Ken Arok atau sering pula ditulis Ken Angrok (lahir:1182 - wafat: 1227/1247), adalah pendiri
Kerajaan Tumapel (yang kemudian terkenal dengan nama Singhasari). Ia memerintah sebagai
raja pertama bergelar Rajasa pada tahun 1222 - 1227 (atau 1247).
Ken Arok tumbuh menjadi berandalan yang lihai mencuri & gemar berjudi, sehingga membebani
Lembong dengan banyak hutang. Lembong pun mengusirnya. Ia kemudian diasuh oleh Bango
Samparan, seorang penjudi pula yang menganggapnya sebagai pembawa keberuntungan.
Ken Arok tidak betah hidup menjadi anak angkat Genukbuntu, istri tua Bango Samparan. Ia
kemudian bersahabat dengan Tita, anak kepala desa Siganggeng. Keduanya pun menjadi
pasangan perampok yang ditakuti di seluruh kawasan Kerajaan Kadiri.
Akhirnya, Ken Arok bertemu seorang brahmana dari India bernama Lohgawe, yang datang ke
tanah Jawa mencari titisan Wisnu. Dari ciri-ciri yang ditemukan, Lohgawe yakin kalau Ken Arok
adalah orang yang dicarinya.
Ken Arok kemudian tertarik pada Ken Dedes istri Tunggul Ametung yang cantik. Apalagi
Lohgawe juga meramalkan kalau Ken Dedes akan menurunkan raja-raja tanah Jawa. Hal itu
semakin membuat Ken Arok berhasrat untuk merebut Ken Dedes, meskipun tidak direstui
Lohgawe.
Ken Arok membutuhkan sebilah keris ampuh untuk membunuh Tunggul Ametung yang terkenal
sakti. Bango Samparan pun memperkenalkan Ken Arok pada sahabatnya yang bernama Mpu
Gandring dari desa Lulumbang (sekarang Lumbang, Pasuruan), yaitu seorang ahli pembuat
pusaka ampuh.
Mpu Gandring sanggup membuatkan sebilah keris ampuh dalam waktu setahun. Ken Arok tidak
sabar. Lima bulan kemudian ia datang mengambil pesanan. Keris yang belum sempurna itu
direbut dan ditusukkan ke dada Mpu Gandring sampai tewas. Dalam sekaratnya, Mpu Gandring
mengucapkan kutukan bahwa keris itu nantinya akan membunuh 7 orang, termasuk Ken Arok
sendiri.
Malam berikutnya, Ken Arok mencuri keris pusaka itu dari tangan Kebo Hijo yang sedang
mabuk arak. Ia lalu menyusup ke kamar tidur Tunggul Ametung dan membunuh majikannya itu
di atas ranjang. Ken Dedes menjadi saksi pembunuhan suaminya. Namun hatinya luluh oleh
rayuan Ken Arok. Lagi pula, Ken Dedes menikah dengan Tunggul Ametung dilandasi rasa
keterpaksaan.
Pagi harinya, Kebo Hijo dihukum mati karena kerisnya ditemukan menancap pada mayat
Tunggul Ametung. Ken Arok lalu mengangkat dirinya sendiri sebagai akuwu baru di Tumapel
dan menikahi Ken Dedes. Tidak seorang pun yang berani menentang kepustusan itu. Ken Dedes
sendiri saat itu sedang mengandung anak Tunggul Ametung.
Kertajaya (dalam Pararaton disebut Dhandhang Gendis) tidak takut menghadapi pemberontakan
Tumapel. Ia mengaku hanya dapat dikalahkan oleh Bhatara Siwa. Mendengar sesumbar itu, Ken
Arok pun memakai gelar Bhatara Siwa dan siap memerangi Kertajaya.
Perang antara Kadiri dan Tumapel terjadi di dekat desa Ganter. Pihak Kadiri kalah. Kertajaya
diberitakan naik ke alam dewa, yang mungkin merupakan bahasa kiasan untuk mati.
