Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Tri Kriantob
A. KONSEP PERILAKU
Dengue
Hemorrhagic
Fever
(DHF,
yang
di
Indonesia
disebut
demam
berdarah
dengue/DBD)
adalah
penyakit
tropis
yang
masih
menjadi
beban
masyarakat.
Jumlah
kasusnya
belum
dapat
diturunkan.
Metode
pengendalian
kombinasi,
fisik,
kimia,
dan
biologi
telah
direkomendasikan,
serta
terbukti
efektif
di
berbagai
Negara,
namun
di
Indonesia
kurang
menunjukkan
hasil
yang
menggembirakan.
Apabila
dibandingkan
dengan
Negara-‐negara
lain,
yang
juga
mengalami
masalah
serupa,
jumlah
kasus
DBD
cenderung
meningkat,
bahkan
meluas.
Analisis
time-‐series
menggunakan
teknik
moving
average,
dengan
menghitung
rerata
kasus
per
tiga
tahun
dari
1980-‐2005
yang
dilaporkan
WHO
menunjukkan
bahwa
di
Indonesia
kejadian
DBD
tampak
terus
meningkat.
a
Makalah
disampaikan
pada
Konferensi
Nasional
IAKMI
di
Bandung,
2-‐4
Agustus
2010
b
Lektor
kepala
di
Departemen
PKIP
FKMUI,
Ketua
Program
Studi
Ilmu
Kesehatan
Masayarakat/Pengembangan
Akademik
FKMUI
dan
Peneliti
pada
Pusat
Riset
Epidemiologi
dan
Surveilans
FKMUI
E-‐mail:
tkrianto1@ui.ac.id
1
Indonesia
dan
Malaysia
adalah
dua
Negara,
yang
dalam
Persepsi
masyarakat
Karnataka-‐India
terhadap
penyakit
ilustrasi
grafis
di
atas
tampak
cenderung
meningkat,
yang
dibawa
nyamuk
.
sedangkan
Meksiko
dan
Thailand
cenderung
dapat
semakin
ditekan.
Oleh
karenanya,
dua
Negara
terakhir
Hampir
semua
orang
(90%)
sebenarnya
mengetahui
bahwa
tersebut
dapat
dijadikan
model
pengendalian
DBD.
nyamuk
adalah
masalah.
Namun
yang
masih
menjadi
persoalan,
banyak
di
antara
mereka
tidak
tahu
di
mana
Pendekatan
yang
diperkenalkan
oleh
WHO,
yaitu
nyamuk
berkembang
biak.
Karnataka
adalah
salah
satu
Communication
for
Behavior
Impact
(COMBI)
atau
negara
bagian
di
India
yang
endemis
untuk
malaria,
dengue,
komunikasi
untuk
perubahan
perilaku
(KPP),
juga
masih
filariasis
dan
Japanese
encepahalitis.
Untuk
setiap
distrik
menjumpai
berbagai
hambatan,
utamanya
dalam
persoalannya
berbeda.
mencapai
sustainable
behavior
(perilaku
yang
lestari)
Dalam
hal
akses
terhadap
media,
TV
adalah
media
yang
dalam
PSN/PJN.
diakses
oleh
mayoritas
masyarakat
yang
tinggal
di
desa
dan
di
kota.
Nyamuk
sangat
ditakuti
oleh
orang
desa
dan
kota
sebab
Perilaku,
yang
merupakan
tujuan
pokok
COMBI,
bisa
menggigit
(79,5%-‐di
kota
dan
84,6%-‐di
desa).
Namun
didefinisikan
sebagai
segenap
aktivitas
individu
yang
pemahaman
bahwa
nyamuk
bisa
menggigit
dan
menularkan
teramati
maupun
yang
tidak
teramati.
Perilaku
penyakit
hanya
dijawab
oleh
20,2%
orang
di
kota
dan
14,7%
orang
di
desa.
Sebagian
besar
(76,2%
di
kota
dan
95,7%
di
mempunyai
tiga
domain,
yaitu
kognisi,
afeksi
dan
desa)
mengatakan
bahwa
nyamuk
menggigit
di
malam
hari.
psikomotor.
Pada
umumnya
perilaku
kognisi
tidak
dapat
Demikian
pula
halnya,
ternyata
28%
responden
di
kota
dan
diamati,
sedangkan
perilaku
psikomotorik
sangat
mudah
37,5%
responden
di
desa
tidak
tahu
tempat
nyamuk
dilihat.
