Guntur Prahara
Guntur Prahara
Oleh:
GUNTUR PRAHARA
H14084021
Oleh:
GUNTUR PRAHARA
H14084021
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Widyastutik, MSi
NIP. 132 311 725
Mengetahui,
Ketua Departemen
Tanggal lulus:
PERNYATAAN
LEMBAGA MANAPUN.
Guntur Prahara
H14084021
RIWAYAT HIDUP
Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 15 Juli 1975. Penulis merupakan anak kedua
dari empat bersaudara dari pasangan Christian Cipto Waluyo dan Rumilah
Harjosumarto.
kabupaten Kebumen dan tamat pada tahun 1988. Setelah tamat dari SD, penulis
jenjang yang lebih tinggi yaitu di Akademi Ilmu Statistik (AIS) Jakarta.
Pendidikan tersebut dijalani selama tiga tahun. Selesai kuliah di AIS, penulis
kurang lebih 2 tahun, pada tahun 1999, penulis memperoleh kesempatan tugas
Statistik kabupaten Kapuas Hulu di provinsi Kalimantan Barat. Dan pada tahun
2008, penulis diberi kesempatan untuk mengikuti seleksi penerimaan tugas belajar
Puji Syukur pada Tuhan Yesus Kristus, atas segala kasih dan anugerah-
Nya yang dinyatakan bagi penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan
Indonesia Tahun 2000 – 2006”. Skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan
membantu penyelesaian skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi
ini dapat memberikan manfaat dan tambahan wawasan bagi pembaca sekalian.
Guntur Prahara
H14084021
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji Syukur kepada Allah Bapa di Surga atas kasih dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis
mengucapkan terima kasih dengan tulus kepada semua pihak yang telah
memberikan dukungan moril dan materiil kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini, khususnya kepada:
1. Dr. Rusman Heriawan, Kepala Badan Pusat Statistik yang telah membuka
kesempatan bagi pegawai BPS untuk meningkatkan kemampuan dan
pengetahuan melalui program tugas belajar pasca sarjana.
2. Drs. Nyoto Widodo, ME, Kepala BPS Provinsi Kalimantan Barat yang telah
mengijinkan saya mengikuti seleksi tugas belajar di Institut Pertanian Bogor.
3. Dr. Satwiko Darmesto, Kepala Pusdiklat BPS. Terima kasih untuk waktu dan
pelayanan dari semua pihak di Pusdiklat.
4. D.S. Priyarsono, sebagai Koodinator Mayor Ilmu Ekonomi yang telah
memberikan yang terbaik, supaya kami dapat lebih maksimal ketika
menempuh program S2 yang sebenarnya.
5. Widyastutik, MSi, sebagai dosen pembimbing yang telah sabar memberikan
bimbingan dan saran kepada penulis hingga selesainya penulisan skripsi ini.
Terima kasih untuk semua bimbingannya.
6. Bapak Parulian, Pak Alla, Mas Toni, Pak Firdaus, Mbak Henny, Mbak
Widyastutik, Pak Syamsul, Ibu Rina, Pak Hakim, Ibu Tanti, Pak Fahmi, Ibu
Wiwiek, Mbak Fifi, Mas Findi dan staf sekretariat Ilmu Ekonomi yang telah
berjerih lelah dan berkomitmen tinggi untuk meluangkan waktu berdiskusi
supaya kami menjadi manusia yang lebih berkualitas. Terima kasih untuk
kerjasama dan pengetahuan barunya.
7. Isteri, anakku yang pertama, dan anakku yang akan lahir sekitar akhir bulan
Oktober 2008 yang sangat kusayangi. Terimakasih untuk segala sesuatu yang
yang membuat hidup ini lebih bergairah, khususnya dalam menyelesaikan
skripsi ini.
8. Orang tua dan saudara-saudaraku yang selalu memberikan dukungan luar
biasa.
9. Mas Mukti, Mas Deddy, Mas Parno terimakasih untuk segala bantuan,
persahabatan, semangat, dan doanya. Kalian teman-teman terbaik yang
kumiliki.
10. Teman-teman seperjuangan penulis dari Badan Pusat Statistik di Fakultas
Ekonomi dan Manajemen. Terima kasih untuk persaudaraan dan kekompakan
yang terjalin.
11. Semua pihak yang belum penulis sebutkan dan punya andil besar dalam
menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian.
x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xii
DARTAR GAMBAR ................................................................................ xiv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xv
I. PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah .................................................................. 5
1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................... 6
1.4. Kegunaan Penelitian ................................................................. 7
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ...... 8
2.1. Tinjauan Teori-Teori ................................................................. 8
2.1.1. Perdagangan Internasional ............................................. 8
2.1.2. Teori Keunggulan Komparatif ....................................... 11
2.1.3. Keunggulan Kompetitif ................................................. 13
2.2. Penelitian Terdahulu ................................................................ 17
2.3. Kerangka Pemikiran ................................................................ 18
III. METODE PENELITIAN .............................................................. 22
3.1. Jenis dan Sumber Data ............................................................ 22
3.2. Metode Analisis ........................................................................ 22
3.2.1. Indeks Spesialisasi Perdagangan ................................... 22
3.2.2. Indek Konsentrasi Pasar (IKP) ..................................... 24
3.2.3. Revealed Comparative Advantage (RCA) .................... 25
3.2.4. Porter’s Diamond Theory ............................................. 27
IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI PAKAIAN JADI ................. 29
4.1. Sejarah Pertekstilan Indonesia ................................................. 29
4.2. Produksi Pakaian Jadi ............................................................... 31
4.3. Gambaran Umum Industri Pakaian Jadi Indonesia .................. 34
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... 37
5.1. Analisis Indeks Spesialisasi Perdagangan ................................ 37
xi
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1.1. Kontribusi Total Ekspor Terhadap Pendapatan Nasional Tahun 2000
– 2006 .................................................................................................. 1
1.2. Kontribusi Komoditas Non Migas dan Migas Terhadap Total Ekspor
Tahun 2000 – 2006 .............................................................................. 3
1.3. Persentase Nilai Ekspor Non Migas Menurut Golongan Tahun 2000
– 2006 ...................................................................................... ........... 4
5.3 Persentase Nilai Ekspor Pakaian Jadi Menurut Negara Tujuan dan
Nilai Indeks Konsentrasi Pasar (IKP) Indonesia Tahun 2000–2006 ... 40
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
2.1. Kurva Perdagangan Internasional .................................................... 10
2.2. The Diamond of Competitive Advantage ........................................ 13
2.3. Alur Kerangka Pemikiran …………………………………………. 21
4.1. Sebaran Produsen Pakaian Jadi di Indonesia Menurut Daerah ........ 36
5.1. Keunggulan dan Kelemahan Komponen Porter’s Diamond ............ 65
5.2 Keterkaitan Antar Komponen Porter’s Diamond ............................. 69
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Perkembangan Kontribusi Total Ekspor Terhadap Pendapatan
Nasional Tahun 1990 – 2006 ........................................................... 75
(Dumairy, 1997). Dalam era globalisasi saat ini tidak ada satu negara pun di muka
bumi yang tidak melakukan hubungan dagang dengan pihak luar negeri.
Perekonomian setiap negara praktis sudah terbuka dan terjalin dengan dunia
ekonomi terbuka. Sifat keterbukaan ini dapat dicerminkan dari peranan atau
sumbangan total nilai ekspor yang melebihi 10 persen dari produk nasional atau
sebesar 38,74 persen terhadap total pendapatan nasional. Pada tahun berikutnya,
total ekspor Indonesia mengalami penurunan yang cukup mencolok yaitu sekitar
9,34 persen. Penurunan nilai ekspor tersebut salah satu penyebabnya adalah
karena kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM pada tahun 2001
menyebabkan biaya produksi naik sehingga produksi turun dan selanjutnya ekspor
peningkatan yaitu sebesar 1,49 persen. Peningkatan yang relatif sedikit ini
berikutnya, nilai total nilai ekspor Indonesia kembali meningkat dengan cukup
pesat.
nilai ekspor dan impor sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi dan kelanjutan
proses pembangunan ekonomi dalam negeri. Nilai ekspor yang dihasilkan bila
lebih besar dari impor, maka akan menambah pemasukan devisa yang sangat
dibutuhkan, terutama bagi impor, membayar bunga pinjaman luar negeri, dan
untuk membayar kembali pinjaman itu. Impor diperlukan, terutama impor barang-
barang modal dan pembantu serta bahan-bahan baku yang tidak ada atau belum
negeri.