Selain itu, Ken Dedes juga memiliki putra dari Tunggul Ametung yang bernama Anusapati.
Anusapati berhasil mendapatkan keris Mpu Gandring yang selama ini disimpan Ken Dedes. Ia
kemudian menyuruh pembantunya yang berasal dari desa Batil untuk membunuh Ken Arok. Ken
Arok tewas ditusuk dari belakang saat sedang makan sore hari. Anusapati ganti membunuh
pembantunya itu untuk menghilangkan jejak.
Peristiwa kematian Ken Arok dalam naskah Pararaton terjadi pada tahun 1247.
Pada tahun 1222 Sang Girinathaputra mengalahkan Kertajaya raja Kadiri. Ia kemudian menjadi
raja pertama di Tumapel bergelar Sri Ranggah Rajasa. Ibu kota kerajaannya disebut Kutaraja
(pada tahun 1254 diganti menjadi Singasari oleh Wisnuwardhana).
Sri Ranggah Rajasa meninggal dunia pada tahun 1227 (selisih 20 tahun dibandingkan berita
dalam Pararaton). Untuk memuliakan arwahnya didirikan candi di Kagenengan, di mana ia
dipuja sebagai Siwa, dan di Usana, di mana ia dipuja sebagai Buddha.
Kematian Sang Rajasa dalam Nagarakretagama terkesan wajar tanpa pembunuhan. Hal ini dapat
dimaklumi karena naskah tersebut merupakan sastra pujian untuk keluarga besar Hayam Wuruk,
sehingga peristiwa pembunuhan terhadap leluhur raja-raja Majapahit dianggap aib.
Adanya peristiwa pembunuhan terhadap Sang Rajasa dalam Pararaton diperkuat oleh prasasti
Mula Malurung (1255). Disebutkan dalam prasasti itu, nama pendiri Kerajaan Tumapel adalah
Bhatara Siwa yang meninggal di atas takhta kencana. Berita dalam prasasti ini menunjukkan
kalau kematian Sang Rajasa memang tidak sewajarnya.
Nama Ken Arok memang hanya dijumpai dalam Pararaton, sehingga diduga kuat merupakan
ciptaan si pengarang sebagai nama asli Rajasa. Arok diduga berasal dari kata rok yang artinya
"berkelahi". Tokoh Ken Arok memang dikisahkan nakal dan gemar berkelahi.
Pengarang Pararaton sengaja menciptakan tokoh Ken Arok sebagai masa muda Sang Rajasa
dengan penuh keistimewaan. Kasus yang sama terjadi pula pada Babad Tanah Jawi di mana
leluhur raja-raja Kesultanan Mataram dikisahkan sebagai manusia-manusia pilihan yang penuh
dengan keistimewaan. Ken Arok sendiri diberitakan sebagai putra Brahma, titisan Wisnu, serta
penjelmaan Siwa, sehingga seolah-olah kekuatan Trimurti berkumpul dalam dirinya.
Terlepas dari benar atau tidaknya kisah Ken Arok, dapat ditarik kesimpulan kalau pendiri
Kerajaan Tumapel hanya seorang rakyat jelata, namun memiliki keberanian dan kecerdasan di
atas rata-rata sehingga dapat mengantarkan dirinya sebagai pembangun suatu dinasti baru yang
menggantikan dominasi keturunan Airlangga dalam memerintah pulau Jawa.
Kerajaan Singasari
Sejarah Kerajaan Singasari berawal dari daerah Tumapel, yang dikuasai oleh seorang
akuwu (bupati). Letaknya di daerah pegunungan yang subur di wilayah Malang, dengan
pelabuhannya bernama Pasuruan.
