Anda di halaman 1dari 3

SEJARAH PERADABAN ISLAM

(Dimensi Isi Tauhid Tentang Prinsip Masyarakat)


Dalam sejarah awal perkembangan Islam, ajaran Tauhid merupakan ajaran pokok yang pertama
kali disampaikan oleh para Nabi dan Rasul kepada ummatnya. Tauhid menempati posisi yang paling
stimewa dalam keseluruhan sistem ajaran serta struktur bangunan keberagamaan kaum Muslim.
Eksistensi tauhid dalam diri seorang Muslim menjadi kunci keabsahanan bagi semua rangkaian ibadah
yang dilakukan.
Betapapun bagusnya akhlak dan ibadahnya seseorang, kalau tidak didasari oleh eksistensi tauhid
maka ibadahnya menjadi sia-sia, atau dalam bahasa Al Qur’an disebut habithath a’maluhum. Bahkan
barangsiapa yang mengingkari eksistensi tauhid (menyekutukan Tuhan/musyrik), maka digolongkan
kepada perbuatan yang termasuk dosa besar, sebagaimana firman Allah: ”Sesungguhnya Allah tidak
mengampuni perilaku orang yang menyekutukan-Nya dan mengampuni dosa selain itu bagi yang Ia
kehendaki”. (QS. An Nisa [4]: 48).
Selain menentukan keabsahan ritual keberagamaan seseorang, konsep tauhid juga berfungsi
mengendalikan nalar, tindakan dan dinamika kemanusiaan. Secara sosiologis, tauhid juga dapat
membentuk, mengarahkan dan menentukan kualitas perilaku individu maupun komunitas umat Islam.
Semakin tinggi kualitas tauhid individual seorang muslim, maka semakin tinggi pula kualitas tauhid
sosialnya. Spirit dari tauhid itu mampu membuat perubahan yang sangat revolusioner dalam wilayah
teologi yang dampaknya mampu membuat transformasi terhadap realitas sosio-kulturalnya.
Jika kita menelaah kembali doktrin-doktrin tauhid yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad Saw.
sebagai nabi terakhir, maka kita menemukan bahwa watak doktrin yang diajarkannnya itu bersifat
dinamis, progresif dan liberatif. Ketika itu Rasulullah mengajarkan para pengikutya untuk menyembah
hanya kepada Allah Yang Maha Esa, menghambakan diri kepada-Nya, Menyerahkan totalitas eksistensial
kemanusiaan kepada-Nya dan mengesakan-Nya dari segala penyembahan, ketundukan, kepatuhan,
ketaatan dan penghambaan diri kepada selain-Nya.
Dari doktrin tersebut, lahirlah dalam sejarah generasi-genarasi sahabat yang memiliki karakter
yang khas dan cenderung “subversif” terhadap realitas sosio-kultural yang dihadapinya pada saat itu.
Mereka berani menentang dan memberontak terhadap status quo yang tiranik, hegemonik dan
sewenang-wenang, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai keagamaan yang dijalankannya. Jadi,
doktrin tersebut benar-benar bersifat revolusioner dan transformatif.
Namun, sejalan dengan perkembangan sejarah dan peradaban kemanusiaan, doktrin tauhid
seperti yang diajarkan oleh Rasulullah itu mengalami pergeseran secara signifikan. Struktur tauhid yang
bersifat revolusioner dan transformatif itu direduksi menjadi kumpulan wacana yang tidak lagi
berdimensi sosial. Perkembangan tradisi keilmuan, menyebabkan tauhid menjadi doktrin yang kaku,
tertutup, teoritik dan tidak memiliki daya dorong sosial. Perdebatan-perdebatan tauhid hanya sebatas
pada dataran ilmiah, seperti mengenai ilmu kalam dan sebagainya. Sehingga, tauhid menjadi ilmu dan
ilmu menjadi buku. Gaung tauhid hanya terdengar di meja perdebatan, tidak bergema di medan tempur.
Akhirnya, tauhid tidak lagi bersifat revolusioner dan transformatif.
Hasan Hanafi, salah seorang intelektual terkemuka dari Mesir menggugat dan mengkritik ilmu-
ilmu keislaman klasik yang banyak mengeksploitasi ilmu tauhid pada wilayah keilmuan saja. Dalam
bukunya Dari Akidah ke Revolusi (2003), Hasan Hanafi menggugat keras, tidak hanya terhadap
paradigma klasik dalam ushuluddin-khususnya ilmu kalam, tetapi juga terhadap tradisi. Dalam
pandangan Hanafi, teologi yang diusung pada ilmu-ilmu keislaman klasik hanya menekankan pada
wilayah yang bersifat teosentrisme (peradaban yang berpusat pada Tuhan) yang hanya menguntungkan
kalangan penguasa.
Banyak penguasa yang bernaung dibawah teosentrisme lalu melegalkan otoritarianisme
(kekerasan dan kesewenang-wenangan) atas nama Tuhan. Oleh karena itu Hasan Hanafi mencoba
menggeser paradigma dari teosentrisme ke antroposentrisme (peradaban yang berpusat pada
kemanusiaan), yakni teologi yang memberi perhatian lebih besar terhadap problema kemanusiaan dan
hendak mengungkapkan dimensi yang hilang dalam doktrin keagamaan. Dalam pandangan Hasan
Hanafi, teologi antroposentrisme merupakan dimensi tauhid yang tidak hanya memahami Allah sebagai
Tuhan Langit (rabb al-samawat), namun juga sebagai Tuhan Bumi (rabb al-ardh). Dengan doktrin tauhid
seperti ini maka keimanan seseorang dapat diterjemahkan pada wilayah sosial, sehingga dapat
menimbulkan sikap yang concern terhadap pemihakan kaum lemah dan tertindas (mustadh’afin).

