IMUNOLOGI
DISUSUN OLEH :
1. Aji Iin Safitrie (PO 7234008001)
2. Ami Yudhita (PO 7234008002)
3. Andi Budiman (PO 7234008003)
4. Aniek Rosalita (PO 7234008004)
5. Anisa Ulfah (PO 7234008005)
Tim Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
PRAKTIKUM 5 : PEMERIKSAAN C-REAKTIF PROTEIN (CRP)
......................................................................................................... 55
BAB I PENDAHULUAN........................................................ 56
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................... 58
BAB III METODE KERJA........................................................ 63
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.................................... 66
BAB V PENUTUP..................................................................... 67
PRAKTIKUM 6 : PEMERIKSAAN KEHAMILAN (RAPID TEST).
......................................................................................................... 68
BAB I PENDAHULUAN........................................................ 69
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................... 70
BAB III METODE KERJA........................................................ 75
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.................................... 77
BAB V PENUTUP..................................................................... 79
PRAKTIKUM 7 : PEMERIKSAAN WIDAL (TUBE TEST).............. 80
BAB I PENDAHULUAN........................................................ 81
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................. 83
BAB III METODE KERJA........................................................ 88
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.................................... 91
BAB V PENUTUP..................................................................... 94
DAFTAR PUSTAKA................................................................................
iii
PEMERIKSAAN KEHAMILAN
DENGAN REAKSI BIOLOGIK
(GALLI MAININI)
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.2 Tujuan
Uji kehamilan secara biologik dengan reaksi Galli Mainini ni bertujuan
untuk mengetahui apakah seorang wanita yang di periksa urinya sedang hamil
atau tidak.
I.3 Manfaat
2
Mahasiswa dapat mengetahui dan melakukan uji kehamilan (Galli
Mainini) dengan menggunakan katak Buffo vulgaris jantan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Pendarahan yang disebabkan k arena implantasi dari ovum ke dalam
deciduas. Pendarahan ini tidak terlalu banyakdan lama bila dibandingan
dengan menstruasi biasa.
b. Perubahan buah dada
c. perasaan mual di waktu pagi (morning sickness)
d. Pergerakan janin yang pertama, disebut juga Quickening . quick ini berarti
pula hidup, adanya Quickening menandakan adana individu yang hidup.
e. Sering buang air kemih.
f. Membesarkan perut.
4
- Reaksi dari Consulof
Menggunakan kodok rana exculenta, sebelum di gunakan kodok ini
di ambil kelenjar hypohysenya lebih dahulu hingga warna kodok menjadi
pucat. Kemudian kodok ini disuntikan dengan 2,5 cc urin wnta yang
sedang hamil, bila setelah disuntik warna kodok tersebut menjai cokelat,
maka reaksi kehamilan positif.
- Reaksi dari Galli Mainini
Menggunakan kodok jantan buffo vulgaris disuntikan 5 c air kemih
wanita yang sedang hamil pada bagian bawah kulit peerut kodok. Jika
hasil dari uji tersebut adalah positif maka akan di temukan sperma pada
air kemih kodok yang telah didiamkan selama 3 jam.
- Reaksi Friedman
Menggunakan kelinci betina yang telah 2 minggu diasingkan dari
jantan. Disuntikan 5 cc air kencing wanita yang sedang hamil intravena
pad vena telinga kelinci selama 2 hari berturut – turut. Setelah 24 jam
laludilakukan laparotomi, diambil ovarium, diperiksa, bila ada korpus
rubra dan lutea maka hasil tersebut adalah positif.
- Reaksi Aschiem Zondek
Menggunakan 5 ekor tikus betina imatur, pada hari kelima di dakan
operasi pada tikus – tikus betina yang telah di suntik itu. Operasi di titik
beratkan pada perubahan ovarium tikus putih, apakah ada korpus rubrum.
Jika ada maka hasilnya adalah positif, yang menandakan adanya
prognandiol dalam air kemih menyebabkan adanya ovulasi pada tikus
yang belum dewasa.
f. Reaksi Imunologik
Dasarnya adalah reaksi antigen – antibody, dimana hcg bersifat
antigen, sebagai antibody di kenal pregnosticon, gravidex dan qoravis.
5
b. Terabanya bagian – bagian anak
c. Pergerakan anak
d. Pemeriksaan roentgen (Zr. Cristina Ibrahim, 1971)
6
Dari kelima reaksi yang dilakukan untuk menguji adantya kehamilan pada
seorang wnita, yang banyak di gunakan pada rumah sakit besar maupun kecil
adalah reaksi Galli Mainini hal ini disebabkan karena reaksi ini menggunakan
kodok yang mudah di dapat. Kodok yang di gunakan adalah kodok biasa yaitu
Buffo vulgaris dengan berat katak antaa 25–30 gram yang hidup di padang rumput
dekat rumah–rumah, tetapi katak jantan tersebut tidak mempunyai sel mani. Jadi
kodok ini sebelum disuntikan dengn urin wanita yang sedang hamil, diperiksa
terlebih dahulu urin katak tersebut apakah mengandung sel mani atau tidak
mengandung sel mani, lalu urin penderiuta disuntikan pada katak, jika
mengandung sel mani berarti menandakan bahwa reaksi kehamilan positif,
sehingga dapat di ketahui pregnandiol mempengaruhi keluarnya sel mani. (Zr.
Christina Ibrahim, 1971)
Telah kita ketahui bahwa dalam melakukan reaksi Galli Mainini harus di
gunakan katak Buffo vulgaris jantan. Adapun ciri – ciri dari katak Buffo vulgaris
jantan adalah sebagai berikut :
1. Pada telapak kaki depan terdapat penebalan berwarna hitam.
2. Pada kulit leher bagian ventral terdapat warna agak merah yang
kekuning – kuningan.
3. Warna tubuh biasanya lebih agak gelap di banding dengan betina.
(http://one.indroskripsi.com/content/uji-kehamilan-Galli-Mainini)
7
ovipar, telur dibungkus lapisan lendir, diletakkan di air, larva hidup di air bernafas
dengan insang luar, insang dalam, bentuk ewasa bernafas dengan paru – paru atau
kulit dan hidup di air atau termasuk tempat yang lembab di darat. (Soedarjatmo,
1991)
Hormone HCG tidak hanya terdapat pad perempuan hamil saja, tetapi
terdapat juga pada cancer dari ovarium, permulaan menopause, kehamilan yang
abnormal, abnrtus, tumor dari testis, dan lain – lain. Bentuk dari chonon
gonadotropin belum begitu jelas, (Anonim, 1989)
Penetapan HCG dalam urin sejak lama di pakai sebagai indikator
kehamilan. Saat ini uji serologic, HCG dalam cairan tubuh, di samping digunakan
untuk kehamilan, juga dapat dipakai untuk menunjang diagnosis kehamilan I luar
kandungan, memperkirakan terjadinya abnotus, tumor tiofoblastik, tumor
testicular, bahkan beberapa jenis tumor lain yang tidak berasal dari tiofoblas,
(Kresno, 1985)
8
9
BAB III
METODE KERJA
III.2 Prinsip
Jika urin eorang wanita yang sedang hamil di sntikan pada seekor katak
jantan, maka dalam 1 atau 2 jam dalam urin katak tersebut akan di temukan
sperma.
10
memeriksa dengan mikroskop. Jika cairan tersebut sperma maka yang
harus dilakukan adalah yaitu membersihkannya terlebih dahulu.
c. Menyiapkan 3 ml urin wanita hamil kemudian gunakan spuiut untuk
menyuntikkan urin tersebt secara sub–kutan (di bawah kulit) dengan cara
mencubit atau menarik kulit katak kemudian suntikan. Baisanya untuk
penyuntikan ini di pilih tempat untuk kulit punggung.
d. Mengembalikan katak paa tempatnya, kemudian tunggu 1 jam untuk
melihat reaksinya. Setelah iutu merangsang bagian kloaka dengan lidi. Jika
ada cairan yang keluar, letakan pada kaca objek,. Lihat pada mikroskp jika
tidak di temukan sperma, maka di anjurkan untuk melakukan pemeriksaan
setelah 2 – 3 jam sampai di temukan adanya sperma.
11
12
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil
Dari hasil pemeriksaan uji kehamilan cara biologis reaksi Galli Mainini
diketahui bahwa :
Kodok 1 : hasilnya positif (ditemukan sperma pada urin katak)
Kodok 2 : hasilnya positif (ditemukan sperma pada urin katak)
IV.2 Pembahasan
Dalam melakukan praktikum pemeriksaan uji kehamilan cara biologis
reaksi Galli Mainini, bias di peroleh hasil negative palsu, hal ini disebabkan oleh :
a. Urin umur kehamilan yang di pilih kurang sesuai, karena jika umur
kehamilan sudah mencapai > 5 bulan, maka HCG yang ada dalam wanita
hamilsemakin lama akan semakin berkurang,sehingga menyebabkan
berkurangnya rangsangan katak untuk mengeluarkan sperma.
b. Kurang teliti dalam menyuntikan bagian tubuh katak.
c. Kurang tepat dalam cara menyuntikan urin, bias jadi pada saat
penyuntikan , banyak urin yang tidak masuk atau keluer dari area yang
diinginkan.
d. Kurag tepat dalam menyuntikan jumlah urin, sehingga jumlah urin
yang masuk kurang banyak atu berlebihan, sebaiknya jumlah urin yang di
suntikan pada katak disesuaikan dngan besarnya kodok..
