Anda di halaman 1dari 14

SOSI4206

Teori Sosiologi Modern


Wagiyo, dkk
4 sks / modul 1-12: ill.; 21 cm
ISBN : 979689534X
DDC : 301
Copyright (BMP) © Jakarta: Universitas Terbuka, 2007
Tinjauan Mata Kuliah
Teori sosiologi modern merupakan mata kuliah lanjutan dari teori sosiologi klasik. Seperti halnya mata kuliah teori sosiologi klasik, mata
kuliah ini pun membahas mengenai tokoh-tokoh sosiologi yang mengembangkan teori-teori sosiologi. Pada bagian awal buku materi pokok
mata kuliah ini dibahas tiga paradigma sosiologi, yaitu paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial.
Tokoh teori fungsionalisme yang dibahas dalam buku materi pokok ini adalah Talcott Parsons dan Robert K. Merton. Kedua tokoh ini
dibahas masing-masing dalam Modul 2 dan 3. Teori fungsionalisme menekankan pemikirannya pada analogi antara struktur masyarakat
dengan organisme biologis, sedangkan tokoh dari teori konflik dibahas dalam Modul 4 dan 5, pemikiran yang dibahas adalah pemikiran
teori konflik dari Ralf Dahrendorf dan Lewis Coser. Teori konflik lebih menekankan pada pertentangan antarkelas untuk memperebutkan
sumber daya yang langka. Pada Modul 6 dibahas mengenai teori pertukaran sosial dari George C. Homans dan Peter M. Blau. Teori
pertukaran menekankan pada prinsip pertukaran yang terjadi dalam proses interaksi sosial di masyarakat.
Buku materi pokok mata kuliah teori sosiologi modern ini lebih banyak memfokuskan pembahasan mengenai teori interaksionisme
simbolik. Teori interaksionisme simbolik menekankan pada penggunaan simbol-simbol dalam interaksi sosial. Teori interaksionisme ini
mulai dibahas dalam Modul 7, yang membahas teori dari William James, Charles Horton Cooley, dan John Dewey. Pada Modul 8 dibahas
teori interaksionisme menurut George Herbet Mead, dan pada Modul 9 dibahas teori interaksionisme simbolik menurut William Issac
Thomas dan Herbert Blumer. Pembahasan teori interaksionisme simbolik diakhiri dengan teori interaksionisme dari Erving Goffman dan
Peter L. Berger.
Pembahasan buku materi pokok ini diakhiri dengan pemikiran postmodernisme dan teori feminisme kontemporer. Pembahasan
postmodernisme terdapat dalam Modul 11, yang membahas mengenai batasan pemikiran postmodernisme, aspek budaya masyarakat
postmodern, dan tokoh-tokoh pemikiran postmodernisme, sedangkan teori feminisme kontemporer sebagai modul terakhir membahas
mengenai teori-teori sosiologi yang berkaitan dengan masalah gender dan teori-teori feminisme yang berkembang dalam masyarakat.

MODUL 1: Paradigma Sosiologi dan Teori Pendekatannya


Kegiatan Belajar 1: Paradigma Sosiologi dan Teori Pendekatannya
Rangkuman
Paradigma adalah suatu pandangan yang fundamental (mendasar, prinsipiil, radikal) tentang sesuatu yang menjadi pokok permasalahan
dalam ilmu pengetahuan. Kemudian, bertolak dari suatu paradigma atau asumsi dasar tertentu seorang yang akan menyelesaikan
permasalahan dalam ilmu pengetahuan tersebut membuat rumusan, baik yang menyangkut pokok permasalahannya, metodenya agar
dapat diperoleh jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut George Ritzer paradigma dalam sosiologi, yaitu (1) paradigma fakta sosial yang menyatakan bahwa struktur yang terdalam
masyarakat mempengaruhi individu; (2) paradigma definisi sosial yang menyatakan bahwa pemikiran individu dalam masyarakat
mempengaruhi struktur yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini sekalipun struktur juga berpengaruh terhadap pemikiran individu, akan
tetapi yang berperanan tetap individu dan pemikirannya; (3) paradigma perilaku sosial yang menyatakan bahwa perilaku keajegan dari
individu yang terjadi di masyarakat merupakan suatu pokok permasalahan. Dalam hal ini interaksi antarindividu dengan lingkungannya
akan membawa akibat perubahan perilaku individu yang bersangkutan.
Paradigma dalam sosiologi sebagaimana dikemukakan tersebut akan menyebabkan adanya berbagai macam teori dan metode dalam
pendekatannya.
Kegiatan Belajar 2: Pengertian Sosiologi
Rangkuman
Sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang kehidupan bersama dalam masyarakat. Dalam masyarakat terdapat individu,
keluarga, kelompok, organisasi, aturan-aturan dan lembaga-lembaga, yang kesemuanya itu merupakan suatu kebulatan yang utuh. Dalam
hal ini sosiologi ingin mengetahui kehidupan bersama dalam masyarakat, baik yang menyangkut latar belakang, permasalahan dan
sebabmusababnya. Untuk mengetahui kehidupan bersama tersebut diperlukan suatu teori.
Lahirnya sosiologi dihubungkan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di Eropa Barat, baik yang menyangkut tumbuhnya kapitalisme
pada akhir abad XV, perubahan sosial politik, reformasi Martin Luther, meningkatnya individualisme, lahirnya ilmu pengetahuan modern,
berkembangnya kepercayaan pada diri sendiri, adanya Revolusi Industri maupun Revolusi Perancis.
Sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari kehidupan bersama dalam masyarakat akan senantiasa berkembang terus, terutama apabila
masyarakat menghadapi ancaman terhadap pedoman yang pada masanya telah mereka gunakan. Krisis yang demikian cepat atau lambat
akan melahirkan pemikiran sosiologis.
Bertolak dari kenyataan yang demikian dapatlah dikatakan bahwa pemikiran-pemikiran sosiologis terjadi sejak awal XVIII berkenaan
dengan adanya industrialisasi, urbanisasi, kapitalisme dan sosialisme yang menyebabkan adanya perubahan-perubahan sosial.
Kegiatan Belajar 3: Pengertian Teori
Rangkuman
Teori adalah seperangkat pernyataan-pernyataan yang secara sistematis berhubungan atau sering dikatakan bahwa teori adalah
sekumpulan konsep, definisi, dan proposisi yang saling kait-mengait yang menghadirkan suatu tinjauan sistematis atas fenomena yang ada
dengan menunjukkan hubungan yang khas di antara variabel-variabel dengan maksud memberikan eksplorasi dan prediksi. Di samping itu,
ada yang menyatakan bahwa teori adalah sekumpulan pernyataan yang mempunyai kaitan logis, yang merupakan cermin dari kenyataan
yang ada mengenai sifat-sifat suatu kelas, peristiwa atau suatu benda.
Teori harus mengandung konsep, pernyataan (statement), definisi, baik itu definisi teoretis maupun operasional dan hubungan logis yang
bersifat teoretis dan logis antara konsep tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam teori di dalamnya harus terdapat
konsep, definisi dan proposisi, hubungan logis di antara konsep-konsep, definisi-definisi dan proposisi-proposisi yang dapat digunakan
untuk eksplorasi dan prediksi.
Suatu teori dapat diterima dengan dua kriteria pertama, yaitu kriteria ideal, yang menyatakan bahwa suatu teori akan dapat diakui jika
memenuhi persyaratan. Kedua, yaitu kriteria pragmatis yang menyatakan bahwa ide-ide itu dapat dikatakan sebagai teori apabila
mempunyai paradigma, kerangka pikir, konsep-konsep, variabel, proposisi, dan hubungan antara konsep dan proposisi.
Daftar Pustaka

o Alimandan (Peny.). (1985). Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda: 110, 15 39, 43 74. Judul Asli: Sociology: A
Multiple Paradigm Science. George Ritzer. (1980). Boston: Allyn and Bacon.
o Cambell, Tom. (1981). Seren Theories of Human Society. Oxford, New York: University Press.
o Craib, Ian. (I986). Teori-teori Sosial Modern: Dari Parsons sampai Habermas. Jakarta: Rajawali. Judul asli: Modern Social
Theory: from Parsons to Habermas, penerjemah: Paul S Bout dan T. Effendi.
o Kerlinger, Fred, N. (1973). Foundation of Behavioral Research. New York: Holt, Rinehart and Winston.
o Laeyendecker, L. (1983). Tata, Perubahan, dan Ketimpangan, Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi: 376 377. Jakarta:
Gramedia.
o Nasikun. (1988). Sistem Sosial Indonesia, 9 10. Jakarta: Rajawali.
o Poloma, Margaret M. (1984). Sosiologi Kontemporer, 4. Jakarta: Rajawali.
o Ritzer, George. (1975). Sociology: A Multiple Paradigm Science: 2 7, 24 30, 91 92, dan 142. Boston: Allyn and Bacon Inc.
o Robert, M.Z., Lawang, (Pen). (1986). Teori Sosiologi Klasik dan Modern jilid I dan II. Judul asli: Sociological Theory Classical
Founders and Contemparary Perspectives. (1981). By Doyle Paul Johnson.
o Robert, M.Z., Lawang. (1986). Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi. Jakarta: Penerbit Karunika Universitas Terbuka.
o Sunarto, Kamanto. (1993). Pengantar Sosiologi: 1. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
o _______. (1993). Pengantar Sosiologi: Buku Panduan Mahasiswa: 15 17, 23 28. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
o Zamroni. (1992). Pengantar Pengembangan Teori Sosial: 13. Yogyakarta: Tiara Wacana.
o Zeitlin, Irving M. (1973). Rethinking Sociology, A Critique of Contemporary Theory. Englewood Clifics, New Jersey: Prentice
Hall, Inc.

