Anda di halaman 1dari 2

Menanggapi Pernyataan Anggota DPR F-PDIP Tubagus Hasanuddin terkait AIDS di

Kodam Cenderawasih Papua

Oleh Syaiful W. Harahap*

”PDIP Minta Panglima TNI Pecat Prajurit Kena AIDS.” Ini judul berita di inilah.com
(12/08/2010). Dalam berita disebutkan: “Anggota Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin
meminta kepada Panglima TNI Djoko Santoso untuk memecat 144 prajurit TNI yang
terkena AIDS di Papua.” Alasan yang disampaikan anggota DPR ini adalah: “ .... karena
tidak akan efektif dalam melakukan tugasnya sebagai prajurit.”

Ada fakta yang tidak muncul dalam berita di media massa terkait dengan kasus AIDS di
kalangan prajurit Kodam Cenderawasih, Papua yaitu tidak dijelaskan berapa kasus HIV-
positif dan AIDS.

Prajurit yang baru tahap HIV-positif tetap bisa efektif bertugas karena belum ada akibat
terhadap kesehatan. Sedangkan yang sudah masuk tahap AIDS (sudah tertular antara 5 –
15 tahun) tetap bisa bekerja produktif. Apalagi sekarang sudah ada obat antiretroviral
(ARV) yang bisa menekan laju perkembangan HIV di dalam darah sehingga
meningkatkan kekebalan tubuh. Langkah yang diambil TNI-AD terhadap prajurit yang
terdeteksi HIV dan AIDS dengan menempatkan mereka pada bagian administrasi.

Kita perlu angkat topi mengapresiasi kebijakan yang manusia dan bermoral ini.
Bandingkan dengan instansi, institusi atau perusahan yang memecat pegawai atau
karyawan yang terdeteksi HIV justru melakukan tindakan yang amoral dan diskriminatif.
Soalnya, penularan hepatitis B persis sama dengan penularan HIV, tapi pegawai attau
karyawan yang terdeteksi mengidap virus hepatitis B tidak dipecat dan mendapat biaya
pengobatan.

Di bagian lain disebutkan: Ia menduga, adanya prajurit TNI yang terkena HIV/AIDS itu
bisa disebabkan dua hal. Pertama, kata, Hasanuddin disebabkan karena prajurit TNI yang
ada di Papua itu adalah putra daerah. Kemungkinan kedua, tambahnya, adanya prajurit
TNI yang terkena itu dikarenakan prajurit yang diperbantukan, yang datang dari luar
Papua, seperti Jawa.

Pertanyaan pertama itu merupakan stigma (cap buruk) dan tidak objektif karena tidak ada
kaitan langsung antara penularan HIV (di Kodam Cenderawasih) dengan asal prajurit. Ini
juga bisa memicu kebencian karena di Tanah Papua ada isu besar yang menuding kasus
HIV/AIDS sebagai genosida.

Sedangkan pernyataan kedua juga tidak akurat karena tidak ada tes HIV terhadap prajurit
yang akan bertugas di Papua. Memang, prajurit yang terdeteksi HIV-positif bisa saja
tertular di Papua atau di luar Papua. Bisa juga mereka tertular sebelum masuk TNI-AD
karena ketika mereka tes masuk berada pada masa jendela (tertular di bawah tiga bulan)
sehingga hasil tes HIV bisa negatif palsu. HIV sudah ada di dalam darah tapi tidak
terdeteksi.

1
Dalam berita itu ada pernyataan yang membingungkan, yaitu: "Setiap tahun, TNI
melakukan medical cek up terhadap prajurit TNI. Kalau selama dalam medical cek up
tidak terdeteksi, maka kemungkinan menderita sebelum masuk menjadi prajurit TNI.”
Kalau prajurit itu tertular sebelum diterima tentulah antibody HIV akan terdeteksi jika
setiap tahun dilakukan pemeriksaan kesehatan. Namun, apakah dalam medical check up
juga ada tes HIV?

Ada pula pernyataan: ”Kepala rumah sakit tersebut Dr Yenny Purnama mengemukakan
di Jayapura, Kamis, dari 144 prajurit TNI yang positif mengidap HIV/AIDS itu empat
diantaranya telah meninggal sedangkan yang lainnya masih menjalani perawatan dan
sudah diserahkan ke Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua.” Pernyataan
ini mengesankan semua prajurit yang terdeteksi HIV-positif dirawat.

Pernyataan itu menyesatkan karena seseorang terdeteksi HIV tidak otomatis harus
dirawat. Yang diperlukan orang-orang yang terdeteksi HIV-positif, seperti prajurit
Kodam Cenderawasih, memerlukan pendampingan untuk membimbing mereka agar mau
memutus mata rantai penyebaran HIV mulai dari dirinya.

Pendampingan menjadi bagian dari tes HIV. Persoalannya, adalah apakah tes HIV yang
dilakukan terhadap prajurit itu sesuai dengan standar baku tes HIV? Kalau ya maka
sebelum dan sesudah tes mereka berhak mendapatkan konseling. Tes HIV bisa dilakukan
jika ada pesetujuan dari prajurit. Mereka memberikan persetujuan setelah mengetahui
HIV/AIDS secara benar dan menjadi bagian dari pemutusan mata rantai penyebaran HIV.
Pendampingan terhadap prajurit yang terdeteksi HIV merupakan hak mereka sebagai
konseling sesudah tes sesuai dengan standar baku tes HIV.

Kesan-kesan buruk dan negatif yang muncul dari berita tentang AIDS di kalangan
prajurit TNI-AD di Kodam Cenderawasih terjadi karena informasi beredar luas tidak
komprehensif. Ini bisa terjadi karena sumber berita tidak menjelaskan secara rinci, tapi
bisa juga terjadi wartawan tidak memahami cara-cara penulisan berita HIV/AIDS yang
komprehensif dan empati. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro”


Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Anda mungkin juga menyukai