Afeksi
adalah
domain
yang
abu-‐abu
(grey
area).
berkembang
biak.
Bahkan
ketika
ditanyakan
apa
saja
ukuran
pengamatan
jentik,
34%
orang
di
kota
dan
43,8%
di
desa
Oleh
karena
itu,
berbagai
literatur
mutakhir
mengaitkan
mengaku
tidak
tahu.
Demikian
pula
halnya
dengan
apa
yang
langsung
pengetahuan
ke
praktek.
harus
dilakukan
untuk
mencegah
penyakit
karena
nyamuk
ternyata
34,2%
responden
di
kota
dan
43,8%
responden
di
Dari
sisi
pembentukannya,
perilaku
juga
dapat
desa
mengaku
tidak
tahu.
didefinisikan
sebagai
respons
terhadap
stimulus
(rangsang).
Bentuk
rangsangnya
juga
bervariasi,
namun
Ketika
ditanyakan
apa
yang
sudah
dilakukan
pemerintah
untuk
mengurangi
populasi
nyamuk
ternyata
40,8%
secara
umum
dibagi
dua,
yaitu:
a)
rangsang
yang
bersifat
responden
di
kota
dan
43,1%
responden
di
desa
tidak
tahu.
otomatis
atau
refleks,
dan
b)
yang
dirancang
melalui
34%
orang
di
kota
dan
28,6%
orang
di
desa
menyatakan
kegiatan
khusus
(operant).
Oleh
karenanya
respons
yang
bahwa
pemerintah
tidak
melakukan
apapun.
Pada
mereka
terbentuk
disebut
reflexive
response,
misalnyakhawatir
yang
menyatakan
bahwa
pemerintah
telah
melakukan
sesuatu,
maka
di
kota
50%
responden
menyatakan
bahwa
infeksi
dengue
pada
musim
pancaroba
untuk
rangsang
pemerintah
melakukan
penyemprotan
bahan
kimia.
otomatis,
dan
melakukan
PSN/PJN
setelah
mendapatkan
Sedangkan
57,2%
orang
di
desa
menyatakan
bahwa
penyuluhan
sebagai
respons
terhadap
adanya
pemerintah
melakukan
pembersihan
selokan.
penyuluhan.
Meskipun
demikian
mereka
mengatakan
bahwa
upaya
B. MASALAH-‐MASALAH
PERILAKU
pemerintah
belum
memadai.
Lingkungan
yang
buruk
menyebabkan
banyaknya
nyamuk.
Di
kota
51,4%
orang
tahu
bahwa
malaria
bisa
ditularkan
oleh
nyamuk,
namun
di
desa
Dari
sisi
promosi
kesehatan,
perilaku
terbentuk
karena
59,1%
orang
tidak
tahu
bahwa
nyamuk
bisa
menularkan
sinergi
antara
penyuluhan
kesehatan,
kebijakan
yang
penyakit
(Sumber:
Kumar,
K
Ravi
dan
G
Gururaj.
Community
tepat
dan
lingkungan
yang
mendukung.
Seringkali,
Perception
Regarding
Mosquito-‐borne
Diseases
in
Karnataka
ketiganya
sudah
dipersiapkan
dan
dilaksanakan,
namun
State,
India.
Dengue
Bulletin
Vol
29,
2005)
perilaku
kerapkali
juga
tidak
terbentuk.
Hal
ini
menunjukkan
bahwa
merubah
perilaku
adalah
pekerjaan
yang
kompleks.
Setidaknya
ada
tiga
factor
utama
yang
2
juga
berkontribusi
terhadap
terjadi
atau
tidak
terjadinya
perilaku,
yaitu
aspek
psiko-‐sosio-‐budaya
sasaran.
Ketiga
aspek
tersebut
dapat
dielaborasi
menjadi
sekelompok
rangsang,
yang
keberadaannya
mempengaruhi
terbentuknya
respons
perilaku.
Kelompok
rangsang
tersebut
terdiri
dari
rangsang-‐
rangsang
fisik,
rasio,
keterampilan,
emosi,
social,
ekonomi,
dan
perilaku
saing.
Untuk
itu,
seharusnya
kegiatan
promosi
kesehatan
harus
mengantisipasi
keberadaan
ragam
rangsang
tersebut
melalui:
a)
pengembangan
pesan
dan
strategi
komunikasi
yang
lebih
tepat,
misalnya
merumuskan
pesan
yang
lebih
menyentuh
aspek
emosi
dan
rasio,
b)
pengembangan
dan
implementasi
program
yang
lebih
menjamin
terbentuknya
perilaku
lestari,
c)
secara
berkelanjutan
mengkampanyekan
pentingnya
perilaku
PSN/PJN
guna
melawan
perilaku
saing,
serta
d)
membentuk
social
atmosphere
PSN/PJN
di
masyarakat.