13
rangsangan HCG yang terdapat dalam urin orang hamil atau sperma
karena katak yang sedang birahi karena pada saat meletakan di suatu
tempat, katak jantan tersebut tercampur dengan katak betina.
b. Pada praktikum kali ini kita tidak menggunakan katak betina tetapi
melainkan katak jantan dengan cirri – ciri sebagai berikut :
- Tubuhnya ramping
- Tadannya kecil – sedang
- Kaki depannya ada kaitnya
- Kakinya mencengkram
- Kantung suaranya besar, tidak birahi
14
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Dari pemeriksaan kehamilan reaksi Galli Mainini, di dapatkan kesimpulan
bahwa, urin wanita hamil bereaksi positif, ditandai dengan adanya sel sperma
pada urin katak yang di periksa.
V.2 Saran
1. Pada pemeriksaan kehamlan Galli Mainini sebaiknya menggunaan pagi
atau urin yang pekat.
2. Sebaiknya menggunakan urin orang hamil yang masih berusia 5 bulan
karena pada usia tersebut, hormone HCG kadarnya sangat tinggi.
3. Sebaiknya pada saat melakukan praktikum di gunaka sarung tangan
karena urin katak mengandung toksin yang menyebabkan dermatitis pada
kulit.
15
PEMERIKSAAN WIDAL
(SLIDE TEST)
16
BAB I
PENDAHULUAN
17
I.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum pemeriksaan widal adalah untuk mengetahui
adanya antibody spesifik terhadap bakteri Salmonella.
I.3 Manfaat
Manfaat dari praktikum pemeriksaan widal adalah agar mahasiswa
memahami dan mengetahui cara pemeriksaan widal dan memahami cara
interpretasi hasil pemeriksaan widal.
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
19
Hektoen Enteric Agar : koloni kecil sedang, berwarna hijau biru, dengan atau
tanpa warna hitam tengah, koloni bulat, smooth.
TSI : Lereng = alkali/asam
Gas = +/-
(Soemarno. 2000)
Susunan Antigen
No Spesies/ Serotype O Grup
O H-1 H-2
1 S. paratyphi A 1,2,12 a -
2 S. PB (S. schotmulerri) B 1,4(5),12 b 1,2
3 S. thyphimurium B 1,4(5),12 i 1,2
4 S. Pc (S. hirschfedli) C.1 6,7(V1) c 1,5
5 S. cholera suis C.1 6,7 (c) 1,5
6 S. doncaster C.2 6,8 a 1,5
7 S. djeta C.3 8 b 1,2
8 S. typhi D.1 9,12,(v1) d -
(Soemarno. 2000)
II.3 Klasifikasi
Salmonella yang dapat dan sebaiknya secara rutin di identifikasi karena
penting dalam klinis yaitu S. typhi , S. choleraeusis,S. parathyphi A, S. paratyphi
B. (Jawetz dkk,1996)
20
II.4 Demam Tifoid
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang
disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih di jumpai secara luas di berbagai
negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis.
(http : // www.wido25.blogster.com)
Penularannya dapat terjadi melalui kontak antar manusia atau jika
makanan dan minuman yang di konsumsi terkontaminasi di karenakan
penanganan yang tidak bersih. Selang waktu antara infeksi dan permulaan sakit
( masa inkubasi ) tergantung dari banyaknya bakteri apa yang masuk ke dalam
tubuh. Masa inkubasi berkisar antara 8-14 hari. (http://www.prodia.co.id)
Penyakit demam tifoid ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang penting karena penyebarannya berkaitan dengan urbanisasi, kepadatan
penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk, serta
standar hygiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.
21
Sebagian besar penderita mengalami penyembuhan sempurna. Tetapi bisa
terjadi komplikasi terutama bila tidak di obati atau pengobatan terlambat berupa:
a. Perdarahan usus (2 % penderita)
Perforasi usus (1-2 % penderita yang menyebabkan nyeri perut karena isi
usus menginfeksi rongga perut).
b. Infeksi kantung kemih dan hati
c. Infeksi darah ( bakterimia) yang kadang menyebabkan infeksi organ tubuh
lainnya.
(http:// beingmom.org/ indeks.php/2007/10/26/Demam_Tifoid)
22
II.6.3 Metode Enzyme Immunoassay
Didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgM
terhadap antigen OMP 50 kp. S. typhi. Deteksi IgM menunjukkan fase awal
infeksi pada demam tifoid akut, sedangkan IgM dan IgG menunjukkan demam
tifoid fase pertengahan infeksi.
II.6.4 ELISA
Dipakai untuk melacak antibody IgG , IgM, IgA terhadap antigen LPS Og,
antibody terhadap antigen d (Hd) flagel dan antibody terhadap antigen S. typhi.
23
BAB III
METODE KERJA
III.2 Prinsip
Uji widal darah adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutin dalam
serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda beda terhadap
antigen somatik (O)dan flagel (H) yang ditambahkan dalam jumlaah yang sama
sehingga terjadi aglutinasi.
III.3 Alat
Alat yang digunakan untuk pemeriksaan Widal Slide yaitu :
a. Slide
b. Mikropipet
c. Sentrifuge
d. Rotator
e. Kaca
f. Tabung reaksi
III.4 Bahan
Bahan yang digunakan untuk pemeriksaan Widal Slide yaitu :
a. Antigen Salmonella typhi O
b. Antigen Salmonella typhi H
c. Antigen Salmonella paratyphi AO
d. Antigen Salmonella paratyphi BO
24
III.5 Sampel
Sampel yang digunakan untuk pemeriksaan Widal Slide yaitu serum dari
saudari :
Nama : Aji Iin Safitrie
Umur : 20 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
25
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil
Dari praktikum yang dilakukan yaitu pemeriksaan widal cara slide didapat
hasil:
Nama : Aji iin Safitrie
Umur : 20 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Hasil pemeriksaan : Negatif
IV.2 Pembahasan
Uji widal adalah suatu pemeriksaan serologi yang berarti bahwa seseorang
pernah terinfeksi kuman Salmonella tipe tertentu. Untuk menentukan seseorang
menderita demam tifoid atau bukan, tetap harus didasarkan atas gejala-gejala
yang sesuai dengan penyakit tifus. Uji widal hanya dapat dikatakan sebagai
penunjang diagnose jika seseorang tanpa gejala dengan uji widal positif tidak
dapat dikatakan menderita tifus.
Beberapa yang sering disalah artikan dari pemeriksaan widal adalah
pemeriksaan widal positif dianggap ada kuman didalam tubuh. Pemeriksaan widal
yang diulang setelah seseorang menderita tifus dan mendapat pengobatan, hasil
widal positif untuk waktu yang lama sehingga uji widal tidak dapat digunakan
sebagai acuan untuk menyatakan kesembuhan seseorang.
Hasil untuk pemeriksaan widal positif telah mendapat pengobatan tifus,
bukan indikasi untuk mengulang pengobatan bila mana tidak didapatkan lagi
gejala yang sesuai. Hasil uji negative dianggap tidak menderita tifus.
Uji widal umumnya menunjukkan hasil positif 5 hari atau lebih setelah
infeksi. Karena itu bila infeksi baru berlangsung beberapa hari sering kali
hasilnya negatif dan baru akan positif bila mana pemeriksaan diulang. Dengan
26
demikian hasil uji widal negatif terutama pada beberapa hari pertama demam
belum dapat menyingkirkan kemungkinan tifus.
Widal, seperti semua hasil pemeriksaan laboratorium, harus di
interpretasikan dengan bijak. Tanda-tanda klinis, penderita terus lebih diutamakan
daripada reaksi widal positif. Tifus tidak pernah dimulai dengan demam tinggi
pada hri pertama sampai ketiga. Bila demam terus berlanjut dan pada hari 5-6
menjadi lebih tinggi maka barulah tiba waktunya untuk memeriksa widal dan
melakukan biakan kuman dari darah. Hasil biakan kuman yang positif merupakan
bukti adannya tifus.
Kelemahan dari pemeriksaan widal yaitu sensitifitas yang kurang member
hasi negatif sampai 30% dari sampel biakan positif penyakit tifus, sehingga hasil
tes widal negatif bukan berarti dapat dipastikan tidak terjadi infeksi tifus.
27
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Dari praktikum pemeriksaan widal secara rapid slide test. Terhadap serum
dari Aji iin safitrie, didapatkan kesimpulan bahwa sampel tersebut tidak terdapat
antibody Salmonella.
V.2 Saran
a. Sebaiknya pemeriksaan widal ini saat melaukan pembacaan harus tepat 1
menit. Karena jika < 1 menit akan didapatkan hasil negatif palsu.
Sedangkan jika > 1 menit maka akan mendapatkan hasil positif palsu.
b. Hal yang terpenting dalam pengobatan tifus adalah medeteksi sedini
mungkin sehingga dapat menghindari terjadinya komplikasi.
c. Perawatan pada penderita tifus dapat dilakukan dirumah yaitu dengan
beristirahat, cukup minum dan makan makanan dengan gizi dan protein
yang cukup.
d. Hidari makanan pedas atau asam karena dapat mengiritasi usus dan
beresiko menimbulkan pendarahan.
e. Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian vaksinasi. Carier
atau pembawa kuman dapat dialami pada sebagian kecil penderita yang
tidak mendapat pengobatan secara tuntas.
