Anda di halaman 1dari 8

Pemberontakan PKI Di Silungkung Tahun 1927

Nurhabsyah

Fakultas Sastra
Jurusan Sejarah
Universitas Sumatera Utara

A. Pendahuluan
Pada dasawarsa kedua abad ke-XX di Indonesia tarjadi perubahan peta kekuatan
organisasi pergerakan nasional yang pada gilirannya membawa dampak yang cukup
berarti dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Organisasi pelopor pergerakan
nasional Budi Utomo mengalami stagnasi sebagai akibat sikap "priyayi oriented".
Sementara itu SI mengalami disintegrasi karena semakin tajamnya serangan pihak kiri.
Kondisi seperti itu memberi peluang kepada PKI untuk mengembangkan pengaruhnya di
seluruh pelosok Indonesia, sehingga organisasi ini dapat berkembang menjadi partai
politik dengan jumlah massa yang sangat basar.
Akan tetapi setelah berhasil menempatkan diri sebagai partai besar, PKI lupa diri.
Pada tahun 1926-1927 PKI melakukan petualangan, melancarkan pemberontakan
terhadap pemerintah kolonial Belanda. Suatu hal yang cukup menarik dari aksi
pemberontakan PKI ini adalah dijadikannya daerah Silingkang, Sumatera Barat sebagai
salah satu pusat gerakan pemberontakan. Padahal daerah Silungkang dan Sumatera Barat
pada umumnya dikenal sebagai daerah dimana agama Islam berkembang dengan baik.
Lebih dari itu penduduk Silungkang waktu itu kehidupan ekonominya tidaklah sangat
memprihatinkan, sebab waktu itu Silungkang merupakan daerah industri pertenunan,
pusat perdagangan dan perkebunan.
Karena itu kiranya menarik untuk dipelajari mengapa daerah Silungkang sempat
menjadi basis pengembangan PKI dan mengapa pemberontakan 1927 di Silungkang
sempat meletus.

B. Keadaan Sosial dan Ekonomi Sumatera Barat Pada Awal Abad XX


Untuk dapat memahami latar belakang terjadinya pemberontakan Silungkang
1927, maka mau tidak mau harus dilihat keadaan masyarakat Sumatera Barat menjelang
pemberontakan meletus. Dalam tulisan ini tinjauan atas masyarakat Sumatera Barat
hanya difokuskan pada aspek sosial dan ekonomi, sebab kedua aspek ini mengalami
perubahan yang paling drastis dan menimbulkan dampak pada aspek-aspek kehidupan
lainnya.

1. Gerakan Pembaharuan Islam dan Reaksi Yang Menentangnya


Dipelopori oleh Syaikh Ahmad Taher Jalaludin, Jamil Jambek, Haji Rasul dan
Haji Abdullah Ahmad gerakan pembaharuan Islam dipancarkan kesegala penjuru
Sumatera Barat. Gerakan ini berusaha membebaskan Islam dari pengaruh negatif
sinkritisme dan tarekat, menselaraskan Islam dengan tuntutan dunia modern, sehingga
memiliki vitalitas baru. Bertolak dari cita kosmopolitanisme Islam dan rasionalisme yang
terkait pada sinar Islam, mereka berusaha menyesuikan paham-paham keagamaan Islam

e - USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara 1


dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi
modern (Harun Nasution, 1975 : 10 ).
Golongan Pembaharu juga berusaha untuk mengembalikan ajaran dasar dengan
menghilangkan segala tambahan dalam agama yang datangnya kemudian, dan dengan
melepaskan penganut Islam dari jumud, kebekuan dalam masalah dunia. Mereka
mendengungkan semboyan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadist Nabi (H.A.R.Gibb dan
J.H. Kramers, 1953: 85).
Akibat dari dilontarkannya kecaman dan kritikan oleh golongan pembaharu
tersebut, maka muncullah reaksi dari dalam masyarakat Minangkabau. Golongan adat
dengan ditokohi Datuk Sutan Maharajo mendirikan “Sarekat Adat Minangkabau”, suatu
benteng perlawanan kaum adat terhadap gerakan pembaharuan Islam. Secara potensial
pertentangan golongan Pembaharu dengan kaum adat terutama berpangkal pada masalah
waris. Kaum adat, sesuai aturan adat berpendapat bahwa dalam hal seseorang meninggal,
harta peninggalannya diwariskan kepada kemenakannya (Taufik Abdullah, 1972:229).
Sedangkan golongan pembaharu berpendapat Bahwa prioritas utama harta waris harus
diberikan kepada anak-anak kandung, sesuai dengan petunjuk agama.
Betapapun dengan munculnya gejala kekotaan pada awal abad ke-20 konflik
tersebut baik potensial maupun nyata cenderung berkurang, akan tetapi kecemburuan di
antara merekareka bukan begitu saja lenyap karenanya (Danille Lerner, 1978: 45).
Sebabnya tidak lain adalah karena adanya sikap Belanda yang cenderung membela
kepentingan kaum adat.
Perlawanan yang lebih sengit terhadap gerakan pembaharuan Islam datang dari
kalangan Islam Tradisionil. Mereka ini tak segan-segan menuduh golongan Pembaharu
sebagai zindik, telah sesat, menyesatkan dan kafir. Kebanyakan ulama-ulama yang masih
teguh memegang teguh pendirian lama ini merasa tersinggung karena tarekatnya
diganggu. Disamping itu mereka juga mempertentangkan masalah-masalah lain, seperti
masalah usali, taqlin, ru’yat, kekeramatan , ijtihat dan taklid.
Pertentangan ini makin lama makin menjadi-jadi sehingga pada gilirannya
memecah masyarakat beragama, Minangkabau menjadi dua, yaitu yang menjadi
pendukung paham pembaharu yang kemudian disebut "Kaum Muda" dan penentangnya
yang disebut "Kaum Tua". (Hamka, 1951:41). Suatu hal yang semakin mempertajam
perselisihan di antara mereka adalah seringnya pihak Belanda mendukung Kaum Tua.
Oleh karenanya Kaum Muda semakin membenci Kaum Tua, sekaligus anti Belanda.
Sementara itu, di kalangan pembaharuan Islam khususnya dan masyarakat
Minangkabau umumnya, pada waktu itu juga terjadi proses pemasukan paham
kebangsaan Barat. Ini pada gilirannya menambah kacaunya keadaan masyarakat
Minangkabau waktu itu. Sebab dengan semakin kuatnya pengaruh organisasi Barat,
kharisma pribadi ulama dalam kehidupan sosial politik menjadi merosot.

2. Penetrasi Ekonomi Uang dan Akibat-Akibatnya


Kehidupan ekonomi masyarakat Minangkabau sebagian besar tergantung pada
usaha bercocok tanam dan merupakan petani subsistensi (Rifai Abu,1982’ 983:13).
Sebegaimana diketehui perilaku ekonomi yang khas dari masyarakat subsistensi seperti
itu adalah ia sekaligus merupakan suatu unit produksi dan konsumsi, sehingga uang
bukan merupakan kebutuhan yang urgen.

e - USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara 2


Akan tetapi keadaan yang demikian itu akhirnya berubah, sejalan dengan
kebijaksanaan politik kolonial Belanda di Indonesia. Pada awal abad ke-20 Belanda
memperkenalkan sistem ekonomi uang, melalui peraturan pajak yang dikeluarkan pada
tahun 1908. Peraturan pajak itu menghapus berbagai macam bentuk kerja paksa dan
menggantikannya dengan berjenis-jenis pajak yang harus dibayar dengan uang
(schrieke,1960: 111-113).
Sistim ekonomi uang yang diperkenalkan oleh pemerintah Kolonial Belanda
tersebut dalam waktu singkat berkembang sangat pesat. Satu hal yang menyebabkannya
adalah terjadinya revolusi pertanian di Minangkabau pada sekitar tahun 1920-an. Pada
waktu itu orang-orang Minangkabau yang semula bekerja sebegai petani penghasil padi
beralih menjadi petani tanaman ekspor, terutama kopi (Rusli Amran, 1985 : 86). Dengan
jalan mengambil alih kebun-kebun tanaman ekspor yang ditinggalkan Belanda (setelah
tanam paksa dihapus) petani-petani Minangkabau berlomba-lomba meningkatkan
produksi dan memperluas areal penanaman tanaman perdagangan, seperti kopi, karet dan
kopra.
Perubahan panting yang terjadi dalam revolusi pertanian tersebut adalah
transformasi yang nyata dari pola ladang ke kebun-kebun yang mantap. Karenanya
bisalah dipahami jika kemudian produksi padi Sumatera Barat turun dengan drastis dan
sebaliknya produksi tanaman perdagangan meningkat dengan tajam (lihat, D.H. Burger,
1970: 101, Clifford, 1983: 56) . Nampaklah disini bahwa petani Minangkabau yang dulu
sebagai petani subsistensi yang tidak begitu menghiraukan uang, sekarang berubah
menjadi petani pedagang pengejar keuntungan yang terjerat uang.
Akan tetapi perubahan kearah sistim ekonomi baru ini ternyata membawa dampak
yang lues dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau. Dengan sistim ekomomi
uang mereka dengan mudah dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, lepas dari ikatan
tanah, lepas pula dari ketergantungan ninik mamak. Hal ini pada gilirannya semakin
memperkuat sikap hidup individualisme. Perkembangan ini mengarah pada perpecahan
klan atau suku (Kompas, 17 Agustus 1978: 4,6).
Pada sisi lain, kebutuhan akan uang menggoda ninik mamak yang memiliki
wewenang tertinggi atas harta pusaka, untuk menggadaikan tanah-tanah pusaka tanpa
memperhatikan syarat-syarat tertentu yang telah diatur oleh hukum adat ( Lihat, Muchtar
Naim,1968: 85-86). Akibatnya ninik mamak yang dulunya sebagai prime inter pares,
cenderung berkembang menjadi penguasa keluarga yang otoriter.

