengan ilmu-ilmu sosial lainnya membentuk kajian multidisipliner. Antropologi bisa membantu
sosiologi dalam hal metodologi mengingat antropologi mempunyai pengalaman yang sangat
panjang dalam melakukan penelitian yang bersifat kualitatif. Psikologi bisa memberi masukan
bagi sosiologi dalam hal informasinya mengenai kecenderungan-kecenderungan yang sifatnya
individual. Sementara itu sosiologi juga harus meminta bantuan ahli sejarah untuk memberi
informasi tentang proses historis yang ada dalam fenomena perubahan sosial
1
Pengertian Interaksi Sosial
Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Hubungan
sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antara individu yang satu dengan individu lainnya,
antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, maupun antara kelompok dengan individu.
Dalam interaksi juga terdapat simbol, di mana simbol diartikan sebagai sesuatu yang nilai atau
maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang menggunakannya
Proses Interaksi sosial menurut Herbert Blumer adalah pada saat manusia bertindak terhadap
sesuatu atas dasar makna yang dimiliki sesuatu tersebut bagi manusia. Kemudian makna yang
dimiliki sesuatu itu berasal dari interaksi antara seseorang dengan sesamanya. Dan terakhir
adalah Makna tidak bersifat tetap namun dapat dirubah, perubahan terhadap makna dapat terjadi
melalui proses penafsiran yang dilakukan orang ketika menjumpai sesuatu. Proses tersebut
disebut juga dengan interpretative process
Interaksi sosial dapat terjadi bila antara dua individu atau kelompok terdapat kontak sosial dan
komunikasi. Kontak sosial merupakan tahap pertama dari terjadinya hubungan sosial
Komunikasi merupakan penyampaian suatu informasi dan pemberian tafsiran dan reaksi
terhadap informasi yang disampaikan. Karp dan Yoels menunjukkan beberapa hal yang dapat
menjadi sumber informasi bagi dimulainya komunikasi atau interaksi sosial. Sumber Informasi
tersebut dapat terbagi dua, yaitu Ciri Fisik dan Penampilan. Ciri Fisik, adalah segala sesuatu
yang dimiliki seorang individu sejak lahir yang meliputi jenis kelamin, usia, dan ras. Penampilan
di sini dapat meliputi daya tarik fisik, bentuk tubuh, penampilan berbusana, dan wacana.
Interaksi sosial memiliki aturan, dan aturan itu dapat dilihat melalui dimensi ruang dan dimensi
waktu dari Robert T Hall dan Definisi Situasi dari W.I. Thomas. Hall membagi ruangan dalam
interaksi sosial menjadi 4 batasan jarak, yaitu jarak intim, jarak pribadi, jarak sosial, dan jarak
publik. Selain aturan mengenai ruang Hall juga menjelaskan aturan mengenai Waktu. Pada
dimensi waktu ini terlihat adanya batasan toleransi waktu yang dapat mempengaruhi bentuk
interaksi. Aturan yang terakhir adalah dimensi situasi yang dikemukakan oleh W.I. Thomas.
Definisi situasi merupakan penafsiran seseorang sebelum memberikan reaksi. Definisi situasi ini
dibuat oleh individu dan masyarakat.
Bentuk-bentuk interaksi sosial yang berkaitan dengan proses asosiatif dapat terbagi atas bentuk
kerja sama, akomodasi, dan asimilasi. Kerja sama merupakan suatu usaha bersama individu
dengan individu atau kelompok-kelompok untuk mencapai satu atau beberapa tujuan.
Akomodasi dapat diartikan sebagai suatu keadaan, di mana terjadi keseimbangan dalam interaksi
antara individu-individu atau kelompok-kelompok manusia berkaitan dengan norma-norma
sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Usaha-usaha itu dilakukan untuk
mencapai suatu kestabilan. Sedangkan Asimilasi merupakan suatu proses di mana pihak-pihak
yang berinteraksi mengidentifikasikan dirinya dengan kepentingan-kepentingan serta tujuan-
tujuan kelompok
Bentuk interaksi yang berkaitan dengan proses disosiatif ini dapat terbagi atas bentuk persaingan,
kontravensi, dan pertentangan. Persaingan merupakan suatu proses sosial, di mana individu atau
kelompok-kelompok manusia yang bersaing, mencari keuntungan melalui bidang-bidang
kehidupan. Bentuk kontravensi merupakan bentuk interaksi sosial yang sifatnya berada antara
persaingan dan pertentangan. Sedangkan pertentangan merupakan suatu proses sosial di mana
individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak
lawan yang disertai dengan ancaman dan kekerasan.
