Anda di halaman 1dari 6

INFORMASI NUTRISI IKAN UNTUK MENUNJANG PENGEMBANGAN

BUDIDAYA LAUT
1)
Ketut Suwirya, 1)Marzuqi, dan 1)Nyoman Adiasmara Giri
1)
Balai Basar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol
P. O. Box 140 Singaraja

ABSTRAK
Dewasa ini budidaya laut terutama budidaya kerapu sudah berkembang di Indonesia antara lain: di Batam,
Lampung, Riau, Kepulauan Seribu, kerena kesediaan benih yang dihasilkan oleh panti benih sudah memadai.. Akhir-
akhir ini aspek nutrisi budidaya kerapu mulai memperoleh banyak perhatian para pakar dan juga usahawan. Untuk
memenuhi semua nutrien yang dibutuhkan ikan maka harus dibuat formula pakan yang tepat. Sementara itu pada stadia
larva nutrien yang esensial adalah n-3 HUFA. Budidaya ikan pada keramba jaring apung (KJA) di laut sampai saat ini
masih menggunakan ikan rucah sebagai pakan utama. Kendala memanfaatkan ikan rucah sebagai sumber pakan yaitu
musim, distribusi, dan kualitas dari ikan rucah. Untuk memecahkan kendala tersebut pakan buatan dapat dikembangkan
berdasarkan informasi dari nutrisi ikan.
Kata kunci: Nutrisi ikan, Budidaya laut.

ABSTRACT
At present, mariculture in Indonesia has been developed such as Batam, Lampung, Riau, Seribu Inlands, and so on
specially grouper culture, because fry source is produced by hatchery. In early time, fish nutrition aspect is concerned by
experts and businessmen. The feed have to be formulated to get a good feed for fish that is cultured. Essential nutrient
for larvae stage is n-3 HUFA. Until now, fish culture in the floating cage in the sea still use trash fish for the mean feed.
To used trash fish have some problems such as season, distribution, and quality of trash fish. To solve this problem can
be developed artificial feed base on fish nutrition information.
Key words: fish nutrition, mariculture.