1. Sumber Sejarah
2. Kehidupan Politik
Ken Arok
Ken Arok sebagai raja Singasari pertama bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang
Amurwabhumi dan dinastinya bernama Dinasti Girindrawangsa (Dinasti Keturunan
Siwa). Raja Ken Arok memerintah antara tahun 1222-1227 M. Masa pemerintahan Ken
Arok diakhiri secara tragis pada tahun 1227. Ia mati terbunuh oleh kaki tangan
Anusapati, yang merupakan anak tirinya (anak Ken Dedes dari suami pertamanya
Tunggul Ametung).
Raja Kertanegara
Raja Kertanegara (1268-1292 M) merupakan raja terkemuka dan raja terakhir dari
Kerajaan Singasasri. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Singasari mencapai masa
kejayaannya. Upaya yang ditempuh Raja Kertanegara dapat dilihat dari pelaksanaan
politik dalam negeri dan luar negeri.
Untuk mencapai cita-cita politiknya itu, Raja Kertanegara menempuh cara-cara sebagai
berikut.
Untuk maksud tersebut, Kublai Khan mengirim seorang utusan bernama Meng Chi ke
Jawa meminta raja Kartanagara untuk tunduk di bawah kekuasaan Cina. Merasa
tersinggung, utusan itu dicederai wajahnya oleh Kartanagara dan meingirimnya pulang
ke Cina dengan pesan tegas bahwa ia tidak akan tunduk di bawah kekuasaan raja
Mongol. Perlakuan Kartanegara terhadap Meng Chi dianggap sebagai penghinaan
kepada Kublai Khan. Sebagai seorang kaisar yang sangat berkuasa di daratan Asia
saat itu, ia merasa terhina dan berniat untuk menghancurkan Jawa yang menurutnya
telah mempermalukan bangsa Mongol.
Peristiwa penyerbuan ke Jawa ini dituliskan dalam beberapa sumber di Cina dan
merupakan sejarah yang sangat menarik tentang kehancuran kerajaan Singhasari dan
munculnya kerajaan Majapahit, seperti yang dapat kita baca dalam buku nomor 162
dari masa pemerintahan Dinasti Yuan yang terjemahannya dapat dibaca dalam buku
W.P. Groeneveldt berjudul Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from
Chinese Sources (1963: 20-31).
Disebutkan bahwa utusan yang dikirim ke Jawa terdiri dari tiga orang pejabat tinggi
kerajaan, yaitu Shih Pi, Ike Mese, dan Kau Hsing. Hanya Kau Hsing yang berdarah
Cina, sedangkan dua lainnya adalah orang Mongol. Mereka diberangkatkan dari Fukien
membawa 20.000 pasukan dan seribu kapal. Kublai Khan membekali pasukan ini untuk
pelayaran selama satu tahun serta biaya sebesar 40.000 batangan perak. Shih Pi dan
Ike Mese mengumpulkan pasukan dari tiga provinsi: Fukien, Kiangsi, dan Hukuang.
Sedangkan Kau Hsing bertanggung jawab untuk menyiapkan perbekalan dan kapal.
Pasukan besar ini berangkat dari pelabuhan Chuan-chou dan tiba di Pulau Belitung
sekitar bulan Januari tahun 1293. Di sini mereka mempersiapkan penyerangan ke Jawa
selama lebih kurang satu bulan
Pada bulan kedua tahun itu Ike Mese bersama pejabat yang menangani wilayah Jawa
dan 500 orang menggunakan 10 kapal berangkat menuju ke Jawa untuk membuka
jalan bagi bala tentara Mongol yang dipimpin oleh Shih Pi. Ketika berada di Tuban
mereka mendengar bahwa raja Kartanagara telah tewas dibunuh oleh Jayakatwang
yang kemudian mengangkat dirinya sebagai raja Singhasari.
Oleh karena perintah Kublai Khan adalah menundukkan Jawa dan memaksa raja
Singhasari, siapa pun orangnya, untuk mengakui kekuasaan bangsa Mongol, maka
rencana menjatuhkan Jawa tetap dilaksanakan. Sebelum menyusul ke Tuban orang-
orang Mongol kembali berhenti di Pulau Karimunjawa untuk bersiap-siap memasuki
wilayah Singhasari. Setelah berkumpul kembali di Tuban dengan bala tentara Mongol.
