Anda di halaman 1dari 2

Politik (Ruang) Perempuan PMII

“Teman-teman perempuan menangis terisak, saat mendengar KOPRI diputuskan menjadi


badan semi-otonom,” kata Desilawati, teman saya, yang juga anggota KOPRI asal DKI Jakarta.

“Nampak sekali mereka kecewa,” demikian lanjutnya dalam sebuah pembicaraan via
telpon sekitar dua minggu usai Kongres Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di Kota
Batam, Propinsi Riau. Meskipun dalam beberapa diskusi ringan mengenai KOPRI (Korp PMII
Putri) saya seringkali berbeda pendapat dengannya, Desi, sejauh pengetahuan saya, adalah salah
seorang kader perempuan PMII yang punya integritas. Justru karena berbeda, dan terutama
karena integritasnya, itulah saya menghargainya dengan tanpa syarat.

Saya sendiri tidak menghadiri perhelatan Kongres yang akhirnya memilih Sahabat Rodli
Kaelani sebagai ketua umum itu, karena menyadari diri bukan bagian dari orang penting di tubuh
organisasi mahasiswa muslim progresif ini. Tapi sikap acuh tak acuh semacam ini sebenarnya
membuat saya merugi lantaran tidak memahami secara detil argumentasi di balik keputusan
strategis soal KOPRI di atas. Satu-satunya alasan dominan yang terdengar adalah bahwa
perjuangan kesetaraan perempuan sudah paripurna, setidaknya sudah maju sekian puluh langkah,
bila pemisahan domain kader PMII putra dan kader PMII putri telah didekonstruksi. Pembedaan
hanyalah ekspresi cara berpikir yang diskriminatif. Begitu kata sebagian mereka.

Sejauhmanakah argumentasi ini bisa dipertanggungjawabkan dalam konteks strategi


gerakan perempuan ke depan, dan KOPRI pada khususnya? Esei pendek ini dimaksudkan untuk
memeriksa hal tersebut.

Hampir semua aktifis perempuan sudah mafhum, bahwa gerakan perempuan adalah
fenomena umum dari gejala maraknya berbagai gerakan sosial baru yang tumbuh sejak
pertengahan abad lalu. Ia adalah respon dari kebuntuan gerakan Kiri Lama yang terkurung dalam
politik kelas yang berakibat pada sikap acuh tak acuh terhadap realitas penindasan di dalam sub-
sub kelas, seperti yang menimpa komunitas kulit hitam dan kaum perempuan. Maklum saja, bagi
Kiri Lama hanya ada dua kelas, kelas kapitalis sebagai kelompok penindas, dan kelas proletar
sebagai kelompok tertindas. Dalam pandangan mereka (berbagi dengan Liberalisme, Kiri Lama
masih menganut keyakinan rasionalitas Pencerahan yang meyakini “kemanusiaan yang sama dan
universal”), kelas yang telah disebut terakhir ini adalah satu-satunya agen universal yang
menjadi motor perubahan.

Refleksi semacam ini lahir di Eropa, sementara realitas peminggiran dan diskriminasi
terhadap kaum perempuan adalah fenomena yang hampir merata di belahan dunia. Justeru
karena dalam setiap refleksi bersifat partikular, parsial dan selalu ada jarak renggang dengan
kenyataan, maka setiap basis dasar pengandaian dari sebuah refleksi mesti ditatap dengan mata
kritis dan terbuka. Apakah universalitas manusia --yang acuh tak acuh terhadap realitas
diskriminasi dan peminggiran berdasarkan perbedaan budaya, agama, etnik, dan jenis kelamin,
atau katakanlah perbedaan konteks struktur dasar masyarakat-- adalah pengandaian yang cukup
memadai sebagai basis gerakan kesetaraan kaum perempuan?
Di kalangan feminis progresif, dalam struktur dasar masyarakat yang patriarkis,
kesetaraan universal adalah ilusi. Dan gerakan perempuan seyogyanya tidak lahir dari sebuah
ilusi semacam itu. Gerakan perempuan harus lahir dari basis dasar kenyataan sosial yang konkrit.
Kenyataan itu adalah perbedaan. Perbedaan budaya, mode ekonomi, nilai religi, kekuatan fisik,
aspek psikologis dan biologis, dan seterusnya. Bukan perbedaan yang diingkari dan
didiskriminasi, melainkan perbedaan yang dihargai dan dalam konteks yang bersifat relasional.
Di dalam politik perbedaan, butuh suatu strategi: politik ruang. Ruang yang didominasi oleh laki-
laki tak banyak yang bisa diharapkan, baik akomodasi suara maupun sumberdaya. Ini realitas,
bukan pengandaian. Berdasarkan alasan itu pula, kira-kira, dulu, Kiri Lama yang sudah impoten
dan lesu itu harus menggantikan pandangan kelas universalnya dengan gerakan-gerakan sosial
baru berbasis perbedaan. Dan Kiri Lama bermetamorfosis menjadi Kiri Baru. Lalu bagaimana
dengan PMII?

Mari kita kembali pada hasil keputusan Kongres PMII yang lalu. Kita bisa
menganalogikan mahasiswa muslim PMII sebagai kelas universal. Di dalam universalitas
semacam itu perempuan tak dihitung, dan nampaknya memang kurang diperhitungkan. Apalagi
menyangkut hal ikhwal problem perempuan, posisinya dan bagaimana gerakannya. That’s all
almost unthinkable.

Tapi nasi sudah menjadi bubur. Perempuan PMII “dikandangkan” dalam kesatuan,
“universalitas” yang bernama PMII. Dalam konteks politik ruang, perempuan PMII kalah. Skor
0-2. Satu untuk defisit basis pengetahuan, dan satu lagi untuk defisit perjuangan politik (ruang).
Ini baru di dalam PMII, bagaimana halnya dengan defisit-defisit lain perempuan PMII dihadapan
berbagai gerakan perempuan lokal, regional bahkan global?

Oleh karena itu, untuk mengatasi dua defisit itu perkenankanlah saya mengusulkan agar
KOPRI menjadi badan otonom. Tentu saja usulan ini disertai dengan beberapa alasan. Pertama,
agar gerakan KOPRI terhindar dari pengandaian kesetaraan yang ilusif, dan akhirnya jatuh ke
dalam pilihan-pilihan posisi yang artifisial dan mudah dimanipulasi. Kedua, agar identitas
keperempuanan tidak begitu saja larut tenggelam dalam segala hiruk pikuk wacana internal
dominan. Dan ketiga, proses-proses negosiasi gagasan dan gerakan kader perempuan sebagai
“kelompok-gerakan”, hemat saya, akan lebih kuat dan kokoh ketimbang bersifat individual dan
non-identitas, baik dalam internal kelembagaan PMII maupun dengan pihak eksternal. Cara
berpikir macam ini biasanya sering disebut sebagai "esensialisme-strategis".

Mudah-mudahan uraian yang amat pendek ini bisa menjadi pertimbangan di masa
mendatang, agar perempuan PMII lebih mampu berkonsentrasi menggarap wacana (teori plus
praktek) dan gerakan perempuan dunia ketiga (poskolonial) yang hingga kini masih terseok-
seok.

Jadi, buat perempuan PMII, masih ada waktu. Segera usaplah air matamu, dan kembali
singsingkan lengan baju ... []

Anda mungkin juga menyukai