MODUL 2: Teori Fungsionalisme Talcott Parsons


Kegiatan Belajar 1: Teori Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons
Rangkuman
Talcott Parsons adalah seorang sosiolog kontemporer dari Amerika yang menggunakan pendekatan fungsional dalam melihat masyarakat,
baik yang menyangkut fungsi dan prosesnya. Pendekatannya selain diwarnai oleh adanya keteraturan masyarakat yang ada di Amerika
juga dipengaruhi oleh pemikiran Auguste Comte, Emile Durkheim, Vilfredo Pareto dan Max Weber. Hal tersebut di ataslah yang
menyebabkan Teori Fungsionalisme Talcott Parsons bersifat kompleks.
Asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural, yaitu bahwa masyarakat terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggotanya akan
nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang mempunyai kemampuan mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut
dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian masyarakat adalah
merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling ketergantungan.
Teori Fungsionalisme Struktural yang mempunyai latar belakang kelahiran dengan mengasumsikan adanya kesamaan antara kehidupan
organisme biologis dengan struktur sosial dan berpandangan tentang adanya keteraturan dan keseimbangan dalam masyarakat tersebut
dikembangkan dan dipopulerkan oleh Talcott Parsons.
Kegiatan Belajar 2: Tindakan Sosial dan Orientasi Subjektif
Rangkuman
Teori Fungsionalisme Struktural yang dibangun Talcott Parsons dan dipengaruhi oleh para sosiolog Eropa menyebabkan teorinya itu
bersifat empiris, positivistis dan ideal. Pandangannya tentang tindakan manusia itu bersifat voluntaristik, artinya karena tindakan itu
didasarkan pada dorongan kemauan, dengan mengindahkan nilai, ide dan norma yang disepakati. Tindakan individu manusia memiliki
kebebasan untuk memilih sarana (alat) dan tujuan yang akan dicapai itu dipengaruhi oleh lingkungan atau kondisi-kondisi, dan apa yang
dipilih tersebut dikendalikan oleh nilai dan norma.
Prinsip-prinsip pemikiran Talcott Parsons, yaitu bahwa tindakan individu manusia itu diarahkan pada tujuan. Di samping itu, tindakan itu
terjadi pada suatu kondisi yang unsurnya sudah pasti, sedang unsur-unsur lainnya digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Selain
itu, secara normatif tindakan tersebut diatur berkenaan dengan penentuan alat dan tujuan. Atau dengan kata lain dapat dinyatakan
bahwa tindakan itu dipandang sebagai kenyataan sosial yang terkecil dan mendasar, yang unsur-unsurnya berupa alat, tujuan, situasi, dan
norma. Dengan demikian, dalam tindakan tersebut dapat digambarkan yaitu individu sebagai pelaku dengan alat yang ada akan mencapai
tujuan dengan berbagai macam cara, yang juga individu itu dipengaruhi oleh kondisi yang dapat membantu dalam memilih tujuan yang
akan dicapai, dengan bimbingan nilai dan ide serta norma. Perlu diketahui bahwa selain hal-hal tersebut di atas, tindakan individu
manusia itu juga ditentukan oleh orientasi subjektifnya, yaitu berupa orientasi motivasional dan orientasi nilai. Perlu diketahui pula
bahwa tindakan individu tersebut dalam realisasinya dapat berbagai macam karena adanya unsur-unsur sebagaimana dikemukakan di
atas.
Kegiatan Belajar 3: Analisis Struktural Fungsional dan Diferensiasi Struktural
Rangkuman
Sebagaimana telah diuraikan di muka, bahwa Teori Fungsionalisme Struktural beranggapan bahwa masyarakat itu merupakan sistem yang
secara fungsional terintegrasi ke dalam bentuk keseimbangan. Menurut Talcott Parsons dinyatakan bahwa yang menjadi persyaratan
fungsional dalam sistem di masyarakat dapat dianalisis, baik yang menyangkut struktur maupun tindakan sosial, adalah berupa
perwujudan nilai dan penyesuaian dengan lingkungan yang menuntut suatu konsekuensi adanya persyaratan fungsional.
Perlu diketahui ada fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi agar ada kelestarian sistem, yaitu adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi
dan keadaan latent. Empat persyaratan fungsional yang mendasar tersebut berlaku untuk semua sistem yang ada. Berkenaan hal tersebut
di atas, empat fungsi tersebut terpatri secara kokoh dalam setiap dasar yang hidup pada seluruh tingkat organisme tingkat perkembangan
evolusioner.
Perlu diketahui bahwa sekalipun sejak semula Talcott Parsons ingin membangun suatu teori yang besar, akan tetapi akhirnya mengarah
pada suatu kecenderungan yang tidak sesuai dengan niatnya. Hal tersebut karena adanya penemuan-penemuan mengenai hubungan-
hubungan dan hal-hal baru, yaitu yang berupa perubahan perilaku pergeseran prinsip keseimbangan yang bersifat dinamis yang menunjuk
pada sibernetika teori sistem yang umum. Dalam hal ini, dinyatakan bahwa perkembangan masyarakat itu melewati empat proses
perubahan struktural, yaitu pembaharuan yang mengarah pada penyesuaian evolusinya Talcott Parsons menghubungkannya dengan empat
persyaratan fungsional di atas untuk menganalisis proses perubahan.
Perlu diketahui bahwa sekalipun Talcott Parsons telah berhasil membangun suatu teori yang besar untuk mengadakan pendekatan dalam
masyarakat, akan tetapi ia tidak luput dari serangkaian kritikan, baik dari mantan muridnya Robert K. Merton, ataupun sosiolog lain, yaitu
George Homans, Williams Jr., dan Alvin Gouldner, sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian di muka.
Daftar Pustaka

o Alimandan (Peny.). (1985). Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda: 110, 15 39, 43 74. Judul Asli: Sociology: A
Multiple Paradigm Science. George Ritzer. (1980). Boston: Allyn and Bacon.
o Cambell, Tom. (1981). Seren Theories of Human Society. New York: Oxford, University Press.
o Craib, Ian. (I986). Teori-teori Sosial Modern: Dari Parsons sampai Habermas. Jakarta: Rajawali. Judul asli: Modern Social
Theory: from Parsons to Habermas. penerjemah: Paul S Bout dan T. Effendi.
o Kerlinger, Fred, N. (1973). Foundation of Behavioral Research. New York: Holt, Rinehart and Winston.
o Laeyendecker, L. (1983). Tata, Perubahan, dan Ketimpangan, Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi: 376 377. Jakarta:
Gramedia.
o Nasikun. (1988). Sistem Sosial Indonesia, 9 10. Jakarta: Rajawali.
o Poloma, Margaret M. (1984). Sosiologi Kontemporer, 4. Jakarta: Rajawali.
o Ritzer, George. (1975). Sociology: A Multiple Paradigm Science: 2 7, 24 30, 91 92, dan 142. Boston: Allyn and Bacon Inc.
o Robert, M.Z., Lawang, (Pen). (1986). Teori Sosiologi Klasik dan Modern jilid I dan II. Judul asli: Sociological Theory Classical
Founders and Contemparary Perspectives. (1981). By Doyle Paul Johnson.
o Robert, M.Z., Lawang. (1986). Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi. Jakarta: Penerbit Karunika Universitas Terbuka.
o Sunarto, Kamanto. (1993). Pengantar Sosiologi: 1. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
o ______. (1993). Pengantar Sosiologi: Buku Panduan Mahasiswa: 15 17, 23 28. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
o Zamroni. (1992). Pengantar Pengembangan Teori Sosial: 13. Yogyakarta: Tiara Wacana.
o Zeitlin, Irving M. (1973). Rethinking Sociology, a Critique of Contemporary Theory. Englewood Clifics, New Jersey: Prentice
Hall, Inc.

MODUL 3: Teori Fungsionalisme Struktural Robert K. Merton


Kegiatan Belajar 1: Strategi Dasar Analisis Strukturalisme Fungsional
Rangkuman
Teori Fungsionalisme Struktural yang dikemukakan oleh Robert K. Merton ternyata memiliki perbedaan apabila dibandingkan dengan
pemikiran pendahulu dan gurunya, yaitu Talcott Parsons. Apabila Talcott Parsons dalam teorinya lebih menekankan pada orientasi
subjektif individu dalam perilaku maka Robert K. Merton menitikberatkan pada konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam
perilaku.
Menurut Robert K. Merton konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku itu ada yang mengarah pada integrasi dan
keseimbangan (fungsi manifest), akan tetapi ada pula konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku itu yang tidak
dimaksudkan dan tidak diketahui. Oleh karena itu, menurut pendapatnya konsekuensi-konsekuensi objek dari individu dalam perilaku
tersebut ada yang bersifat fungsional dan ada pula yang bersifat disfungsional.
Anggapan yang demikian itu merupakan ciri khas yang membedakan antara pendekatan Robert K. Merton dengan pendekatan
fungsionalisme struktural yang lainnya. perlu diketahui bahwa Teori Fungsional Taraf Menengah yang ia cetuskan tersebut, merupakan
pendekatan yang sesuai untuk meneliti hal-hal yang bersifat kecil atau khusus dan bersifat empiris dalam sosiologi.
Kegiatan Belajar 2: Disfungsi dan Perubahan Sosial
Rangkuman
Menurut Robert K. Merton dinyatakan bahwa konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku dapat bersifat fungsional dan
dapat pula bersifat disfungsional. Konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku mampu mengarah pada integrasi dan keseimbangan,
sedangkan konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku yang bersifat disfungsional akan memperlemah integrasi.
Konsekuensi-konsekuensi objektif yang bersifat disfungsional akan menyebabkan timbulnya ketegangan atau pertentangan dalam sistem
sosial. Ketegangan tersebut muncul akibat adanya saling berhadapan antara konsekuensi yang bersifat disfungsional. Dengan adanya
ketegangan tersebut maka akan mengundang munculnya struktur dari yang bersifat alternatif sebagai substitusi untuk menetralisasi
ketegangan.
Perlu diketahui bahwa adanya ketegangan-ketegangan yang mengakibatkan adanya struktur-struktur baru tersebut akan berarti bahwa
konsekuensi objektif yang bersifat disfungsional itu akan mengakibatkan adanya perubahan-perubahan sosial. Di samping itu disfungsi juga
akan menyebabkan timbulnya anomie dan masalah sosial. Kenyataan tersebut juga mengandung arti timbulnya struktur-struktur baru,
yang pada hakikatnya menunjukkan adanya perubahan sosial yang mengarah pada perbaikan tatanan dalam masyarakat.
Kegiatan Belajar 3: Kelompok Referensi (Reference Group)
Rangkuman
Teori Fungsionalisme Robert K. Merton yang menekankan pada konsekuensi objektif dari individu dalam berperilaku. Keharusan adanya
konsekuensi objektif baik fungsional maupun disfungsional dan harus adanya konsep-konsep alternatif fungsional dalam pelaksanaan
analisisnya, tepat apabila diterapkan pada masyarakat yang memiliki perbedaan-perbedaan di antara kelompok-kelompok yang ada. Oleh
karena itu, Robert K. Merton mengemukakan suatu Teori Kelompok Referensi yang digunakan sebagai penilaian dirinya dan pembanding
serta menjadi bimbingan moral. Teori Kelompok Referensi (Reference Group Theory) yang terdiri dari Kelompok Referensi Normatif,
Kelompok Referensi Komparatif dan ada bentuk lain, yaitu kelompok keanggotaan (Membership Reference Group). Kelompok Referensi
Normatif, yaitu suatu kelompok yang menempatkan individu-individu mengambil standar normatif dan standar moral, sedangkan
Kelompok Referensi Komparatif, yaitu kelompok yang memberikan kepada individu-individu suatu kerangka berpikir untuk menilai posisi
sosialnya dalam hubungannya dengan posisi sosial orang lain. Sementara Kelompok Keanggotaan, yaitu menunjuk pada suatu kelompok
yang menempatkan bahwa individu itu sebagai anggotanya.
Daftar Pustaka

o Alimandan (Peny.). (1985). Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda: 110, 15 39, 43 74. Judul Asli: Sociology: A
Multiple Paradigm Science. George Ritzer. (1980). Boston: Allyn and Bacon.
o Cambell, Tom. (1981). Seren Theories of Human Society. New York: Oxford, University Press.
o Craib, Ian. (I986). Teori-teori Sosial Modern: Dari Parsons sampai Habermas. Jakarta: Rajawali. Judul asli: Modern Social
Theory: from Parsons to Habermas. penerjemah: Paul S Bout dan T. Effendi.
o Kerlinger, Fred, N. (1973). Foundation of Behavioral Research. New York: Holt, Rinehart and Winston.
o Laeyendecker, L. (1983). Tata, Perubahan, dan Ketimpangan, Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi: 376 377. Jakarta:
Gramedia.
o Nasikun. (1988). Sistem Sosial Indonesia, 9 10. Jakarta: Rajawali.
o Poloma, Margaret M. (1984). Sosiologi Kontemporer, 4. Jakarta: Rajawali.
o Ritzer, George. (1975). Sociology: A Multiple Paradigm Science: 2 7, 24 30, 91 92, dan 142. Boston: Allyn and Bacon Inc.
o Robert, M.Z., Lawang, (Pen). (1986). Teori Sosiologi Klasik dan Modern jilid I dan II. Judul asli: Sociological Theory Classical
Founders and Contemparary Perspectives. (1981). By Doyle Paul Johnson.
o Robert, M.Z., Lawang. (1986). Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi. Jakarta: Penerbit Karunika Universitas Terbuka.
o Sunarto, Kamanto. (1993). Pengantar Sosiologi: 1. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
o _____. (1993). Pengantar Sosiologi: Buku Panduan Mahasiswa: 15 17, 23 28. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
o Zamroni. (1992). Pengantar Pengembangan Teori Sosial: 13. Yogyakarta: Tiara Wacana.
o Zeitlin, Irving M. (1973). Rethinking Sociology, a Critique of Contemporary Theory. Englewood Clifics, New Jersey: Prentice
Hall, Inc.