Untuk tahapan proses-proses asosiatif dan disosiatif Mark L. Knapp menjelaskan tahapan
interaksi sosial untuk mendekatkan dan untuk merenggangkan. Tahapan untuk mendekatkan
meliputi tahapan memulai (initiating), menjajaki (experimenting), meningkatkan (intensifying),
menyatupadukan (integrating) dan mempertalikan (bonding). Sedangkan tahapan untuk
merenggangkan meliputi membeda-bedakan (differentiating), membatasi (circumscribing),
memacetkan (stagnating), menghindari (avoiding), dan memutuskan (terminating).
Pendekatan interaksi lainnya adalah pendekatan dramaturgi menurut Erving Goffman. Melalui
pendekatan ini Erving Goffman menggunakan bahasa dan khayalan teater untuk menggambarkan
fakta subyektif dan obyektif dari interaksi sosial. Konsep-konsepnya dalam pendekatan ini
mencakup tempat berlangsungnya interaksi sosial yang disebut dengan social establishment,
tempat mempersiapkan interaksi sosial disebut dengan back region/backstage, tempat
penyampaian ekspresi dalam interaksi sosial disebut front region, individu yang melihat interaksi
tersebut disebut audience, penampilan dari pihak-pihak yang melakukan interaksi disebut dengan
team of performers, dan orang yang tidak melihat interaksi tersebut disebut dengan outsider.
Erving Goffman juga menyampaikan konsep impression management untuk menunjukkan usaha
individu dalam menampilkan kesan tertentu pada orang lain. Konsep expression untuk individu
yang membuat pernyataan dalam interaksi. Konsep ini terbagi atas expression given untuk
pernyataan yang diberikan dan expression given off untuk pernyataan yang terlepas. Serta
konsep impression untuk individu lain yang memperoleh kesan dalam interaksi.
Sumber Buku Pengantar Sosiologi karya Wawan Hermawan
http://mudjiarahardjo.com/artikel/155-panggung-depan-belakang-dan-
luar.html
Ketika memberikan kotbah atau ceramah, dia selalu berpakaian rapi, bertutur kata sopan dan
halus dengan bahasa yang sangat menggetarkan hati pendengarnya. Dia ternyata memiliki bakat
retorika yang bagus. Kepada jama’ahnya, dia suka menebarkan senyum ramah. Tetapi siapa
sangka di sekitarnya dia sangat dibenci. Para tentangga menyebut dia sebagai biang kerok
kampung. Hampir semua tetangga dekatnya pernah disakiti hanya karena persoalan-persoalan
sepele. Siapapun yang pernah berhubungan dengan dia hampir pasti berakhir dengan
pertengkaran. Anehnya, tidak ada orang yang berani menasihati, apalagi melawan. Padahal, dia
selalu menantang untuk berkelai model apa saja jika bertengkar. Kadang-kadang saya bertanya
“Benarkah dia seorang Muslim?”.
Tetapi mengapa dia bisa berkotbah dan ceramah di mana-mana dan menarik banyak peminat?
Lebih hebat lagi, dalam ceramahnya dia juga sering mengutip ayat dan hadis serta melafalkannya
dengan sangat fasih. Saya benar-benar bingung mencari nalar penjelas perilaku mahasiswa Ustad
sekaligus tetangga dekat saya itu. Hidup ini benar-benar bagaikan sandiwara. Kok bisa-bisanya.
Di sekelilingnya dia sangat sadis terhadap tetangga, tetapi di luar dia berperilaku sangat baik dan
banyak orang terkesima kehebatannya. Tapi saya terasa terhibur teringat lagu Niki Astria berjudul
“Dunia Panggung Sandiwara”. Jadi segalanya memang bisa terjadi. Bukankah sekarang maling
bisa berteriak maling? Pelopor demokrasi bisa malah menjadi pengkianat demokrasi seperti
Amerika itu? Penegak hukum juga bisa menjadi pelanggar hukum nomor wahid? Pusing kan
memikirkan dunia ini? Tapi, untuk soal-soal begini masa penjelasnya kok lagu Niki Astria?
