Anda di halaman 1dari 5

Menuju Masyarakat Madani

Oleh. H. Mas’oed Abidin

Salah sekali anggapan bahwa agama Islam hanya sebatas ritual


pada hari-hari tertentu. Sesat sekali pendapat beragama hanya di batasi
ruang-ruang masjid, langgar, pesantren, majlis ta’lim semata. Terlalu sesat
memahami agama yang tidak kena mengena (relevan) dengan gerak
kehidupan riil, tatanan politik pemerintahan, sosial ekonomi, budaya,
hubungan hak asasi manusia, atau ilmu pengetahuan dan teknologi.
Agama Islam berdasar al Quran berperan multifungsi,
“mengeluarkan manusia dari sisi gelap kealam terang cahaya (nur)”1.
Bila Islam tidak diamalkan dari inti nilai-nilai dasar (basic of value) Dinul
Islam, atau hanya sebatas kulit luar berupa ritual ceremonial, maka ummat
ini tidak akan berkemampuan bertarung di tengah perkembangan dunia
global pada abad keduapuluh satu mendatang. Masyarakat yang lalai
senang menerima, suka menampung dan menagih apa-apa yang tidak
diberikan orang, cenderung menjadi bangsa pengemis yang kesudahannya
membawa bangsa ini bertungkus lumus (terjerumus) kepada penggadaian
menjual diri, dan tampillah pelecehan nilai-nilai bangsa.
Dinul Islam menyimpan rahasia besar “gerakkan tanganmu, Allah
akan menurunkan untukmu rezeki” 2. Nilai ajaran dinul Islam melahirkan
masyarakat proaktif menghadapi berbagai keadaan sebagai suatu realitas
perbaikan kearah peningkatan mutu masyarakat. Abad kedepan akan
banyak berperan masyarakat berbasis ilmu pengetahuan (knowledge base
society), berbasis budaya (culture base sociaty) dan berbasis agama (religious
base society). Peran terbesar para intelektual aktif menata ulang masyarakat
dengan nilai-nilai kehidupan berketuhanan dan bertamaddun sebagai mata
rantai tadhamun al Islami (modernisasi, pengenalan Islam ketengah
peradaban manusia). Peran ini penting untuk menggiring masyarakat
Indonesia ini menuju masyarakat madaniyah (maju, beradab). 3

1
Diantaranya terdapat dalam A.1:14,QS.Ibrahim.
2
Ungkapan Umar bin Khattab RA, kepada seorang pemuda yang hanya
mendoa dibawah naungan Ka’bah adalah; “Harrik yadaka unzil
‘alaika ar-rizqa”. (al atsar).
3
Sebagai catatan, kata-kata madani belum ada dalam kamus bahasa
Indonesia. Bukan berarti bahwa masyarakat madani adalah “masyarakat
Menghidupi Masyarakat Desa
(Kaum Dhu’afak)
Mengangkat taraf hidup kelompok lemah, akar serabut (grass root)
dari masyarakat alas terbawah piramida, bukan usaha mustahil dikerjakan.
Asal saja dapat merasakan nilai kepentingan, mempunyai daya inisiatif
dan imagination (daya cipta) mengangkatnya, tentu akan dapat
memulainya. 4
Kepandaian-kepandaian betapapun sederhananya, seperti membuat tempe,
tahu dan kecap, membibitkan buah-buahan, menanam sayur mayur, merangkai
dan mengatur bunga, menganyam tikar, beternak itik ataupun ayam buras,
dengan jumlah kecil, dizaman jet supersonic dan satelit-satelit mengitari bumi
seperti sekarang ini, tidak dapat dikatakan apalah artinya. Tidak dapat dianggap
rendah usaha-usaha kecil yang mungkin oleh banyak kalangan dianggap
kurang bermakna.
Proses mempertinggi kesejahteraan hidup dhu’afak, adalah
rangkaian gerbong yang erat terkait dengan proses pembangunan ekonomi
bangsa. Proces geraknya bisa dipercepat. Ada undang-undang bajanya
sendiri, yang tak dapat tidak, harus dijalani, yang umumnya bersifat
natuurlijk (alami dan sunnatullah), yaitu faktor manusia yang terikat erat
dengan adat kebiasaan. Karena sering dilupakan, akhir kesudahannya
menanggung akibat-akibat yang mengecewakan.
Andai kata faktor kebiasaan masyarakat sengaja dilupakan maka
nasibnya tak ubah dari nasib induk ayam menetaskan telor itik. Akibat
langsung adakalanya program tidak jalan, pemborosan disegala sektor,
malah didapati tindakan yang wasted (mubazir).
Dalam setiap proses pembangunan keummatan (ummatisasi) tidak
selalu harus ditilik dari sudut efisiensi dan rendemen ekonomis semata,
tetapi perlu ada pemahaman mendalam kedalam lubuk hati serta kemauan