PENDAHULUAN
Budidaya laut dewasa ini berkembang dengan pesat di Indonesia seperti di Batam, Lampung, Riau,
Kepulauan Seribu, dan sebagainya; terutama budidaya kerapu kerena kesediaan benih yang dihasilkan oleh
panti benih sudah memadai. Sampai saat ini budidaya ikan-ikan laut masih mengandalkan ikan rucah sebagai
pakan utama. Namun ikan rucah tersebut merupakan sumber protein hewani bagi sebagian masyarakat
Indonesia, di samping ketersediaannya sangat bergantung pada musim. Penanganan ikan rucah perlu
mendapat perhatian untuk menjaga kualitas pakan yang diberikan pada ikan yang dipelihara.
Pakan merupakan salah satu input penting dalam budidaya ikan, termasuk dalam kegiatan
pembenihannya. Oleh karenanya, akhir-akhir ini aspek nutrisi mulai memperoleh banyak perhatian para
pakar dan usahawan. Agar pakan yang diberikan pada ikan dapat memenuhi semua nutrien yang dibutuhkan
ikan, maka harus dibuat formula pakan yang tepat. Untuk itu diperlukan data mengenai kebutuhan nutrien
pakan ikan dan juga pengetahuan mengenai kemampuan ikan untuk mengasimilasi bahan pakan.
Penelitian rinci mengenai kebutuhan nutrien untuk ikan dimulai sejak sekitar 40 tahun yang lalu,
sedangkan penelitian tersebut pada ternak telah dimulai sekitar 80 tahun lalu (Kompiang dan Ilyas, 1988).
Dengan demikian masih sangat banyak aspek nutrisi dan pakan yang belum diketahui. Data yang ada
menunjukkan bahwa penelitian aspek nutrisi dan kebutuhan nutrien ikan kebanyakan memgenai ikan salmon,
catfish, carp, tilapia, dan sea bream. Sementara itu penelitian aspek nutrisi untuk ikan-ikan lainnya,
khususnya ikan karnivor seperti kerapu relatif terbatas.
PAKAN UNTUK LARVA IKAN
Keberhasilan dalam memijahkan beberapa species ikan sering kali tidak segera diikuti oleh
keberhasilan dalam pengembangan teknologi pemeliharaan larvanya sampai menghasilkan benih. Secara
umum larva ikan-ikan laut berukuran sangat kecil dengan ukuran mulut yang kecil pula, termasuk ikan
kerapu (Kohno et al., 1997). Secara fisik diperlukan pakan berukuran kecil, seperti rotifer tipe-SS. Keadaan
ini menyulitkan dalam manajemen pakan. Rotifer dewasa tipe-S dan tipe-L masih terlalu besar untuk stadia
awal larva dari kebanyakan species ikan kerapu (Lim, 1993).
Sementara itu pada stadia awal dari larva dibutuhkan nutrien pakan yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan energinya dan untuk mendapatkan nutrien esensial. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
ikan laut membutuhkan asam lemak n-3 rantai panjang (n-3 HUFA) sebagai asam lemak esensialnya
(Izquierdo et al., 1989; Webster and Lovell, 1990). Kebanyakan larva ikan laut hanya mempunyai
kemampuan yang sangat terbatas untuk mensintesa n-3 HUFA dari asam lemak n-3 rantai karbon yang lebih
pendek (Kanazawa et al., 1979; Ostrowski and Divakaran, 1990). Henderson and Sargent (1985)
menemukan bahwa kebutuhan n-3 HUFA meningkat pada stadia awal perkembangan larva karena banyak
yang digunakan pada pembentukan membran. Izquierdo et al. (1989) melaporkan bahwa dibutuhkan 3,00%
n-3 HUFA (berat kering) pada nauplii Artemia atau 3,48% n-3 HUFA (berat kering) pada rotifer untuk
memenuhi kebutuhan asam lemak n-3 HUFA dari larva red sea bream. Pertumbuhan larva gilthead sea
bream (Sparus aurata) yang diberi pakan rotifer yang mengandung 0,40% n-3 HUFA (berat kering)
meningkat 250,00% dibandingkan dengan yang hanya diberi pakan dengan kandungan n-3 HUFA 0,08%
sampai hari ke-22. Kekurangan n-3 HUFA mengakibatkan tingkat kematian larva yang tinggi dan
pertumbuhan yang lambat, serta tidak sempurnanya pembentukan dan fungsi gelembung renang pada larva
ikan (Sorgeloos et al., 1988; Webster and Lovell, 1990; Koven et al., 1990). Salhi et al. (1994) melaporkan
kandungan n-3 HUFA 2,05 - 2,16% dalam pakan mikro menghasilkan kelangsungan hidup gilthead sea brean
(Sparus aurata) terbaik dibandingkan dengan yang diberikan pakan mengandung 0,82 - 0,74% n-3 HUFA,
dan kebutuhan n-3 HUFA tidak menurun dengan menurunnya kandungan total lemak pakan.
Tabel 1. Komposisi asam lemak beberapa species phytoplankton
Chlorella Chlorella Chlorella Nannochloropsis
Asam lemak
(Malaysia)1) vulgaris2) minutissima2) oculata3)
16 : 0 9,3 20,2 20,6 16,54
18 : 1 8,8 8,6 2,5 2,04
18 : 2n-6 13,0 4,1 3,6 3,32
18 : 3n-3 9,2 - 0,1 -
20 : 5n-3 0,10 26,6 27,3 30,51
22 : 6n-3 - - -
1) % total lipid (Teshima et al., 1991)
2) % total lipid (Watanabe et al., 1983b)
3). % total lipid (Okauchi et al., 1990)
Kenyataan pentingnya peranan asam lemak bagi larva ikan laut tidak selalu ditunjang oleh tersedianya
pakan hidup dengan kandungan asam lemak esensial yang cukup. Komposisi asam lemak pakan hidup yang
umum digunakan pada pembenihan ikan di sajikan pada Tabel 1, 2, dan 3.
Pada Tabel 2 terlihat adanya variasi kandungan asam lemak Brachionus dengan metode kultur yang
berbeda. Kandungan EPA rotifer yang dikultur dengan Chlorella minutissima dan Nannochloropsis jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan yang dikultur pada Chlorella regularis. Demikian juga terdapat variasi
kandungan asam lemak nauplii Artamia dan Acartia clausi dari beberapa contoh yang dianalisa (Tabel 3).
Untuk menyesuaikan kandungan asam lemak pakan hidup sehingga dapat memenuhi kebutuhan larva ikan
telah dikembangkan metode pengkayaan, baik dengan menggunakan plankton, pakan buatan, atau langsung
dengan emulsi minyak yang mempunyai kandungan asam lemak esensial tinggi (Teshima et al., 1981; Baclay
and Zeller, 1996). Kebutuhan asam lemak n-3 HUFA beberapa larva ikan laut adalah diatas 3,0% dan
nampak untuk ikan red seabream dan yellowtail peran DHA lebih besar daripada EPA.
Tabel 2. Komposisi asam lemak rotifer (Brachionus plicatilis) yang dikultur dengan pakan yang berbeda (% area)
Chlorella regularis Chlorella minutissima
Asam lemak Yeast Nannochloropsis
(air tawar) (laut)
16 : 0 9,3 16,8 6,7 11,1
18 : 1n-9 22,4 10,1 31,2 3,5
18 : 2n-6 18,5 3,2 5,9 2,5
18 : 3n-3 3,7 0,4 0,6 0,1
20 : 5n-3 1,9 24,1 - 37,8
22 : 6n-3 - - - -
Sumber: Watanabe et al. (1983b)
Tabel 3. Komposisi asam lemak nauplii Artemia salina dan Acartia clausi
Nauplii Artemia1) Acartia clausi2)
Asam lemak
I II III I II III
16 : 0 9,2 11,0 12,2 16,9 16,5 18,3
18 : 1 19,1 26,7 34,9 4,1 3,6 5,4
18 : 2n-6 8,3 8,9 6,6 1,1 0,6 1,1
18 : 3n-3 5,4 27,6 17,2 1,1 0,7 1,0
20 : 5n-3 6,8 0,3 3,5 20,1 29,2 16,6
22 : 6n-3 0,2 - - 28,6 27,2 12,3
n-3 HUFA 7,3 1,2 3,8 49,8 58,0 30,1
1) % total lipid (Watanabe et al., 1978)
2) % area (Watanabe et al.,1983b)
Table 4. Kebutuhan asam lemak n-3 HUFA beberapa species larva ikan laut
Species ikan dan Kebutuhan
Peranannya
jenis pakan (berat kering)
Red seabream
(Pagrus major)
Rotifer n-3 HUFA 3,5% DHA > EPA
Artemia n-3 HUFA 3,0% DHA > EPA
Yellowtail
(Seriola quinqueradiata)
Artemia n-3 HUFA > 3,9% DHA > EPA
Striped knifejaw
(Oplegnathus fasciatus)
Rotifer n-3 HUFA > 3,0%
Artemia n-3 HUFA > 3,0%
Flounder
(Paralichthys olivaceus)
Artemia n-3 HUFA > 3,5%
Sumber: Watanabe (1993)