Sebagai
contoh,
keterbatasan
ekonomi
berkaitan
dengan
kepatuhan
masyarakat
terhadap
program
PSN,
sebab
aktivitas
3M
mempunyai
implikasi
terhadap
ongkos
yang
harus
dibayar.
Menguras
bak
mandi
tentu
mempunyai
implikasi
terhadap
meningkatnya
pengeluaran,
terutama
pada
penduduk
yang
harus
mengeluarkan
ongkos
pembelian
air
bersih.
Pada
penduduk
miskin,
hal
ini
sering
menjadi
hambatan1.
Demikian
pula
rangsang-‐rangsang
lainnya
yang
sangat
besar
variasinya
tergantung
pada
daerah
dan
kebudayaan.
Gerakan
Jum’at
bersih
boleh
jadi
cocok
untuk
menumbuhkan
perilaku
bersih
masyarakat
Jakarta,
namun
untuk
komunitas
commuter
di
Bodetabek
yang
beraktivitas
di
Jakarta
tidak
cocok
(tidak
kompatibel),
sebab
tidak
memiliki
waktu.
Perubahan
perilaku,
atau
dalam
konteks
pengendalian
penyakit
demam
berdarah
akan
lebih
efektif
apabila
ditetapkan
sebagai
perubahan
budaya,
adalah
suatu
proses
yang
tidak
lepas
dari
berbagai
hambatan,
bahkan
hambatan
tersebut
akan
dijumpai
pada
setiap
tahap.
Menggunakan
model
klasik,
perubahan
perilaku
(operant
response)
dimulai
dengan
adanya
informasi,
meningkatnya
pengetahuan,
semakin
positifnya
sikap,
membaiknya
perilaku,
munculnya
kebiasaan,
serta
tmbuhnya
budaya.
Namun
berbagai
hambatan
dan
gangguan
menyebabkan
berjalannya
perubahan
perilaku
tidak
seperti
yang
diharapkan,
sejak
ketika
informasi
tentang
pengendalian
penyakit
diluncurkan.
Berdasarkan
teori
probabilitas,
terjadinya
kemungkinan
perubahan
perilaku
adalah
50%:50%.
Oleh
karenanya
secara
matematis
terjadinya
perubahan
sampai
budaya
mengikuti
asumsi:
Prakiraan
secara
matematis,
boleh
jadi
tidak
sesederhana
yang
diperkirakan.
Berbagai
kemungkinan,
sebagaimana
yang
diharapkan
atau
yang
sangat
tidak
diinginkan
dapat
terjadi.
Namun
dari
konteks
pengendalian
vector,
berbagai
upaya
dan
pembiayaan
seharusnya
mempertimbangkan
hal
tersebut.
Apabila
perubahannya
berbentuk
praktek,
setidaknya
upaya
yang
dilaksanakan
minimal
8
kali
dari
yang
dilakukan
sekarang,
namun
jika
budaya
yang
diinginkan
maka
upaya
yang
dilakukan
harus
>
30
kali.
3
Suatu
analisis
isi
yang
dilakukan
terhadap
beberapa
artikel
menunjukkan
bahwa
sumber-‐sumber
problematika
pengendalian
demam
berdarah
yaitu:
No Problematika Penyebab
2
Sikap
tidak
positif
a. Pendekatan
massa
lebih
dominan
daripada
pendekatan
personal
b. Informasi
yang
diterima
bersifat
parsial
3
Praktek
kurang
baik
a. Sekedar
tahu
dan
bersikap
positif,
namun
tidak
terlatih
b. Tidak
ada
bukti
dan
fakta
yang
teramati
Demam
berdarah
adalah
penyakit,
di
mana
bagi
sebagian
masyarakat
dianggap
sebagai
kejadian
yang
bermusim
(siklikal).
Hal
ini
menyebabkan
inkonsistensi
perilaku.
Masyarakat
mulai
waspada
jika
mulai
musim
hujan,
namun
lengah
di
usim
yang
menurutnya
bukan
musim
DBD.
Koopman
dkk
(1991)
dan
Schultz
(1993)
yang
dikutip
Chowel
dan
Sanchez
(2006)
menyatakan
bahwa
lonjakan
kasus
DBD
berhubungan
dengan
temperatur
dan
tinggi
curah
hujan.