Secara garis besar ekspor Indonesia dibedakan dalam dua kelompok yaitu ekspor
migas dan non migas. Sejak tahun 1987, ekspor non migas mendominasi
3
perolehan devisa dibandingkan ekspor migas (sebelum tahun 1987, ekspor migas
masih mendominasi). Bahkan pada tahun 2000 sampai dengan 2006 kontribusi
ekspor non migas dalam menghasilkan devisa ekspor sudah melebihi 75 persen
Tabel 1.2. Kontribusi Komoditas Non Migas dan Migas Terhadap Total
Ekspor Tahun 2000 – 2006
terbesar dari penerimaan ekspor non migas. Kontribusi ekspor hasil-hasil industri
untuk sektor non migas semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dan sejak tahun
1988 sampai sekarang, kontribusi hasil-hasil industri terhadap sektor non migas
oleh hasil industri. Hal ini terjadi akibat dari adanya pergeseran ekpsor dari sektor
Pertambangan &
Tahun Pertanian Industri
lainnya
(1) (2) (3) (4)
Sejak tahun 1980, ekspor hasil-hasil industri didominasi oleh Tekstil dan
Produk Tekstil (TPT), kayu lapis, dan karet olahan. Pada tahun 2000, dominasi
kayu lapis dan karet olahan mulai digeser oleh komoditi alat-alat elektronik yang
terus meningkat kontribusinya terhadap ekspor non migas. Mulai tahun 2004
sampai sekarang, ekspor komoditi hasil-hasil industri didominasi oleh Tekstil dan
Produk Tekstil (TPT), minyak kelapa sawit, dan alat-alat elektronik. Hasil-hasil
juta US$.
Tekstil dan Produk Tekstil merupakan komoditi hasil industri yang terus
Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia didominasi oleh ekspor pakaian jadi.
5
Amerika Serikat (51 persen), disusul oleh negara-negara Uni Eropa (24 persen)
menjadi negara pengekspor pakaian jadi terbesar ke-8 sedunia. Dengan persaingan
ekspor pakaian jadi yang semakin ketat, maka relevan dilakukan penelitian
mengenai ”analisis daya saing komparatif dan kompetitif pakain jadi Indonesia
tekstil dan produk tekstil merupakan salah satu primadona komoditas ekspor yang
menjadi andalan dalam menghasilkan devisa non migas. Sumbangan terbesar dari
ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia didominasi oleh ekspor pakaian jadi.
dikaji lebih jauh bagaimana daya saing komoditi pakaian jadi Indonesia.
Nilai dan volume ekspor pakaian jadi Indonesia telah terjadi peningkatan
yang cukup tajam dari tahun ke tahun. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa
khususnya yang bermerk dari luar negeri daripada produk dan merk dalam negeri.
Hal ini dapat dilihat dari semakin bertambahnya kebergantungan pada pakaian
6
jadi impor. Pada tahun 2001, nilai resmi impor pakaian jadi menurut Asosiasi
Perteksilan Indonesia (API) adalah 17 juta dolar AS, dan angka ini meningkat
menjadi 53 juta dolar AS di tahun 2005. Menurut harian Kompas (2004) dalam
kolom bisnis dan investasi dikemukakan bahwa Impor pakaian bekas kembali
marak dan masuk ke pasar dalam negeri melalui berbagai pelabuhan kecil. Jumlah
pakaian bekas impor yang masuk saat ini diperkirakan mencapai 40.000 bal per
bulan. Jumlah itu lebih meningkat jika dibandingkan pada saat pemerintah aktif
2003. Padahal menurut Porter (1990), salah satu penentu keunggulan daya saing
2. Bagi penulis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai proses belajar yang
sejenis.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
dilakukan atas dasar suka sama suka, untuk memperoleh barang yang dibutuhkan.
Dalam masa globalisasi, perdagangan tidak hanya dilakukan dalam satu negara
saja. Bahkan dunia sudah memasuki perdagangan bebas. Hampir tidak ada satu
negarapun yang tidak melakukan hubungan dengan negara lain (Dumairy, 1997).
c) Terdapat mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam negara namun tidak
perdagangan internasional dapat dilihat dari teori penawaran dan permintaan. Dari
komoditi (misal pakaian jadi) ke negara lain (misal negara B) apabila harga
rendah bila dibandingkan dengan harga domestik negara B (gambar 2.1.). Stuktur
harga yang terjadi di negara A lebih rendah karena produksi domestiknya lebih
lebih tinggi. Dalam hal ini negara B berkeinginan untuk membeli pakaian jadi dari
negara lain yang relatif lebih murah. Jika kemudian terjadi komunikasi antara
10
negara A dengan negara B, maka akan terjadi perdagangan antar keduanya dengan
SB
DA A SA DB
ES
X PB
P*
M
PA
ED B
O QA O Q* O QB
Keterangan:
PA : Harga domestik di negara A (pengekspor) tanpa perdagangan internasional
OQA : Jumlah produk domestik yang diperdagangkan di negara A (pengekspor)
tanpa perdagangan internasional
A : Kelebihan penawaran (excess supply) di negara A (pengekspor) tanpa
perdagangan internasional
X : Jumlah komoditi yang diekspor oleh negara A
PB : Harga domestik di negara B (pengimpor) tanpa perdangangan internasional.
OQB : Jumlah produk domestrik yang diperdagangkan di negara B (pengimpor)
tanpa perdagangan internasional.
B : Kelebihan permintaan (excess demand) di negara B (pengimpor) tanpa
perdagangan internasional.
M : Jumlah komoditi yang diimpor oleh negara B
P* : Harga keseimbangan antara kedua negara setelah perdangangan internasional
OQ* : Keseimbangan penawaran dan permintaan antar kedua negara dimana jumlah
yang diekspor (X) sama dengan jumlah yang diimpor (M).
Sumber : Salvatore (1997)
Penawaran pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih tinggi
dari PA, sedangkan permintaan di pasar internasional akan terjadi jika harga
internasional lebih rendah dari PB. Pada saat harga internasional (P*) sama
11
dengan PA maka negara B akan terjadi excess demand (ED) sebesar B. Jika harga
internasional sama dengan PB maka di negara A akan terjadi excess supply (ES)
sebesar A. Dari A dan B akan terbentuk kurva ES dan ED akan menentukan harga
seharusnya mengkhususkan diri pada produksi dan mengekspor barang dan jasa
yang dapat dihasilkan dengan biaya relatif lebih efisien daripada barang dan jasa
yang lain; dan mengimpor barang dan jasa yang tidak memiliki keunggulan
komparatif. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh David Ricardo pada tahun
intensif atas dasar faktor produksi yang relatif dominan dimilikinya termasuk
negara yang tidak memiliki keunggulan absolut pada kedua komoditi yang
lebih kecil atau memiliki keunggulan komparatif. Hal ini dikenal sebagai Hukum
productivity) dapat dikatakan bahwa suatu negara akan memperoleh manfaat dari
barang di mana negara tersebut berproduksi relative kurang atau tidak produktif.
keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara memproduksi suatu barang
yang membutuhkan sedikit jumlah jam tenaga kerja dibandingkan negara lain
dibandingkan negara lain sehingga tidak memerlukan tenaga kerja yang lebih
banyak.
13
rendah.
dimiliki oleh suatu negara atau bangsa untuk dapat bersaing di pasar internasional.
Menurut Porter (1990), dalam persaingan global saat ini, suatu bangsa atau negara
internasional bila memiliki empat faktor penentu dan dua faktor pendukung yang
Kondisi Permintaan
Kondisi Faktor
1. Peluang.
pergeseran dramatik yang tiba-tiba terjadi dalam biaya faktor atau biaya
masukan, seperti krisis minyak, atau perubahan dramatis dalam kurs mata
uang.
produk baru, memperbaiki produk yang telah ada, menurunkan harga dan
3. Kondisi faktor
Kondisi faktor adalah faktor-faktor yang diciptakan dalam suatu negara yang
dari:
a) Faktor sumber daya manusia, yang terdiri dari jumlah tenaga kerja yang
tersedia, ketrampilan yang dimiliki oleh tenaga kerja, tingkat upah, dan
modal kerja.
b) Faktor sumber daya fisik atau alam, yaitu ketersediaan, mutu, jumlah,
4. Kondisi permintaan
pembeli.
16
d) Cara produk dan jasa dari suatu negara diterima oleh pasar luar negeri.