PAKAN UNTUK PEMBESARAN


Ikan Rucah
Budidaya ikan pada keramba jarring apung (KJA) di laut sampai saat ini masih menggunakan ikan
rucah sebagai pakan utama. Ikan rucah termasuk bahan pakan yang cepat kualitasnya menurun terutama
pada iklim tropis seperti Indonesia. Oleh karena itu, ikan rucah memerlukan penanganan yang memadai agar
kualitasnya tetap baik untuk menghambat penurunan mutu ikan rucah dapat dilakukan dengan penurunan
suhu atau pembekuan.
Ikan mengandung lemak/asam lemak ikatan rangkap yang cukup tinggi sehingga mudah teroksidasi
dan mudah tengik. Lemak dalam pakan berfungsi sebagai sumber energi bagi ikan dan sumber asam lemak
esensial. Asam lemak esensial bagi ikan-ikan laut adalah kelompok n-3 HUFA. Asam lemak tersebut sangat
mudah teroksidasi. Penurunan kualitas lemak ikan rucah dapat dihambat dengan penyimpanan pada suhu
rendah, hal ini dapat dilihat dari hasil analisis yang dilakukan di Balai Besar Perikanan Budidaya Laut
Gondol (Tabel 5). Tabel 5 menunjukkan bahwa kadar n-3 HUFA lemak ikan rucah lebih cepat menurun
pada suhu ruangan (29 – 32oC) dibandingkan dengan pada kondisi dingin.
Tabel 5 Penurunan n-3 HUFA pada lemak ikan rucah pada suhu berbeda
Lama penyimpanan (jam)
Kondisi
0 8 24
o
Suhu kamar (29-30 C) 0,0% 30,0% 64,0%
Ikan di es (3 – 0oC) 0,0% 10,0% 20,0%

