Anda di halaman 1dari 2

MENGHAKIMI DIRI SENDIRI DENGAN PERMOHONAN MAAF

http://warsa.wordpress.com

Di dunia ini ada beberapa jenis manusia ketika menghadapi caci- maki dan
umpatan. Di kasta paling rendah duduk seorang manusia dengan pongah
kemudian dihujat habis-habisan oleh orang lain, balasannya ada dia berdiri lalu
melemparkan kursi itu tepat di wajah si pencaci maki sial.

Ada juga kelompok kasta menengah. Ketika sedang berjalan, kemudian dengan
sengaja kakinya ditackling oleh seseorang, dia hanya membalas ejekan di depan
umum itu dengan serapah..: Keparat... tanpa harus membuka sendal atau
sepatunya untuk melempar di pentackling.

Pada saat yang hampir bersamaan, entah di negara bagian mana... Duduk
bersimpuh seorang manusia, katanya ada di kasta paling tinggi. Datanglah
seekor lalat, menghinggapi makanan, lalu menceburkan diri ke dalam segelas air
susu, di kasta paling tinggi sama sekali mengabaikan cemoohan lalat itu, jelas
sekali, bagi orang-orang kerdil seperti kita, lalat yang hinggap dimakanan sering
diartikan sebagai cemoohan binatang kerdil, dungu tak berakal. Tapi... bagi
manusia kasta paling tinggi, itu dianggapnya sebagai suplemen penambah
vitamin.

Paling sulit dalam hidup bukan menjadi kasta paling tinggi. Namun beranikah
kita memosisikan diri sebagai seorang hakim yang menunjuk hidung diri sendiri-
dengan memohon maaf terlebih dahulu kepada orang lain. Tapi dengar dulu... di
era kebusukan ini, orang yang mengaku salah tidak selalu diartikan sebagai
pahlawan, kecuali dimaknai sebagai sikap penyerahan diri dan mengaku sebagai
orang kalah..pecundang tengik katanya.

Ya, pengakuan terhadap jerih payah orang lain, bahkan sikap berwibawa dengan
semangat satria ssama sekali sering terabaikan di zaman kita ini. Kita lebih
senang menghakimi orang lain, menganggap orang lain lah yang harus menjadi
pemohon, dan ujungnya kita akan menganggap diri ini sama sekali tidak ada
sangkut pautnya dengan perbuatan yang pernah kita lakukan lalu lari lah kita
dari tanggung jawab.

Jika ada ban kempis kenapa kita harus menyalahkan tukang tambal ban bahkan
berprasangka tukang tambal ban sialan itulah yang dengan sengaja menyebar
paku dan duri agar ban kita kempis. Padahal kempisnya ban lantaran oleh ulah
anak kita...

Jika kita memesan kopi kepahitan, kenapa kita harus menghardik si penyeduh
kopi... kenapa kita tidak bertanya dan meinta tentang detil takaran gula,
takaran kopi bahkan takaran airnya? Ya... kita memang manusia-manusia
busuk... tinggal menunggu hitungan hari saja lalat akan mengerubungi tubuh
kita, lalu burung-burung nazar akan mematuki daging busuk kita.... tapi sama
sekali kita tidak mencium kebusukan itu... yang kita cium hanyalah -seolah-olah
kitalah yang paling harum di antara yang busuk...!

Anda mungkin juga menyukai