Nah, ketika secara tak sengaja saya membuka catatan-catatan kuliah saya yang amburadul, saya
menemukan jawaban sebagai penjelas perilaku ustad tadi. Dalam catatan yang sudah agak kumal
itu, ada seorang teoretisi hebat bernama Erving Goffman yang melahirkan teori yang disebut
Dramaturgy. Intinya, menurut Goffman terdapat tiga ranah tindakan sosial berlangsung, yakni
panggung depan (front stage), panggung belakang (back stage), dan panggung luar (out stage).
Pada masing-masing panggung, perilaku orang berbeda-beda, bahkan bisa berlawanan. Bisa saja,
seseorang sehari-hari di rumah sangat sadis terhadap tetangga atau bahkan keluarganya sendiri, di
luar berperilaku sangat baik, sebagaimana dipertontonkan sang ustad tadi.
Ketika berada di panggung depan (front stage) dalam dramaturgi Goffman, seseorang berusaha
menunjukkan performance sebaik mungkin untuk memenuhi kepuasan audience. Bagaimana
berpakain, gaya bahasa, gerak gerik mimik dan tubuhnya dan lain sebagainya semuanya untuk
memenuhi selera audience, bukan untuk dirinya. Karena itu, lanjut Goffman, perilaku ini bukan
asli, tetapi perilaku dibuat-buat.
Ketika berada di panggung belakang, tindakan seseorang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
pribadinya. Perilaku seseorang di sini mencerminkan keasliannya, karena tidak dibuat-buat.
Sementara panggung luar diartikan sebagai situasi nonformal di mana aktivitas seseorang
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat sosial tanpa mengganggu
kebutuhan dan kepentingan yang bersifat personal.
Berangkat dari fenomena perilaku sang Ustad dengan merujuk dramaturgi Goffman kita bisa
sampai kesimpulan bahwa ada tiga jenis perilaku orang yang berbeda, tergantung pada ranah atau
tempat kejadian serta tujuannya. Perilaku Ustad ketika di panggung sangat berbeda dengan
perilakunya ketika di rumah dan lingkungannya. Perbedaan perilaku terjadi karena perbedaan
kepentingan dan tujuan yang hendak dicapai. Karena, itu jangan terkecoh dengan perilaku
seseorang ketika berada di panggung depan. Sebab, itu bukan perilaku sesungguhnya. Perilaku
asli sang Ustad justru ketika dia berada di masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Idealnya,
seseorang bisa berperilaku sama di ketiga panggung. Tapi mungkinkah? Barangkali Erving
Goffman yang harus menjelaskan lagi!
http://ayususantiaditya.wordpress.com/2010/03/26/
Dalam konteks komunikasi antarbudaya, kita tidak terlepas dari penggunaan bahasa verbal dan
nonverbal. Bahasa verbal dan nonverbal yang digunakan manusia dalam mengadakan kontak
dengan lingkungannya memiliki kesamaan antara lain:
Sehingga terjadi proses saling memberikan arti pada simbol-simbol yang disampaikan oleh
individu-individu yang saling berkomunikasi. Tanda atau simbol merupakan alat yang digunakan
dalam interaksi. Pembahasan mengenai simbol harus diawali dengan konsep ‘tanda’ (sign).
Tanda dapat disebut sebagai unsur yang digunakan untuk mewakili unsur lain. Dari tanda dan
simbol tersebut, kita memberikan makna. Setiap orang akan memberikan makna berdasarkan
pengalaman pribadinya. Manusia bisa memiliki makna sama hanya ketika mereka mempunyai
pengalaman yang sama atau dapat mengantisipasi pengalaman-pengalaman yang sama.
Bahasa
Dilihat dari fungsinya, bahasa merupakan alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan
gagasan (socially shared), karena bahasa hanya dapat dipahami apabila ada kesepakatan di
antara anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya. Bahasa diungkapkan dengan
kata-kata dan kata-kata tersebut sering diberi arti arbiter (semaunya). Contoh: terhadap buah
pisang orang Sunda menyebutnya cau dan orang jawa menyebutnya gedang. Kemudian definisi
bahasa secara formal ialah semua kalimat yang terbayangkan dan bisa dibuat menurut peraturan
bahasa. Setiap bahasa bisa dikatakan mempunyai tata bahasanya sendiri.