Hubungan dengan industri terkait dan pendukung perlu dijaga dan dipelihara
agar tetap dapat mendukung keunggulan bersaing. Untuk itu perlu dijaga
6. Pemerintah
secara langsung adalah dengan bertindak sebagai pembeli produk dan jasa.
juga dapat memegang peranan dalam kemudahan akses dalam birokrasi dan
17
mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Jakarta (2000), yang secara umum
membahas tentang Kinerja Ekspor Pakaian Jadi Indonesia Tahun 1989 – 1998.
Indonesia mempunyai daya saing yang cukup kuat dipasar internasional dan
mempunyai daya saing komparatif yang lebih kuat dibandingkan dengan rata-rata
dunia dengan konsentrasi pasar yang lebih dari 40 negara tujuan ekspor.
Industri Komoditas Pakaian Jadi Indonesia dengan negara ASEAN lainnya tahun
selisih nilai ekspor dan impor pada komoditas pakaian jadi dalam perdagangan
dalam penelitian ini menunjukkan bahwa selama periode 1998-2002 untuk produk
Tekstil Indonesia dan Cina di Pasar Amerika Serikat dengan alat analisis RCA
dan analisis Porter’s Diamond. Penelitian tersebut tidak secara spesifik membahas
Diamond karena Cina merupakan negara yang menjadi tantangan besar dalam
Kelebihan penelitian ini adalah belum ada atau jarang penelitian tentang
komoditi pakaian jadi. Kebanyakan peneliti hanya meneliti tekstil dan produk
tekstil, sedangkan turunan dari tekstil dan produk tekstil seperti pakaian jadi
dengan ide, bakat, IPTEK, beserta barang dan jasa yang dihasilkannya dapat
dengan mudah melewati batas negara. Pergerakan yang relatif bebas dari manusia,
barang dan jasa yang dihasilkan, ternyata bukan hanya telah menimbulkan saling
oleh ekonomi internasional. Dengan kata lain dalam era globalisasi dan
perdagangan internasional saat ini tidak ada lagi negara yang hidup terisolasi,
19
ketat, Indonesia bukan lagi negara yang autarki. Sebagai salah satu bukti tersebut
negara lain di dunia baik berupa ekspor ataupun impor barang dan jasa.
Ekspor Indonesia terdiri dari berbagai macam barang atau komoditas. Secara
garis besar ekspor Indonesia dibedakan dalam dua kelompok yaitu ekspor barang
migas dan non migas. Sejak tahun 1987, sektor non migas mendominasi
perolehan devisa dibandingkan sektor migas (sebelum tahun 1987, sektor migas
masih mendominasi). Bahkan pada tahun 2000 sampai dengan 2006 kontribusi
ekspor non migas dalam menghasilkan devisa ekspor sudah melebihi 75 persen
dari total ekspor Indonesia. Nilai ekspor non migas tersebut, lebih didominasi oleh
Ada dua produk manufaktur yang selama ini Indonesia mencoba menjadi
salah satu pemain besar di pasar global berdasarkan faktor utama keunggulan
komparatif yang dimiliki Indonesia, yaitu tenaga kerja dengan upah murah. Kedua
produk tersebut adalah tekstil dan produknya (TPT) dan elektronika. Komoditi
pakaian jadi menjadi produk yang cukup diunggulkan dari tekstil dan produk
tekstil. Hal ini dibuktikan dengan kontribusi pakaian jadi yang cukup dominan
terhadap total ekspor TPT Indonesia. Nilai dan volume ekspor pakaian jadi
Indonesia terus mengalami peningkatan yang cukup tajam dari tahun ke tahun.
20
Bahkan pada tahun 2004 – 2006 Indonesia masuk 10 besar negara pengekspor
pakaian jadi Indonesia tidak terlepas dari persaingan yang semakin ketat dengan
pada level ASEAN, menurut hasil kajian Arie (2006), selama periode 1998-2002
untuk tingkat perdagangan intra industri komoditas pakaian jadi antara Indonesia
masih rendah. Dengan kondisi persaingan yang semakin ketat, maka timbul
Advantage (RCA), dan Indeks Konsentrasi Pasar (IKP) akan sangat membantu
Era Globalisasi
(keterkaitan, ketergantungan,
dan persaingan yang
semakin ketat)
Implikasi Kebijakan
Data yang digunakan dalam penelian ini adalah data sekunder dari tahun
2000 – 2006. Jenis data tersebut meliputi data pendapatan nasional, total ekspor
Indonesia, ekspor pakaian jadi Indonesia, impor pakaian jadi Indonesia, total
ekspor dunia, ekspor pakaian jadi dunia, impor pakaian jadi dunia, ekspor migas
dan non migas, ekspor non migas Indonesia menurut golongan, persentase bahan
baku impor industri pakaian jadi, jumlah tenaga kerja industri pakaian jadi,
diekspor dari industri pakaian jadi, nilai konsentrasi rasio industri pakaian jadi,
Sumber data yang digunakan diperoleh dari Badan Pusat Statistik, studi literatur,
dapat digunakan untuk mengetahui kondisi relatif daya saing suatu komditi ekspor
pada pasar internasional tertentu. Indeks ini mula-mula digunakan oleh Kaneko
dan Yanagi pada tahun 1988 dalam membahas daya saing komoditi ekspor dalam
hubungan dengan analisis Product Life-Cycle. Angka TSR ini dapat dihitung
E(i ) − M (i )
TSR(i ) = i = 1, 2, 3, ...., n
E(i ) + M (i )
Dimana:
Angka TSR(i) akan bergerak dari – 1 sampai +1. Bila nilai TSR(i) yang
komoditi tersebut mempunyai daya saing yang cukup kuat, karena ekspor untuk
komoditi yang bersangkutan melebihi impor. Nilai ekstrim 1,0 akan diperoleh
bilamana negara yang bersangkutan tidak mempunyai impor untuk komoditi yang
daya saing yang lemah karena negara yang bersangkutan mempunyai impor yang
melebihi eskpor komoditi yang bersangkutan. Nilai ekstrim -1,0 akan diperoleh
bilamana negara yang bersangkutan tidak mempunyai sama sekali ekspor untuk
dari besarnya dampak yang diakibatkan oleh suatu gangguan terhadap kestabilan
penerimaan ekspor oleh negara tujuan. Jika tujuan ekspor komoditi tersebar ke
yang terjadi dalam perdagangan internasional. Jika terjadi gangguan yang relatif
kecil saja akan sangat mempengaruhi volume/nilai ekspor, maka dapat dikatakan
beberapa pasar tertentu saja. Oleh Hirchman, metode untuk menghitung intensitas
IKP = ∑(X ij X j )2
dimana:
= Σ(nilai ekspor pakaian jadi Indonesia ke negara i / nilai ekspor pakaian jadi Indonesia)2
Angka tertinggi dari koefisien ini adalah 1, yakni jika ekspor j hanya
tertuju ke satu negara. Angka terendah adalah tidak dapat ditentukan dan harus
melebihi angka nol, tergantung pada banyaknya negara tujuan ekspor. Untuk
25
dikalikan dengan 100. Atau jika ditulis dalam kalimat matematika adalah:
kestabilan penerimaan ekspor komoditi tersebut cukup tinggi, sebaliknya jika IKP
tersebut sangat rendah. Misalkan nilai IKP pakaian jadi Indonesia sebesar 100 maka
cukup rendah.
komparatif di suatu wilayah (negara, propinsi, dan lain-lain) adalah metode RCA.