Tempat-‐tempat
perkembangbiakan
nyamuk
bertambah
selama
musim
hujan.
Curah
hujan
mempengaruhi
kejadian
DBD
melalui
kenaikan
temperatur
dan
kelembaban
nisbi
udara.
Temperatur
dan
kelembaban
nisbi
udara
selama
musim
hujan
sangat
kondusif
untuk
kelangsungan
hidup
nyamuk
dewasa
dan
meningkatkan
kemungkinan
nyamuk
terinfeksi2.
Terjadinya
penyimpangan
(anomaly)
cuaca,
bahkan
hingga
tulisan
ini
di
buat
(Juli
2010)
hujan
masih
turun,
menyebabkan
kejadian
demam
berdarah
sulit
untuk
diprediksi.
Hal
ini
seharusnya
mendorong
berbagai
pihak,
utamanya
pemerintah
untuk
melakukan
berbagai
upaya,
di
antaranya
komunikasi.
Sasaran
yang
harus
terpajan
informasi
harus
semakin
luas.
Apabila
selama
ini
promosi
kesehatan
lebih
banyak
dilakukan
terhadap
ibu
rumah
tangga
(masyarakat),
maka
membidik
anak
sekolah
dan
para
pekerj
adalah
strategi
yang
harus
dilaksanakan.
Berdasarkan
statistic
pendidikan
dari
Kementerian
Pendidikan
Nasional
jumlah
anak
sekolah
lebih
dari
40
juta.
Apabila
sinergi
dengan
kementerian
Diknas
dapat
dijalin,
maka
40
juta
anak
sekolah
terpajan
DBD,
dan
akan
memiliki
efek
sebar
setidaknya
terhadap
120
juta
jiwa
lainnya.
Demikian
pula
halnya
apabila
asosiasi
pengusaha
dan
kementerian
tenaga
kerja
dapat
diajak
bekerjasama
maka
para
pekerja,
yang
banyak
di
antaranya
tinggal
di
rumah-‐
rumah
kontrakan
di
Jabotabek,
dapat
ditingkatkan
perilakunya.
Meskipun
jejaring
yang
harus
dikembangkan
demikian
luas,
namun
komunikasi
pengendalian
DBD
harus
memenuhi
asas-‐asas
komunikasi
efektif,
yaitu:
a)
memiliki
daya
tarik
yang
kuat,
b)
mudah
dipahami,
c)
4
tidak
bertentangan
dengan
norma
socialbudaya,
kesusilaan
dan
agama,
sehingga
mudah
diterima,
d)
memiliki
daya
ungkit
emosional
pada
sasaran,
sehingga
sasaran
merasa
bahwa
komunikasi
tersebut
ditujukan
pada
mereka,
serta
e)
diyakini
kebenarannya,
sehingga
mampu
mendorong
khalayak
untuk
berperilaku.
C. PENGALAMAN PENGENDALIAN
Berbagai
studi
terkait
pengendalian
demam
berdarah
telah
banyak
dilakukan.
Berbagai
keberhasilan
dan
kegagalan
dapat
menjadi
pengalaman
berharga.
Persoalan
kelestarian
(sustainabilitas)
perubahan
perilaku
adalah
tantangan
terbesar
perubahan
perilaku.
Oleh
karenanya
disajikan
pengalaman
di
Negara
lain
dalam
menjamin
kelestarian.
5
masyarakat
yang
terkait
dengue,
c)
mempromosikan
partisipasi
masyarakat,
dan
d)
identifikasi
factor-‐faktor
Inkonsistensi
pengetahuan
dan
praktek
terkait
dengan
keberadaan
aedes
aegypti.
a
pengendalian
dengue
di
Kamphaeng
Phet
Thailand .
7
terhindar
dari
sakit,
dan
b)
adanya
perilaku
tertentu
yang
dapat
membuat
individu
terhindar
dari
sakit.
Oleh
karenanya
model
ini
terdiri
dari
beberapa
komponen
yaitu:
a)
perceived
susceptibility,
b)
perceived
severity,
c)
perceived
benefits,
d)
perceived
barriers,
e)
cues
to
action,
f)
self
efficacy.
Model
kepercayaan
kesehatan
dapat
dijadikan
pedoman
pengembangan
komunikasi
untuk
perubahan
perilaku
dalam
pengendalian
vector
DBD.
Namun
beberapa
hal
yang
diperkirakan
berkontribusi
secara
signifikan
perlu
dicermati.