C. Awal Penyebaran Komunisme di Sumatera Barat Dan Perkembangannya

1. Masuknya Komunisme Di Sumatera Barat


Dalam situasi Sumatera Barat yang pehuh pertentangan, Haji Datuk Batuah
membawa dan, menyebarkan paham komunis diaerah tersebut. Pada tahun 1923 ia
menanamkan ajaran komunis di kalangan pelajar-pelajar dan guru-guru muda Sumatera
Thawalib Padang Panjang. Sumatera Thawalib adalah suatu lembaga pendidikan yang
dimiliki oleh kalangan pembaharu Islam di Sumatera Barat, dimana haji Batuah
merupakan salah seorang pengajarnya.
Berawal dari Sumatera Thawalib Padang Panjang, paham komunis akhirnya
menyebar ke berbagai daerah Sumatera Barat dibawa oleh para lulusan sekolah tersebut
ke daerah asalnya. Penyebaran ini terutama dilakukan di kalangan petani. Oleh

e - USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara 3


masyarakat setempat ajaran komunis ini disebut "ilmu kominih" (Schrieke, 1960: 155).
Ilmu ini menggabungkan ajaran Islam dengan ide anti penjajahan Belanda, anti
imperialisme-anti kapitalisme dan ajaran Marxis.
Pada akhir tahun 1923 Datuk Batuah, bersama-sama dengan Nazar Zaenuddin
mendirikan pusat Komunikasi Islam di Padang panjang. Dalam waktu yang hampir
bersamaan Datuk Batuah menerbitkan harian "Pemandangan Islam" dan dan Nazar
Zaenuddin menerbitkan “Djago-Djago”. Lembaga Pusat Komunikasi Islam dan kedua
harian tersebut digunakan sebagai media penyiaran paham komunis.

2. Usaha-usaha Perluasan
Pada pagi 11 Nopember 1923 Datuk Batuah dan Nazar Zaenuddin ditangkap
pemerintah kolonial Belanda. Segera setelah itu pusat propaganda komunis berpindah ke
Padang ( Schreike, 1960: 60).
Pucuk kepemimpinan PKI Sumatera Barat kemudian di ambil alih oleh Sutan Said
Ali. Pada waktu itu kegiatan orang-orang komunis di seluruh nusantara menunjukkan
peningkatan yang pesat. Hal ini karena pada akhir tahun 1923 Darsono, seorang tokoh,
komunis kembali di Hindia Belanda dari Moskow atas perintah komintern untuk
mendampingi Semaun, Alimin dan Muso.
Suatu hal yang menyebabkan pesatnya perkembangan komunis di Sumatera Barat
adalah dileburnya Sarekat Rakyat Sumatera Barat ke dalam PKI. Sarekat Rakyat ini
semula bernama Sarekat Islam Merah, suatu organisasi pecahan Sarekat Islam yang
berorientesi kepada paham komunis, dimana di Sumetera Barat mempunyai anggota yang
cukup banyak (Kahin, 1952: 70).
Dengan dileburnya Sarekat Rakyat ke dalam PKI, maka jumlah anggota inti PKI
Sumatera Barat meningkat berlipat ganda. Jika pada tanggal 1 Juni 1924 semua anggota
inti PKI Sumatera Barat tercatat hanya berjumlah 158 Orang, maka pada tanggal 31
Desember 1924 telah menjadi 600 orang, tiga bulan kemudian menjadi 884 orang.
Daerah-daearah yang tercatat sebagai basis PKI adalah: Kota Lawas, pariaman, Sawah
Lunto, Tikalah, padang dan Silungkang.