Alasan yang mendukung pendekatan ini adalah bahwa arus pertukaran barang
komparatif yang dimiliki oleh suatu wilayah. Pola pendekatan tidak hanya
produk. Pada dasarnya metode ini mengukur kinerja suatu komoditi tertentu
dengan ekspor total suatu tempat dibandingkan dengan pangsa komoditi tersebut
Bela Balassa pada tahun 1965 dalam penelitian tentang pengaruh liberalisasi
26
Serikat, Jepang, dan negara-negara yang tergabung dalam pasar bersama Eropa
(MEE) serta pada tahun 1977 untuk negara yang sama ditambah Kanada dan
Swedia.
didasarkan pada rasio impor dan ekspor, dan yang kedua: pada prestasi ekspor
relatif. Dengan alasan bahwa impor lebih peka terhadap tingkatnya perlindungan
( X ij X t )
RCA =
(W j Wt )
Dimana:
komparatif pada komoditi tersebut. Semakin besar nilai RCA, maka semakin kuat
komoditi dimaksud untuk tujuan ekspor karena tidak ada daya saing dan dapat
b. Demand Condition (DC), yaitu keadaan permintaan atas barang dan jasa
dalam negara.
c. Related and Supporting Industries (RSI), yaitu keadaan para penyalur dan
d. Firm Strategy, Structure, and Rivalry (FSSR), yaitu strategi yang dianut
Selain itu ada komponen lain yang terkait dengan keempat komponen
utama yaitu faktor pemerintah dan kesempatan. Keempat faktor utama dan dua
komponen penentu daya saing kita dapat menentukan komponen yang menjadi
28
keunggulan dan kelemahan daya saing industri pakaian jadi. Keunggulan tiap
faktor dalam komponen penentu daya saing akan dilambangkan dengan simbol
(+), sedangkan kelemahan tiap faktor dalam komponen penentu daya saing akan
disimbolkan dengan tanda (-). Hasil keseluruhan interaksi antar komponen yang
competitive advantage dari suatu industri. Hasil keterkaitan atau interaksi yang
Indonesia dalam hal menenun dan merajut pakaiannya sendiri sudah dimulai sejak
menenun dan membatik yang hanya berkembang di sekitar lingkungan istana dan
dimulai dari industri rumahan tahun 1929 dimulai dari sub-sektor pertenunan
Bandung (TIB) Gethouw atau yang dikenal dengan nama Alat Tenun Bukan
Mesin (ATBM) yang diciptakan oleh Daalennoord pada tahun 1926 dengan
produknya berupa tekstil tradisional seperti sarung, kain panjang, lurik, stagen
(sabuk), dan selendang. Penggunaan ATBM mulai tergeser oleh Alat Tenun
Mesin (ATM) yang pertama kali digunakan pada tahun 1939 di Majalaya-Jawa
Barat, dimana di daerah tersebut mendapat pasokan listrik pada tahun 1935. Dan
sejak itu industri TPT Indonesia mulai memasuki era teknologi dengan
menggunakan ATM.
seperti OPS Tenun Mesin; OPS Tenun Tangan; OPS Perajutan; OPS Batik; dan
30
Tekstil dimana pengurus GPS Tekstil tersebut ditetapkan dan diangkat oleh
1. Pertengahan tahun 1965-an, OPS dan GPS dilebur menjadi satu dengan nama
penyempurnaan (finishing).
Tujuan didirikannya API adalah sebagai wadah bagi anggota API untuk
disusun dan dirancang serta diputuskan setiap 3 (tiga) tahun sekali dalam
komunitas industri mesin TPT, asosiasi disainer, perguruan tinggi & akademi,
pers, pengamat & pakar pertekstilan, dan stakeholders pertekstilan lainnya dengan
31
nasional. Aktivitas tersebut antara lain informasi industri TPT Indonesia, data
angka aktual kinerja industri TPT Indonesia, penelitian dan pengembangan bagi
kepentingan industri TPT nasional, dan informasi lainnya tentang industri dan
(berskala besar dan menengah) dan ± 500 Usaha Kecil Menengah (UKM)
termasuk kerajinan dan handycraft TPT yang terdiri dari sektor fiber (serat),
Industri Tesktil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia secara teknis dan
struktur terbagi dalam tiga sektor industri yang lengkap, vertikal dan terintegrasi
(natural fiber dan man-made fiber atau synthetic) dan proses pemintalan
bersifat padat modal, full automatic, berskala besar, jumlah tenaga kerja relatif
proses pertenunan (weaving) dan rajut (knitting) yang kemudian diolah lebih
semi padat modal, teknologi madya dan modern (berkembang terus), dan
Industri pakaian jadi tidak bisa terlepas dari industri tekstil. Bisa
dikatakan, untuk membuat pakaian jadi pasti diperlukan hasil-hasil dari industri
tekstil. Bahan yang diperlukan untuk produksi pakaian jadi bersumber dari
Program, 2007), dalam memproduksi pakaian jadi, industri pakaian jadi memakai
nilon, rayon, poliester dan katun sebagai bahan mentah dasar untuk produksi
pakaian. Pabrikan pakaian jadi besar membeli kain langsung dari pabrikan lokal
pakaian jadi yang lebih kecil umumnya membeli kain dari pedagang grosir dalam
benang jahit juga umumnya dibeli dari pedagang lokal. Bahan-bahan tak
langsung, seperti surfaktan, dan zat-zat penganji dan pewarna, dibeli dari
pedagang perantara, yang membeli dari pemasok dalam negeri atau mengimpor.
pada pengetahuan tentang kecenderungan pasar saat ini, sementara produsen yang
rancangan produk dari agen pembelian. Untuk ekspor, pabrikan juga diberikan
didominasi oleh kerja manual dan hanya sedikit berubah seiring berjalannya
waktu. Perbedaan besar di antara produsen pakaian jadi biasanya adalah ukuran
tenaga kerja, yang bisa amat mencolok dari usaha mikro dengan kurang dari 50
kain, menjahit kancing, dll). Walaupun sama dengan sepatu dalam hal industri ini
34
juga padat karya, produksi pakaian jadi tidak mengikuti proses “awal-sampai-
Kendali mutu merupakan unsur terpadu pada pabrikan pakaian jadi yang
pasar dalam negeri biasanya lebih longgar. Fungsi kendali mutu ini biasanya
Pada saat selesai, pakaian jadi dikemas ke dalam kotak dan digudangkan
pesanan selesai) dan apakah barang diekspor atau tidak (menunggu volume yang
Industri tekstil dan pakaian jadi adalah industri terbesar Indonesia di luar
industri minyak dan gas. Menurut perhitungan API pada tahun 2005, jumlah
pekerja yang bekerja langsung pada industri tekstil dan pakaian jadi kira-kira 1,8
Menurut data dari Badan Pusat Statistik dari hasil Survei Industri Besar
dan Sedang, jumlah tenaga kerja untuk industri tekstil dan pakaian jadi pada level
mengalami penurunan jumlah pekerja pada tahun 2001. Jumlah ini terus menurun
pada tahun 2002 dan 2003. Hal ini dimungkinkan terjadi karena pada tahun 2001
dan 2002 pemerintah menaikkan harga BBM. Kenaikan harga BBM tentunya
kenaikan biaya produksi dan penurunan daya beli akan berdampak pada
Pada tahun berikutnya (2004), jumlah pekerja yang bekerja pada industri
tekstil dan pakaian jadi mengalami peningkatan. Kenaikan jumlah tenaga kerja
terjadi pada industri tekstil. Sedangkan untuk industri pakaian jadi terus
mengalami penurunan.
pakaian jadi terpusat di pulau Jawa, khususnya Jawa Barat. Produsen pakaian jadi
Produsen pakaian jadi terbesar kedua dan ketiga setelah provinsi Jawa Barat yaitu
provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Jawa Tengah masing-masing sekitar
17 persen dan 14 persen dari total jumlah produsen pakaian jadi di seluruh
Indonesia.
Jawa Timur
6%
Bali
3%
Sumatera
2%
Jawa Barat
57%
Jakarta
17%
Dengan menggunakan data nilai ekspor dan impor, dapat dihitung angka
tahun 2000 – 2006 angka TSR pakaian jadi Indonesia berkisar antara 0,9739 –
0,9860.
pakaian jadi ternyata memiliki daya saing Indonesia yang cukup kuat, bahkan
mendekati angka satu. Hal ini menunjukkan bahwa komoditi pakaian jadi
Walapun angka TSR yang dihasilkan selalu positif dan mendekati angka
satu, namun pada tahun 2002 dan 2005 terjadi penurunan nilai TSR. Pada tahun
2002, nilai TSR turun sebesar 1,22 persen jika dibandingkan dengan tahun 2001.
Penurunan tersebut disebabkan oleh turunnya volume dan nilai ekspor pakaian
jadi pada tahun tersebut. Dengan menurunnya nilai ekspor, hal ini membuat angka
TSR pun menjadi turun. Turunnya nilai ekspor pakaian jadi Indonesia tersebut
disebabkan oleh meningkatnya harga BBM tahun 2001 dan 2002 sehingga
38
penurunan produksi.