Jenis-jenis vitamin yang terdapat dalam ikan rucah juga mengalami penurunan sejalan
dengan berjalannya proses pembusukan yang terjadi pada ikan rucah. Vitamin merupakan bahan-
bahan mikro yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Jenis vitamin yang larut dalam air sangat mudah
rusak kalau disimpan dalam kondisi basah atau kadar air yang cukup tinggi. Namun penurunan
kadar vitamin dalam ikan rucah tersebut juga dapat dihambat dengan menurunkan suhu
penyimpanan ikan rucah. Hal ini dapat dilihat dari analisa vitamin C yang dilakukan pada ikan
rucah yang disimpan pada suhu kamar dan diberi es (Tabel 6).
Tabel 6. Penurunan Vitamin C pada ikan rucah yang disimpan pada suhu berbeda
Lama penyimpanan (jam)
Kondisi
0 12 24
o
Suhu kamar (29-30 C) 0,0% 30,0% 71,0%
Ikan di es (3-0oC) 0,0% 9,0% 15,7%

Vitamin ini dibutuhkan tubuh untuk meningkatkan metabolisme, daya tahan terhadap perubahan
lingkungan dan penyakit. Pada ikan kerapu bebek kekurangan vitamin C akan menyebabkan tulang belakang
bengkok, insang terbuka, menurunnya kandungan hemoglobin (Hb) darah, vitalitas dan daya tahan tubuh
ikan menurun. Hal yang sama dijumpai pada ikan kerapu bebek yang kekurangan vitamin B. Fenomena
yang sangat menonjol pada ikan kerapu bebek yang kekurangan vitamin B adalah selera makan sangat
menurun disamping itu tubuh ikan lemah dan bergetar.
Oleh karena itu penggunaan ikan rucah dalam budidaya perlu ditambah dengan vitamin mix agar
ikan yang dibudidayakan tidak menunjukkan gejala-gejala kekurangan vitamin. Di samping itu, perlu
dicoba dan dikembangkan pakan buatan sebagai alternatif untuk menjaga perkembangan dan kesinambungan
usaha budidaya laut.

Penanganan dan Penyimpanan Ikan Rucah


Untuk menjaga kualitas ikan rucah yang digunakan sebagai pakan dalam budidaya laut maka ikan
rucah perlu mendapatkan penanganan yang baik. Ikan rucah yang baru ditangkap secepat mungkin diberi es,
dan tidak terlalu lama di dalam palkah kapal. Pemberian es pada ikan rucah tersebut hanyalah
memperlambat proses penurunan mutu. Begitu ikan rucah sampai di darat sebaiknya langsung dicuci dan
disimpan dalam freezer. Ketersediaan ikan rucah sangat dipengaruhi oleh musim, sehingga perlu tempat
penyimpanan yang memadai agar pemberian pakan tidak terputus.

Pakan Buatan
Ikan kerapu adalah jenis ikan karnivora oleh karena itu jenis ikan ini memerlukan pakan dengan
kandungan protein yang cukup tinggi. Beberapa jenis ikan kerapu yang telah diketahui kebutuhan proteinnya
(Tabel 7). Kebutuahan protein ikan kerapu berkisar antara 47,8% sampai 60,0%.
Nutrien yang tidak kalah penting dalam pakan adalah lemak. Lemak pakan dapat sebagai sumber
energi dan sebagai sumber asam lemak esensial. Asam lemak esensial bagi ikan kerapu adalah n-HUFA.
Kebutuhan lemak untuk ikan kerapu bebek mencapai 9,0-12,0% (Giri, 1999), dan asam lemak essensial (n-3
HUFA) adalah 1,4% (Suwirya, 2001).
Table 7. Kebutuhan protein pakan beberapa jenis ikan kerapu
Jenis ikan kerapu Kadar protein (%) Sumber
Kerapu Lumpur (E. salmoides) 50 Teng, et al. (1978)
Lumpur mata kucing (E. Striatus) >55 Ellis, et al. (1996)
Lumpur malabar (E. malabaricus) 47,8 Chen & Tsai (1994)
Lumpur sirip panjang (E. aerolatus) 60 Chu, et al. (1996)
Kerapu akaara (E. akaara) 49,5 Chen, et al. (1995)
Kerapu bebek (C. altivelis) 54,2 Giri, et al. (1999)