28
PEMERIKSAAN RHEUMATOID
FACTOR (rf)
29
BAB I
PENDAHULUAN
I.2 Tujuan
Uji Rheumatoid Arthritis ini bertujuan untuk membantu menegaka
diagnosa dan menentukan prognosa penyakit Rheumatoid Arthritis dengan
menemukan adanya faktor Rheumatoid (suatu auto antibody IgM atau IgG),
dalam serum penderita.
I.3 Manfaat
Agar mahasiswa dapat mengetahui cara pemeriksaan uji Rheumatoid
Arthritis.
30
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
31
Sebagaimna penyakit – penyakit serius lainnya seperti penyakit jantung
dan kanker, arthritis juga terbentuk karena gabungan kompleks dari factor
keturunan, biologis, dan lingkungan (www.mediterm.com).
32
II.3 Rheumatoid Arthritis
Arthritis rheumatoid adalah penyakit sistemik, radang kronis terutama
merusa sendi tulang dan kadang – kaddang juga merusak banyak jaringan dan
organ – organ lainnya diseluruh tubuh. Lebih spesifik lagi penyakit ini ditandai
oleh adanya sinovitis prodiferatif yang nonsupuratif, yang pada saatnya akan
mengakibatkan kerusakan tulang rawan sendi dan arthritis kelumpuhan yang
progresif. Bila organ di luar sendi ikut terlibat. Contohnya kulit, jantung,
pembuluh darah, otot paru. RA tidak hanya ada kemiripan dengan penyakit –
pentyakit ini kadang – kadang di sebut sebagai “penyakit jaringan ikat“. (Robbins
dan Kumar, 1995)
Penyakit rheumatoid merupakan penyakit jaringan ikat yang paling sering
ditemukan dan merupakan pentyebab yang penting dari ketidakmampuan
bergerak. Meskipun gambaran utama adalah dekstruksi polliarthritis yang di
tandai dengan infiltrasi dalam sinovial oleh limfosit, sel plasma dan makrofag.
Penyakit merupakan efek multi system karenanya kemudian “ penyakit “
rheumatoid merupaka nama yang lebih baik dari rheumatoid “ Arthritis “ karena
memberi penekanan bahwa penyakit ini melibatkan multi system. (Underwood,
1999)
AR merupakan suatu penyakit auto imun yang timbul pada individu –
individu yang rentan setelah respon imun terhadap agen pencetus yang tidak di
ketahui. Faktor pencetus mungkin adalah suatu bakteri, mycoplasma, virus yang
menginfeksi sendi atau mirip dengan sendi secara antigen. Biasanya respon
antibody awal terhadap mikroorganisme di perantai oleh IgG, walaupun respon ini
berhasil menghncurkan mikroorganisme, namun individu yang mengdap AR
mulai membentuk antibody lain, biasanya IgG atau IgM, terhadap antibody IgG
semula. Antibody yang ditujukan komplemen tubuh ini sendiri ini di sebut Factor
Rheumatoid (FR). FR menetap di kapsul sendi dan menimbulkan peradangan
kronik dan destruksi jaringan. AR diperkirakan terjadi karena predisposisi genetik
terhadap penyakit autoimun, wanita lebih sering terkena daripada pria. (Corwin,
2003)
33
Arthritis rheumatoid di sebabkan oleh keradangan berkepanjangan yang
diakibatkan oleh proses imunologi yang terjadi pada sendi seperti halnya pada
hampir semua penyakit autoimun, pencetus yang memulai reaksi imun tidak di
ketahui dalam sebagian besar penderita, infeksi pencetus adalah Faringitis
Streptococcus (sakit tenggorokan). (Robins dan Kumar, 1995)
Reaksi imun humoral maupun yang di perantai sel, keduanya terlibat pada
patogenesis arthritis Rheumatoid. Hampir semua pasien memiliki peninngkatan
kadar Imunoglobulin serum dan sebenarnya semua pasien memiliki suatu antibodi
yang di sebut faktor rheumatoid atau RF yang ditujukan pada FC kepada IgG
autolog. IgM merupakan keas immunoglobulin utama yang terdapat pada F, IgG
dapat di identifikasi dalam serum sekitar 80 % pasien (penderita seropositif).
Di samping IgM, aktivitas RRF juga dapat di temukan dalam hubungan
dengan immunoglobulin IgG dan immunoglobulin IgA. Walaupun peranan yang
tepat faktor rheumatoid IgM dalam sirkulasi untuk patogenesis suatu arthritis
belum di definisikan, karena tidak di temukan di dalam sendi, terdapat korelasi
antara titernya dalam serum dengan derajat gambaran klinis. Faktor Rheumatoid
IgG sebaliknya, di temukan di alam rongga sendi yang sakiut dan diperlkirakan
terlibat dalam patogenesis arthritis. Karena bentuk RF ini sendiri merupakan
sebagai molekul IgG maka RF dapat berlaku baik sebagai antigen maupun anti
bodi. Ini mengakibatkan pengelompokan diri dari molekul RF dan pembentukan
kompleks imun yang dapat mengikat komplemen.
Ini mengikuti rangkaian kejadian yang sangat umum terjadi pada
hipersensitivitas tipe III dan tipe Arthritis. Fagositosis suatu kompleks oleh
poliomorf yang di tarik, sel pelapis sinovia dan makrofag mengakibatkan
pelepasan enzim lisosom temasuk protease dan koagenase yang netral. Enzim –
enzim ini merusak pelapisan sinovia dan tentu saja tulang rawan sendi. Beberapa
observasi mendukung mekanisme jejas sendi, kompleks IgG anti IgG secara tetap
ditemukan pada ruang sinovia. Kompleks imun dapat di temukan dalam membran
sinovia dan konsentrasi komplemen dalam cairan sinovia rendah. Faktor genetik
mempengaruhi terjadinya rheumatoid arthritis. (Robbins dan Kumar, 1995)
34
Pemeriksaan penunjang tidak banyak berperan dalam diagnosis
rheumatoid namun dapat menyokong bila terdapat keraguan atau untuk melihat
prognosis pasien, pada pemeriksaan laboratorium terdapat :
35
penting untuk mencegah kerusakan sendi, maka penggunaan anti CCP IgG
untuk diagnosa RA sedini mungkin sangat bermanfaat.
b. Anti CCP IgG sangat spesifik untuk kondisi RA. Anti bodi ini terdeteksi
pada 80 % individu RA dan memiliki spesifitas 98 %. Antibodi ini juga
bersifat spesifik karena dapat menggambarkan resiko kerusakan sendi
lebih lanjut.
c. Anti CCP IgG dapat menggambarkan resiko kerusakan sendi lebih lanjut
individu dengan nilai anti CCP IgG positif umumnya di perkirakan akan
mengalami kerusakan radiologis yyang lebih buruk bila di bandingkan
individu tanpa anti CCP IgG.
(www.medicinet.com)
36
37
BAB III
METODE DAN CARA KERJA
III.2 Prinsip
Latex polisteren dicoated gamma globulin di reaksikan dengan serum
penderita rheumatoid, maka akan terbentuk aglutinasi.
III.3 Alat
a. Slide
b. Sentrifuge
c. Rotator
d. Yellow tape
e. Pipet tetes atau mikro 50 mikron liter
f. Tabung reaksi dan raknya
g. Batang pengaduk
III.4 Reagen
a. RF Latex
b. Kontrol Positif Latex
c. Kontrol Negatif Latex
38
III.6 Cara kerja
a. Kualitatif
1. Dibiarkan sampel dan reagen hingga suhu kamar, lalu di ambil sampel
50 mikron liter, di taruh di dalam slide latr belakang hitam.
2. Latexs di campur hingga homogen, kemudian di taruh satu tetes.
3. Di campur hingga homogen antara sampel dan latexs.
4. Di rotator dengan kecepatan 100 rpm selama 2 menit.
b. Kuantitatif
1. Hasil pemeriksaan sampel positif di lanjutkan dengan pengenceran ber
Seri.
2. Diambil NaCl 0,85 % pada tanda lingkaran slide
3. Pada ingkaran pertama di tambah serum 50 μl, dicampur (2x)
4. Lalu ambil 50 μl, ditambah pada lingkaran kedua, di campur (4x)
5. Lalu ambil 50 μl, di tambah pada lingkaran ketiga, dicampur (8x)
6. Lalu ambil 50 μl, di tambah pada lingkaran ke empat, (16x)
7. Lalu ambil 50 μl, di tambah pada lingkaran ke lima, di campur (32x)
dan seterusnya
8. Di tambah masing – masing 1 tetes reagen latexs, rotator 100 rpm
selama 2 menit
9. Hasil posituif terakhir di kalikn 8 IU/ ml adala di laporkan sebagai titer
RF.