MODUL 4: Teori Konflik Ralf Dahrendorf


Kegiatan Belajar 1: Pemikiran tentang Otoritas dan Konflik Sosial
Rangkuman
Teori Konflik Ralf Dahrendorf tidak bermaksud untuk mengganti teori konsensus. Dasar Teori Konflik Dahrendorf adalah penolakan dan
penerimaan sebagian serta perumusan kembali teori Karl Marx yang menyatakan bahwa kaum borjuis adalah pemilik dan pengelola sistem
kapitalis, sedangkan para pekerja tergantung pada sistem tersebut. Pendapat yang demikian mengalami perubahan karena pada abad ke-
20 telah terjadi pemisahan antara pemilikan dan pengendalian sarana-sarana produksi. Kecuali itu,, pada akhir abad ke-19 telah
menunjukkan adanya suatu pertanda bahwa para pekerja tidak lagi sebagai kelompok yang dianggap sama dan bersifat tunggal karena
pada masa itu telah lahir para pekerja dengan status yang jelas dan berbeda-beda, dalam arti ada kelompok kerja tingkat atas dan ada
pula kelompok kerja tingkat bawah. Hal yang demikian merupakan sesuatu yang berada di luar pemikiran Karl Marx.
Selain itu, Karl Marx sama sekali tidak membayangkan bahwa dalam perkembangan selanjutnya akan lahir serikat buruh dengan segenap
mobilitas sosialnya, yang mampu meniadakan revolusi buruh. Perlu diketahui bahwa dalam suatu perusahaan ada pimpinan dan ada para
pekerja yang pada suatu saat dapat saja terjadi konflik. Akan tetapi dengan adanya pengurus dari organisasi tenaga kerja tersebut untuk
mengadakan perundingan dengan pimpinan perusahaan maka konflik dapat dihindari.
Pendekatan Ralf Dahrendorf berlandaskan pada anggapan yang menyatakan bahwa semua sistem sosial itu dikoordinasi secara imperatif.
Dalam hal ini, koordinasi yang mengharuskan adanya otoritas merupakan sesuatu yang sangat esensial sebagai suatu yang mendasari
semua organisasi sosial. Berkenaan dengan hal tersebut maka dalam suatu sistem sosial mengharuskan adanya otoritas, dan relasi-relasi
kekuasaan yang menyangkut pihak atasan dan bawahan akan menyebabkan timbulnya kelas. Dengan demikian maka tampaklah bahwa ada
pembagian yang jelas antara pihak yang berkuasa dengan pihak yang dikuasai. Keduanya itu mempunyai kepentingan yang berbeda dan
bahkan mungkin bertentangan. Selanjutnya, perlu diketahui bahwa bertolak dari pengertian bahwa menurut Ralf Dahrendorf kepentingan
kelas objektif dibagi atas adanya kepentingan manifest dan kepentingan latent maka dalam setiap sistem sosial yang harus dikoordinasi
itu terkandung kepentingan latent yang sama, yang disebut kelompok semu yaitu mencakup kelompok yang menguasai dan kelompok yang
dikuasai.
Kegiatan Belajar 2: Intensitas dan Kekerasan
Rangkuman
Teori Konflik yang dikemukakan oleh Ralf Dahrendorf juga membahas tentang intensitas bagi individu atau kelompok yang terlibat konflik.
Dalam hal ini, intensitas diartikan sebagai suatu pengeluaran energi dan tingkat keterlibatan dari pihak-pihak atau kelompok-kelompok
yang terlibat dalam konflik. Ada dua faktor yang dapat mempengaruhi intensitas konflik, yaitu (1) tingkat keserupaan konflik, dan (2)
tingkat mobilitas.
Selain itu Teori Konflik Ralf Dahrendorf juga membicarakan tentang kekerasan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Konsep tentang
kekerasan, yaitu menunjuk pada alat yang digunakan oleh pihak-pihak yang saling bertentangan untuk mengejar kepentingannya. Tingkat
kekerasan mempunyai berbagai macam perwujudan, dalam arti mulai dari cara-cara yang halus sampai pada bentuk-bentuk kekerasan
yang bersifat kejasmanian.
Perlu diketahui bahwa menurut Teori Konflik Ralf Dahrendorf dinyatakan bahwa salah satu faktor yang sangat penting yang dapat
mempengaruhi tingkat kekerasan dalam konflik kelas, yaitu tingkat yang menyatakan bahwa konflik itu secara tegas diterima dan diatur.
Pada hakikatnya konflik tidak dapat dilenyapkan karena perbedaan di antara mereka merupakan sesuatu yang harus ada dalam struktur
hubungan otoritas. Konflik yang ditutup-tutupi, cepat atau lambat pasti akan muncul, dan apabila upaya penutupan itu secara terus-
menerus maka dapat menyebabkan ledakan konflik yang hebat. Berdasarkan hal tersebut di atas maka perlu dibentuk saluran-saluran
yang berfungsi membicarakan penyelesaian konflik.
Kegiatan Belajar 3: Pengertian Konflik
Rangkuman
Konflik dapat mengakibatkan adanya perubahan dalam struktur relasi-relasi sosial, apabila kondisi-kondisi tertentu telah dipenuhi. Teori
Konflik Ralf Dahrendorf menyatakan bahwa konsekuensi atau fungsi konflik, yaitu dapat mengakibatkan adanya perubahan sosial, khusus
yang berkaitan dengan struktur otoritas. Ada tiga tipe perubahan struktur, yaitu (1) perubahan keseluruhan personil dalam posisi
dominasi; (2) perubahan sebagian personil dalam posisi dominasi, dan (3) digabungkannya kepentingan-kepentingan kelas subordinat
dalam kebijaksanaan kelas yang mendominasi.
Selain itu menurut Teori Konflik Ralf Dahrendorf dinyatakan bahwa perubahan struktural itu dapat digolongkan berdasarkan tingkat
ekstremitasnya dan berdasarkan tingkat mendadak atau tidaknya. Dalam hal ini Ralf Dahrendorf mengakui bahwa teorinya yang
menekankan pada konflik dan perubahan sosial merupakan perspektif kenyataan sosial yang berat sebelah. Hal tersebut karena meskipun
Teori Fungsionalisme Struktural dan Teori Konflik dianggap oleh Ralf Dahrendorf sebagai perspektif valid dalam menghampiri kenyataan
sosial, akan tetapi hanya mencakup sebagian saja dari kenyataan sosial yang seharusnya. Kedua teori tersebut tidak lengkap apabila
digunakan secara terpisah, dan oleh karena itu harus digunakan secara bersama-sama, agar dapat memperoleh gambaran kenyataan sosial
yang lengkap.
Daftar Pustaka

o Alimandan (Peny.). (1985). Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda: 110, 15 39, 43 74. Judul Asli: Sociology: A
Multiple Paradigm Science. George Ritzer. (1980). Boston: Allyn and Bacon.
o Cambell, Tom. (1981). Seren Theories of Human Society. New York: Oxford, University Press.
o Craib, Ian. (I986). Teori-teori Sosial Modern: Dari Parsons sampai Habermas. Jakarta: Rajawali. Judul asli: Modern Social
Theory: from Parsons to Habermas. penerjemah: Paul S Bout dan T. Effendi.
o Kerlinger, Fred, N. (1973). Foundation of Behavioral Research. New York: Holt, Rinehart and Winston.
o Laeyendecker, L. (1983). Tata, Perubahan, dan Ketimpangan, Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi: 376 377. Jakarta:
Gramedia.
o Nasikun. (1988). Sistem Sosial Indonesia, 9 10. Jakarta: Rajawali.
o Poloma, Margaret M. (1984). Sosiologi Kontemporer, 4. Jakarta: Rajawali.
o Ritzer, George. (1975). Sociology: A Multiple Paradigm Science: 2 7, 24 30, 91 92, dan 142. Boston: Allyn and Bacon Inc.
o Robert, M.Z., Lawang, (Pen). (1986). Teori Sosiologi Klasik dan Modern jilid I dan II. Judul asli: Sociological Theory Classical
Founders and Contemparary Perspectives. (1981). By Doyle Paul Johnson.
o Robert, M.Z., Lawang. (1986). Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi. Jakarta: Penerbit Karunika Universitas Terbuka.
o Sunarto, Kamanto. (1993). Pengantar Sosiologi: 1. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
o ______. (1993). Pengantar Sosiologi: Buku Panduan Mahasiswa: 15 17, 23 28. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
o Zamroni. (1992). Pengantar Pengembangan Teori Sosial: 13. Yogyakarta: Tiara Wacana.
o Zeitlin, Irving M. (1973). Rethinking Sociology, a Critique of Contemporary Theory. Englewood Clifics, New Jersey: Prentice
Hall, Inc.