Untuk tahun 2005, angka TSR turun sebesar 0,81 persen. Pada tahun
tersebut, dari sisi volume ekspor pakaian jadi mengalami penurunan. Jika dilihat
dari sisi nilai ekspor yang dihasilkan, nilai ekpor pakaian jadi mengalami
harga BBM sebanyak 2 kali pada tahun 2005 yakni sebesar 29 persen pada bulan
Tabel 5.2. Perkembangan Berat Bersih dan Nilai Ekspor Pakaian Jadi
Indonesia serta Kurs Ekspor Tertimbang Tahun 2000 -2006
dari besarnya dampak yang diakibatkan oleh suatu gangguan terhadap kestabilan
penerimaan ekspor oleh negara tujuan. Jika tujuan ekspor komoditi tersebar ke
39
yang terjadi dalam perdagangan internasional. Jika terjadi gangguan yang relatif
kecil saja akan sangat mempengaruhi volume/nilai ekspor, maka dapat dikatakan
antara nilai 51,19 sampai 63,70 pada tahun 2000 - 2006. Angka indeks ini terus
eskpor pakaian jadi Indonesia cenderung mengarah pada salah satu atau beberapa
negara tujuan ekspor saja. Kondisi ini jelas sangat tidak menguntungkan
Indonesia, karena dengan demikian berarti ekspor komoditi pakaian jadi Indonesia
mulai tergantung dengan salah satu atau beberapa pangsa pasar saja. Dampaknya,
jika terjadi gangguan pada pangsa pasar tersebut, maka nilai ekspor pakaian jadi
yang memberikan share cukup besar terhadap total ekspor Indonesia juga akan
langsung terganggu.
Kontribusi terbesar nilai ekspor pakaian jadi dari tahun 2000 sampai
2006 adalah nilai ekspor ke negara Amerika Serikat. Pada tahun 2000, nilai
ekspor pakaian jadi Indonesia ke negara paman Sam ini baru mencapai 42,52
persen. Persentase tersebut terus meningkat, bahkan pada tahun 2006 ekspor
pakaian jadi Indonesia ke Amerika Serikat telah mencapai 67,97 persen dari total
ekspor pakaian jadi Indonesia di tahun 2006. Satu sisi kita memang perlu
Serikat secara tidak langsung juga meningkatkan total nilai ekspor pakaian jadi
40
Indonesia. Ini berarti meningkat juga devisa negara. Disisi lain kita juga perlu
Tabel 5.3. Persentase Nilai Ekspor Pakaian Jadi Menurut Negara Tujuan
dan Nilai Indeks Konsentrasi Pasar (IKP) Indonesia Tahun
2000 – 2006
komparatif di suatu wilayah (negara, propinsi, dan lain-lain) adalah metode RCA.
Pada dasarnya metode ini mengukur kinerja suatu komoditi tertentu dengan
ekspor total suatu tempat dibandingkan dengan pangsa komoditi tersebut dalam
perdagangan dunia.
41
Dilihat dari kriteria besaran RCA selama periode tahun 2000 – 2006,
keunggulan komparatif. Pada periode tersebut, nilai RCA selalu lebih besar dari 1
setiap tahunnya. Ini menunjukkan bahwa daya saing komoditas pakaian jadi
Indonesia lebih kuat dibandingkan dengan rata-rata dunia. Dengan kata lain,
Pada tahun 2005 dan 2006, nilai RCA komoditi pakaian jadi Indonsia
menurunnya share ekspor pakaian jadi Indonesia terhadap total ekspor Indonesia
pada tahun tersebut. Pada periode tahun 2000 – 2004, share ekspor pakaian jadi
Indonesia terhadap total ekspor Indonesia masih di atas 6,2 persen. Walaupun
secara nilai ekspor terus meningkat, namun pada tahun 2005 komoditi pakaian
jadi hanya memberikan share sebesar 5,8 persen terhadap total ekspor Indonesia.
Kontribusi tersebut bahkan menurun lagi menjadi 5,6 persen pada tahun 2006.
seperti ekspor komoditi minyak kelapa sawit dan alat-alat elektronik, walaupun
42
pakaian jadi.
5.4 Analisis Daya Saing dengan Pendekatan The National Diamond System.
ini digunakan Porter’s Diamond Theory. Daya saing akan dilihat dari keunggulan
kompetitif suatu industri tersebut. Untuk dapat menentukan daya saing suatu
industri akan dianalisis terlebih dahulu tiap komponen dalam Porter’s Diamond
Theory, kemudian akan dilihat kelemahan dan kelebihan tiap komponen untuk
1. Sumberdaya Alam
bakunya berasal dari serat (umumnya adalah kapas, poliester, rayon) yang dipintal
digunakan untuk bahan baku produk tekstil. Produk tekstil disini adalah pakaian
Indonesia adalah penghasil serat terbesar ketujuh sedunia, menghasilkan 1,5 juta
ton di tahun 2004 atau senilai 672 juta dolar AS. Setelah produksi serat,
memerlukan impor kapas sebagai bahan baku pembuatan tekstil. Hal ini terlihat
pemerintah supaya PPN impor kapas nol persen karena merupakan bahan baku
oleh BPS, ternyata komoditi pakaian jadi Indonesia hampir sebagian besar bahan
baku yang digunakan adalah bahan baku impor. Dari tahun 2000 – 20005
komoditi pakaian jadi kain menggunakan bahan baku impor diatas 44 persen dari
total bahan baku yang dipergunakan dalam proses produksi. Sedangkan pakaian
2. Sumberdaya Manusia
peningkatan daya saing produk pakaian jadi nasional di pasar global selain faktor-
negara Indonesia. Masalah tenaga kerja yang dihadapi industri TPT nasional yang
mengakibatkan industri ini sulit bersaing dengan industri TPT dari negara-negara
rendah.
45
2) Dari 44 kota: hanya 7 kota yang produktivitas tenaga kerjanya sangat tinggi; 5
tenaga kerjanya sedang. Sisanya, yaitu sebanyak 18 kota adalah tenaga kerja
Menurut data dari Badan Pusat Statistik dari hasil Survei Industri Besar
dan Sedang, jumlah tenaga kerja untuk industri tekstil dan pakaian jadi pada level
Industri Besar dan Sedang (tidak termasuk perusahaan golongan kecil menengah),
mengalami penurunan jumlah pekerja pada tahun 2001. Jumlah ini terus menurun
pada tahun 2002 dan 2003. Hal ini dimungkinkan terjadi karena pada tahun 2001
dan 2002 pemerintah menaikkan harga BBM. Kenaikan harga BBM tentunya
kenaikan biaya produksi dan penurunan daya beli akan berdampak pada
Pada tahun berikutnya (2004), jumlah pekerja yang bekerja pada industri
oleh meningkatnya jumlah pekerja pada industri tekstil. Untuk industri pakaian
46
jadi, jumlah tenaga kerja justri terus mengalami penurunan dari tahun 2000 –
2004.
setiap tahunnya, namun jika dilihat dari tingkat produktivitas tenaga kerja pada
Pusat Statistik pada industri besar dan sedang, pada tahun 2000 produktivitas
tenaga kerja industri pakaian jadi baru mencapai 51,9 juta rupiah per tenaga kerja.
Pada tahun tahun 2004, produktivitas tenaga kerja industri ini meningkat menjadi
81,3 juta per tenaga kerja. Namun peningkatan produktivitas ini kurang begitu
sedang lainnya di luar industri pakaian jadi. Produktivitas industri pakaian jadi
besar dan sedang lainnya. Dari tahun 2000 – 2004, industri ini hanya mampu
menduduki posisi kedua terendah dalam hal produktivitas setelah industri Furnitur
– 2005 yang keluarkan oleh Badan Pusat Statistik, dari 21 kelompok industri jika
dilihat dari jumlah tenaga kerja, industri pakaian jadi menyerap jumlah tenaga
kerja terbesar ketiga setelah industri Makanan dan Minuman, dan industri Tekstil
Pada tahun 2000, industri Tekstil, industri Makanan dan Minuman, dan industri
Pakaian Jadi menyerap tenaga kerja masing-masing sebesar 629 ribu, 608 ribu,
dan 511 ribu. Pada tahun 2002, industri makanan dan minuman memimpin
penyerapan tenaga kerja sebanyak 642 ribu, disusul industri tekstil sebesar 570
ribu, dan industri pakaian jadi sebanyak 480ribu. Dan di tahun 2004, industri
pakaian jadi masih menduduki peringkat tiga dalam hal penyerapan tenaga kerja.
merupakan industri yang memiliki produktivitas cukup rendah. Dari tahun 2000 –
2004, industri ini hanya mampu menduduki posisi kedua terendah dalam hal
dan jumlah tenaga kerja yang digunakan pada masing-masing kelompok industri
pakaian jadi khususnya industri besar dan sedang masih mengandalkan jumlah
tenaga kerja yang besar dalam memproduksi pakaian jadi. Namun jika dikaitkan
dengan tingkat produktivitasnya yang rendah, hal ini menunjukkan bahwa industri
pakaian jadi merupakan industri padat kerja dan masih menggunakan teknologi
yang rendah.