39
III.7 Interpretasi hasil
40
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil
Dari hasil praktikum yang di lakukan di dapatkan hasil dari serum pasien :
1. Hasil pemeriksaan RF terhadap serum Aniek Rosalita adalah negatif.
2. Hasil pemeriksaan RF terhadap serum Ami Yudhita adalah negatif.
IV.2 Pembahasan
Dalam membantu menegakan diagnosa dan menentukan prognosa dari
penyakit rheumatioid arthritis dapat digunakan rose – wealer atau dengan tes
aglutinasi latex. Tes rose wealer atau aglutinasi latex adalah suatu tes aglutinasi
pasif (suatu antigen yang larut yang di kaitkan pada partikel – partikel besar atau
sel di camur dengan anti bodi terhadap antigen tersebut). Untuk menentukan
adantya faktor rheumatoid (RF) didalam serum penderita rheumatoid arthritis. RF
adalah suatu auto antibodi (IgG / IgM) yang di tujukan terhadap IgGU (anti IgG)
dan terbentuk dalam stadium yang agak lanjut. Peyakit rheumatoid arthritis
biasanya stelah menderita lebih dari setengah tahun. Walaupun faktor rheumatoid
dapat berupa IgG maupun IgM tetapi di dallam tes rose wealer atau aglutinasi
latexs, hingga IgM saja yang di tentukan. (Handojo, 1982)
Antigen menyebabkan penyakit ini sampai sekarang belum diketahui
dengan tepat oleh karena itu sering di sebut dengan antigen x. Namun belakangan
ini sering di kemukakan bahwa ada hubungan tyang positif antara rheumatoid
arthritis dengan infeksi oleh Epstein Barr Virus (EBV). Antigen x yang masuk ke
dalam senai akan di proses oleh sel – sel immunokompeten dari synovia sendi
sehingga merangsang pembentukan anti bodi terhadap antigen x tersebut.
(Handojo, 1982)
Antibodi yang di bentuk di dalam sendi ini terutama dari kelas IgG
walaupun kelas – kelas antibodi yang lain juga terbentuk. Pada penderit –
41
penderita rheumatoid arthrituis ternyata secara genetik di dapatkan adanya
kelainan dari sel – sel limfosit I – supresornya sehingga tidak dapat menekan sel –
sel limfosit T – Helperdengan akibatnya timbulnya rangsangan yang berlebih –
lebihan pada plasma sehingga terbentuk antibodi yang berlebihan pula. Pada
dalam jangka waktuyang lama hal ini dapat menimbulkan terjadinya auto antibodi
yaitu yang di kenal sebagai faktor rheumatoid. (IgG dan IgM – anti IgG)
Umumnya faktor rheumatoid baru terbentuk setelah penderitua menderitua
penyakit selama 6 bulan tetapi dapat pula terjadi lebih awal atau sesudah waktu
yang lama. (Handojo, 1982)
Sumber kesalahan yang terjadi pada tes aglutinasi late, adalah :
1. Hasil dari tes harus segera dibaca setelah di rotator, sebab dapat terjadi
aglutinasi non spesifik bila campuran mengering.
2. Serum yang amat lipemik dapat memberi hasil tyang positif semu.
3. Botol reagensia harus ditutup engan rapat untuk mencegah penguapan dan
auto flokulasi.
4. Reagensia harus di simpan dalam 4˚ C dan harus dikocok dengan baik se
belum dipakai.
5. Pencampuran di rotator tidak boleh lebih dari 1 menit.
(Handojo, 1982)
42
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Dari hasil praktikum pemeriksaan RAF di dapatkan hasil bahwa dalam
serum tersebut :
a. Serum dari saudari Aniek Rosalita umur 19 tahun nilai RFnya adalah
negatif.
b. Serum dari saudari Ami Yudhita umur 20 tahun nilai RFnya adalah
negatif.
V.2` Saran
1. Sebaiknya di lakukan pemeriksaan pembanding seperti CRP dan ASTO,
jika di dapatkan hasil negatif, karena pada pemeriksaan RF, belum tentu
pasien tersebut bebas dari rheumatoid arthritis karena antibodi baru
terbentuk setelah 6 bulan.
2. Hasil tes harus di baca dlam waktu 5 menit. Sebab akan terjadi aglutinasi
non spesifik bila campuran mengerig.
3. Hindari penggunaan serum yang amat lipemik karena dapat memberi hasil
yang positif semu.
43
PEMERIKSAAN anti streptolisin-o
(asto)
44
BAB I
PENDAHULUAN
I.2 Tujuan
Untuk mendeteksi adanya antibody Streptolisin O yang di sebabkan oleh
bakteri Streptococcus pyogenes atau β-hemolitik.
I.3 Manfaat
Agar mahasiswa dapat memahami dan mengetahui cara pemeriksaaan
ASTO/ASO dengan metode aglutinasi lateks.
45
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.2 Streptococcus
Streptococcus adalah bakteri sferis gram positif yang khasnya berpasangan
atau membentuk rantai selama pertumbuhannya. Spesies yang virulen mungkin
menghasilkan kapsul yang terdiri dari acid hialuronik danprotein M, habitat dari
spesies ini ialah saluran pernapasan atas (rongga hidung dan faring). Antar
infeksi-infeksi yang di sebabkan oleh spesies ini adalah demam scarlet, faringitis,
impetigo, demam rheumatic, dan lain-lain. Streptococcus dikelaskan berdasarkan
morfologi koloni, sifat biokimia, kespesifikan serologi dan sifat hemolisis pada
agar darah.
46
Pembagian spesies Streptococcus berdasarkan sifat hemolitiknya :
a. Hemolisa α
Kebanyakan terdiri dari kumpulan “viridans“ yaitu Streptococcus
hemolisis α tanpa kapsul.
b. Hemolisa β
Paling penting sebab sebagian besar pathogen manusia terdiri dari
kumpulan ini.
c. Hemolisa γ
(http://pkukmweb.ukm.my/)
2. Protein M
Zat ini adalah faktor virulensi utama dari Streptococcus pyogenes
golongan A. Protein ini juga memudahkan perlekatan sel pada epitel-epitel
inang. Protein ini nampak sebagai bentuk yang mirip rambut pada dinding
sel Streptococcus.
3. Zat T
Antigen ini tidak mempunyai hubungan dengan virulensi
Streptococcus. Zat ini diperoleh dari Streptococcus melalui pencernaan
proteolitik yang cepat merusak protin M. Zar ini juga tidak tahan terhadap
asam dan panas.
4. Nukleoprotein
47
Ekstraksi Streptococcus dengan basa lemah menghasilkan campuran
protein dan zat-zat lain dengan spesifitas serologic yang rendah dan di
namakan zat P. Zat ini mungkin merupakan sebagian besar badan sel
Streptococcus.
(Brooks, 1996)
Toksin yang di hasilkan oleh Streptococcus golongan A lebih dari 20, hasil
ekstraselular yang bersifat antigen. Beberapa di antaranya adalah:
1. Hemolisin
Zat beracun yang melewati saringan kuman ada 2 macam yaitu :
a. Streptolisin O, yang tidak tahan terhadap oksigen dan
pemanasan,antigen kuat, penting dalam menentukan virulensi.
b. Streptolisin S, tahan terhadap oksigen, tidak bersifat antigenic, terdiri
dari serum lipoprotein tidak khas dan mungkin bersifat nefrotoksik.
2. Toksin Enterogenik
Dapat melewati saringan dan tahan terhaap pemanasan. Jika disuntikkan pada
orang yang peka secara intradermal dalam dosis yang kecil akan
menyebabkan kemerahan pada kulit. Pemberian dosis yang lebih basar akan
kemerahan menyeluruh, demam dan kelesuan.Toksin ini berkaitan dengan
patogenesis demam skarlatina.
3. Streptokinase (Fibrinolisin)
Dibuat oleh sebagian besar jenis kelompok A, C dan G. Bersifat
tahanpemanasan dan antigenic. Dapat menyebabkan kehancuran gumpalan
fibrin manusia dengan mengaktifkan precursor plasma. Tampaknya
fibrinolisin memiliki peran pada infeksi Sterptococcus dengan memecahkan
penghalang fibrin di sekeliling lesi dan menyebarkan infeksi.
4. Deoksiribinuklease (Streptodornase)
48
Menyebabkan terjadinya depolimerisasi DNA. Zat ini menolong mencairkan
nanah kental. Ada 4 Streptodornase, A, B, C, dan D yang telah di temukan.
Jenis O lebih bersifat antigenic pada manusia.
5. Hialuronidase
Merupakan faktor penyebar yang ada pada filtrate biakan Streptococcus
pyogenes. Zat ini memecahkan asam hialuronat jaringan. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya penyebaran infeksi sepanjang rongga antara sel.
Streptococcus memiliki kapsul atau hialuronat tetapi mengeluarkan
hialuronidase, jadi melakukan penghancuran diri. Tetapi jenis-jenis yang
membuat hialuronidase dalam jumlah banyak (M jenis 4.22) tidak bersimpai
dan karenanya tidak mempunyai asam hialuronat.
6. Protease
Enzim intraselular yang di buat pada pH asam di dalam perbenihan yang di
biakkan pada suhu 37º C. Zat ini menghancurkan protein khas jenis M dan
juga menghambat produksi fibrin dan hialuronidase. Zat ini di buat di daerah
peradangan. Kepentingan biologis dari enzim ini tidak diketahui dengan jelas.