MODUL 5: Teori Konflik Lewis A. Coser


Kegiatan Belajar 1: Konflik dan Solidaritas
Rangkuman
Semula Lewis A. Coser menitikberatkan perhatiannya pada pendekatan fungsionalisme struktural dan mengabaikan konflik. Menurut
pendapatnya bahwa sebenarnya struktur-struktur itu merupakan hasil kesepakatan, akan tetapi di sisi lain ia juga menyatakan adanya
proses-proses yang tidak merupakan kesepakatan, yaitu yang berupa konflik. Lewis A. Coser ingin membangun suatu teori yang didasarkan
pada pemikiran George Simmel. Menurut pendapatnya dinyatakan bahwa konflik adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-
tuntutan yang berkenaan dengan status, kuasa dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi. Konflik dapat terjadi
antarindividu, antarkelompok dan antarindividu dengan kelompok. Baginya konflik dengan luar (out group) dapat menyebabkan
mantapnya batas-batas struktural, akan tetapi di lain pihak konflik dengan luar (out group) akan dapat memperkuat integrasi dalam
kelompok yang bersangkutan.
Konflik antara suatu kelompok dengan kelompok lain dapat menyebabkan solidaritas anggota kelompok dan integrasi meningkat, dan
berusaha agar anggota-anggota jangan sampai pecah. Akan tetapi, tidaklah demikian halnya apabila suatu kelompok tidak lagi merasa
terancam oleh kelompok lain maka solidaritas kelompok akan mengendor, dan gejala kemungkinan adanya perbedaan dalam kelompok
akan tampak. Di sisi lain, apabila suatu kelompok selalu mendapat ancaman dari kelompok lain maka dapat menyebabkan tumbuh dan
meningkatnya solidaritas anggota-anggota kelompok.
Kegiatan Belajar 2: Konflik dan Solidaritas Kelompok
Rangkuman
Menurut Lewis A. Coser dinyatakan bahwa konflik internal menguntungkan kelompok secara positif. la menyadari bahwa dalam relasi-
relasi sosial terkandung antagonisme, ketegangan atau perasaan-perasaan negatif termasuk untuk relasi-relasi kelompok dalam, (in group)
yang di dalamnya terkandung relasi-relasi intim yang lebih bersifat parsial.
Perlu diketahui bahwa semakin dekat hubungan akan semakin sulit rasa permusuhan itu diungkapkan. Akan tetapi semakin lama perasaan
ditekan maka mengungkapkannya untuk mempertahankan hubungan itu sendiri. Mengapa demikian karena dalam suatu hubungan yang
intim keseluruhan kepribadian sangat boleh jadi terlihat sehingga pada saat konflik meledak, mungkin akan sangat keras.
Konflik akan senantiasa ada sejauh masyarakat itu masih mempunyai dinamikanya. Adapun yang menyebabkan timbulnya konflik, yaitu
karena adanya perbedaan-perbedaan, apakah itu perbedaan kemampuan, tujuan, kepentingan, paham, nilai, dan norma. Di samping itu,
konflik juga akan terjadi apabila para anggota kelompok dalam (in group) terdapat perbedaan. Akan tetapi, tidak demikian halnya apabila
para anggota kelompok dalam (in group) mempunyai kesamaan-kesamaan.
Perbedaan-perbedaan antara para anggota kelompok dalam (in group) tersebut dapat pula disebabkan oleh adanya perbedaan pengertian
mengenai konflik karena konflik itu bersifat negatif dan merusak integrasi. Akan tetapi, ada pula pengertian dari anggota kelompok dalam
(in group) bahwa karena adanya perbedaan-perbedaan kepentingan maka konflik akan tetap ada. Perlu diketahui bahwa suatu kelompok
yang sering terlibat dalam suatu konflik terbuka, hal tersebut sesungguhnya memiliki solidaritas yang lebih besar jika dibandingkan
dengan kelompok yang tidak terlibat konflik sama sekali.
Kegiatan Belajar 3: Konsekuensi Konflik
Rangkuman
Konflik merupakan suatu fenomena kemasyarakatan yang senantiasa ada dalam kehidupan bersama. Sebenarnya konflik tidak usah
dilenyapkan, akan tetapi perlu dikendalikan konflik akan senantiasa ada di masyarakat, hal tersebut karena dalam masyarakat itu
terdapat otoritas. Hal tersebut dikandung maksud bahwa apabila di suatu pihak bertambah otoritasnya maka di lain pihak akan berkurang
otoritasnya. Selain itu juga karena adanya perbedaan kepentingan antara kelompok satu dengan kelompok yang lain.
Konflik dapat dikendalikan apabila kelompok yang terlibat dalam konflik dapat menyadari adanya konflik, dan perlu dilaksanakannya
prinsip-prinsip keadilan. Di samping itu juga harus terorganisasi secara baik terutama yang menyangkut semua kekuatan sosial yang
bertentangan. Dalam hal ini, apabila upaya pengendalian konflik itu tidak dilakukan maka konflik yang tertekan yang tidak tampak di
permukaan, dapat meledak sewaktu-waktu dan merupakan tindakan kekerasan. Konflik yang tertekan dapat menyebabkan putusnya
hubungan, dan apabila emosionalnya meninggi maka putusnya hubungan tersebut dapat meledak secara tiba-tiba. Berkenaan dengan hal
tersebut di atas maka perlu dibentuk saluran alternatif sehingga rasa dan sikap pertentangan dapat dikemukakan dengan tidak merusak
solidaritas.
Daftar Pustaka

o Alimandan (Peny.). (1985). Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda: 110, 15 39, 43 74. Judul Asli: Sociology: A
Multiple Paradigm Science. George Ritzer. (1980). Boston: Allyn and Bacon.
o Cambell, Tom. (1981). Seren Theories of Human Society. New York: Oxford, University Press.
o Craib, Ian. (I986). Teori-teori Sosial Modern: Dari Parsons sampai Habermas. Jakarta: Rajawali. Judul asli: Modern Social
Theory: from Parsons to Habermas. penerjemah: Paul S Bout dan T. Effendi.
o Kerlinger, Fred, N. (1973). Foundation of Behavioral Research. New York: Holt, Rinehart and Winston.
o Laeyendecker, L. (1983). Tata, Perubahan, dan Ketimpangan, Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi: 376 377. Jakarta:
Gramedia.
o Nasikun. (1988). Sistem Sosial Indonesia, 9 10. Jakarta: Rajawali.
o Poloma, Margaret M. (1984). Sosiologi Kontemporer, 4. Jakarta: Rajawali.
o Ritzer, George. (1975). Sociology: A Multiple Paradigm Science: 2 7, 24 30, 91 92, dan 142. Boston: Allyn and Bacon Inc.
o Robert, M.Z., Lawang, (Pen). (1986). Teori Sosiologi Klasik dan Modern jilid I dan II. Judul asli: Sociological Theory Classical
Founders and Contemparary Perspectives. (1981). By Doyle Paul Johnson.
o __________________. (1986). Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi. Jakarta: Penerbit Karunika Universitas Terbuka.
o Sunarto, Kamanto. (1993). Pengantar Sosiologi: 1. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
o ______. (1993). Pengantar Sosiologi: Buku Panduan Mahasiswa: 15 17, 23 28. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
o Zamroni. (1992). Pengantar Pengembangan Teori Sosial: 13. Yogyakarta: Tiara Wacana.
o Zeitlin, Irving M. (1973). Rethinking Sociology, a Critique of Contemporary Theory. Englewood Clifics, New Jersey: Prentice
Hall, Inc.

MODUL 6: Teori Pertukaran Sosial George C. Homans dan Teori Pertukaran Perilaku Peter M. Blau
Kegiatan Belajar 1: Pendekatan Perilaku
Rangkuman
Semula George C. Homans tidak menaruh perhatian masalah pertukaran sosial dalam mengadakan pendekatan terhadap masyarakat
karena pada awalnya ia mengarahkan perhatian pada pendekatan fungsionalisme struktural. Pendekatan fungsionalisme struktural
ternyata mempunyai arti yang sangat penting karena mampu memberi masukan terhadap teori sosiologi, terutama dalam hubungannya
dengan struktur, proses dan fungsi kelompok sebagaimana tercantum dalam bukunya yang berjudul The Human Group. Menurut
pendapatnya analisis fungsionalisme struktural mempunyai manfaat untuk menemukan dan memberikan uraian, akan tetapi pendekatan
tersebut tidak mampu menjelaskan. Selanjutnya, berhubung pendekatan fungsionalisme struktural itu tidak dapat menjelaskan berbagai
macam hal maka menurut pendapatnya dianggap sebagai suatu kegagalan.
Berhubung pendekatan fungsionalisme struktural dianggap gagal dalam memberikan fenomena-fenomena baru yang muncul dalam
interaksi sosial di masyarakat maka ia berusaha menyempurnakannya dengan prinsip-prinsip pertukaran sosial. Berkenaan dengan hal
tersebut maka ia tinggalkan pendekatan fungsionalisme struktural dan selanjutnya menyatakan tentang pentingnya pendekatan psikologi
dalam menjelaskan gejala-gejala sosial. Menurut pendapatnya dengan psikologi dapat dijelaskan mengenai faktor yang menghubungkan
sebab dan akibat. Dalam hal yang menghubungkan antara sebab dan akibat hanya dapat dijelaskan oleh proposisi psikologi melalui
pendekatan perilaku. Namun, pada mulanya ia juga menggunakan pendekatan ilmu ekonomi karena diasumsikan bahwa orang yang
berperilaku itu memperoleh ganjaran dan menghindari hukuman. Akan tetapi, ia juga berpendapat bahwa perilaku orang itu tidak
semata-mata alasan ekonomi, melainkan juga karena adanya rasa kepuasan, harga diri dan persahabatan.
Perlu diketahui bahwa George C. Homans menyatakan bahwa psikologi perilaku sebagaimana diajarkan oleh B.F. Skinner dapat
menjelaskan pertukaran sosial. Adapun proposisi yang mampu memberikan penjelasan pertukaran sosial, yaitu (1) proposisi sukses,
artinya semakin perilaku itu memperoleh ganjaran, semakin orang melaksanakan perilaku tersebut; (2) proposisi stimulus, artinya apabila
stimulus menyebabkan adanya ganjaran maka pada kesempatan yang lain orang akan melakukan tindakan apabila ada stimulus yang
serupa; (3) proposisi nilai, artinya semakin tinggi nilai suatu tindakan maka semakin senang orang melaksanakan; (4) proposisi deprivasi
satiasi, artinya semakin orang memperoleh ganjaran tertentu maka semakin berkurang nilai itu bagai orang yang bersangkutan; (5)
proposisi restu-agresi, artinya ganjaran yang tidak seperti yang diharapkan maka akan menyebabkan marah dan kecewa serta dapat
menyebabkan perilaku yang agresif.
Kegiatan Belajar 2: Pendekatan Pertukaran Perilaku
Rangkuman
George C. Homans dan Peter M. Blau adalah tokoh dari Teori Pertukaran sosial. Namun, tidak seperti George C. Homans yang membatasi
analisisnya pada jenjang sosiologi mikro, Peter M. Blau berupaya menjembatani pada jenjang sosiologi makro dan mikro dari jenjang
analisis sosiologi. Perlu diketahui bahwa baik C. Homans maupun Peter M. Blau menilai analisisnya pada proses interaksi, namun Peter M.
Blau melanjutkan analisisnya dengan membahas struktur yang lebih besar. Dalam hal ini, Peter M. Blau menunjukkan bahwa dalam proses
pertukaran dasar menghadirkan fenomena yang berupa struktur sosial yang lebih kompleks. Dalam teori pertukaran sosial menekankan
adanya suatu konsekuensi dalam pertukaran baik yang berupa ganjaran materiil, misal yang berupa barang maupun spiritual yang berupa
pujian.
Selanjutnya untuk terjadinya pertukaran sosial harus ada persyaratan yang harus dipenuhi. Syarat itu adalah (1) suatu perilaku atau
tindakan harus berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat tercapai lewat interaksi dengan orang lain; (2) suatu perilaku atau
tindakan harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan yang dimaksud. Adapun tujuan yang dimaksud dapat
berupa ganjaran atau penghargaan intrinsik yakni berupa pujian, kasih sayang, kehormatan dan lain-lainnya atau penghargaan ekstrinsik
yaitu berupa benda-benda tertentu, uang dan jasa.
Harapan-harapan yang akan diperoleh dalam pertukaran sosial menurut Peter M. Blau, yaitu (a) ganjaran atau penghargaan; (b) lahirnya
diferensiasi kekuasaan; (c) kekuasaan dalam kelompok; dan (d) keabsahan kekuasaan dalam kelompok.
Untuk jelasnya dapat dikemukakan bahwa interaksi sosial dapat digolongkan dalam dua kategori, yaitu didasarkan pada ganjaran atau
penghargaan yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik. Peter M. Blau berpendapat bahwa (1) individu-individu dalam kelompok-kelompok yang
sederhana (mikro) satu sama lain dalam pertukaran sosial mempunyai keinginan untuk memperoleh ganjaran ataupun penghargaan; dan
(2) tidak semua transaksi sosial bersifat simetris yang didasarkan pada pertukaran sosial yang seimbang.
Pertukaran sosial yang tidak seimbang akan menyebabkan adanya perbedaan dan diferensiasi kekuasaan karena dalam pertukaran
tersebut ada pihak yang merasa lebih berkuasa dan mempunyai kemampuan menekan dan di lain pihak ada yang dikuasai serta merasa
ditekan. Kekuasaan menurut Peter M. Blau adalah kemampuan orang atau kelompok untuk memaksakan kehendaknya pada pihak lain.
Adapun strategi atau cara yang dapat digunakan untuk mendapatkan kekuasaan terhadap orang lain yaitu memberikan sebanyak mungkin
kepada pihak lain yang membutuhkan, sebagai suatu upaya menunjukkan statusnya yang lebih tinggi dan berkuasa, agar mereka yang
dikuasai merasa berutang budi dan mempunyai ketergantungan.
Dalam pertukaran sosial menunjukkan adanya gejala munculnya kekuasaan yang terjadi pula dalam suatu kelompok. Dalam kelompok
akan terjadi persaingan antarindividu, dan tiap individu akan berusaha memperoleh kesan lebih menarik jika dibanding dengan yang lain.
Agar orang itu terkesan lebih menarik dari orang lain syaratnya dapat menarik perhatian orang lain. Dalam persaingan itu nantinya akan
nampak adanya pihak atau orang yang dapat menarik perhatian orang-orang yang dalam kelompok yang bersangkutan. Kelebihan orang
yang bersangkutan dapat menarik perhatian orang lain kemungkinan karena kepandaiannya, kejujurannya, kesopanannya ataupun
kebijaksanaannya. Dari tiap-tiap kelompok akan ada yang menonjol dan yang menonjol itu akhirnya akan muncul satu orang yang paling
menarik perhatian orang dalam kelompok-kelompok tersebut maka muncullah kekuasaan, dalam arti ada pemimpin dan ada yang
dipimpin. Dalam hal ini, pemimpin (pemegang kekuasaan) akan memperoleh penghargaan sebagai akibat tanggung jawab yang dapat
dipenuhinya. Sementara orang yang dipimpin akan mendapat penghargaan karena ketaatannya, baik karena tugas yang diselesaikan
maupun kesediaannya mematuhi peraturan-peraturan yang ada.
Perintah yang dipatuhi adalah perintah yang diberikan oleh pemimpin yang sah. Agar perintah dipatuhi maka pemimpin (pemegang
kekuasaan) harus mempunyai wewenang. Wewenang yang dimiliki oleh pemegang kekuasaan digunakan untuk merekrut anggota dalam
kelompok.