C. Resolusi prambanan 1925 Dan Peristiwa Silungkang 1927


1. Resolusi prambanan 1925
Mulai tahun 1925 tampaknya PKI telah jatuh ke tangan orang-orang yang
berdarah panas. PKI mulai menghubungkan diri dengan orang-orang yang dipandang
rendeh dalam masyarakat dan kumpulan teroris yang selalu dijumpai di pinggiran
masyarakat Indonesia waktu itu (Arnold C. Bracham, 1970 : 22).
Sementara itu Hoskow memproses arah yang ditempuh oleh PKI, tetapi tidak
berhasil (Ruth T.McVey,1965 : 158). Bahkan pada bulan Juni 1925, Alimin secara
terbuka menganjurkan suatu revolusi. Semenjak itu rupanya pengawasan partai berada di
tangan komunis sayap kiri.
Sejalan dengan itu, pada bulan Desember 1925 di prambanan, Yogyakarta
diadakan pertemuan partai yang dipimpin oleh Alimin. Pretemuan ini dihadiri oleh tokoh-
tokoh PKI, diantaranya Budi Sucipto, Aliarcham, Sugono, Surat Hardjo, Martojo, jatim,
Sukirno, Suwarno, Kusno dan lain-lainnya. Sedang Said Ali, pemimpin PKI cabang
Sumatera Barat pada pertemuan ini hadir mewakili seluruh Sumatera ( H. J. Benda, dan
Ruth T.MaVey, 1960: 115).

e - USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara 4


Adapun hasil pokok dari pertemuan ini adalah bahwa PKI akan mengadakan
pemberontakan pada bulan Juli 1926, dengan terlebih dulu diawali dengan aksi-aksi
pemogokan yang akan diorganisir PKI.
Sehubungan dengan keputusan Prambanan tersebut pemimpin-pemimpin PKI
Sumatera Barat menempuh langkah-langkah guna mempersiapkan pemberontakan, yang
meliputi :
a. Sejalan dangan Surat Edaran Komite Pusat PKI No.221 maka PKI cabang Sumatera
Barat berusaha mengumpulkan senjata. Surat Edaran tersebut berisi perintah kepada
cabang Padang supaya mengumpulkan uang derma yang dimaksudkan untuk membeli
persenjataan yang akan digunakan untuk melakukan aksi pemberontakan.
b. Mengadakan aksi-aksi ilegal. Ini terutama dilakukan dalam bentuk membangun sel-
sel PKI di derah-daerah pertanian dalam rangka memperkuat semangat perlawanan.
Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi ilegal ini mempunyai pengaruh
cukup basar di Sumatera Barat, terutama Sarekat Jin yang bergerak di Padang dan
Pariaman (Ruth T.Mc Vey, 1965: 194 ).
c. Memperkuat propaganda di kalangan buruh-buruh tani yang bekerja di perkebunan-
perkebunan.

Tetapi gelagat akan terjadinya pemberontakan di Sumatera Barat, terlebih dulu


tercium Pemerintah kolonial Belanda. Oleh karena itu, pemerintah kolonial Belanda
segera bertindak melakukan penangkapan-penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin
PKI Sumatera Barat. Berturut-turut Said Ali, Idrus, Sarun, Yusup Gelar Radjo Kacik,
Datuk Bagindo Ratu dan Haji Baharuddin pada akhir tahun 1926, kemudian ditangkap
dan dijebloskan ke penjara dengan tuduhan hendak memberontak (Abdul Muluk
Nasution, 1981: 91).