Vitamin dibutuhkan untuk pertumbuhan, pemeliharaan tubuh, dan reproduksi. Vitamin dibagi
menjadi dua yaitu yang larut dalam lemak (vitamin A,D, E, dan K) dan vitamin yang larut dalam air seperti
riboflavin, vitamin C, thiamin, dan lain-lain. Salah satu vitamin yang cukup penting diperhatikan adalah
vitamin C. Kekekurangan vitain C menampakkan gejala bengkok tulang, insang terbuka, rentan terhadap
penyakit, dan aktivitas ikan menurun. Kebutuhan vitamin C dalam pakan untuk ikan kerapu bebek adalah
3,0 mg/100 gram pakan (Giri et al., 1999).
Berdasarkan informasi di atas Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol telah
mengembangkan pakan kerapu. Pakan tersebut telah diujicobakan pada ikan juvenil dan pembesaran ikan
kerapu bebek. Hasil uji coba pada menunjukkan pertumbuhan dan efisiensi pakan yang baik serta tidak
tampaknya gejala-gejala kekurangan nutrien (Tabel 8).
Pakan kering dapat disimpan dalam jangka panjang. Penyimpanan pakan kering dapat dilakukan
dalam ruang yang kelembabannya rendah dan terhindar dari sinar matahari.
Tabel 8. Hasil uji coba pakan buatan dan ikan rucah pada ikan kerapu bebek selama 4
bulan pemeliharaan di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol
Pakan Uji
Parameter
Pakan Gondol Pakan Uji Ikan Rucah
Bobot awal (gram) 36,0 36,0 36,0
Bobot akhir (gram) 147,6 132,8 133,4
Kelangsungan hidup (%) 98,7 98,0 95,1
FCR 1,39 1,54 5,82
Harga pakan - 15.400 14.550
Hematokrit (%) 37,3 38,2 24,2

KESIMPULAN
Pemberian pakan buatan (pelet) dapat diaplikasdikan utuk budidaya ikan kerapu karena
menunjukkan pertumbuhan pertumbuhan dan efisiensi pakan yang baik serta tidak menunjukkan gejala
kekurangan nutrien. Selain itu pakan buatan dapat disimpan dalam jangka waktu yang panjang.