II.3 Patogenesis
Suatu infeksi oleh β-hemolitik Streptococcus group A akan marangsang
sel-sel imunokompeten untuk memproduksi antibody-antibodi, baik terhadap
produk-produk ekstraselular dari kuman (streptolisin, hialuronidase,
streptokinase, DNASE) maupun terhadap komponen permukaan dari dinding sel
kuman (cell-surface/membrane antigen-CSMA). Antibodi terhadap CSMA inilah
49
yang diduga menyebabkan terjadinya kelainan pada jantung dari penderita dengan
glomerulonefritis. Kelainan pada organ tersebut di sebabkan oleh karena reaksi
silang antar antibodi terhadap CSMA dengan endocardium atau glomerulus
basement membrane (CMB) atau menimbulkan pembentukan complement. Imun
Ab-CSMA yang di emdapkan pada glomerulus atau endocardium dan
menyebabkan kerusakan-kerusakan pada bagian-bagian tubuh tersebut. Sebagian
basar dari strain-strain serologik dari Streptococcus Group A menghasilkan dua
enzim hemolitik yaitu Streptolisin O dan S. Di dalam tubuh penderita, Streptolisin
O akan merangsang pembentukan antibodi yang spesifik yaitu anti streptolisin O
(ASTO) sedangkan yang dibentuk Streptolisin S tidak spesifik. (Handojo,1982)
Reaksi auto imun terhadap Streptococcus secara teori akan mengakibatkan
kerusakan jaringan atau manifestasi demam rheumatic, dengan cara :
1. Streptococcus group A akan menyebabkan infeksi faring
2. Antigen Streptococcus akan menyebabkan pembentukan antibodi
pada pejamu yang hiperimun.
3. Antibodi bereksi dengan antigen Streptococcus dan dengan jaringan
pejamu yang secara antigeni sama seperti Streptococcus.
4. Autoantibodi tersebut bereaksi dengan jaringan pejamu,sehingga
menyebabkan kerusakan jaringan.
(Price, 2003)
II.4 Gejala
Gejala demam rheumatic dapat terjadi secara mendadak dan secepat kilat.,
dengan demam, takikardi, dan rasa sakit pada sendi yang membengkak atau dapat
tersamar dan tidak nyata, hanya bergejala malaise dan demam ringan. Bila di
dahului oleh infeksi Streptococcus tersamar secara klinik, biasanya akan mereda
sebelum mulai gejala demam rheumatic. Tidak ada gambaran klinik atau
laboratorium demam rheumatic yang khas untuk penyakit ini. (Kumar, 1995)
Gejala-gejalanya mencakup:
50
1. Riwayat nyeri tenggorokan, positif untuk Streptococcus β-hemolisa
grup A apabila di biakkan. Riwayat infeksi biasanya berupa nyeri kepala,
demam, pembengkakan kelenjar limpa di sepanjangrahang dan nyeri perut
atau mual.
2. Timbul polyarthritis migratonile, termasuk peradangan sendi-sendi di
sertai pembengkakan, kemerahan dan kalor (panas). Yang sering terkena
adalah sendi-sendi besar di siku, lutut dan pergelangan tangan dan kaki.
3. Terbentuk nodus-nodus subkutis yang keras dan terletak di atas otot
dan sendi-sendi yang terkena. Nodus-nodus ini tidak nyeri dan transient.
4. Eritema marginatum (suatu ruang transien), terutama di badan, lengan
bagian dalam dan paha.
5. Kore a (gerakan-gerakan cepat menyentak) dapat timbul, di sertai oleh
kecanggungan dalam bergerak.
(Corwin,2003)
51
2. Aglutinasi pasif
Streptolisin O merupakan antigen yang larut. Agar dapat
menyebabkan aglutinasi dengan ASO. Maka Streptolisin O perlu di
salutkan pada partikel-partikel tertentu. Partikel yang sering dipakai yaitu
pattikel lateks. (Handojo,1982)
Sejumlah tertentu Streptolisin O (yang dapat mengikat 200 IU/ml
ASO) di tabahkan pad aserum penderita sehingga terjadi ikatan
Streptolisin O – anti Strepolisin O (SO – ASO). Bila dalam serum
penderita terdapat ASO lebih dari 200 IU/ml, maka sisa ASO yang tidak
terikat oleh Streptolisin O akan menyebabkan aglutinasi dari streptolisin O
yang disalurkan pada partikel – partikel latex . Bila kadar ASO dalam
serum penderita kurang dari 200 IU / ml , maka tidak ada sisa ASO bebas
yang dapat menyebabkan aglutinasi dengan streptolisin O pada partikel –
partikel latex. (Handojo,1982)
Tes hambatan hemolisis mempunyai sensitivitas yang cukup baik ,
sedangkan tes aglutinasi latex memiliki sensitivitas yang sedang. Tes
aglutinasi latex hanya dapat mendeteksi ASO dengan titer di atas 200
IU/ml.
(Handojo ,1982)
52
BAB III
METODE KERJA
III.2 Prinsip
Lateks polisteren yang di liputi oleh Streptolisin O bila di reaksikan
dengan serum yang mengandung Anti Streptolisin O maka akan terbentuk
aglutinasi.
III.3 Metode
Metode yang di gunakan dalam praktikum ini adalah aglutinasi pasif
menggunakan lateks (slide).
III.4 Alat
Alat yang di gunakan dalam praktikum ini adalah:
Slide test dasar hitam
Micropipet dan yellow tip
Pipet tetes
Batang pengaduk
Tabung reaksi
Rotator
Sentrifuge
III.5 Reagen
Reagen ASTO lateks
Reagen control positif ASTO
53
III.6 Bahan
Sampel yang digunakan dalam praktikum ini adalah serum darah dari:
a. Nama : Anisa Ulfah
Umur : 20 tahun
b. Nama : Cahyani Rahayu
Umur : 20 tahun
b. Semi Kuantitatif
1. Hasil pemeriksaan positif dilanjutkan dengan pengenceran.
2. Diambil NaCl 0,85 % sebanyak 50 µl pada 6 tanda lingkaran
slide.
3. Pada lingkaran pertama, di tambah 50 µl serum, lalu campur
(2x)
4. Lalu ambil 50 µl, ditambahkan pada lingkaran kedua, lalu
campur (4x)
5. Lalu ambil 50 µl, ditambahkan pada lingkaran ketiga, lalu
campur (8x)
6. Lalu ambil 50 µl, ditambahkan pada lingkaran keempat, lalu
campur (16x) dan seterusnya.
54
7. Masing-masing ditambah 1 tetes reagen lateks, di campur dan
di rotator 100 rpm selama 2 menit.
8. Hasil positif terakhir di kalikan 200 IU/ml adalah di laporkan
sebagai titer ASTO.
55
56
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil
Pemeriksaan Anti Streptolisin O (ASTO) pada serum dari:
1. Nama : Anisa Ulfah
Umur : 20 tahun
Hasil : Negatif (tidak terjadi aglutinasi)
2. Nama : Cahyani Rahayu
Umur : 20 tahun
Hasil : Negatif (tidak terjadi aglutinasi)
IV.2 Pembahasan
Pembacaan hasil pada tes aglutinasi lebih dari 5 menit menggunakan
serum yang lipemik, serta penyimpanan reagensia lateks yang salah, dapat
menjadi faktor kesalahan dalam pemeriksaan.
Paparan Streptococcus hamper terjadi pada setiap orang, kemungkinan
seseorang mempunyai antibody Streptolisin O dalam serumnya sangat besar.
Karena itu, 200 IU/ml merupakan batas dari normal.
Harga normal dari ASTO juga di pengaruhi oleh usia penderita :
1. Pada bayi yang baru lahir, titer ASTO dalam darahnya
umumnya lebih tinggi dari ibunya, tetapi dalam waktu beberapa
minggu saja, titer itu menurun dengan tajam.
2. Pada usia sekolah, titer ASTO mulai naik lagi sampai
mencapai titer usia dewasa.
3. Pada usia lanjut, titer ASTO menurun lagi.
Faktor geografis atau iklim juga mempengaruhi harga normal dari ASTO,
yaitu titer normal tersebut menurun makin dekat ke garis khatulistiwa.
57
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Dari praktikum pemeriksaan Anti Streptolisin O terhadap serum dari Sdri.
Anisa Ulfah dan Cahyani Rahayu di dapatkan hasil negatif atau tidak terbentuk
aglutinasi .
V.2 Saran
a. Sebaiknya serum yang digunakan untuk pemeriksaan jika baru di
keluarkan dari freezer harus di diamkan dulu selama 10-30 menit dalam
suhu kamar, karena serum yang masih dingin jika di reaksikan dengan
reagen akan memberikan hasil negative palsu.
b. Sebaiknya hindari serum yamg lipemik karena dapat memberikan hasil
positif palsu.
c. Sebaiknya di lakukan pemeriksaan ulang ASTO (sekali atau dua kali
seminggu) untuk menetukan kadar tinggi dari peningkatan titer antibodi
serum.
58
PEMERIKSAAN c-reaktif protein (crp)
59
BAB I
PENDAHULUAN
I.2 Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui titer CRP dalam serum dan
keradangan atau infeksi yang terjadi pada kerusakan jaringan didalam tubuh
seseorang.
60
I.3 Manfaat
Untuk mengetahui cara kerja metode aglutinasi pasif menggunakan latex.