Bahasa dan kebudayaan
Dalam studi kebudayaan bahasa ditempatkan sebagai sebuah unsur penting selain unsur-unsur
lain, seperti sistem pengetahuan, mata pencaharian, adat istiadat, kesenian, dan sistem peralatan
hidup. Bahkan bahasa bisa dikategorikan sebagai unsur kebudayaan yang membentuk non-
material selain nilai, norma, dan kepercayaan. Bahasa merupakan komponen budaya yang sangat
penting yang mempengaruhi penerimaan kita, perilaku kita, perasaan, dan kecenderungan kita
untuk bertindak menanggapi lingkungan kita. Atau dengan kata lain, bahasa mempengaruhi
kesadaran kita, aktivitas, dan gagasan kita, benar atau salah, moral atau tidak bermoral, serta baik
atau buruk. Bahasa dari suatu budaya berbeda dengan bahasa dari budaya lain dan bahasa dari
sebuah subkultur tertentu berbeda dengan bahasa dari subkultur yang lain.
Dalam berkomunikasi antarbudaya, kita mengenal beberapa variasi bahasa yang bersumber pada:
1. Dialek, yakni bahasa di suatu daerah dengan kosakata yang khas. Contohnya, apa kabar
dalam bahasa Sunda diungkapkan sebagai : “kumaha damang?”. Sedangkan dalam
bahasa Jawa dikatakan : “piye kabare?”.
2. Aksen menunjukkan bagaimana cara pengucapannya ditekankan agar bisa dibedakan,
seperti berdasarkan wilayah geografis. Misalnya, orang Texas di AS menyebut water
sama atau mirip dengan tulisannya, namun warga New York di AS menyebut air dengan
woter.
3. Argot adalah kosakata khusus dari subkultur “kalangan dunia hitam”, contohnya
pencopet, pembunuh, pelacuran, dan penyalur obat bius. Contoh kata nyimeng adalah
kosakata yang dikenal di kalangan pemakai obat-obatan terlarang.
4. Jargon merupakan bahasa teknis kalangan professional dan akademisi, seperti dokter,
penulis, dosen, ahli hukum, dan sebagainya.
Pesan Nonverbal
Elemen-elemen nonverbal mengeksperikan sisi emosional pesan. Tidak hanya perasaan yang
diekspresikan nonverbal tetapi isyarat-isyarat merupakan bahasa yang sejajar. Contoh orang
Amerika suka mengakhiri pernyataan dengan kepala atau tangan yang terkulai dan kelopak mata
merendah. Menurut Mark L. Knapp, fungsi-fungsi pesan nonverbal adalah sebagai berikut:
a) Repetisi, yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara verbal. Misalnya,
sebuah penolakan yang diucapkan bisa ditegaskan kembali dengan gelengan kepala.
b) Substitusi, yaitu menggantikan lambang-lambang verbal. Tanda setuju bisa digantikan
dengan anggukan kepala tanpa disertai ucapan apa-apa.
c) Kontradiksi, yaitu menolak pesan verbal atau memberikan makna lain terhadap pesan
verbal. Misalnya memuji prestasi seseorang dengan mencibirkan bibir.
d) Komplemen, yaitu melengkapi atau memperkaya makna pesan nonverbal. Misalnya air
muka seseorang bisa jadi menunjukkan tingkat penderitaan yang tidak terungkap dengan kata-
kata.
Duncan menyebutkan ada enam jenis pesan nonverbal, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Kinesik (gerak tubuh). Pesan yang disampaikan melalui kinesik memiliki tiga komponen
yakni:
1. Pesan Fasial ialah penyampaian makna melalui air muka. Dalam penelitiannya, Leathers
menyebutkan bahwa:
1. Pesan gestural menunjukkan gerakan sebagian anggota badan seperti mata dan tangan
untuk mengkomunikasikan berbagai makna. Menurut Galloway, pesan gestural dapat
digunakan untuk mengungkapkan:
1. Pesan postural berkenaan dengan keseluruhan anggota badan. Pesan postural, misalnya,
postur duduk. Penelitian yang dilakukan Frieda Fromm Reichman menebak apa yang
dirasakan pasiennya dengan meniru postur atau sikap badan pasiennya. Postur
merefleksikan sikap orang yang bersangkutan terhadap orang-orang yang bersamanya.