2. Peristiwa Silungkang 1 Januari 1927


Sekalipun para pemimpin PKI Sumatera Barat telah banyak yang ditangkap dan
dipenjarakan, akan tetapi pada akhirnya pemberontakan tetap meletus juga.
Pemberontakan tersebut pecah sekitar pukul 00.00 dinihari tanggal satu Januari 1927
(H.J.Benda and Ruth T. Mc Vey, 1960 : 175).
Beberapa hari sebelum pecahnya pemberontakan, yakni pada tanggal 20
Desember 1926 telah dilengsungkan rapat di Silungkang, yang dihadiri oleh pemimpin-
pemimpin PKI anak cabang Padang Panjang, Sawah Lunto, Batu Sangkar dan
Silungkang. Rapat tersebut diprakarsai oleh Alimin, sekertaris anak cabang Silungkang
yang aktif mengadakan kontak dengan Pusat Komite di Batavia dan menghasilkan
beberapa keputusan, diantaranya :
a. PKI Sumatera Barat harus mengambil peran secara aktif dari serentetan
pemberontakan PKI di Jawa yang telah meletus pada tanggal 12 Nopember 1926
(Lihat Roestam Effendi, 1950: 19). Disepakati bahwa pemberontakan akan
dilaksanakan tanggal 1 Janusri 1927.
b. Dibentuk Komite pemberontakan yang diketuai oleh Tayyib Ongah den Alimin
sebagai sekertaris.
c. Rumuat dan pontoh, mereka ini adalah anggota kesatuan tentara Hindia Belanda yang
secara rahasia menyeberang ke pihak komunis, diangkat sebagai komandan barisan
dan pengatur strategi penyerangan.

e - USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara 5


Selanjutnya pada tanggal 31 Desember 1926 pagi hari diadakan rapat komando,
yang berhasil mengeluarkan beberapa perintah, yaitu:
a. Barisan penyerangan dibagi dua, pertama merupakan barisan inti yang terdiri dari
anggota-anggota militer Sawah Lunto yang memihak komunis, dipimpin oleh Rumuat
dan Pontoh. Kedua, adalah barisan penunjang terdiri dari orang-orang kampung dan
terbagi atas lima kesatuan (Tarakat Tarutung-Tarung, Muara Kalaban, Tanjung
Ampulu, Padang Sibusuk dan Silungkang).
b. Sasaran penyerangan adalah pemukiman orang-orang Belanda di Sawah Lunto dan di
komplek tambang batu bara Umbilin (Abdul Muluk Nasution, 1981: 95-96).

Namun sekitar jam 20.00 tanggal 31 Desember 926, Rumuat dan kawan-
kawannya berhasil dibekuk oleh kesatuan militer Belanda. Ini berarti kekuatan inti kaum
pemberontak telah patah. Betapapun begitu, perlawanan tidak menjadi kendor karenanya.
Kurang lebih pukul 00,.00 dini hari tanggal 1 Januari 1927 Kantor polisi Muara Kalaban
dibom oleh kesatuan Muara Kalaban yang dipimpin oleh Karim Maroko dan Muluk
Chaniago. Serangan ini dibalas dengan tembakan beruntung dari pihak polisi setempat
yang akhirnya berhasil mencerai-berai Kesatuan Muara Kalaban.
Mendengar suara bom dan tembakan-tembakan dari Muara Kalaban, barisan
Taratak-Tarutung-Tarung yang dipimpin oleh Abdul Muluk Nasution yang sudah hampir
tiba di Sawah Lunto menjadi panik. Mereka akhirnya dengan mudah dapat dipaksa
menyerah oleh polisi Belanda yang sedang berjaga.
Di Tanjung Ampulu, pada tanggal 1 Januari 1927 terjadi aksi pembakaran rumah-
rumah milik para pegawai pemerintah Bolonial Belanda dan kaki tangannya.
Di Padang Siberuk para pemberontak membunuh kepala nagari dan beberapa
orang penduduk setempat yang dianggap sebagai kaki tangan Belanda.
Di Silungkang, markas besar kaum pemberontak, terjadi pembunuhan-
pembunuhan terhadap opsir-opsir Belanda dan beberapa orang guru agama serta tukang
emas yang dianggap telah bekerja sama dengan Belanda. Di samping itu terjadi aksi
pengrusakan terhadap rumah-rumah milik orang-orang Belanda dan antek-anteknya.
Para pelaku pemberontakan tersebut sesungguhnya tidak lebih dari kaum buruh
tani yang jatuh miskin, para pedagang yang bangkrut, para buruh perkebuhan dan kaum
brocorah. Hanya sedikit di dalamnya terdapat kelompok masyarakat lain, diantaranya
guru-guru agama dari golongan muda yang telah terpengaruh paham komunisme
(W.F.Wretheheim, 1950 : 146).