61
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.1 Definisi
C- Reaktif protein adalah salah satu dari protein fase akut yang didapatkan
dalam serum normal walaupun dalam jumlah yang kecil. Pada keadaan-keadaan
tertentu dimana didapatkan adanya reaksi radang atau kerusakan jaringan
(nekrosis), yaitu baik yang infektif maupun yang tidak infektif. Kadar CRP dalam
serum dapat mengikat sampai 1000 kali. (Handojo, 1982)
Banyak protein plasma mengikat secara akut sebagai respon terhadap
penyakit, infeksi dan nekrosis jaringan. Protein- protein ini mencakup
glikoprotein α-1-asam, α-1-anti tripsin, serum plasma haptoglogin. Fibrinogen dan
protein C- Reaktif (CRP). Yang paling bermanfaat dari zat-zat tersebut adalah
CRP karena berdasarkan cepatnya peningkatan sebagai respon terhadap penyakit
akut dan cepatnya pembersihan setelah stimulus mereda. (Sacher, 2004)
CRP adalah globula alfa abnormal yang cepat timbul adalah serum
penderita dengan penyakit karena infeksi atau karena sebab-sebab lain. Protein ini
tidak terdapat dalam darah orang sehat. Protein ini dapat menyebabkan pesipitasi
hidrat arang C dari Pneumococcus. (Bonang, 1982)
CRP merupakan fase, keadaannya meningkat 24 jam pasca infeksi,
peradangan akut kerusakan jaringan. Unsur pokok dari mikroorganisme dan juga
struktur sex manusia disebut juga CRP karena mempunyai kemampuan untuk
berikatan dengan C- pneumococcus polisakarida. (Lorenz, 1990)
62
CRP meningkat 1000 kali atau lebih berperan pada imunitas non- spesifik
yang dengan bantuan Ca2+ dapat meningakat berbagai molekul, antara lain
fosforolklorin yang ditemukan pada bakteri atau jamur. Kemudian menggerakkan
sistem komplemen dan membantu merusak organisme patogen dengan cara
opsonisasi dengan meningkatkan fagositas. (Bratawijaya, 1996)
Dalam waktu yang reaktif singkat singkat setelah terjadinya reaksi radang
akut atau kerusakan jaringan. Sintesa dan sekresi dari CRP meningkat dengan
tajam dan hanya dalam waktu 12-48 jam setelah mencapai nilai puncaknya. Kadar
dari CRP akan menurun dengan tajam bila proses peradang atau kerusakan
jaringan mereda dalam 24-48 jam telah mencapai harga normalnya kembali.
(Handojo, 1982)
63
II.4 Prinsip Dasar Penentuan CRP
Pada dasarnya penentuan CRP dapat dilakukan dengan 2 cara :
1. Tes Presipitasi
Sebagai antigennya adalah CRP yang akan ditentukan dan sebagai
antibodi adalah CRP yang telah diketahui.
2. Aglutinasi Pasif
Yang disalutkan pada partikel-partikel untuk penentuan CRP adalah
antigen. Sedangkan antibodi yang disalutkan pada partikel-partikel
digunakan untuk menentukan adanya antigen dalam serum.
64
b. Cara Aglutinasi Latex
Merupakan penentuan CRP secara semikuantitatif. Satu tetes serum
dicampur dengan satu tetes reagen latex (CRP) (partikel- partikel latex
yang disalutkan dengan anti CRP), diatas kaca benda dengan penganduk
dari kaca. (Handojo, 1982)
Hal yang sama dikerjakan untuk serum kontrol baik positif maupun
negatif. Lempeng kaca kemudian digoyang- goyangkan dengan rotator dan
dibaca setelah 3-5 menit. Pembacaan apabila positif, berarti sesuai dengan
kadar CRP lebih dari 0,5 mg/ 100 ml atau 5 mg/L dan negative berarti
harus diulang dengan pengenceran 1 : 10.
65
Namun, bagaimanapun juga peningkatan CRP serum merupakan suatu
reaksi yang tidak spesifik. Jadi, hanya dapat digunakan sebagai pembantu
diagnosis untuk melengkapi data- data klinik.
3. Membantu diagnosa dan evaluasi hasil pengobatan pada penyakit infeksi.
Penentuan CRP serum amat bermanfaat sebagai parameter untuk
pengelolaan penderita dengan septicemia dan meningitis pada masa
neonates dima pemeriksaan mikrobiologis sukar dikerjakan.
4. Diagnosa banding beberapa penyakit.
Penentuan kadar CRP serum dapat menjadi parameter pembantu
dalam diagnose banding beberapa penyakit seperti SLE dan Rhematoid
arthritis, atau arthritis lain. Infeksi oleh bakteri dengan infeksi oleh virus
dan penyakit lain.
5. Membantu menegakkan diagnosa bagi mati jantung.
Peningkatan kadar CRP berarti infark transmural daripada yang non-
transnural. Umumnya kadar CRP serum mencapai puncaknya. Pada waktu
50- 60 jam setelah rasa nyeri yang maksimal. Pada waktu yang mana
biasanya telah kembali normal.
(Handojo, 1982)
66
BAB III
METODE KERJA
III.3 Prinsip
Direct aglutinasi antara CRP dengan partikel antibody latex (sebagai
antigen) membentuk kompleks antigen antibody yang membentuk aglutinasi.
III.4 Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah:
1. Slide test yang dasarnya hitam
2. Yellow tape
3. Batang pengaduk
4. Tabung Reaksi
5. Sentrifuge
6. Rotator
7. Rak tabung reaksi
8. Pipet mikro
III.5 Bahan
1. Partikel latex putih ditempel anti kuman C-Reaktif Protein
2. Natrium azide 0,95 gr/l, borate buffer 100 mmol/l pH 8,2
3. Negatif kontrol berisi serum CRP ‹ 6 IU/ml
4. Positif control berisi serum CRP › 6 IU/ml
67
III.6 Bahan Pemeriksaan
Bahan pemeriksaan yang digunakan adalah serum dari:
Nama : Ami Yudhita
Umur : 20 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
b. Semi kuantitatif
1. Bila hasil pemeriksaan sampel postif, maka dilanjutkan dengan
pengecetan berseri
2. Diambil Nacl 0,85% sebanyak 50 µl pada 6 tanda lingkaran slide
3. Pada lingkaran pertama ditambah 50 µl serum, dicampur (2x)
4. Lalu diambil sebanyak 50 µl, dan ditambahkan pada lingakaran kedua,
dicampur (4x)
5. Lalu diambil sebanyak 50 µl, ditambahkan pada lingkaran ketiga,
dicampur (8x)
6. Lalu diambil sebanyak 50 µl, ditambahkan pada lingkaran keempat,
dicampur (16x)
68
7. Lalu diambil sebanyak 50 μl, ditambahkan pada lingkaran kelima,
dicampur (32x)
8. Ditambahkan masing- masing 1 tetes reagen latex, dirotator dengan
kecepatan 100 rpm selama 2 menit
9. Hasil positif terakhir dikalikan 6 Iu/ ml dan dilaporkan sebagai titer
CRP.
69
BAB 1V
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.2 PEMBAHASAN
Ada beberapa factor yang dapat menjadi sumber kesalahan pada
pemeriksaan CRP, yaitu :
a. Harus dibaca selambat- lambatnya dalam waktu 5 menit sebab aglutinasi
non- spesifik dapat terjadi bila test mongering
b. Serum yang lipemik dapat menyebabkan hasil yang positif palsu
c. Reagensia latex CRP harus disimpan pada suhu 4oC dan dikocok dengan
baik sebagai dipakai
d. Botol reagensia CRP harus ditutup rapat, sebab dapat mengakibatkan
terjadinya flokulasi reagen mengering.
Peningkatan CRP yang tidak spesifik dilakukan untuk menegakkan
diagnosa dan untuk memonitor efek dari terapi CRP meningkat selama infeksi
oleh bakteri tetapi bukan infeksi virus. Pemeriksaan ini sering dilakukan untuk
membantu dalam diagnostic banding pada pyelonefritis dengan sistisis dan
bronkitif akut dengan asam.
Secara umum, pemeriksaan CRP digunakan untuk membantu menegakkan
diagnose dari keadaan penyakit yang berkaitan dengan proses peradangan dan
nekrosis jaringan serta digunakan untuk mengikuti hasil pengobatan dari penyakit
dengan peradangan akut atau kerusakan jaringan. CRP adalah non- spesifik tetapi
CRP mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan indicator- indicator non-
spesifik lainnya.
70
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Dari hasil pemeriksaan CRP dengan metode aglutinasi latex pada sampel
wanita bernama Ami yudhita adalah negative.
V.2 Saran
a. Pada saat pengambilan darah vena dan dimasukkan dalam wadah perlu
dijatuhkan dari panas karena CRP mudah berubah akibat suhu.
b. Sebaiknya sebelum dilakukan pengambilan darah, pasien harus
ditenangkan terlebih dahulu.
c. Perlu dikenali setiap peningkatan CRP yang berhubungan dengan proses
inflamasi akut (misal sakit dan pembengkakan sendi, panas, merah-merah
dan meningkatnya suhu tubuh).
71
PEMERIKSAAN KEHAMILAN
(rapid test)
72
BAB I
PENDAHULUAN
I.2 Tujuan
Mengetahui adanya hormon HCG (Hormone Chorionic Gonadotropin)
dalam urine untuk membuktikan apakah seorang wanita dinyatakan hamil atau
tidak.
I.3 Manfaat
Agar mahasiswa dapat melakukan uji kehamilan dengan menggunakan
cara Rapid Test.