Rasa tidak suka mereka nyatakan dengan postur yang sangat santai. Mehrabian
menyebutkan tiga makna yang dapat disampaikan postur, yaitu:
1. Pesan Proksemik, yakni pesan yang disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang.
Antropolog Edward T. Hall menyebutkan empat macam jarak yang dipergunakan oleh
orang Amerika ketika berhubungan dengan orang lain, yaitu:
Antropolog Edward T. Hall menunjukkan bahwa orang Amerika Utara membutuhkan ruang
pribadi yang lebih banyak daripada di negeri lainnya. Bagi orang Amerika Utara yang saling
tidak kenal jarak yang nyaman untuk berdiri dalam percakapan adalah dua kaki. Orang Arab
menjaga jarak yang sangat dekat ketika berdiri untuk berbicara dan memandang lawan
bicaranya. Hal-hal yang mempengaruhi jarak dan ruang:
Kadar ruang yang dibutuhkan seseorang juga dipengaruhi oleh kepribadiannya – orang
introvert, misalnya membutuhkan lebih banyak ruang daripada orang yang extrovert;
Ruang juga memberi petunjuk status seseorang;
Situasi dan suasana hati juga mempengaruhi jarak.
1. Pesan Artifaktual ialah pesan yang diungkapkan dengan penampilan, seperti pakaian,
kosmetik, aksesoris, dan sebagainya. Erat kaitannya dengan tubuh adalah upaya
seseorang untuk membentuk citra tubuh dengan pakaian dan kosmetiknya. Pakaian
menyampaikan pesan. Menurut Kefgen dan Touchie, umumnya pakaian yang kita
gunakan menyampaikan identitas kita. Umumnya pakaian yang kita gunakan
menunjukkan kepada orang lain bagaimana perilaku kita dan bagaimana sepatutnya orang
lain memperlakukan kita. Pakaian juga bisa menyampaikan perasaan, status, dan peranan,
serta formalitas.
2. Pesan paralinguistik/paralanguage adalah pesan nonverbal yang berhubungan dengan
cara mengucapkan pesan verbal. Pesan paralinguistik antara lain terdiri dari: nada
(berkaitan dengan jumlah getaran atau gelombang yang dihasilkan sumber bunyi),
kualitas suara (menunjukkan penuh atau tipisnya suara), volume (menunjukkan tinggi
rendahnya suara), kecepatan, dan ritme.
3. Pesan sentuhan (tactile message), termasuk pesan nonverbal visual dan nonvokal. Alat
penerima sentuhan adalah kulit yang mampu menerima dan membedakan berbagai emosi
yang disampaikan orang melalui sentuhan. Alma Smith mengemukakan bahwa berbagai
perasaan yang dapat disampaikan orang melalui sentuhan, tetapi yang paling biasa
dikomunikasikan melalui sentuhan adalah kasih saying, takut, marah, dan bercanda.
4. Pesan yang disampaikan oleh bau-bauan (olfactory message). Dewasa ini sudah banyak
orang yang menggunakan parfum untuk menunjukkan siapa dirinya.
Secara umum dikatakan bahwa studi mengenai hubungan antara bahasa dan budaya dikenal
sebagai ‘sociolinguistics’. Sociolinguistics adalah suatu pengertian yang sangat luas dan
mencakup setiap studi tentang bahasa yang menggunakan data sosial, atau sebaliknya, yaitu
setiap studi mengenai kehidupan sosial yang menggunakan bahasa sebagai salah satu data.
Berikut ini, kita akan membahas satu kontribusi teoritis terhadap bahasa dan budaya.
Hipotesis Sapir-Whorf yang dikenal sebagai teori relativitas bahasa, merupakan karya Edward
Sapir dan Benjamin Lee Whorf. Whorf sangat dikenal dalam studi linguistik, terutama dengan
analisisnya terhadap ‘Hopi’. Whorf menemukan adanya perbedaan sintaksis yang mendasar
dalam membentuk kelompok-kelompok bahasa. Hipotesis Whorf menyatakan bahwa “struktur
bahasa suatu budaya menentukan perilaku dan pola pikir dalam budaya tersebut”. Dalam
ungkapan Sapir: “Manusia tidak hidup sendiri dalam dunia objektif, tidak pula hidup sendiri
dalam dunia aktivitas sosial, tetapi berkat bahasa tertentu yang telah menjadi medium ekspresi
bagi masyarakatnya”. Dapat dibayangkan bagaimana seseorang menyesuaikan dirinya dengan
realitas tanpa menggunakan bahasa dan bahwa bahasa hanya semata-mata digunakan untuk
mengatasi persoalan komunikasi atau refleksi tertentu. Kenyataannya adalah bahwa “dunia
nyata” sebagian besar secara tidak sadar dibentuk oleh pola-pola bahasa kelompoknya. Kita
melihat, mendengar, dan karenanya hampir seperti mengalami sendiri, karena pola bahasa
komunitas kita telah meletakkan pilihan-pilihan tertentu untuk menginterpretasikannya.