MODUL 7: Interaksionisme Simbolik William James dan Charles Horton Cooley serta John Dewey
Kegiatan Belajar 1: Interaksionisme Simbolik menurut William James
Rangkuman
Teori interaksionisme yang dikemukakan oleh William James dilandasi oleh aliran Pragmatisme. Ia berpendapat bahwa yang benar adalah
apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan akibatnya yang bermanfaat secara praktis.
Adapun mengenai pandangan William James dapat dirangkum dalam suatu uraian sebagai, berikut.

1. Manusia dapat memperoleh sendiri sebagian apa yang diperlukan oleh pengalaman kita yang sesuai dengan yang dikehendaki
karena sebagai bagian dari dunia adalah hasil dari perbuatan manusia itu sendiri.
2. Agama merupakan suatu kepercayaan yang mampu memberikan kepuasan rohani, rasa aman, damai, dan rasa kasih sayang
terhadap sesama.
3. Kebenaran gagasan-gagasan dan ucapan-ucapan tidaklah berada dalam kesesuaian antara gagasan-gagasan dan fakta-fakta yang
dapat ditemukan secara objektif melainkan dalam kegunaan yang dimiliki gagasan-gagasan tersebut bagi tindakan;
4. Manusia mempunyai naluri-naluri meskipun naluri tersebut peranannya kurang penting. Adapun yang dianggap penting adalah
kebiasaan-kebiasaan yang dikembangkan dalam interaksi dengan lingkungannya.
5. Dalam interaksi, manusia mengembangkan suatu "diri", dan tidak hanya terdapat satu diri saja melainkan lebih dan satu diri,
yang dibedakan menjadi diri materiil dan diri sosial yang diberikan oleh individu-individu dan kelompok-kelompok yang terus
berinteraksi dengan seseorang.
Perlu diketahui bahwa William James terkenal karena meneruskan dan mengembangkan konsep dan (self). Selain itu, ia juga
berpendapat, bahwa perasaan seseorang mengenai dirinya sendiri seseorang muncul dari interaksinya dengan orang lain.
Kegiatan Belajar 2: Interaksionisme menurut Charles Horton Cooley
Rangkuman
Menurut Charles Horton Cooley hidup ini tidak ada perbedaan secara biologis antara manusia satu dengan yang lain. Individu dengan
masyarakat terjalin suatu hubungan yang organis sehingga antara individu dan masyarakat tidak dapat dipisahkan, dan antara individu dan
masyarakat ada saling ketergantungan secara organis.
Konsep diri menurut Charles Horton Cooley disebut looking glass self karena dalam setiap interaksi sosial, seseorang yang terlibat
merupakan cerminan dan yang disatukan dalam identitas orang itu sendiri. Analisisnya mengenai pertumbuhan sosial individu, ia
mengembangkan "diri sosial" menurut William James.
Dalam looking glass self ada tiga unsur yang dapat dibedakan, yaitu (1) bayangan mengenai orang-orang lain melihat kita; (2) bayangan
mengenai pendapat yang dipunyai orang tentang kita, dan (3) rasa diri yang dapat berarti positif atau negatif.
Tingkah laku orang seolah-olah merupakan cermin bagi imajinasi pribadi tertentu yang mempunyai tiga elemen, yaitu (1) imajinasi
tentang bagaimana seseorang tampil; (2) imajinasi tentang bagaimana orang lain menilai terhadap penampilan itu; dan (3) reaksi-reaksi
emosional terhadap penilaian orang lain.
Menurut Charles Horton Cooley konsep diri dibentuk oleh apa yang dinamakan kelompok primer. Dalam kelompok ini terdapat hubungan
yang bersifat muka berhadapan dengan muka atau "wawanmuka" dan di sinilah terbentuknya watak manusia. Hubungan antara anggota
sangat erat. Dalam anggota saling membaur sehingga tujuan yang akan dicapai akan ada kesamaan.
Faktor-faktor yang menyebabkan adanya hubungan yang mesra, yaitu (1) adanya rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggatanya
dan mereka merasa membutuhkan kepentingan yang sama; dan (2) ada perasaan senasib dan sepenanggungan karena merasa mempunyai
latar belakang sejarah yang sama.
Syarat yang harus dimiliki kelompok primer, yaitu (1) para anggota kelompok secara baik berdekatan antara yang satu dengan yang
lainnya; (2) jumlah anggota sedikit dan (3) hubungan antara anggota kelompok bersifat langsung.
Menurut Samuel Stouffen fungsi kelompok primer, yaitu membantu individu dalam perkembangan dan pendewasaannya mempunyai sifat;
(1) memberi bantuan motivasi dan landasan kuat kepada anggota; (2) kelompok mempunyai nilai praktikal untuk individu; dan (3)
loyalitas dapat menyebabkan adanya hubungan erat dan bantuan dalam ikatan kelompok. Sementara keuntungan bagi kelompok primer,
yaitu (1) menunjang sifat-sifat baik manusia dan menghindari sifat-sifat lemahnya, dan memberikan kekuatan batin serta dorongan
kepada individu; (2) mempertebal ketergantungan individu dari kelompoknya; (3) menyerap individu dan kepribadiannya dalam kehidupan
yang bersifat kolektif; dan (4) memperlihatkan reaksi yang didasarkan pada perasaan. Adapun jasa yang pokok dari kelompok primer,
yaitu (1) memenuhi kepentingan naluriah manusia; (2) memberi rasa aman kepadanya dan (3) memberi perlindungan dan memungkinkan
pembentukan kepribadian individu.
Kegiatan Belajar 3: Interaksionisme Simbolik menurut John Dewey
Rangkuman
John Dewey adalah seorang pragmatisme ia menyebut sistem pemikirannya dengan istilah instrumentalisme, yaitu suatu upaya untuk
menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, pengumpulan-pengumpulan dalam bentuk-
nya yang bermacam-macam.
Menurut John Dewey pemikiran manusia bertolak dari pengalaman-pengalaman, dan penyelidikan adalah transformasi yang terawasi atau
terpimpin dari suatu keadaan yang tidak pasti menjadi keadaan yang pasti, sedang makna yang terkandung dalam pikiran manusia itu
senantiasa berada dalam interaksi yang bersifat dialektik, baik dengan pengalaman maupun dengan tindakan manusia.
Instrumentalisme menekankan pada kemajuan, pandangan ke depan dan usaha-usaha manusia, serta menekankan pada hasil-hasil atau
akibat-akibat, dalam hal ini akibat tersebut sesuatu yang memuaskan. Adapun yang disebut memuaskan adalah:

1. sesuatu itu benar apabila memuaskan keinginan dan tujuan manusia,


2. sesuatu itu dianggap benar apabila dapat dibuat eksperimen dan dapat dibuktikan kebenarannya, serta
3. sesuatu itu benar apabila membantu perjuangan makhluk untuk mempertahankan kebenarannya.

Pandangan John Dewey menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang berarti semua tindakannya diberi cap masyarakatnya.
Sumbangan John Dewey terletak pada pandangannya bahwa pikiran (mind) seseorang berkembang dalam rangka untuk menyesuaikan dan
dengan lingkungan.
Pandangannya mengenai pendidikan ia menganggap ilmu mendidik tidak dapat dipisahkan dengan filsafat. Menurutnya filsafat adalah
teori umum dari pendidikan. Maksud dan tujuan sekolah untuk mem-bangkitkan sikap hidup demokratis dan mengembangkannya.
Dalam filsafat pendidikan dikenal aliran progresivisme. Aliran ini menentang sistem pendidikan yang otoriter dan absolut. Adapun ciri-ciri
sistem pendidikan Progresivisme, yaitu:

1. pendidikan harus bersifat aktif dan dikaitkan dengan minat serta kepentingan anak;
2. anak didik harus diberi latihan-latihan untuk memecahkan persoalan-persoalan;
3. pendidikan adalah pembudayaan hidup itu sendiri dan bukan mempersiapkan untuk dapat hidup. Peranan guru dalam
pendidikan adalah membimbing dan memberi nasihat kepada anak didik dalam memecahkan persoalan,
4. sekolah merupakan tempat untuk melatih kerja sama dengan orang lain;
5. pendidikan harus bersifat demokratis.