D. Penutup
Proses sejarah Sumatera Barat pada awal abad ke-20 ditandai oleh dua hal, yaitu
semakin berkembangnya paham pembaharu Islam dan terjadinya perubahan kehidupan
ekonomi masyarakat dari sistim ekonomi hasil bumi menjadi sistim ekonomi uang.
Akibat sosial yang ditimbulkan oleh kedua hal tersebut di atas adalah semakin
kuatnya individualisme dan melemahnya komunalisme. Terjadinya proses individualisasi
yang juga disangatkan oleh munculnya gejala kekotaan pada awal abad ke-20 membawa
konsekwesi kurang berfungsinya adat dan agama Islam sebagai pengikat sosial. Ini semua
pada gilirannya menggoncangkan kehidupan masyarakat Minangkabau, dengan ditandai
terjadinya gejolak, kegelisahan serta ketidak tentuan dalam kehidupan beragama, sosial,
ekonomi dan politik. Keadaan demikian tumbuh disaat hakekat hubungan kolonial

e - USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara 6


bersifat subordinatif semakin disadari. Kesadaran demikian muncul sebagai akibat
semakin tertekannya masyarakat Ninangkabau olen kewajiban membayar bermacam
macam pajak dalam bentuk uang dan bentuk-bentuk penindasan lainnya.
Dalam keadaan masyarakat Minangkabau yang demikian itu, tampillah PKI
dengan tawaran program anti kolonialisme dan imperialisme. Tampak disini apa yang
dibutuhkan olen masyarakat Minangkabau pada waktu itu (yakni aksi-aksi nyata untuk
memberontak terhadap siapa saja yang dipandang musuh, utamanya pemerintah kolonial
Belanda) diberikan dengan begitu gamblang dan menggiurkan oleh PKI. Itulah sebabnya,
mengapa ketika PKI mengobarkan api pemberontakan terhadap pemerintah kolonial
Belanda mereka sambut dengan tanpa banyak perhitungan. Dari kondisi dan
kecenderungan-kecenderungan itulah peristiwa Silungkang, yang biasa juga disebut
pemberontakan komunis, meletus tanggal 1 Januari 1927.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik,1987, Islam dan Masyarakat, Jakarta:


Pustaka Firdaus.

Abu, Rifai (Ed), 1982’ 1983, Sistim Ekonomi Tradisional Sebagai Perwujudan
Tanggapan Aktif Manusia Terhadap Lingkungan Daerah Sumatera Barat, Jakarta:
Dep P&K.

Amran, Rusli, 1985, Sumatera Barat Plakat Panjang, Jakarta: Sinar Harapan.

Anderson, B.R. O’G, andj. Siegal (Ed.), 1972, Culture and Politics in Indonesia, Ithaca,
Cornel University pres.

Benda, H.J, and Ruth T.McVey, 1960, The Communism Uprisings Of 1926-1927 in
Indonesia, Key Ducuments, Ithaca: Cornell University Press.

Effendi, Roestam, 1950, Trotskesme, Djakarta: Patriot.

Gibb, H.A.R., and J.H., Kramers, 1953, Shorter Enciclopedia Of Islam, Ithaca: Cornell
University Frees.

Hamka,1951, Kenang-kenangan Hidup, Djakarta: Gapura.

Kahin, George McT., 1952, Nationalism and Revolution in Indonesia, Ithaca: Cornell
University Press.

McVey, Ruth T., 1965, The Rise of Indonesia Communism, Ithaca: Cornell University
Press.

e - USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara 7


Naim, Muchtar (Ed.), 1968, Menggali Hukum Adat dan Waris Minangkabau, Padang :
CMS.

Nasution, Abdul Muluk, 1981, Pemberontakan Rakyat Silungkang Sumatera Barat 1926-
1927, Jakrta ; Mutiara.

Noer, Deliar, 1982, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES.

Schrieke, B.J.O., 1960, Indonesian Sociological Studies I, Bandung: Sumur Bandung.

Wretheim,W.F., 1960, Effects of Western Civilitation on Indonesia Society, New York:


New York Uneversity Press.

e - USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara 8

Anda mungkin juga menyukai