Hipotesis ini menunjukkan bahwa proses berpikir kita dan cara kita memandang dunia dibentuk
oleh struktur gramatika dari bahasa yang kita gunakan.
Daftar Pustaka
Gudikunst, William B, dan Young Yun Kim. 1997. Communications with Strangers: An
Approach to Intercultural Communications, edition 3. Massachussetts: McGraw-Hill.
1. Akulturasi
Manusia sebagai makhluk sosial budaya melakukan proses belajar dalam menafsirkan
lingkungannya. Aspek proses belajar inilah yang merupakan aspek penting dalam komunikasi.
Dengan melalui komunikasi maka kita berhubungan dengan lingkungan kita dan menyesuaikan
diri serta mendapatkan rasa memiliki sebagai suatu anggota dalam berbagai kelompok sosial
yang mempengaruhi kita.
Dalam keterkaitan antara komunikasi dan budaya, maka budaya adalah sebagai paduan pola-pola
yang merefleksikan respon-respon komunikatif terhadap rangsangan dari lingkungan. Le Vine
menyatakan, dalam buku Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, budaya ialah seperangkat
aturan yang terorganisasikan mengenai cara-cara yang dilakukan individu-individu dalam
masyarakat berkomunikasi satu sama lain dan cara berpikir mereka tentang diri mereka sendiri
dan lingkungan mereka.
Young Yun Kim menggambarkan akulturasi sebagai proses yang dilakukan para masyarakat
imigran untuk menyesuaikan diri dengan budaya masyarakat pribumi, yang akhirnya mengarah
kepada asimilasi. Artinya, pada saatnya, imigran akan menggunakan cara-cara berperilaku
masyarakat pribumi untuk menyesuaikan diri dengan pola-pola yang diterima masyarakat
pribumi. Proses penyesuaian diri yang dilakukan oleh para imigran terhadap budaya masyarakat
pribumi biasanya bersifat lebih teliti dan mendalam.
Salah satu kerangka konseptual yang komprehensif untuk menganalisis akulturasi seorang
imigran dari perspektif komunikasi terdapat pada perspektif sistem yaitu unsur dasar suatu sistem
komunikasi manusia teramati ketika secara aktif sedang berkomunikasi, berusaha untuk, dan
mengharapkan berkomunikasi dengan lingkungan. Hal tersebut dapat dilakukan melalui
beberapa variabel-variabel komunikasi berikut ini:
Komunikasi persona mengacu pada proses-proses mental dengan mana orang mengatur dirinya
sendiri dalam dan dengan lingkungan sosiobudayanya, mengembangkan cara-cara melihat,
mendengar, memahami, dan merespon lingkungan. Variabel yang penting dalam komunikasi
persona dalam akulturasi ialah:
Contohnya seorang imigran Kanada ke Amerika Serikat akan mempunyai potensi akulturasi
yang lebih besar daripada seorang imigran Vietnam dari Asia Tenggara.
Imigran yang lebih tua umumnya mengalami lebih banyak kesulitan dalam menyesuaikan
dengan budaya yang baru dan mereka lebih lambat dalam menerima pola-pola budaya baru.
Beberapa karakteristik kepribadian antara lain suka bersahabat, toleransi, dan lain-lain.
Hal ini bisa membantu imigran dalam membentuk persepsi, perasaan dan perilakunya
yang memudahkan akulturasi dalam lingkungan yang baru.
Pengetahuan tentang budaya pribumi sebelum berimigrasi
Misalnya diperoleh dari kunjungan sebelumnya, kontak antarpersona, dan melalui media massa
juga dapat mempertinggi potensi akulturasi imigran.