48
Selain dari sisi data, rendahnya teknologi yang digunakan industri tekstil
dan produk tekstil juga diakui oleh Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Benny
Indonesia masih memakai mesin dengan kapasitas pintal 15 ribu putaran per
menit.
4. Infrastruktur
jadi. Selain kelengkapan pabrik yang digunakan sebagai sarana proses produksi
produk pakaian jadi. Kondisi jalan yang baik, sarana komunikasi, tersedianya
dengan kondisi baik terus mengalami penurunan untuk jalan negara dan jalan
provinsi. Keadaan ini berkebalikan dengan jalan kabupaten / kota yang terus
meningkat untuk jalan dengan kondisi baik. Padahal dalam setiap perdagangan
pakaian jadi untuk dipasarkan pasti melalui jalan negara dan jalan provinsi,
apalagi untuk komoditi yang harus menggunakan fasilitas pelabuhan atau bandar
udara untuk melakukan proses ekspor dan impor. Keadaan ini secara tidak
49
langsung jelas sangat merugikan pelaku usaha khususnya dalam hal penyaluran
barang dagangan.
Tabel 5.8. Persentase Panjang Jalan Menurut Kondisi Jalan dan Tingkat
Kewenangan Tahun 2001 – 2005
Tingkat Kewenangan
Kondisi Jalan Tahun
Negara Propinsi Kab/Kota Jumlah
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Baik 2001 63,84 50,54 38,79 42,17
2002 61,01 49,93 36,23 39,91
2003 62,95 51,90 36,17 40,35
2004 59,21 53,74 35,53 39,69
2005 48,97 27,62 40,01 39,53
Sedang 2001 24,02 26,14 26,19 26,03
2002 21,92 28,02 26,18 26,11
2003 20,70 26,92 26,55 26,14
2004 26,84 32,46 26,91 27,50
2005 30,40 34,35 27,24 28,25
Rusak 2001 7,71 13,33 20,62 18,71
2002 9,87 14,55 22,04 20,13
2003 9,46 13,89 21,88 19,85
2004 11,42 10,59 22,34 20,06
2005 8,57 14,58 19,76 18,24
Rusak Berat 2001 4,42 9,99 14,40 13,09
2002 7,20 7,50 15,55 13,86
2003 6,89 7,28 15,40 13,67
2004 2,53 3,20 15,23 12,75
2005 12,06 23,45 12,99 13,98
Jumlah 2001 100,00 100,00 100,00 100,00
2002 100,00 100,00 100,00 100,00
2003 100,00 100,00 100,00 100,00
2004 100,00 100,00 100,00 100,00
2005 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber: BPS (2006)
b. Kondisi Permintaan
dalam upaya peningkatan daya saing industri pakaian jadi di Indonesia. Kondisi
50
Segmen pasar industri pakaian jadi tergolong sangat luas. Hal ini dapat
dilihat dari jumlah penduduk Indonesia yang cukup besar, bahkan menduduki
peringkat ke-4 jumlah penduduk terbesar di dunia setelah RRC, India, dan
Amerika Serikat. Dengan jumlah penduduk yang besar tanpa memandang jenis
kelamin dan usia, komoditi pakaian jadi tentu diperlukan oleh semua lapisan
penduduk. Tidak ada satupun penduduk yang tidak memerlukan pakaian jadi.
Sampai saat ini belum ada data baik dari Deperindag maupun Badan
Pusat Statistik mengenai jumlah permintaan pakaian jadi secara nasional. Volume
dibandingkan hari-hari lainnya. Selain saat lebaran dan hari-hari besar, permintaan
juga cenderung meningkat saat dimulainya tahun ajaran baru di dunia pendidikan.
Selama kurun waktu 2000 – 2005, perusahaan besar dan sedang yang
memproduksi pakaian jadi, hanya sekitar 7 – 24 persen saja dari total nilai
Persentase dari total nilai produksi pakaian jadi perusahaan besar dan sedang yang
dengan kategori besar dan sedang, selain untuk memenuhi permintaan domestik
juga bertujuan untuk memenuhi permintaan dari pasar mancanegara. Bahkan bisa
dikatakan, khusus industri besar dan sedang cenderung untuk memenuhi pasar
mancanegara. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan dari persentase nilai produk
yang diimpor dari industri pakaian jadi pada level perusahaan besar dan sedang.
yang di ekspor, namun bisa dikatan bahwa industri pakaian jadi perusahaan besar
Bahkan untuk komoditi pakaian jadi bulu pada tahun 2002 total produksi dari
saing global juga akan mempengaruhi daya saing industri utamanya. Industri hulu
yang memiliki daya saing global akan memasok input bagi industri utama dengan
harga yang lebih murah, mutu lebih baik. Begitu juga dengan adanya industri
1. Industri Terkait
2005 ada 28 pabrikan serat skala besar terdaftar dan kebanyakan berlokasi di Jawa
Barat dan Jawa Tengah. Pabrikan-pabrikan ini menghasilkan nilon, poliester dan
rayon. Produksi serat memerlukan penanaman modal yang besar untuk peralatan
dan, oleh karenanya yang bermain di bidang ini biasanya bukan perusahaan
berskala kecil-menengah.
Setelah terjalin, serat biasanya dicampur dengan katun dan dipintal untuk
besar dari segi ukuran serta memerlukan penanaman modal yang besar untuk
permesinan. Menurut catatan API, pada tahun 2005 ada sekitar 204 pabrik
jika perlu, diwarnai agar bercorak sesuai dengan yang diinginkan. Kebanyakan
Di dalam negeri, pasar busana gaya (fashion) berada pada rentang harga
memiliki operasi grosir dan logistiknya sendiri, dan pembelian dari perusahaan
maksimumnya adalah net-30. Akan tetapi, dalam kasus tertentu, agen pembelian
memiliki cukup kekuatan pasar untuk meminta syarat konsinyasi dari pabrikan,
menghindarkan semua resiko transaksi bagi si agen pembelian yang besar dan
sukses itu.
atas dasar hanya-tunai. Para pedagang grosir yang berpangkalan di Tanah Abang
atau Mangga Dua membeli barang langsung dari pabrikan. Barang-barang ini
dikemas dan diangkut dari pasar grosir dengan truk atau, untuk pembelian lebih
sedikit diangkut dengan mobil. Bergantung pada volume yang dibeli, pakaian jadi
mungkin digudangkan oleh pedagang grosir atau langsung dibawa ke toko eceran
umum dan baku dijual ke toko serba-ada dunia, seperti Wal-Mart dan Carrefour,
54
konsumen akhir (sell through) itu hampir terjamin, asalkan mutu memenuhi baku
kasus tertentu, barang-barang yang tak laku dapat dikembalikan kepada pabrikan
atau dilempar ke pengecer atau kios kecil, tempat barang-barang itu dijual dengan
diterbitkan oleh bank pembeli yang pada intinya bertindak sebagai jaminan
pembayaran yang tidak terbatalkan. Proses ekspor dimulai setelah agen pembelian
(yakni, mereka yang menyetujui pembelian dan penerimaan pakaian jadi untuk
memeriksa contoh barang yang akan dikapalkan. Jika dapat diterima, pabrikan
fasilitas pabrikan dan dimuati dengan barang jadi. Setelah penuh, truk diarahkan
2. Industri Pendukung
bergerak di bidang industri dan perdagangan tekstil dan produk tekstil (TPT) yang
didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Juni 1974 oleh kalangan pengusaha TPT
nasional.
Tujuan didirikannya API adalah sebagai wadah bagi anggota API untuk
disusun dan dirancang serta diputuskan setiap 3 (tiga) tahun sekali dalam
komunitas industri mesin TPT, asosiasi desainer, perguruan tinggi & akademi,
pers, pengamat & pakar pertekstilan, dan stakeholders pertekstilan lainnya dengan
nasional. Aktivitas tersebut antara lain informasi industri TPT Indonesia, data
angka aktual kinerja industri TPT Indonesia, penelitian dan pengembangan bagi
kepentingan industri TPT nasional, dan informasi lainnya tentang industri dan
perdagangan TPT Indonesia. Anggota API pada tahun 2007 berjumlah 1.070
56
perusahaan TPT (berskala besar dan menengah) dan ± 500 Usaha Kecil
Menengah (UKM) termasuk kerajinan dan handycraft TPT yang terdiri dari sektor
o Lembaga Keuangan
perusahaannya. Kebutuhan dana untuk industri pakaian jadi terdiri dari modal
investasi dan modal kerja yang diperoleh dari kredit perbankan dan dana sendiri.
dari sisi perbankan. Menurut pemerintah, secara umum perbankan nasional masih
menganggap industri TPT sebagai sunset industry dengan tingkat risiko tinggi.