DAFTAR PUSTAKA
Barclay, W. and S. Zeller. 1996. Nutritional Enhancement of n-3 and n-6 Fatty Acids in Rotifers and Artemia nauplii by
Feeding Spray-dried Schizochytrium sp. J. World Aquacult. Soc., 27: 314-322.
Dhert, P., L.C. Lim, P. Lavens, T.M. Chao, R. Chuo,and P. Sorgeloos. 1991. Effects of Dietary Essential Fatty Acids on
Eggs Quality and Larviculture Success of the Greasy Grouper (Epinephelus tauvina F.) : preliminary results.
pp.58-62 in P. Lavens, P. Sorgeloos, E. Jaspers, and F Ollevier (Eds.). Larvi ‘91 Fish & Crustacean Larviculture
Symposium. Special Publ. No. 15. European Aquaculture Society. Ghent, Belgium.
Henderson, R.J. and J.R. Sargent. 1985. Fatty Acid Metabolism in Fish. pp. 349-364 in C.B. Cowey, A. M. Mackie and J.
G. Bell (eds.). Nutrition and Feeding in fish. Academic Press, London, England.
Giri, N.A., K. Suwirya, dan M. Marzuqi. 1999. Kebutuhan Protein, Lemak, dan Vitamin C Yuwana Kerapu bebek,
Cromileptes altivelis. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 5(3): 38-44.
Izquierdo, M.S., T. Watanabe, T. Takeuchi, T. Arakawa, and C. Kitajima. 1989. Requirement of Larval Red Sea bream
Pagrus major for Essential Fatty Acids. Nippon Suisan Gakkaishi, 55: 859-867.
Kanazawa, A., S. Teshima, and K. Ono. 1979. Conversion of Linoleic Acid to n-3 Highly Unsaturated Fatty Acids in
Marine Fishes and Rainbow Trout. Bull. Jpn. Soc. Sci. Fish.,, 46: 1231-1233.
Kohno, H., R.S.O. Anguilar, A. Ohno, and Y. Taki. 1997. Why is Grouper Larval Rearing Dificult? : An approach from
the development of the feeding apparatus in early stage larvae of the grouper, Epinephelus coioides. Ichthyol.
Res., 44 : 267-274.
Kompiang, I.P. dan S. Ilyas. 1988. Nutrisi Ikan/Udang : Relevansi untuk Larva dan Induk. Proc. Seminar Nasional
Pembenihan Ikan dan Udang. Bandung, 5 - 7 Juli 1988.
Koven, W.M., A. Tandler, G.W. Kissil, D. Sklan, O. Friezlander, and M. Harel. 1990. The Effect of Dietary (n-3)
Polyunsaturated Fatty Acids on Growth, Survival and Swim Bladder Development in Sparus aurata Larvae.
Aquaculture, 91: 131-141.
Lim, C.L. 1993. Larviculture of the Grouper Epinephelus tauvina F. and the Brown-murble Grouper Epinephelus
fuscogutatus in Singapore. J. World Aquacult. Soc., 42 : 262-274.
Okauchi, M., W. Zhou, and W. Zou. 1990. Difference in Nutritive Value of a Micro Alga Nannochloropsis oculata at
Various Growth Phases. Nippon Suisan Gakkaishi, 56: 1293-1298.
Ostrowski, A.C. and S. Divakaran. 1990. Survival and Bioconversion of n-3 Fatty Acids During Early Development of
Dolpin (Coryphaena hippurus) Larvae Fed Oil-Enriched Rotifers. Aquaculture, 89: 273-285.
Sahli, M., M.S. Izquierdo, C.M. Hernandez-Cruz, M. Gonzalez, and H. Fernandez-Palacios. 1994. Effect of Lipid and n-
3 HUFA Levels in Microdiets on Growth, Survival and Fatty Acid Composition of Larval Gilthead Sea Bream
(Sparus aurata). Aquaculture, 124 : 275-282.
Sorgeloos, P., P. Leger, and P. Lavens. 1988. Improved Larval Rearing of European and Asian Seabass, Seabream, Mahi-
mahi, Siganid and Milkfish Using Enrichment Diets for Brachionus and Artemia. World Aquacult., 19: 78-79.
Suwirya, K., N.A. Giri, dan M. Marzuqi. Suwirya, K., N.A. Giri, dan M. Marzuqi 2001. Pengaruh n-3 HUFA Terhadap
Pertumbuhan dan Efisiensi Pakan Yuwana Ikan Kerapu Bebek, Cromileptes altivelis. pp 201-206. In Sudradjat,
A., E.S. Heruwati, A. Poernomo, A. Rukyani, J. Widodo, dan E. Danakusuma (Eds) Teknologi Budi Daya Laut
dan Pengembangan sea Farming di Indonesia, Depertement Kelautan dan Perikanan.
Teshima, S., A. Kanazawa, and M. Sakamoto. 1981. Attempt to Culture the Rotifers with Micro Encapsulated Diets.
Bull. Jpn. Soc. Sci. Fish.,, 47: 1575-1578.
Teshima, S., S. Yamasaki, A. Kanazawa, S. Koshio, and H. Hirata. 1991. Fatty Acid Composition of Malaysian Marine
Chlorella. Nippon Suisan Gakkaishi, 57: 1985-1985.
Watanabe, T., F. Oowa, C. Kitajima, and S. Fujita. 1978. Nutritional Quality of Brine Shrimp, Artemia salina, as a Living
Feed from the Viewpoint of Essential Fatty Acids for Fish. Bull. Jpn. Soc. Sci. Fish., 44: 1115-1121.
Watanabe, T., C. Kitajima, and S. Fujita. 1983b. Nutritional Values of Live Organisms Used in Japan for Mass
Propagation of Fish : a Review. Aquaculture, 34: 115-143.
Watanabe, T. 1993. Importance of Docosahexaenoic acid in Marine Larval Fish. J. World Aquacult. Soc., 24: 152-161.
Webster, C.D. and R.T. Lovell. 1990. Response of Striped Bass Larvae Fed Brine Shrimp from Different Sources
Containing Different Fatty Acid Composition. Aquaculture, 90: 49-61.

Anda mungkin juga menyukai