Jika seseorang ingin mempertinggi kapasitas akulturasinya dan secara sadar mempermudah
proses akulturasinya maka ia harus menyadari pentingnya komunikasi sebagai mekanisme
penting untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Untuk menunjang kecakapan komunikasi dalam
budaya pribumi, imigran harus mengembangkan kecakapan kognitif, afektif, dan perilaku dalam
berhubungan dengan lingkungan masyarakat pribumi. Dengan mengembangkan motivasi
akulturasi yang kuat, imigran menjadi terorientasi secara positif terhadap masyarakat pribumi
dan menerima aturan-aturan atau norma-norma pribumi tersebut. Dengan mempelajari pola-pola
dan aturan-aturan komunikasi pribumi dan menggunakan pikiran terbuka maka imigran menjadi
toleran akan perbedaan-perbedaan dan ketidakpastian situasi-situasi antarbudaya yang dihadapi.
Tetapi tujuan akulturasi ini tidak bisa dicapai sendirian harus ada proses mendorong dan menarik
di antara pihak imigran atau pribumi. Anggota-anggota masyarakat pribumi bisa mempermudah
akulturasi imigran dengan menerima pelaziman (condtioning) budaya asli imigran dengan cara
memberikan situasi-situasi komunikasi yang mendukung kepada imigran dan dengan
menyediakan diri secara sabar berkomunikasi antarbudaya.
2. Asimilasi
Asimilasi merupakan derajat tertinggi akulturasi yang secara teoritis mungkin terjadi di antara
imigran dengan pribumi serta mungkin menjadi tujuan sepanjang hidup. Lebih jelasnya,
asimilasi adalah proses sosial yang timbul bila ada golongan-golongan manusia dengan latar
belakang kebudayaan yang berbeda-beda yang saling bergaul langsung secara intensif untuk
waktu yang lama sehingga kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi masing-masing
berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran.
Contohnya, perubahan-perubahan perilaku yang juga terjadi kerika seorang imigran menyimpang
dari pola-pola budaya lama yang dianutnya dan mengganti pola-pola lama tersebut dengan pola-
pola budaya baru. Lebih jelas, amerikanisasi merupakan contoh khusus dari asimilasi.
3. Budaya Campuran
Konsep budaya campuran ialah penyebab keprihatinan kelompok minoritas di Amerika yang
ingin mempertahankan identitas etnik mereka yang berbeda dengan – sampai tingkat tertentu –
budaya dominan (mainstream culture). Istilah melting pot diciptakan oleh Israel Zangwil dalam
suatu karya pada tahun 1921. Ketika budaya dominan berkembang lebih kuat gagasan asal
budaya campuran berubah menjadi gagasan asimilasi dan amerikanisasi. Hal ini berkaitan
dengan etnosentrisme.
4. Etnosentrisme
Elemen kedua dari budaya ini merupakan pola-pola komunikasi dalam pemrosesan informasi
ditinjau dari dimensi hubungan dan isi pesan yang disampaikan. High context merupakan suatu
pola budaya dalam proses komunikasi yang lebih mengutamakan dimensi hubungan daripada
dimensi isi pesan yang disampaikan. Misalnya saja, negara Indonesia yang masih mementingkan
dimensi hubungan terlebih dahulu daripada isi pesan yang disampaikan.
Sementara Low context dapat dijelaskan sebagai sebuah pola budaya dalam proses komunikasi
yang lebih mengutamakan dimensi isi pesan yang disampaikan daripada daripada dimensi
hubungan. Contohnya, negara Amerika Serikat merupakan suatu negara yang mempunyai
kecenderungan Low Context, ini terlihat ketika atasan (direktur suatu perusahaan) menerima isi
pesan (berupa ide atau usul) dari bawahan. Artinya, ketika bawahan menyampaikan pesan
(berupa ide atau usul) kepada direktur dalam sebuah meeting, dan apabila pesan yang berupa ide
atau usul itu memang bagus, maka direktur itu pun akan menerima dengan baik pesan dari
bawahan tersebut. Berikut ini adalah perbandingan antara High Context dan Low Context.
2. Individualistik dan Kolektivistik
3. Power Distance
Adalah konsep yang merefleksikan derajat yang mana sebuah kebudayaan meyakini bagaimana
kekuasaan organisasi dan kekuasaan institusi didistribusikan kepada para anggota budaya secara
seimbang. Secara ringkas, konsep ini menjelaskan hubungan antarmanusia yang ditata
berdasarkan jarak kekuasaan.
Daftar Pustaka