yang belum ada dalam kamus”. Atau masyarakat guyon, mada– ni –


yee. Mada, berarti bengal, tak mau di ajar, bhs.Minang, atau “pahit”
bhs Kawi. Tetapi, masyarakat Madani adalah masyarakat maju dengan
basic ilmu pengetahuan, kultur dan agama (Akidah tauhid) yang benar.
4
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala yang artinya; “Dan orang-orang
yang bekerja sungguh-sungguh pada (jalan) kami,
sesungguhnya kami akan pimpin mereka di jalan-jalan kami: dan
sesunggunya Allah beserta orang-orang yang berbuat kebaikan”
(QS. Al-Ankabut, ayat 69.).
pada diri ummat secara individu ataupun kelompok yang akan dibawa
serta dalam proses pembangunan itu..
Daerah kita terkenal sebagai daerah yang kaya dengan sumber
alam. Sumber Daya Alam (natural resources) belum seluruhnya di olah.
Dapat dikatakan bisa mendukung suatu pertumbuhan ekonomi yang
sehat. Tetapi kecenderungan penduduknya dibidang ekonomi baru kepada
mencari nafkah dengan memindah-mindahkan barang-barang dari satu tempat ke
tempat yang lain saja.
Adapun menghasilkan barang belum cukup mendapat perhatian.
Padahal sumber kemakmuran yang asasi adalah produksi, yakni menghasilkan
barang. Peran ini seringkali “dilupakan”. Latar belakang usaha sebenarnya
adalah merombak tradisi dengan membuka pikiran masyarakat dan
merintis jalan baru, memulai dari urat masyarakat dengan cara-cara yang
praktis.
Melalui amaliyah yang sepadan dengan kekuatan yang tersedia
dalam tubuh masyarakat mestinya disertai serentak membangun jiwa dan
pribadi untuk menjadi ummat yang sadar. Ummat perlu dihidupkan
jiwanya menjadi satu ummat yang mempunyai falsafah dan tujuan hidup
(wijhah) yang nyata, memiliki identitas (shibgah), bercorak kepribadian
terang (transparan) untuk ikut berpartisipasi aktif dalam proses
pembangunan. Suatu bentuk dan susunan hidup berjama’ah yang diredhai
Allah yang dituntut oleh “syari’at” Islam. sesuai dengan Adat basandi
Syara’ dan Syara’ nan basandi Kitabullah. Upaya ini secara luas merupakan
“satu aspek dari Social Reform”, yang tidak dapat diabaikan. Memang
begitulah hakekatnya. Karena pekerjaan ini akan menafaskan jiwa lain,
yaitu berusaha di urat masyarakat.
Menumbuhkan kekuatan yang terpendam dikalangan yang lemah
(kaum dhu’afak), di awali oleh memerankan hubungan kepedulian
terhadap kebiasaan hidup melalui program silaturrahmi yang saling
memahami dan bukan dalam bentuk sekedar “meminta atau membagi nasi
bungkus”.
Pembinaan dhu’afak di dukung oleh cita-cita hendak menjelmakan
tata-cara hidup kemasyarakatan berdasarkan
(a). hidup dan memberi hidup, (ta’awun) bukan falsafah berebut
hidup,
(b). menanam tanggung jawab atas kesejahteraan lahir batin dari
tiap anggota masyarakat sebagai suatu kesatuan menyeluruh
secara timbal balik (takaful dan tadhamun);
(c). mengajarkan keragaman serta ketertiban dan disiplin jiwa dari
dalam, bukan penggembalaan dari luar;
(d). menumbuhkan ukhuwwah yang ikhlas, bersendikan Iman dan
Taqwa;
(e). mengajarkan hidup seimbang (tawazun) antara kecerdasan otak
dan ketangkasan otot tangan, antara ketajaman akal dan
ketinggian akhlak, antara amal dan ibadah, antara ikhtiar dan
do’a.

Demikian pandangan hidup dan identitas ummat yang hendak di


pancangkan.
Tentu tidak seorangpun yang berpikiran sehat di negeri ini yang
akan keberatan terhadap penjelmaan masyarakat semacam itu dengan cara
dan alat-alat sederhana tetapi dengan api cita-cita yang berkobar-kobar
dalam dada masing-masing, dengan nawaitu tertanam sejak semula. Yang
perlu dijaga adalah agar api nawaitu jangan padam atau berubah di tengah
jalan.
Besar kecilnya nilai amal terletak dalam niat yang menjadi motif
untuk melakukannya. Tinggi atau rendahnya nilai hasil yang dicapai
sesuai dengan tinggi rendahnya mutu niat dari yang mengejar hasil itu.
Amal akan kering dan hampa, tatkala kulit luarnya di lakukan,
tetapi tujuan nawaitu-nya hilang di tengah jalan. Bila kondisi ini kelihatan
tanda-tanda akan kehilangan nawaitu-nya, maka kewajiban social control
(nahyun ‘anil munkar) harus lekas-lekas dilaksanakan, agar masyarakat
jangan berserak dan terseret hanyut oleh arus pengejaran benda-benda
yang bertebaran semata, perlu pula lekas-lekas dipintasi dengan
mengemukakan social support (amar makruf) secara jelas. Insya Allah
masyarakat lemah (dhu’afak) akan kuat dan masuk shaf kembali. Itulah inti
kesatuan dan persaudaraan (ukhuwah dan badunsanak ) itu.
Sebenarnya seorang pemimpin pelopor penggerak pembangunan
memikul beban menghidupkan dapur masyarakatnya dengan sungguh-
sungguh.
Kebahagiaan tertinggi seorang pemimpin tatkala dapat
menghidupkan salah satu dari ribuan dapur yang senantiasa berasap
karena usahanya. Tak ada bahagia dalam kekenyangan sepanjang malam, bila si-
jiran setiap akan tidur diiringi lapar (al Hadist).
Semestinya di pahami apa yang terkandung dalam kalimat-kalimat
sederhana, menyesuaikan ikrar dengan ucapan, menyelaraskan
perencanaan dengan pelaksanaan, menyamakan harapan dengan
kenyataan, memerlukan kesungguhan gerak disamping gagasan. Apa yang
diucapkan oleh lidah dan tergores dalam hati dapat dijadikan bimbingan
untuk menerjemahkan kesetiaan kepada kalangan bawah (dhu’afak) kaum
lemah melalaui perlakuan nyata dalam amal perbuatan.
Tujuan akhir yang lebih mulia adalah mencari keridhaan Allah jua,
Moga-moga, Amin. ***

Anda mungkin juga menyukai