Esensi Dakwah Islam


Dakwah Islam sejatinya tidak hanya menekankan pada dimensi ketuhanan saja, melainkan
berbicara tentang hubungan antara ketuhanan dengan kemanusiaan. Dakwah Islam tidak sekedar
berkutat pada persoalan ritualistik-formalistik, namun harus menyentuh pada pada upaya untuk
menyelamatkan manusia dari kefakiran yang berada di tepi jurang kekufuran. Alangkah ironisnya, jika
dakwah hanya dijadikan komoditi media untuk kepentingan politik dan hiburan semata.
Dakwah Islam, esensinya adalah mengeluarkan manusia dari kegelapan jahiliyyah kepada cahaya Islam.
Dakwah Islam merupakan transformasi sosial yang mengubah tatanan kehidupan masyarakat yang
timpang, tidak berkeadilan, terjadi penindasan dan kezhaliman, menjadi masyarakat yang berkeadilan,
egaliter, cinta-kasih, bebas dari penindasan dan kezaliman, serta berada dalam naungan kebenaran
Ilahiah. Al Qur’an telah membimbing manusia untuk hidup pada jalan kebenaran dan bebas dari
belenggu penindasan. Al Qur’an mendorong kita untuk senantiasa berjuang membebaskan diri dari
segala bentuk penindasan dan pembelengguan. Bahkan Al Qur’an menyebutkan pemihakan Allah
kepada orang-orang yang tertindas (mustadh’afin), sebagaimana firman-Nya, “Dan Kami hendak
memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka
pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).” (QS. Al Qashash [28]: 5).
Menurut Prof. DR. M. Amien Rais, MA., Al Qur’an memiliki ajaran-ajaran yang sangat potensial
untuk dikembangkan menjadi suatu teologi yang betul-betul relevan, teologi yang kontekstual, yang
betul-betul mampu memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan yang sedang kita hadapi. Oleh
karena itu, Al Qur’an dapat menjadi sumber inspirasi bagi pelaksanaaan dakwah agar bersifat dinamis,
progresif dan liberatif, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.
Untuk merevitalisasi peran dakwah, perlu adanya rumusan dan program serta aksi yang bersifat
praksis. Bentuk dan pola dakwah selama ini baru bersifat penyampaian (tabligh), seperti yang dilakukan
melalui ceramah-ceramah dan pengajian-pengajian di atas mimbar atau podium, yang sasaran
audiensnya adalah mereka yang sudah memiliki kesadaran keberagamaan yang tinggi.
Orang-orang yang kurang mendapat perhatian dan seringkali tidak tersentuh oleh dakwah Islam
diantaranya disebutkan oleh Allah dalam QS. Al Hajj ayat 11: “Dan diantara manusia ada orang yang
menyembah Alllah di pinggiran, maka jika ia memperoleh kebaikan, ia berpegang teguh kepada
agamanya. Jika ia ditimpa bencana, maka ia tinggalkan agamanya”. Kelompok yang seperti inilah yang
harus menjadi perhatian utama, karena keimanan mereka yang labil menyebabkan mereka mudah
menjadi kufur walau dengan persoalan-persoalan ekonomi atau sosial yang dihadapi. Tentunya untuk
menyelamatkan kelompok seperti ini tidak cukup lewat nasehat-nasehat agama melainkan memberi
solusi bagi masalah yang dihadapinya. Jangan sampai mereka akhirnya mendapat solusi dari para juru
dakwah di luar Islam.
Oleh karena itulah perlu ada pembaharuan teologi (Tauhid) yang bersifat kontekstual, dalam arti
mampu menurunkan ajaran Allah dari langit ke muka bumi, sehingga ajaran tersebut bukan saja sekedar
dijadikan pisau analisis tetapi juga harus mampu memecahkan masalah-masalah kehidupan. Wallahu
a’lam wal ‘ilmu ‘indallahi.

Anda mungkin juga menyukai