73
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Kehamilan
Untuk tiap kehamilan harus ada spermatozoa, ovum, pembuahan ovum
(konsepsi) dan nidasi hasil konsepsi. Dalam beberapa jam setelah pembuahan
terjadi, mulailah pembelahan zigot. Hal ini dapat berlangsung oleh karena
sitoplasma ovum mengandung banyak zat asam amino dan enzim. Setelah
pembelahan ini terjadi pembelahan-pembelahan selanjutnya berjalan lancar.
Umumnya nidasi terjadi di dinding depan atau belakang uterus, dekat dengan
fundus uteri. Jika nidasi ini terjadi barulah disebut adanya kehamilan. Kadang-
kadang pada saat nidasi yakni masuknya ovarium ke dalam endometrium, terjadi
pendarahan pada luka desi dua (tanda Hartman). (Winkjosastro, 2005)
Lapisan desi dua yang meliputi hasil konsepsi ke arah kavum uteri disebut
desi dua kapsularis, yang terletak antara hasil konsepsi dan dinding uterus disebut
desi dua basalis, disitulah plasenta akan dibentuk korionik gonadotropin, korionik
somatomammotropin (plasenta lactogen), esterogen dan progesteron. Korionik
trioptrin dan relaksipun dapat diisolasi dari jaringan plasenta. Kemungkinan
bahwa masih ada hormon-hormon lain dalam jangka fungsi plasenta, khususnya
dalam fungsi hormonal dalam kehamilan. (Winkjosastro, 2005)
74
pencabirannya. Aspek-aspek kualitatif fungsi sperma dapat dinilai dengan uji
penetrasi telur (egg penatration test). (Winkjosastro, 2005)
Semua test kehamilan yang ada pada saat ini mendeteksi keberadaan HCG.
Deteksi kehamilan ini memungkinkan perawatan dimulai dini. HCG dapat diukur
dengan Radio Immunoassay dan dideteksi dalam darah 6 hari setelah konsepsi
atau sekitar 20 hari sejak periode menstruasi terakhir. Keberadaan hormon ini
dalam urine pada tahap awal kehamilan merupakan dasar berbagai test kehamilan
di laboratorium dan kadang kala dapat dideteksi di dalam urine 14 hari setelah
konsepsi. Test yang kurang sensitif mungkin tidak akurat 40 hari setelah terlambat
haid atau 3 minggu setelah konsepsi. (Babak, 2004)
Spesimen urine yang pertama dikeluarkan di pagi hari mengandung kadar
HCG yang kira-kira sama dengan kadar HCG di dalam serum. Kadar HCG di
75
dalam serum meningkat secara eksponen antara hari ke-21 dan ke-70. Sampai
urine yang diambil acak berusaha biasanya memiliki kadar yang lebih rendah.
(Babak, 2004)
76
hari setelah terlambat haid, dipasaran juga dijual e.p.t (early pregnano test
= test kehamilan dini). Suatu test HAI yang dapat dilakukan di rumah dan
dijual di umum. (Babak, 2004)
c. Radioreceptor Assay
Salah satu kategori terbaru test kehamilan. Test serum 1 jam ini
memerlukan peralatan yang cukup canggih. Radioreceptor Assay biasanya
akibat pada saat terlambat haid (14 hari setelah konsepsi). (Babak, 2004)
d. Radio Immunoassay
Test ini untuk subunit beta HCG memakai tanda berlabel radioaktif
sehingga test harus dilakukan di laboratorium. Bergantung pada derajat
sensitivitas yang diinginkan, waktu test bervariasi dari 1 sampai 48 jam.
Radio Immunoassay merupakan test kehamilan yang paling sensitif. Saat
ini kehamilan dapat didiagnosis 8 hari setelah ovulasi atau 6 hari sebelum
haid berikutnya. (Babak, 2004)
77
bila test pack mendapatkan cukup air seni untuk diuji. Sementara garis kedua
menunjukkan hasil test yang merupakan bagian alat yang memiliki “antibodi”
yang bereaksi dengan HCG dan dapat berubah warna bila hormon ini terdeteksi.
Setipis apapun garis ini, kemunculannya menunjukkan adanya kehamilan. (Babak,
2004)
78
BAB III
METODE KERJA
III. 3 Alat
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah :
1. Strip test
2. Pipet tetes
3. Pengaduk
79
III.6 Interpretasi Hasil
Control Line
Test Line
80
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil
Dari pemeriksaan kehamilan dengan cara Rapid Test didapatkan hasil pada
urine pasien:
Nama : Ny. Mini
Umur : 27 tahun
Didapatkan hasil pemeriksaan berupa munculnya 2 garis merah pada test pack
yang berarti positif.
IV.2 Pembahasan
Pada pemeriksaan rapid test, bila memang positif hamil sudah bias
diketahui 3-4 hari sebelum terlambat haid. Hormon HCG muncul seminggu
setelah pembuahan. Jadi, begitu wanita terlambat haid pada hari pertama
konsentrasi HCG sudah mencapai 100 miu/ml. Padahal sensitivitasnya 25 miu/ml
yang berarti lebih cepat diketahui kehamilannya. Karena uji kehamilan ini
menggunakan kadar hormone HCG dalam urine untuk mengetahui kehamilan,
kadang menunjukkan hasil negatif.
Untuk mendapatkan hasil yang akurat, berikut beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yaitu:
a. Gunakan wadah yang bersih, pastikan tidak mengandung sisa detergen
atau bahan kimia lain.
b. Jangan gunakan alat uji yang kadaluarsa.
c. Disarankan untuk menggunakan urine pagi hari karena tingkat
kepekatannya masih tinggi.
d. Memakai contoh urine yang mengandung darah akan mempengaruhi hasil
alat uji.
e. Apapun hasil dari alat uji harus tetap melakukan konfirmasi ke dokter.
81
Pada kasus-kasus tertentu atau pemeriksaan di urine memberikan hasil
negatif tetapi pemeriksaan urine mengisyaratkan kemungkinan hamil.
Pemeriksaan harus diulang dalam 2 hari. Sebab lain hasil test menjadi negatif
adalah HCG dalam urine wanita hamil muda mungkin mengalami pengenceran
oleh besarnya aliran sampai ke kadar yang tidak dapat terdeteksi. Oleh karena itu,
hasil HCG yang negatif harus diikuti oleh pengukuran berat jenis untuk
menentukan apakah urine sudah cukup pekat.
Test urine positif palsu dapat disebabkan oleh proteinuria (3-4) urine
berdarah dilihat secara mikroskopik atau puncak tengah siklus hormone
luteinisasi. Obat-obatan seperti metadon, klorpozamin, halopendol dan triodazin
dapat juga menyebabkan test kehamilan positif palsu.
Test ini dapat negatif palsu bila contoh urine mempunyai berat jenis
rendah atau bila test dilakukan secara dini dalam kehamilan.
82
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Dari hasil pemeriksaan kehamilan dengan cara Rapid Test pada urine
seorang wanita didapatkan yang hasil positif.
V.2 Saran
a. Jangan membuka bungkus alat strip test jika tidak langsung digunakan.
b. Tidak melakukan pembacaan lebih dari 5 menit pada pemeriksaan.
c. Sebaiknya menggunakan urine pagi karena tingkat kepekatannya masih
tinggi sehingga kandungan hormon HCG juga sangat tinggi.
83
PEMERIKSAAN widal
(tube test)
84
BAB I
PENDAHULUAN
I.2 Tujuan
85
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mendeteksi adanya antibody
terhadap antigen Salmonella typhi atau paratyphi di dalam serum.
I.3 Manfaat
Manfaat dari praktikum ini adalah untuk mengetahui cara pemeriksaan
widal metode tabung.
86
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
87
II.2 Patogenesis
Bila Salmonella typhi atau paratyphi dalam dosis yang infektif (>105)
masuk ke dalam saluran pencernaan dari seorang penderita yang tidak mempunyai
daya tahan terhadap kuman tersebut, maka kuman ini akan menembus sel-sel
epitel usus dan masuk ke dalam kelenjar-kelenjar limpa dari mesentrium. Kuman-
kuman ini akan berkembang biak, kemudian melalui ductus thoracicus akan
masuk ke aliran darah untuk selanjutnya menyebar ke organ-organ seperti hati,
kandung empedu, limpa, ginjal dan sum-sum tulang. Dalam organ-organ ini
kuman-kuman tersebut akan berkembang biak lagi dan menimbulkan keradangan.
Proses ini akan berlangsung selama 7-10 hari. Selanjutnya kuman-kuman tersebut
akan menyebar kedalam aliran darah dan menimbulkan bakteremia untuk kedua
kalinya. (Handojo,1982)
Dalam stadium bakteremi kedua ini, Salmonella typhi akan melepaskan
endotoksinnya yang di duga sebagai penyebab dari timbulnya gejala-gejala klinik
demam typhoid. Tubuh berusaha untuk menetralkan efek dari endotoksin ini (Ag
O) dengan menggunakan jalur alternative dari system komplemen. Salmonella
typhi amat sukar untuk di fagositosis oleh sel-sel makrofag karena terlindung oleh
kapsulnya (Ag Vi). Baru setelah kuman-kuman ini agak lama berada dalam
peredaran darah ( kira-kira 1 minggu), sel-sel fagosit atau makrofag berhasil
memfagositosis kuman-kuman tersebut. Untuk ini penderita harus mengerahkan
semua sel-sel makrofag yang terdapat dalam jaringan RES seperti hati dan limpa.