Pendapatnya mengenai pengetahuan dinyatakan bahwa fakta, dan arti dari sesuatu dapat dianggap baik atau tidak baik dengan mencari
sampai seberapa jauh watak operasionalnya. Pendapatnya mengenai nilai berkembang secara kontinu karena adanya saling pengaruh-
mempengaruhi antara pengalaman baru di antara individu-individu dengan nilai-nilai yang telah tersimpan dalam kebudayaan.
MODUL 8: Teori Interaksionisme Simbolik George Herbert Mead
Kegiatan Belajar 1: Teori Interaksionisme Simbolik George Herbert Mead
Rangkuman
Pemikiran-pernikiran Geroge Herbert Mead mula-mula dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin yang menyatakan bahwa organisme terus-
menerus terlibat dalam usaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya. George Herbert Mead berpendapat bahwa manusia merupakan
makhluk yang paling rasional dan memiliki kesadaran akan dirinya.
Di samping itu, George Herbert Mead juga menerima pandangan Darwin yang menyatakan bahwa dorongan biologis memberikan motivasi
bagi perilaku atau tindakan manusia, dan dorongan-dorongan tersebut mempunyai sifat sosial. Di samping itu, George Herbert Mead juga
sependapat dengan Darwin yang menyatakan bahwa komunikasi adalah merupakan ekspresi dari perasaan George Herbert Mead juga
dipengaruhi oleh idealisme Hegel dan John Dewey. Gerakan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam hubungannya
dengan pihak lain. Sehubungan dengan ini, George Herbert Mead berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk menanggapi
diri sendiri secara sadar, dan kemampuan tersebut memerlukan daya pikir tertentu, khususnya daya pikir reflektif. Namun, ada kalanya
terjadi tindakan manusia dalam interaksi sosial munculnya reaksi secara spontan dan seolah-olah tidak melalui pemikiran dan hal ini biasa
terjadi pada binatang.
Bahasa atau komunikasi melalui simbol-simbol adalah merupakan isyarat yang mempunyai arti khusus yang muncul terhadap individu lain
yang memiliki ide yang sama dengan isyarat-isyarat dan simbol-simbol akan terjadi pemikiran (mind).
Manusia mampu membayangkan dirinya secara sadar tindakannya dari kacamata orang lain; hal ini menyebabkan manusia dapat
membentuk perilakunya secara sengaja dengan maksud menghadirkan respon tertentu dari pihak lain.
Tertib masyarakat didasarkan pada komunikasi dan ini terjadi dengan menggunakan simbol-simbol. Proses komunikasi itu mempunyai
implikasi pada suatu proses pengambilan peran (role taking). Komunikasi dengan dirinya sendiri merupakan suatu bentuk pemikiran
(mind), yang pada hakikatnya merupakan kemampuan khas manusia.
Konsep diri menurut George Herbert Mead, pada dasarnya terdiri dari jawaban individu atas pertanyaan "Siapa Aku". Konsep diri terdiri
dari kesadaran individu mengenai keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang berlangsung. Kesadaran
diri merupakan hasil dari suatu proses reflektif yang tidak kelihatan, dan individu itu melihat tindakan-tindakan pribadi atau yang bersifat
potensial dari titik pandang orang lain dengan siapa individu ini berhubungan. Pendapat Goerge Herbert Mead tentang pikiran,
menyatakan bahwa pikiran mempunyai corak sosial, percakapan dalam batin adalah percakapan antara "aku" dengan "yang lain" di dalam
aku. Untuk itu, dalam pikiran saya memberi tanggapan kepada diri saya atas cara mereka akan memberi tanggapan kepada saya.
"Kedirian" (diri) diartikan sebagai suatu konsepsi individu terhadap dirinya sendiri dan konsepsi orang lain terhadap dirinya Konsep tentang
"diri" dinyatakan bahwa individu adalah subjek yang berperilaku dengan demikian maka dalam "diri" itu tidaklah semata-mata pada
anggapan orang secara pasif mengenai reaksi-reaksi dan definisi-definisi orang lain saja. Menurut pendapatnya diri sebagai subjek yang
bertindak ditunjukkan dengan konsep "I" dan diri sebagai objek ditunjuk dengan konsep "me" dan Mead telah menyadari determinisme soal
ini. Ia bermaksud menetralisasi suatu keberatsebelahan dengan membedakan di dalam "diri" antara dua unsur konstitutifis yang satu
disebut "me" atau "daku" yang lain "I" atau "aku". Me adalah unsur sosial yang mencakup generalized other. Teori George Herbert Mead
tentang konsep diri yang terbentuk dari dua unsur, yaitu "I" (aku) dan "me" (daku) itu sangat rumit dan sulit untuk di pahami.
Kegiatan Belajar 2: Perkembangan Konsep Diri dan Pengambilan Peran serta Organisasi Sosial
Rangkuman
Konsep diri George Herbert Mead menekankan bahwa tahap-tahap yang dilalui anak-anak itu secara bertahap mereka memperoleh konsep
diri yang menghubungkan anak-anak dengan kehidupan sosial yang sedang berlangsung dalam keluarga dan kelompok- kelompok yang lain.
Identitas anak akan selalu bertambah apabila anak sudah mulai bermain dengan rekan-rekannya. Pengembangan identitas sosial harus
dicapai lewat proses belajar bermasyarakat dan proses ini disebut sosialisasi.
Menurut Soejono Dirdjosisworo sosialisasi mengandung tiga pengertian dan menurut Kamanto Sunarto dinyatakan bahwa salah satu teori
peranan yang dikaitkan dengan sosialisasi, yaitu teori yang dikemukakan oleh George Herbert Mead. George Herbert Mead menguraikan
mengenai tahap-tahap pengembangan diri (self) manusia, yaitu (1) tahap play-stage (tahap bermain), (2) tahap game-stage (tahap
permainan), dan (3) generalized other (orang lain yang digeneralisasikan). Pada tahap ini seseorang dianggap telah mampu mengambil
peranan-peranan yang dijalankan orang lain dalam masyarakat. Apabila seseorang anak berhasil mengambil peranan orang lain yang
digeneralisasikan itu maka "diri"nya akan dapat mencapai perkembangan penuh, dan kelakuan individu dikendalikan orang lain yang
digeneralisasikan tersebut. Menurut George Herbert Mead sikap generalized other adalah sikap masyarakat. Proses sosial mempengaruhi
perilaku individu yang terlibat di dalamnya dan menjalankan proses itu yaitu masyarakat mengontrol tingkah laku anggotanya.
Teori Interaksionisme simbolik beranggapan bahwa kehidupan bermasyarakat terbentuk lewat proses interaksi dan komunikasi
antarindividual dan antarkelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar. Konsep George
Herbert Mead tentang masyarakat menekankan pada kekhususan model praxis manusia di mana dengan menjembatani interaksi manusia
dengan alam dan interaksi manusia dengan manusia lain.
Menurut George Herbert Mead sesungguhnya beberapa jenis aktivitas kerja sama telah menyebabkan adanya kedirian. Di sana terdapat
penghilangan keorganisasian di mana organisasi itu bekerja sama, dan dengan jenis kerja sama ini maka isyarat individual akan menjadi
stimulasi bagi dirinya sendiri dengan bentuk yang sama sebagaimana bentuk stimulus yang lain sehingga dengan demikian perbincangan
isyarat dapat menghilangkan karakter individual, dan kondisi semacam itu diduga dalam pengembangan kedirian (self).
Manusia secara aktif menentukan lingkungannya, dan sementara dalam waktu yang bersamaan lingkungannya juga menentukan manusia.
Menurut George Herbert Mead yang lebih penting yaitu tidak ada bentuk organisasi sosial yang perlu dianggap sebagai sesuatu yang final.

MODUL 9: William Issac Thomas dan Herbert Blumer


Kegiatan Belajar 1: William Issac Thomas
Rangkuman
William Issac Thomas adalah tokoh Sosiologi Amerika yang terkenal sangat kontroversial, tetapi juga dianggap sebagai orang yang
mempunyai pemikiran cemerlang pada masanya. Teoremanya yang sangat terkenal yang berbunyi 'if men define situations as real, they
are real in their consequences', dianggap menawarkan pendekatan baru dalam memahami perilaku manusia dalam berinteraksi.
Pendekatan yang ditawarkan adalah dalam rangka keluar dari pendekatan positivistik dan juga pendekatan yang sifatnya individualis dan
subjektif ke dalam data-data yang sifatnya sosiologis di mana interpretasinya bersifat objektif.
Karya Thomas sangat banyak, tetapi yang dianggap monumental adalah The Polish Peasant in Europe and America yang berisi penjelasan
tentang masalah identitas etnik sehubungan dengan masalah perubahan sosial. Karya ini juga dianggap sebagai perbaikan atas karya
pertamanya yang berjudul Sex and Society: Studies in the Social Psychology of Sex yang dianggap banyak mengandung bias biologi maupun
bias psikologi. Selanjutnya, tulisannya yang berjudul The Unadjusted Girl yang membahas tentang 'definisi situasi' dianggap memberi
sumbangan yang sangat penting dalam bidang teori terhadap perkembangan pendekatan interaksionisme simbolik.
Berdasarkan teori 'definisi situasi', perilaku bukan hanya merupakan respon refleksif terhadap stimulus yang datang dari lingkungan.
Perilaku merupakan buah dari proses definisi subjektif aktor terhadap stimulus tersebut. Di dalam proses definisi subjektif ini terkandung
tahap pengujian dan pertimbangan atas stimulis yang datang dan respons yang akan dimunculkan.
Kegiatan Belajar 2: Herbert Blumer
Rangkuman
Herbert Blumer merupakan salah seorang tokoh teori interaksionisme simbolik yang mewakili aliran pragmatis. Pemikirannya banyak
dipengaruhi oleh gurunya George Herbert Mead, tetapi pada akhirnya dia tetap mampu membangun teorinya sendiri. Dia termasuk orang
yang sangat aktif, tidak saja hanya dalam kegiatan-kegiatan akademik melainkan juga dalam urusan-urusan administrasi di universitas
tempatnya mengajar.
Herbert Blumer termasuk sangat produktif, terbukti dengan banyak hasil karyanya baik yang berupa buku maupun artikel. Simbolic
Interactionism: Perspective and Method yang ditulisnya tahun 1969 sampai saat ini tetap menjadi acuan bagi kajian-kajian
interaksionisme simbolik. Dalam bukunya ini, Blumer menekankan tentang pentingnya kesadaran aktor dan bagaimana aktor tersebut
mendefinisikan situasinya dan bertindak berdasarkan rasa kepemilikan terhadap dirinya sendiri.
Interaksionisme simbolik itu sendiri menurut Blumer bertumpu pada tiga premis, yaitu sebagai berikut.

1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka;
2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain;
3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang berlangsung.

Dalam bentuk ketiga premis tersebut sebenarnya terletak bangunan dari ide dasar pemikiran Blumer, yaitu apa yang disebutnya 'root
images'. Images ini merupakan dasar dari cara pandang interaksionisme simbolik tentang tingkah laku manusia dan masyarakat manusia,
serta kerangka dari pembentukan teori interaksionisme dan interpretasi.
Daftar Pustaka

o Coser. (1977). William I. Thomas. http://www2.pfeiffer.edu/~Iridener/DSS/Thomas/THOMASP1.HTML


o Coser. (1977). Thomas's Situational Analysis. http://www2.pfeiffer.edu/~Iridener/DSS/Thomas/THOMASW6.HTML
o Coser. (1977). A Typology of Human Actors. http://www2.pfeiffer.edu/~Iridener/DSS/Thomas/THOMASW4.HTML
o Coser. (1977). The Polish Peasant - A Landmark. http://www2.pfeiffer.edu/~Iridener/DSS/Thomas/THOMASW2.HTML
o Hamlin, John. (2001). Herbert Blumer. http;//www.d.umn.edu/cla/faculty/jhamlin/2111/BlumerNotes.html
o Innes, Martin. (--). Selected Works of Herbert Blumer; A Public Philosophy for Mass Society.
http://www.socresonline.org.uk/5/4/blumer.html
o Jones, Karl (reviewer). (2001). Simbolic Interactionism: Perspective and Method. Amazon.com.buying info: Simbolic
Interactionism: perpective and Method.
o Johnson, Doyle Paul. (1990). Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jilid 2. (terj. Robert M.Z. Lawang). Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
o Plummer, Ken. (1983). Documents of Life. An Introduction to the Problems and Literature of a Humanistic Method. London:
George Allen & UNWIN.
o Poloma, Margaret M. (1993). Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Press.
o Ridener, Larry R. (1999). The Definition of the Situation. http://www.runet.edu/`Iridener/cources/DEFSIT.html
o Selznick, Philip. (1987). Herbert Blumer, Sociology: Berkeley. http://sunsite.berkeley.edu:
2002/dynaweb/teiproj/uchist/inmemoriam/inmemoriam1987/…/27
o Simbolic Interactionism As Defined By Herbert Blumer. Http://www.cdharris.net/text/blumer.html.
o Soeprapto, H.R. Riyadi. (2002). Interaksionisme Simbolik. Malang: Averroes Press.