Dengan tingkat suku bunga SBI sekitar 12,1 persen (per Agustus 2006) dan suku
tingkat suku bunga di negara-negara ASEAN dan dunia pada umumnya yang
hanya 1 digit, sehingga tidak terjangkau bagi perusahaan industri TPT untuk
o Industri Listrik
Industri pakaian jadi Indonesia tidak bisa terlepas dari pasokan listrik
yang digunakan dalam proses produksi khususnya bagi industri yang berskala
besar dan menengah. Dalam memenuhi kebutuhan listrik, karena adanya krisis
energi beberapa industri TPT memang tidak lagi mampu memproduksi listrik
untuk kepentingan usahanya. Padahal, kondisi ini juga disadari juga akan semakin
menambah beban pasokan listrik yang harus ditanggung PLN. Berkaitan dengan
krisis energi yang sedang terjadi, PT. PLN sekarang ini menjalankan program
Multiguna-nya dimana tarif dasar listrik menjadi berlipat ganda dan program
saing antar unit-unit perusahaan yang terdapat dalam industri tersebut. Persaingan
dalam suatu industri sangat berpengaruh terhadap bentuk struktur industri tersebut
dan setiap perusahaan menentukan strategi yang dapat digunakan untuk dapat
1. Struktur Industri
CR2, CR4, atau CR8. Dengan metode tersebut dapat diketahui apakah struktur
pasar industri pakaian jadi cenderung duopoli, oligopoli ketat, oligopoli longgar,
Statistik, ternyata industri pakaian jadi Indonesia tidak mengarah pada bentuk
duopoli ataupun oligopoli. Hal ini ditunjukkan dengan angka CR2, CR4, ataupun
CR8 industri pakaian jadi yang nilainya masih dibawah 0,20. Dengan kata lain,
tertentu seperti kategori pakaian jadi lainnya dari kulit, ternyata ada
pakaian jadi lainnya dari kulit cenderung mengarah pada bentuk oligopoli.
2. Persaingan
ini berarti pangsa pasar setiap perusahaan kecil (konsumen dan perusahaan price
taker). Dengan persaingan ketat tersebut, antar perusahaan bisa saling mematikan,
perusahaan kecil tidak mampu bersaing. Dan dalam struktur ini, pemilik modal
59
3. Strategi
Dengan persaingan yang ketat, konsumen bebas memilih karena produsen sangat
lebih banyak dan lebih berkualitas. Kedua strategi tersebut hanya bisa dilakukan
e. Peran Pemerintah
pengembangan industri pakaian jadi nasional. Salah satu produk hukum yang
Barang Yang Diatur Tata Niaga Impornya, tertulis “DILARANG” untuk impor
barang gombal baru dan bekas dengan HS ex. 6310.90.000. Dalam buku Tarif
Bea Masuk Indonesia 2004 Ditjen Bea dan Cukai, untuk HS 6310 meliputi uraian
barang: gombal, skrap benang pintal, tali, tali tambang dan kabel bekas atau baru
serta barang usang dari benang pintal, tali tambang atau kabel, dari bahan tekstil,
“DILARANG”.
mengganggu pasar domestik yang merupakan pangsa pasar bagi industri garment
kecil dan konveksi. Dan umumnya akan mengganggu seluruh sektor industri TPT
1. Produk industri garment kecil dan konveksi nasional pasarnya sebesar 100
persen adalah domestik, walaupun ada yang ekspor akan tetapi tidak
pakaian bekas, sudah pasti pasar industri garment kecil dan konveksi tidak
lagi 100 persen karena harus berbagi dengan produk impor tersebut.
Akibatnya, dan ini dapat diprediksikan, bahwa akan ada beberapa industri
terhadap pola distribusi TPT domestik pada pruduksi, dan ini artinya, produksi
industri TPT nasional akan menurun yang pada gilirannya akan terjadi penurunan
mengeluarkan press release pada hari Jumaat, tanggal 20 April 2007 tentang
Spinning/Weaving.
− Makin sulitnya produk TPT memasuki pasar dunia karena daya saing
mengadopsi teknologi baru. Hal ini dicirikan dari nilai ekspor industri TPT
pasar Indonesia baru mencapai sekitar 2 persen dari volume pasar dunia.
− Produk TPT eks Cina yang cenderung murah dan beragam membanjiri pasar
sunset industry dengan tingkat risiko tinggi. Dengan tingkat suku bunga SBI
62
sekitar 12,1 persen (per Agustus 2006) dan suku bunga bank komersial
peremajaan mesin.
yang dilakukan oleh industri TPT untuk mengganti sebagian atau seluruh mesin
peralatan produksi termasuk mesin penunjang dengan teknologi yang lebih tinggi,
tersebut diungkapkan oleh Benny Wahyudi (2008) selaku Dirjen Industri Agro
menyatakan bahwa pemerintah telah merivisi PP No. 148 tahun 2008 tentang
tertentu dan salah satunya adalah industri tekstil dan pakaian jadi.
f. Peran Kesempatan
yang bergerak pada industri pakaian jadi kain mengekspor hasil produksinya
diatas 70 persen dari nilai produksinya. Jika dilihat dari perkembangan persentase
realisasi produksi terhadap kapasitas terpasang industri pakaian jadi dari tahun
2000 – 2005 ternyata belum berproduksi secara maksimal. Hal ini dapat diketahui
pakaian jadi kain. Dari tahun 2000 – 2005, realisasi produksi terhadap kapasitas
terpasang masih dibawah 85 persen. Ini berarti industri pakaian jadi (khususnya
kebijakan tarif dan non tarif yang menghambat ekspor akan dihapuskan. Hal
tersebut akan dapat meningkatkan ekspor pakaian jadi Indonesia. Selain itu
dengan adanya era globalisasi akan membuka peluang pasar lebih besar lagi.
mempunyai daya saing yang cukup tinggi meliputi faktor sumberdaya, kondisi
bahwa industri pakaian jadi memiliki daya saing yang cukup tinggi. Pada gambar
5.1. akan digambarkan faktor mana saja yang akan menjadi kelemahan maupun
keunggulan industri pakaian jadi. Tanda (+) menunjukkan bahwa faktor tersebut
merupakan faktor keunggulan bersaing industri pakaian jadi, sedangkan tanda (-)
merupakan kelemahan yang dimiliki oleh industri pakaian jadi. Dari sumber daya
tetapi pada kenyataannya komoditi pakaian jadi masih mengimpor bahan baku
65
untuk proses produksinya. Dari tahun 2000 – 2005 bahan baku untuk industri
banyak, akan tetapi produktivitas pekerja di industri pakaian jadi masih sangat
rendah. Selain faktor SDM, faktor IPTEK untuk industri pakaian jadi juga masih
sangat rendah. Banyak mesin-mesin yang sudah tua untuk memproduksi pakaian
Kondisi Permintaan
Domestik
Kondisi Faktor 1. Komposisi permintaan
Sumber Daya Domestik (+)
1. SDA (-) 2. Besar & pola
2 SDM (-) pertumbuhan
3 IPTEK (-) Domestik (+)
4 Infrastruktur (-) 3. Internasionalisasi
Permintaan Domestik
(+)
pesaingan, dan strategi perusahaan yang mengarah pada persaingan ketat. Dimana
tidak ada perusahaan yang dominan, sehingga harga pakaian jadi tidak didominasi
yang besar. Sedangkan permintaan luar negeri cukup besar. Hal ini ditunjukkan
dengan persentase yang cukup besar dari nilai produksi industri pakaian jadi dari
yang diekspor setiap tahunnya melebihi 75 persen dari total nilai produksi pakaian
jadi.