Sehingga seringkali sampai meninbulkan pembengkakan dari organ-organ
tersebut di atas. (Handojo,1982)
Sebagai hasil dari fagositosis ini maka umumnya pada akhir minggu
kedua, dapat dikatakan sudah tidak di temukan Salmonella typhi lagi dalam darah
dan pembentukan antibodi (Aglutinin O kemudian di susul oleh H dan Vi) mulai
terjadi lebih aktif. Bila kemudian oleh karena pengobatan penderita sembuh, maka
kadar Ab dalam darah akan di pertahankan selama beberapa bulan, untuk
selanjutnya menurun secara perlahan. Biasanya agglutinin O menghilang terlebih
dahulu yang diikuti oleh agglutinin H dan Vi. (Handojo, 1982)
88
II.3 Gejala Klinis
Pada umumnya gejala klinis timbul 8-14 hari setelah infeksi yang di tandai
dengan demam yang tidak turun selama lebih dari satu minggu terutama sore hari.
Pada demam yang khas adalah kenaikan tidak langsung tinggi, tetapi bertahap
seperti anak tangga (strepladder). Sakit kepala hebat, nyeri otot, kehilangan selera
makan (anoreksia), mual, muntah, sering sukar buang air besar (konstipasi) dan
sebaliknya dapat terjadi diare. Pada pemeriksaan fisik di dapatkan peningkatan
suhu tubuh , debar jantung relatif lambat (bradikardi), lidah kotor, pembesaran
hati dan limpa (hepatomegali dan splenomegali), kembung (meteurismas), radang
paru(pneumonie) dan kadang-kadang dapat timbul gangguan jiwa. Penyakit lain
yang dapat terjadi adalah peradangan usus, dinding usus besar (perfurasi), radang
selaput perut (peritonitis) serta gagal ginjal. (www.abclab.co.id)
89
interval 7-10 hari di butuhkan untuk membuktikan adanya peningkatan titer
antibodi. Proses pengenceran berurutan dari serum yang tidak di ketahui di tes
terhadap antigen dari Salmonella yang representatif, hasilnya diartikan sebagai
berikut:
Tinggi atau meningkatnya titer O (> 1:160), menyatakan bahwa infeksi
akut terjadi.
Titer H tinggi (> 1:160), menyatakan adanya imunisasi atau infeksi
terdahulu.
Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada beberapa carrier
(pembawa) penyebab.
(Brooks,2005)
II.5 Kondisi dan Keadaan yang harus di waspadai pada penderita yang
sedang mengalami “ OVER DIAGNOSIS TIFUS”
a. Hasil pemeriksaan widal yang sangat tinggi pada hari ke 3-5 saat
demam.
b. Dalam lingkungan satu rumah terdaat penderita demam inggi dalam
waktu yang hamper bersamaan.
c. Penderita divonis gejala tifus atau tyfus ringan.
d. Demam di sertai gejala batuk dan pilek pada awal penyakit.
e. Penderita yang sering mengalamiinfeksi berulang (sering demam,
batuk dan pilek)
f. Penderita alergi yang disertai GER (Gastroesephageal refluks) atau
sering muntah.
90
g. Penderita tyfus berulang atau penderita yang di vonis tifus lebih dari
sekali.
h. Peningkatan nilai widal H
i. Penderita demam berdarah
j. Penderita berusia kurang dari 2 tahun
Bila penderita mengalami hal tersebut maka sebaiknya harus cermat
menerima diagnosis tyfus penyakit demam yang di sebabkan karena infeksi virus
yang di sertai dengan kondisi tersebut sering mengalami peningkatan nilai widal.
(http.blogster.com)
91
BAB III
METODE KERJA
III.2 Metode
Metode yang di gunakan adalah uji widal metode tabung (Tube
Aglutination Test).
III.3 Prinsip
Pemeriksaan reaksi antara antibody aglutinin dalam serum penderita yang
telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatic (O) dan
flagella (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi
aglutinasi.
III.4 Alat
Alat alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain:
Tabung reaksi
Rak tabumg
Mikropipet
Yellow dan blue tape
Sentrifuge
Rotator
Incubator
92
III.5 Reagen
Reagen yang diperlukan dalam uji ini adalah:
NaCl 0,9 %
Antigen Salmonella paratyphi A-O
III.6 Bahan
Bahan yang diperlukan dalam uji ini adalah sample dari serum pasien.
93
III.8 Interpretasi Hasil
94
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil
Antigen Salmonella paratyphi
Pengenceran
A-O
1/10 Positif (+)
1/20 Positif (+)
1/40 Positif (+)
1/80 Positif (+)
1/160 Negatif (-)
1/320 Negatif (-)
Control Negatif (-)
IV.2 Pembahasan
Nilai klinik dari suatu test di katakana baik bila tes tersebut memberi hasil
yang negatif atau titer yang amat rendah pada orang normal (tak sakit)
memberikan kenaikan titer yang linear dengan derajat penyakit pada penderita-
penderita yang sedang sakit dan menjadi negatif kembali/memberikan penurunan
titer yang tajam segera setelah penderita sembuh. Nilai klinik tes widal tidak
begitu tinggi. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kenaikan dan penuruan
titernya dan banyak kemungkinan-kemungkinan yang dapat di temukan, baik pada
hasil test yang positif maupun yang negatif. (Kusworini,2003)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum dapat menarik kesimpulan
hasil tes widal yaitu :
1. Dari hasil satu kali tes saja belum dapat ditarik kesimpulan yang berari
kecuali titernya amat tinggi, untuk mendapatkan interpretasi hasil yang
baik tes widal perlu dilakukan beberapa kali (setidaknya 2 kali) dengan
jangka waktu 5-7 hari dalam hal ini amat perlu di perhatikan adanya
kenaikan titer dari aglutinasi.
2. Vaksinasi
95
Vaksin dapat mempengaruhi titer aglutinin dari tes widal baik aglutinin H
maupun O akan meningkat sesudah vaksinasi dengan chotypa, tetapi
aglutinin O akan turun lebih dahulu dan umumnya menjadi negatif setelah
beberapa bulan, sedangkan aglutinin H biasanya dipertahankan selama
beberapa tahun.
3. Stadium penyakit
Pengambilan serum yang dilakukan pada stadium amat dini dari penyakit
misalnya sejak minggu pertama sejak di mulainya febris dapat
memberikan hasil tes widal yang negatif atau masih dalam batas normal.
Umumnya aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah penderita demam
selama satu minggu dan mencapai puncak pada minggu kelima atau
keenam sejak mulainya demam. Kadang-kadang aglutinin di jumpai
setelah penderita sembuh, terutama pada anak-anak, oleh karena itu hasil
tes widal yang negatif atau positif dengan titer yang rendah pada stadium
dari penyakit tidak menyingkirkan diagnosa demam typhoid.
4. Pemakaian obat-obatan “ immunosuppressive “ seperti kortikosteroid
dapat menekan pembentukan aglutinin.
5. Keadaan atau penyakit tertentu seperti penyakit keganasan (leukemia,
karsinoma yang lanjut) dapat pula memberikan hasil yang negatif semu.
6. Infeksi campuran dengan kuman-kuman lain seperti TBC miliar, dapat
menekan pembentukan agglutinin dan memberikan hasil yang negatif
semu.
96
Salmonella enteritidis dan lain-lain. Sehingga dapat memberikan
hasil yang positif semu.
b) Kekuatan dari suspense antigen
Suspensi antigen suspense yang encer hanya menunjukkan
kekeruhan yang ringan dan menghasilkan titer aglutinasi yang lebih
tinggi daripada suspensi antigen yang pekat.
4. Warna aglutinasi
Aglutinin yang terjadi umumnya tidak terlalu kelihatan, sehingga
sering kali memberikan kesukaran pada pembacaan hasil dari tes.
Apabila pembacaan hasil tes widal cara tabung inkubasinya kurang
dari 24 jam maka: reaksi antara antibody dan antigen belum sempurna dan
akan menghasilkan hasil yang negatif palsu.
( Handojo,1982 )
97
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan widal metode tabung didapatkan titer 1/80, yang
artinya titer dalam serum masih dalam batas normal.
V.2 Saran
Untuk menarik kesimpulan pada pemeriksaan widal tes, tidak dapat
dilakukan hanya sekali saja, perlu dilakukan pemeriksaan berulang, sehingga
mendapatkan interpretasi hasil yang baik.
98
DAFTAR PUSTAKA
Handojo, indro. 1982. Diktat Kuliah FK Unair Serologi Klinik. Surabaya : Bagian
Patologi Klinik Fakultas Kedokteran UNAIR.
Kee, Joyce Lecever. 1997. Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik
Edisi 2. Jakarta : EGC.
1
Robbins dan Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi II Edisi 4. Jakarta : EGC.
Sudoyo A.W. et. al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Tumbelaka AR. 2005. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid pada Anak. Malang :
IDAI.
http://beingmom.org/2007/10/demam-tifoid
http://one:indoskripsi.com/content/Uji-Kehamilan-Galli-Mainini
http://www.kalbe.co.id
http://www.kalbefarma.com
http://www.lifacare.com.my
http://www.medicinet.com
http://www.mediterm.com
http://www.prodia.co.id
http://www.wido25.blogster.com