MODUL 10: Teori Interaksionisme Simbolik Erving Goffman dan Peter L. Berger
Kegiatan Belajar 1: Teori Interaksionisme Simbolik Erving Goffman
Rangkuman
Interaksionisme simbolik pada hakikatnya (lebih) merupakan bagian dari psikologi sosial yang menyoroti interaksi antar-individu dengan
menggunakan simbol-simbol. Konsep interaksionisme simbolik Erving Goffman juga menyoroti masalah-masalah yang berhubungan dengan
interaksi antara orang-orang yang juga melibatkan simbol-simbol dan penafsiran-penafsiran di mana peranan antara the self dan the other
mendapat porsi perhatian yang sama dalam koteks interaksi dimaksud. Interaksionisme simbolik Erving Goffman memang selalu mengacu
kepada konsep-konsep 'impression management', role distance, dan secondary adjustment di mana ketiganya bertumpu pada konsep dan
peranan the self dan the other tadi. Selain itu, Goffman juga menyoroti masalah face-to-face interaction, yaitu interaksi atau hubungan
tatap muka yang menjadi dasar pendekatan mikrososiologi dalam analisis sosiologisnya.
Inti dari ajaran Goffman adalah apa yang disebut dengan dramaturgy. Dramaturgy yang dimaksud Goffman adalah situasi dramatik yang
seolah-olah terjadi di atas panggung sebagai ilustrasi yang diberikan Goffman untuk menggambarkan orang-orang dan interaksi yang
dilakukan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, Goffman menggambarkan peranan orang-orang yang berinteraksi dan
hubungannya dengan realitas sosial yang dihadapinya melalui panggung sandiwara dengan menggunakan skrip (jalan cerita) yang telah
ditentukan. Seperti layaknya sebuah panggung maka ada bagian yang disebut frontstage (panggung bagian depan) dan backstage
(panggung bagian belakang) di mana keduanya memiliki fungsi yang berbeda. Betapa penting peranan dan fungsi backstage terhadap
keberhasilan penampilan di frontstage, kajian-kajian terhadap hal-hal yang berada di luar perhitungan benar-benar bertumpu pada
sumber daya-sumber daya yang ada pada kedua bagian tersebut. Di samping itu, konsep dramaturgy Goffman juga dipakai oleh beberapa
ahli sosiologi seperti Kennen dan Collins dalam melakukan studi yang menyangkut interaksi antara orang-orang yang menjadi kajian
mereka.
Interaction Order adalah artikel 'penutup' dari seluruh karya-karya Goffman sebelum ia wafat tahun 1982. Dalam tulisannya ini, Goffman
secara konsisten tetap menyoroti masalah interaksi tatap muka yang ordonya dimulai dari skala yang terkecil atau terendah menuju skala
terbesar atau tertinggi, yaitu yang terdiri dari persons, contact, encounters, platform performances, dan celebrations. Meskipun hampir
sebagian besar analisis Goffman tidak menyertakan konsep penting interaksionisme simbolik, yaitu self interaction, namun bagi Goffman,
seorang aktor yang berada 'di atas panggung' itu harus mampu menafsirkan, memetakan, mengevaluasi, dan mengambil tindakan sehingga
atas dasar kemampuannya itu manusia dikategorikan sebagai makhluk yang aktif. Bagi Goffman, sebagai makhluk yang aktif, manusia itu
justru harus mampu untuk memanipulasi situasi yang dihadapinya. Hal inilah yang mendasari pandang Goffman bahwa seorang sosiolog
harus mampu melakukan analisis secara mandiri atas kondisi-kondisi sosial yang dihadapinya.
Kegiatan Belajar 2: Teori Interaksionisme Peter L. Berger
Rangkuman
Peter L. Berger sebenarnya bukanlah tokoh interaksionisme simbolik murni. Ajarannya memang lebih condong ke arah fenomenologi
meskipun di dalamnya, konsep-konsep dramaturgi, realitas sosial, dan hubungan tatap muka (face-to-face interaction) masih menjadi
sorotannya di mana hal ini konsisten dengan konsep-konsep yang menjadi dasar acuan di dalam interaksionisme simbolik.
Dramaturgi Berger memang 'agak sedikit' berbeda dengan miliknya Goffman. Para pelaku atau aktor di dalam dramaturgi Berger
'menciptakan' dan 'mengembangkan' sendiri skrip atau jalan cerita yang akan 'dimainkannya', sedangkan pada dramaturginya Goffman para
pelaku atau aktor itu 'hanya' tinggal menjalankan atau memainkan skrip (jalan cerita), di mana skrip itu 'ditulis' dan 'dikembangkan' oleh
orang lain. Realitas sosial bagi Berger haruslah terdiri dari unsur-unsur subjektif dan objektif di mana keseimbangan kedua unsur itu harus
tercipta demi keseimbangan realitas sosial itu sendiri. Seperti halnya Goffman, Berger juga menerapkan konsep hubungan antarmanusia
yang disebutnya sebagai hubungan inter subjektif. Bagi Berger, face-to-face interaction atau hubungan tatap muka merupakan hubungan
manusia yang sesungguhnya. Pemikiran Berger (juga Luckman) mengacu kepada realitas subjektif dan objektif yang keduanya itu
dijadikan kerangka pemikiran untuk melakukan pendekatan secara mikrososiologis.
Proses dialektik, bagi Berger dan Luckman, adalah moments yang diawali dengan externalization atau eksternalisasi, kemudian proses itu
menjadi objektivation atau objektivasi, dan diakhiri dengan internalization atau internalisasi. Ada dua hal penting dalam proses
eksternalisasi, yaitu penciptaan suatu realitas yang baru serta pemeliharaan atau pembaharuan kembali realitas yang sudah ada,
sedangkan objektivasi maksudnya adalah suatu proses di mana orang-orang itu dapat menangkap dan memahami realitas. Di sini peranan
bahasa sangat penting karena bahasa merupakan alat untuk memahami realitas sosial. Sedangkan internalisasi artinya (proses) melihat
setiap orang sebagaimana adanya, sebagai orang itu sendiri. Di dalam internalisasi ini sesungguhnya terdapat proses reifikasi yang secara
konseptual memiliki makna a dehumanized world artinya dunia yang (sudah) dimanusiawikan.
Daftar Pustaka

o Appleby, K. (2002). Keith Appleby's Research Resources in Social


Science[url:http://www,researchresources.net/amazone/ervinggoffman. htm].
o Berger, P.L. (1982). Invitation to Sociology. 18th Edition. New York: Doubleday & Co.
o Berger, P.L. (1982). Piramida Kurban Manusia. Cetakan Pertama. Diterjemahkan oleh A. Rahman Tolleng. Jakarta: Penerbit
LP3ES.
o Berger, P.L. (1985). Humanisme Sosiologi. Cetakan Pertama. Diterjemahkan oleh Daniel Dhakidae. Jakarta: Penerbit Inti
sarana Aksara.
o Berger, P.L. (1990). Revolusi Kapitalis. Cetakan Pertama. Diterjemahkan oleh Mohamad Oemar. Jakarta: Penerbit LP3ES.
o Berger, P.L. (2002). Invitation to Sociology --Chapter 6: A Humanist Perspective.
[url:http//www.angelfire.com/or3/tss2/its6.html]
o Berger, P.L. and Luckman, T. (1985). The Social Construction of Reality. 11st Edition. Great Britain: Cox & Wyman Ltd.
o Berger, P.L. and Luckman, T. (2002). Society as a Human Product. [url:
http://www2.pfeiffer.edu/~Iridener/courses/REALITY. HTML]
o Berger, P.L. dan Kellner, H. (1985). Sosiologi Ditafsirkan Kembali. Edisi Pertama. Diterjemahkan oleh Herry Joediono.
Jakarta: Penerbit LP3ES.
o Blackwood, D. (1997). Erving Goffman. [url:http://www.blackwood.org/ Erving.htm]
o Branhart, A.D. (1994). Sociology at Hewett…'Erving Goffman: The Presentation of Self in Everyday Life' [url:
http://www.hewett. norfolk.sch.uk/curric/soc/ symbol/goffman.htm].
o Branhart, A.D.(2002). Erving Goffman: The Presentation of Self in Everyday Life [url:
http://www.cmfc.com/adamb/writings/goffman.htm].
o Freidson, E. (1983). Celebrating Erving Goffman. [url:http://itsa.ucsf.edu/ ~eliotf/ Celebrating_Erving_Goffman.html]
o From Erving Goffman: The Arts of Impression Management' (2002) [url: http://
wizard.ucr.edu/~bkplan/soc/lib/goffimpr.html]
o From Erving Goffman: The Presentation of Self in Everyday Life' (2002) [url:
http://www2.pfeiffer.edu/~1ridener/courses/goffself.html].
o Garmonsway, G.N. (1981). The Penguin English Dictionary. 3rd Edition. Great Britain: Hazell Watson & Viney Ltd.
o Johnson, D.P. (1981). Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jilid 1 dan 2, Diterjemahkan ke dalam Bhs. Indonesia oleh Robert
M.Z. Lawang. Jakarta: Penerbit Gramedia.
o Lemett, C. & Branaman, A. (2002) The Goffman Reader. [url: http://people. brandeis.edu/~teuber/goffmanbio.html]
o Manning, P. (1992). Erving Goffman and Modern Sociology. [url:http:
//www.rdg.ac.uk/AcaDepts/1w/Reviewing_Sociology/archive/volume10/number1/10-1e.htm].
o Sannicolas, N. (1997). Cybersociology: Magazine for social-scientific researcher of cyberspace (Erving Goffman, Dramaturgy,
and On-Line Relationship.[url:http://www.socio.demon.co.uk/magazine/1/is1nikki. html].
o Sociology 319. Symbolic Interactionism. (2000) [url:http://uregina.ca/ ~gingrich/ f100.htm].
o Symbolic Interactionism. (2002) [url:http://chadwick.jlmc.iastate.edu/ theory/si. html].
o Wallace, A.R. & Wolf, A. (1986). Contemporary Sociological Theory: Continuing the Classical Tradition. 2nd Edition. New
Jersey, Englewood Cliff: Prentice Hall, Inc.