pemerintah dan peran kesempatan. Peran nyata pemerintah untuk melindungi dan
meningkatkan produk pakaian jadi indonesia antara lain adanya larangan impor
pakaian jadi pada tahun anggaran 2007. Peran kesempatan juga merupakan
jadi dapat diketahui keterkaitan tiap komponen dalam Porter’s Diamond tidak
67
komponen kondisi faktor dan industri pendukung serta industri terkait, ternyata
untuk kurun waktu 2000 – 2006 masih bisa meningkatkan keunggulan komponen
yang sudah saling terjalin dan saling mendukung pada industri pakaian jadi hanya
dapat dilihat dari keterkaitan antara komponen kondisi permintaan dan struktur,
untuk industri pakaian jadi sebagian besar bahan baku produksinya masih
Keuangan, dan PT. PLN belum dapat menunjang sepenuhnya pada industri
perbankan nasional, secara umum masih menganggap industri TPT sebagai sunset
industry dengan tingkat risiko tinggi. Dengan tingkat suku bunga SBI sekitar 12,1
persen (per Agustus 2006) dan suku bunga bank komersial mencapai 16,5-17,5
peremajaan mesin. Demikian juga PT. PLN. Dengan krisis energi yang terjadi
setiap industri tekstil yang ada. Oleh karena itu, industri pakaian jadi di Indonesia
masih banyak dibantu oleh lembaga pemerintah. Pada periode 2000 – 2006,
bantuan yang diberikan pemerintah belum begitu berdampak bagi industri terkait
dan industri pendukung. Hal ini disebabkan peran pemerintah masih begitu kecil
terhadap industri pakaian jadi nasional. Apalagi bantuan dana segar yang
produksi karena realisasi produksi tidak sesuai dengan kapasitas maksimal yang
industri terkait dan pendukung. Dalam era globalisasi, pada periode 2000 – 2006
berkualitas.
perusahaan. Bentuk struktur industri pakaian jadi yang berupa persaingan ketat
dengan banyaknya perusahaan besar dan sedang yang bergerak pada industri
pakaian jadi dapat mempengaruhi komponen permintaan. Hal ini dapat dilihat,
pada periode 2000 – 2006 perusahaan besar dan sedang lebih dari 75 persen nilai
struktur, persaingan dan strategi dapat sedikit diatasi dengan faktor penunjang
Persaingan Usaha (KPPU). Selain itu, pemerintah juga melarang impor pakaian
bekas yang akan merusak persaingan dan permintaan pakaian dalam negeri.
komponen daya saing industri pakaian jadi Indonesia. Tanda garis tebal berwarna
biru merupakan keterkaitan yang saling mendukung, sedangkan tanda garis tipis
berwarna merah adalah keterkaitan yang tidak terjalin atau tidak saling
6.1. Kesimpulan
2006 berkisar pada angka 0,9739 – 0,9860. Angka ini menunjukkan bahwa
dalam kurun waktu tersebut, komoditi pakaian jadi Indonesia memiliki nilai
ekspor yang sangat jauh melebihi nilai impor komoditi yang sama.
2. Dari 2000 – 2006 nilai Indeks Konsentrasi Pasar (IKP) pakaian jadi Indonesia
berkisar pada nilai 51,19 sampai 63,70. Hal ini menunjukkan bahwa ekspor
satu atau beberapa negara tujuan ekspor saja. Kondisi ini jelas sangat tidak
Indonesia mulai tergantung pada salah satu atau beberapa pangsa pasar saja.
Dan jika pangsa pasar tersebut mengalami gangguan, secara tidak langsung
3. Jika dilihat dari nilai RCA, komoditi pakaian jadi Indoensia memiliki daya
saing yang lebih kuat dibandingkan dengan rata-rata dunia. Namun angka
RCA tersebut cenderung menurun walaupun masih lebih besar dari satu. Hal
4. Dari tiap komponen daya saing industri pakaian jadi memiliki keunggulan dan
saing industri pakaian jadi tinggi tersebut seperti faktor struktur, persaingan
pemerintah. Tetapi faktor sumber daya serta faktor industri terkait dan
tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk mendukung faktor daya saing yang
lemah. Hal tersebut menunjukkan bahwa daya saing industri pakaian jadi
6.2. Saran
pakaian jadi, sehingga pangsa pasar pakaian jadi tidak mengarah pada
keunggulan kompetitif industri pakaian jadi yang masih rendah. Ini berarti
3. Dengan besarnya nilai bahan baku impor pakaian jadi kain yang nilainya rata-
rata di atas 40 persen dari total bahan baku yang diperlukan dalam produksi
pakaian jadi, maka perlu kerja sama antara lembaga penelitian terkait dan
dapat meningkatkan daya saingnya seperti negara Cina dan India yang sudah
5. Melihat produktivitas tenaga kerja industri pakaian jadi Indonesia yang masih
rendah dan realisasi produksi yang belum optimal dari kapasitas terpasang,
Egismy. 2008. Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia. Bagian II.
Jakarta.
Firdaus, M dan A.H. Firdaus. 2008. Indonesia dan Cina di pasar Amerika Serikat.
[Paper]. IPB, Bogor.
Prahara, G. 2000. Kinerja Ekspor Komoditi Pakaian Jadi Indonesia Tahun 1989 –
1998. [Skripsi]. STIS, Jakarta.
Krugman, P.R dan Obstfeld Maurince. 2004. Teori dan Kebijakan Ekonomi
Internasional. Edisi kelima. Jilid 1. Jakarta.
74
Mulyani, Sri. 2004. Keunggulan Komparatif Ekspor Kakao Indonesia Tahun 1996
– 2000. [Skripsi]. STIS, Jakarta.
SENADA. 2007. Tinjauan Rantai Nilai Industri (RNI) Pakaian Jadi: Mekanisme
Operasi dan Antarhubungan Perusahaan antar RNI Pakaian Jadi.
Jakarta.
Sumber: BPS (Diolah khusus data kontribusi migas dan non migas)
77
Nilai ekspor
Nilai Ekspor
Tahun Nilai Ekspor Industri pertambangan
Pertanian
dan lainnya
(1) (2) (3) (4)
Sumber: BPS
78
Sumber : BPS
Keterangan : Hasil industri lainnya merupakan gabungan lebih dari 40 komoditi
hasil industri.
79
Lampiran 5. Perkembangan Nilai Ekspor Pakaian Jadi Menurut Negara Tujuan Utama (Juta Dollar AS)
Tahun 2000 – 2006
Negara Tahun
No
Tujuan 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
Sumber: BPS
80
Kode
No Uraian
Industri
(1) (2) (3)
1 15 Makanan dan Minuman
2 16 Pengolahan Tembakau
3 17 Tekstil
4 18 Pakaian Jadi
5 19 Kulit dan Barang dari Kulit dan Alas Kaki
6 20 Kayu, Barang-Barang dari Kayu (tidak termasuk furnitur), dan
Barang-barang Anyaman
7 21 Kertas dan Barang dari Kertas
8 22 Penerbitan, Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman
9 23 Batu Bara, Pengilangan Minyak Bumi dan Pengolahan Gas Bumi,
Barang-Barang dari Hasil Pengilangan Minyak Bumi, dan Bahan
Nuklir
10 24 Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia
11 25 Karet dan Barang dari Karet dan Barang dari Plastik
12 26 Barang Galian Bukan Logam
13 27 Logam Dasar
14 28 Barang-Barang dari Logam, kecuali Mesin dan Peralatannya
15 29 Mesin dan Perlengkapannya
16 31 Mesin Listrik Lainnya dan Perlengkapannya
17 32 Radio, Televisi, dan Peralatan komunikasi, serta Perlengkapannya
18 33 Peralatan Kedokteran, Alat-Alat ukur, Peralatan Navigasi,
Peralatan Optik, Jam dan Lonceng
19 34 Kendaraan Bermotor
20 35 Alat Angkutan, selain Kendaraan Bermotor Roda Empat atau
Lebih
21 36 Furnitur dan Pengolahan Lainnya
Sumber : BPS
81
Tingkat Kewenangan
Kondisi Jalan Tahun
Negara Propinsi Kab/Kota Jumlah
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Baik 2001 16.808 24.198 111.553 152.559
2002 16.849 24.419 105.733 147.001
2003 18.455 25.132 105.898 149.485
2004 20.504 21.564 105.942 148.010
2005 16.958 11.081 126.540 154.579
Sedang 2001 6.325 12.514 75.324 94.163
2002 6.054 13.704 76.407 96.165
2003 6.069 13.038 77.731 96.838
2004 9.293 13.024 80.233 102.550
2005 10.526 13.783 86.143 110.452
Rusak 2001 2.031 6.382 59.288 67.701
2002 2.725 7.114 64.314 74.153
2003 2.774 6.728 64.053 73.555
2004 3.955 4.251 66.602 74.808
2005 2.968 5.850 62.483 71.301
Rusak Berat 2001 1.164 4.783 41.412 47.359
2002 1.988 3.668 45.387 51.043
2003 2.020 3.526 45.092 50.638
2004 877 1.286 45.397 47.560
2005 4.177 9.411 41.089 54.677
Jumlah 2001 26.328 47.877 287.577 361.782
2002 27.616 48.905 291.841 368.362
2003 29.318 48.424 292.774 370.516
2004 34.629 40.125 298.174 372.928
2005 34.629 40.125 316.255 391.009