Hasil
pemetaan
tentang
perilaku
hidup
bersih
dan
sehat
di
Jakarta
menunjukkan
terjadinya
disparitas
antara
strategi
komunikasi
DBD
yang
disukai
dengan
sumber
informasi
yang
diterima.
Pada
tahun
2006,
ketika
pemetaan
dilakukan,
hampir
semua
masyarakat
(91,2%)
memperoleh
informasi
DBD
dari
televisi,
lebih
dari
separuh
(62,4%)
dari
tenaga
kesehatan,
dan
yang
memperoleh
informasi
dari
media
cetak
sekitar
40%.
Namun
sebenarnya
sebagia
besar
masyarakat
masih
menyukai
penyuluhan
yang
dilakukan
tenaga
kesehatan,
karena
alasan
kredibilitas,
akses
komunikasi,
dan
kesempatan
belajar.
PERCEIVED
Pendapat
tentang
kerentanan
untuk
Faktor
risiko,
risiko
karena
perilaku
SUSCEPTIBILITY
sakit
PERCEIVED
SEVERITY
Pendapat
tentang
keseriusan
Konsekuensi
dari
risiko
dan
kondisi
/keparahan
penyakit
PERCEIVED
BENEFITS
Manfaat
yang
diyakini
apabila
Tindakan:
bagaimana,
di
mana,
kapan
dan
mematuhi
nasehat
untuk
mengurangi
klarifikasi
efek
positif
yang
diharapkan
risiko/
keseriusan
dampak
PERCEIVED
BARRIERS
Pendapat
tentang
biaya
nyata
dan
Identifikasi
dan
mengurangi
hambatan
biaya
psikologis
dari
tindakan
yang
disarankan
CUES
TO
ACTION
Strategi
untuk
membuat
seseorang
Menyediakan
informasi,
kesadaran
dan
“siap”
mendorong
ingatan
SELF
EFFICACY
Keyakinan
bahwa
dia
bisa
melakukan
Memberikan
pelatihan,
bimbingan,
menjaga
tujuan,
mengurangi
kecemasan
Sejalan
dengan
meningkatnya
tuntutan
akan
keterbukaan
informasi,
serta
selaras
dengan
mengemukanya
pendekatan
partisipatif,
maka
berbagai
pengalaman,
dari
Indonesia,
maupun
dari
berbagai
Negara
perlu
dipertimbangkan
dalam
pengendalian
DBD
di
Indonesia.
Pendekatan
partisipatif
diterapkan
pada
komponen
pengendalian
program,
baik
pada
komponen
software,
hardware,
dan
customer.
8
Kepustakaan:
1
Leon,
Roberto
Briceno.
Promoting
health:
evidences
for
a
fairer
society.
Promotion
&
Education
[Online]
2001;
ProQuest
Nursing
&
Allied
Health
Source.
pg
24.
Dari:
http://www.proquest.com/pqdauto
[14-‐5-‐2007]
2
Chowel,
Gerardo
dan
Fabio
Sanchez.
Climate
based
descriptive
models
of
dengue
fever:
the
2002
epidemic
in
Colima,
Mexico.
Journal
of
Environmental
Health;
[Online]
Jun
2006;
68,
10;
Academic
Research
Library,
p
40.
3
Mariano
Bonet,
Jerry
M
Spiegel,
Ana
Maria
Ibarra,
Gustavo
Kouri,
et
al.
An
Integrated
Ecosystem
Approach
for
Sustainable
Prevention
and
Control
of
Dengue
in
Central
Havana.
International
Journal
of
Occupational
and
Environmental
Health.
Philadelphia:
Apr-‐Jun
2007.
Vol.
13,
Iss.
2;
pg.
188,
7
pgs
4
Maria
E
Toledo
Romani,
Veerle
Vanlerberghe,
Dennis
Perez,
Pierre
Lefevre,
et
al.
Achieving
sustainability
of
community-‐based
dengue
control
in
Santiago
de
Cuba.
Social
Science
&
Medicine.
Oxford:
Feb
2007.
Vol.
64,
Iss.
4;
pg.
976
5
Wangroongsarb,
Yongyuth.
Dengue
control
through
schoolchildren
in
Thailand.
Dengue
Bulletin
21.
Desember
1997.
6
Sujariyakul,
Anupong,
et
al.
Transmission
of
dengue
haemorrhagic
fever:
at
home
or
school?
Dengue
Bulletin
Vol
29,
2005:32-‐40
9