MODUL 11: Postmodernisme


Kegiatan Belajar 1: Dari Modernisme ke Postmodernisme
Rangkuman
Postmodernisme lahir sebagai gugatan atau penolakan terhadap modernisme. Postmodernisme menganggap modernisme gagal
mewujudkan pencerahan umat manusia. Rasio yang didewakan oleh kalangan modernisme sebagai subjek yang menentukan dalam upaya
menyejahterakan umat manusia ternyata tidak menghasilkan seperti yang diharapkan. Modernisme telah melahirkan ketimpangan dalam
kehidupan sosial masyarakat. Dengan teori-teori besarnya, modernisme memang telah mampu menciptakan kesejahteraan sebagian umat
manusia, tetapi modernisme ternyata juga memiskinkan sebagian besar umat manusia yang lain. Modernisme telah menyebabkan manusia
kehilangan harkat kemanusiaannya secara utuh. Semua itu menjadi sumber gugatan postmodernisme terhadap modernisme. Karena
penggugatan tersebut maka ada pula yang menyebut post- modernisme dengan dekonstruksi, yang sebenarnya merupakan sifat dari
postmodernisme.
Paling tidak ada lima alasan penggugatan postmodernisme terhadap modernisme. Pertama, modernisme gagal mewujudkan perbaikan-
perbaikan ke arah masa depan kehidupan yang lebih baik sebagaimana dicita-citakan para pendukungnya. Kedua, ilmu pengetahuan
modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas keilmuan demi kepentingan kekuasaan.
Ketiga, terdapat banyak kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern. Keempat, Keyakinan bahwa ilmu
pengetahuan modern mampu mengatasi segala persoalan yang dihadapi manusia ternyata keliru dengan munculnya berbagai patologi
sosial. Kelima, ilmu pengetahuan modern kurang memperhatikan dimensi mistik dan metafisik manusia karena terlalu memperhatikan
atribut fisik individu.
Sifat lain postmodernisme selain penggugatan adalah bersifat bebas, lokal, penolakan terhadap universalisme, dan penolakan terhadap
kontinuitas. Wacana pemikiran postmodernisme kini telah merambah ke berbagai disiplin ilmu.
Kegiatan Belajar 2: Postmodernisme dalam Sosiologi
Rangkuman
Perkembangan pemikiran postmodernisme banyak mempengaruhi perkembangan ilmu sosiologi sebagai ilmu sosial yang banyak
menghasilkan teori-teori sosial besar Untuk menghadapi masalah itu, ada yang berpendapat sebaiknya sosiolog melepaskan daya tarik
sosiologi postmodern dan bekerja keras lewat perbincangan sosiologis tentang postmodernisme. Hal itu perlu dilakukan mengingat
sosiologi postmodern mengandung risiko adanya kontradiksi dalam istilah-istilahnya, terutama jika kita memahami sosiologi sebagai ilmu
sosial yang sistematis dan menghasilkan dalil-dalil umum. Akar pemikiran mengenai postmodernisme bersumber mulai dari pemikiran
modernisme Weber, teori kelas Marxis yang disebut dengan strukturalis, dilanjutkan oleh Teori Kritis mazhab Frankfurt yang juga dikenal
dengan Teori Kritik Ideologi, kemudian terakhir pemikiran Foucault yang lebih dikenal sebagai poststrukturalis.
Dalam masyarakat postmodern dapat dilihat dari perubahan perilaku ekonomi dari masyarakat yang mengutamakan asas manfaat menjadi
masyarakat yang lebih mengutamakan simbol atau tanda. Suatu benda dimiliki bukan karena benda itu bermanfaat dalam kehidupan
sehari-hari, tetapi lebih karena benda tersebut melambangkan simbol, tanda, dan status tertentu. Karena lebih mengutamakan simbol
maka masyarakat postmodern lebih mengagungkan citra. Citra yang sebenarnya merupakan realitas semu dianggap seolah-olah realitas
yang sebenarnya yang ditampilkan melalui iklan dan tontonan. Karena itu, masyarakat postmodernisme juga disebut masyarakat
hiperrealis dan masyarakat konsumer.
Kegiatan Belajar 3: Tokoh-tokoh Postmodernisme
Rangkuman
Postmodernisme lahir dari pergolakan pemikiran para ahli dengan latar belakang berbeda sehingga menghasilkan berbagai ragam
pemikiran, dengan gaya dan bahasa yang berbeda. Hal itu sesuai dengan prinsip dasar postmodernisme yang menolak penyeragaman. Kita
akan mengalami kesulitan untuk mencapai kesimpulan tunggal tentang postmodernisme dan tatanan masyarakat yang digambarkannya.
Derrida menekankan penolakan terhadap kebenaran tunggal; dan dalil-dalil umum ilmu pengetahuan dengan cara mendekonstruksi
bangunan pemikiran modernisme. Foucault menyoroti banyak aspek tentang masyarakat postmodern. Ia menolak pandangan tentang
kekuasaan yang sentralistik. Ia berpendapat kekuasaan tidak berada di tangan orang yang berkuasa, tetapi menyebar dan ada di mana-
mana. Kekuasaan melekat dalam ilmu pengetahuan. Sementara itu Baudrillard menyoroti perkembangan budaya dan perilaku ekonomi
dari masyarakat modern kapitalis yang lebih mengutamakan nilai produksi dan nilai guna ke masyarakat postmodernisme yang lebih
menekankan nilai simbol. Seperti halnya Derrida, Lyotard menolak kebenaran tunggal ilmu pengetahuan. Ia berpendapat bahwa sekarang
ini, tidak mungkin ada penjelasan tunggal atau ganda tentang ilmu pengetahuan. Legitimasi kebenaran ilmu pengetahuan tidak dapat
bersandar pada satu narasi besar sehingga menurut Lyotard ilmu pengetahuan saat sekarang ini lebih baik dipahami dalam pengertian
teori permainan bahasa.
Pemikiran postmodernisme akan terus bebas berkembang. Ia akan mengalir dalam diskusi yang tanpa henti.
Daftar Pustaka

o Ahmed, Akbar S. (1993). Postmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam. Bandung: Mizan.
o Beilharz, Peter. (2002). Teori-teori Sosial: Observasi Kritis terhadap para Filosof Terkemuka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
o Baudrillard, Jean (2000) Berahi. Yogyakarta: Bentang Budaya.
o Craib, Ian. (1986). Teori-teori Sosial Modern: Dari Parsons sampai Habermas. Jakarta: Rajawali.
o Foucault, Michel. (2002). Power/Knowledge: Wacana Kuasa/Pengetahuan. Yogyakarta: Bentang Budaya.
o Grenz, Stanley J. (2001) A Primer on Postmodernisme: Pengantar untuk Memahami Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius.
o Hidayat, Medhy A. (2002). Kebudayaan Postmodernisme menurut Jean Baudrillard.
WWW.tf.itb.ac.id/~eryan/freeArticles/posmodernisme.html.
o Lechte, John. (2001). 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius.
o Pilian, Yasraf A. (1999). Sebuah Dunia yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya
Posmodernisme. Bandung: Mizan.
o Sahal, Ahmad. (1994). "Kemudian, Di manakah Emansipasi: tentang Teori Kritis, Geneologi, dan Dekonstruksi", dalam Jurnal
Kalam (Edisi 1, 1994).
o Smart, Barry. (2000). "Modernitas, Postmodernitas, dan Masa Kini", dalam Bryan Turner, Teori-teori Sosiologi: Modernitas -
Postmodernitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
o Sugiharto, Bambang. (1996). Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

MODUL 12: Teori Feminisme Kontemporer


Kegiatan Belajar 1: Teori Sosiologi Gender
Rangkuman
Konsep sex (jenis kelamin) dan gender masih sering dipahami secara rancu dalam masyarakat. Konsep gender yang sebenarnya merupakan
peran dan perilaku laki-laki dan perempuan sesuai dengan pengharapan sosial, sering kali dianggap sebagai ketentuan atau kodrat yang
tak dapat diubah. Hal tersebut menjadi masalah karena kekeliruan tersebut menimbulkan ketidakadilan, terutama bagi perempuan.
Dalam membahas gender, sosiologi melihat dari teori makro (fungsional struktural, konflik, dan sistem dunia) dan mikro (interaksionisme
simbolik dan etnometodologi). Sesuai dengan prinsip konsensus dan keharmonisan yang dianut, struktural fungsional menganggap
pembagian kerja antara suami dan istri dalam keluarga dianggap pengaturan yang paling sesuai, agar dalam kehidupan berkeluarga laki-
laki dan perempuan dapat saling melengkapi. Sebaliknya, teori konflik menganggap bahwa dalam kehidupan keluarga, istri atau
perempuan dalam posisi yang tertindas dalam kaitannya dengan fungsi ekonomi, seksual, dan pemilikan properti. Janet Chafetz
menganalisis bahwa perempuan menduduki posisi yang rendah dalam masyarakat, yang ia sebut dalam stratifikasi jenis kelamin.
Sedangkan teori sistem dunia yang selama ini hanya memperhitungkan kapitalisme dari pekerjaan ekonomi publik, dianggap telah
mengurangi kontribusi perempuan di bidang produksi ekonomi karena mengabaikan pekerjaan perempuan dalam rumah tangga.
Dari teori mikro sosial gender, interaksionisme simbolik mengidentifikasi bahwa individu berusaha memelihara identitas gendernya di
berbagai situasi serta memahami bagaimana arti menjadi perempuan atau laki-laki. Sementara itu, etnometodologi menganggap bahwa
identitas gender individu diperoleh melalui interaksi dalam berbagai situasi. Dengan demikian, melalui budaya yang berbeda individu akan
mengidentifikasi peran gendernya secara berbeda sesuai dengan situasi sosial.
Kegiatan Belajar 2: Teori Feminisme Kontemporer
Rangkuman
Masalah ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender dalam keluarga dan masyarakat telah menimbulkan berbagai reaksi dari berbagai
kalangan masyarakat. Perbedaan sosial budaya yang melatarbelakangi ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender di berbagai tempat telah
sejak lama diamati dan dianalisis menjadi teori-teori feminisme yang beragam. Teori ketidaksetaraan gender mencakup teori feminisme
liberal dan feminisme Marxist.
Feminisme liberal memfokuskan perhatiannya pada ketidaksetaraan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Diskriminasi gender
berupa pemisahan domain privat dan publik, pengutamaan laki-laki dibanding perempuan, menurut feminis ini menyebabkan terbatasnya
gerak perempuan sehingga peranan perempuan menjadi mengecil, sedangkan feminisme Marxist menganggap bahwa akar dari
ketidaksetaraan perempuan adalah sistem kelas dalam masyarakat kapitalis. Perempuan tidak hanya mengalami ketidakadilan di antara
kelas sosial, tetapi di dalam kelas sosialnya sendiri mereka merupakan subordinasi dari laki-laki.
Termasuk dalam teori penindasan gender adalah feminisme psikoanalis, feminisme radikal, dan feminisme sosialis. Feminisme
psikoanalitis berpandangan bahwa ketidakadilan yang dialami oleh perempuan adalah akibat dari sistem patriarki di mana maskulinitas
dianggap lebih baik daripada femininitas. Sementara itu, feminisme radikal berpendapat sistem patriarki merupakan bentuk praktik
kekerasan dan penindasan oleh laki-laki dan organisasi yang dikuasai laki-laki terhadap perempuan. Penindasan tersebut dalam bentuk
kekerasan fisik dan non-fisik. Penindasan menurut feminisme radikal adalah akibat dari perbedaan biologis, dan basis dari subordinasi
adalah institusi keluarga. Penindasan tersebut membentuk hubungan dominasi laki-laki terhadap perempuan.
Pembentukan persaudaraan perempuan dan hubungan homoseksual adalah beberapa cara yang disarankan oleh feminis radikal untuk
menghapuskan penindasan gender. Sedangkan feminisme sosialis menganggap bahwa penyebab penindasan perempuan adalah
ketergantungan ekonomi perempuan terhadap laki-laki. Dalam keluarga, suami tidak hanya menjadi pemilik properti keluarga, tetapi juga
sebagai pemilik istri. Istri tidak lebih dari properti. Kedudukan perempuan yang inferior terhadap kedudukan laki-laki ini terkait dan
menentukan kedudukan perempuan dalam sistem kelas keluarga dan kapitalisme.
Teori feminisme lain yang telah dikembangkan antara lain adalah feminisme postmodern, feminisme multikultural/global, serta
ekofeminisme. Ekofeminisme memi-liki pandangan yang berbeda dengan aliran feminisme lain, di mana teori ini justru mengajak manusia
untuk mengembalikan dan menambah kualitas feminin pada kegiatan manusia dalam pembangunan. Tujuan ekofeminisme ini adalah
menumbuhkan rasa cinta kelembutan, keibuan, dan pengasuhan kepada dunia, yang dapat mengurangi kerusakan lingkungan akibat
kegiatan manusia yang terlalu maskulin.
Daftar Pustaka

o Budiman, A. (1985). Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita di Dalam
Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
o Fakih, M. (1996). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
o Megawangi, R. (1999). Membiarkan Berbeda?: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung: Mizan.
o Ollenburger, J.C. & Hellen A. Moore. (1992). A Sociologi of Women: The Intersection of Patriarchy, Capitalism &
Colonization. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
o Ritzer, G. (996). Modern Sociology Theory. New York: The McGraw-Hill Companies.
o Tong, R.P. (1998). Feminist Thought. Colorado: Westview Press.

Anda mungkin juga menyukai