Diputuskan bahwa Ike Mese akan membawa setengah dari pasukan kira-kira sebanyak
10.000 orang berjalan kaki menuju Singhasari, selebihnya tetap di kapal dan melakukan
perjalanan menggunakan sungai sebagai jalan masuk ke tempat yang sama. Sebagai
seorang pelaut yang berpengalaman, Ike Mese, yang sebenarnya adalah suku Uigur
dari pedalaman Cina bukannya bangsa Mongol, mendahului untuk membina kerja sama
dengan penguasa-penguasa lokal yang tidak setia kepada Jayakatwang.
Menurut cerita Pararaton, kedatangan bala tentara Mongol (disebut Tartar) adalah
merupakan upaya Bupati Madura, Aria Wiraraja, yang mengundangnya ke Jawa untuk
menjatuhkan Daha. Aria Wiraraja berjanji kepada raja Mongol bahwa ia akan
mempersembahkan seorang puteri cantik sebagai tanda persahabatan apabila Daha
dapat ditundukkan. Surat kepada raja Mongol disampaikan melalui jasa pedagang Cina
yang kapalnya tengah merapat di Jawa (Pitono, 1965: 44).
Armada kapal kerajaan Mongol selebihnya dipimpin langsung oleh Shih Pi memasuki
Jawa dari arah sungai Sedayu dan Kali Mas. Setelah mendarat di Jawa, ia menugaskan
Ike Mese dan Kau Hsing untuk memimpin pasukan darat. Beberapa panglima “pasukan
10.000-an” turut mendampingi mereka. Sebelumnya, tiga orang pejabat tinggi
diberangkatkan menggunakan ‘kapal cepat’ menuju ke Majapahit setelah mendengar
bahwa pasukan Raden Wijaya ingin bergabung tetapi tidak bisa meninggalkan
pasukannya. Melihat keuntungan memperoleh bantuan dari dalam, pasukan Majapahit
ini kemudian dijadikan bagian dari bala tentara kerajaan bangsa Mongol.
Untuk mempermudah gerakan bala tentara asing ini, Raden Wijaya memberi
kebebasan untuk menggunakan pelabuhan-pelabuhan yang ada di bawah
kekuasaannya dan bahkan memberikan panduan untuk mencapai Daha, ibukota
Singhasari. Ia juga memberikan peta wilayah Singhsari kepada Shih Pi yang sangat
bermanfaat dalam menyusun strategi perang menghancurkan Jayakatwang.
Pada bulan ketiga tahun 1293, setelah seluruh pasukan berkumpul di mulut sungai Kali
Mas, penyerbuan ke kerajaan Singhasari mulai dilancarkan. Kekuatan kerajaan
Singhasari di sungai tersebut dapat dilumpuhkan, lebih dari 100 kapal berdekorasi
kepala raksasa dapat disita karena seluruh prajurit dan pejabat yang
mempertahankannya melarikan diri untuk bergabung dengan pasukan induknya.
Peperangan besar baru terjadi pada hari ke-15, bila dihitung semenjak pasukan Mongol
mendarat dan membangun kekuatan di muara Kali Mas, di mana bala tentara
gabungan Mongol dengan Raden wijaya berhasil mengalahkan pasukan Singhasari.
Kekalahan ini menyebabkan sisa pasukan kembali melarikan diri untuk berkumpul di
Daha, ibukota Singhasari. Pasukan Ike Mese, Kau Hsing, dan Raden wijaya melakukan
pengejaran dan berhasil memasuki Daha beberapa hari kemudian. Pada hari ke-19
terjadi peperangan yang sangat menentukan bagi kerajaan Singhasari.
Dilindungi oleh lebih dari 10.000 pasukan raja Jayakatwang berusaha memenangkan
pertempuran mulai dari pagi hingga siang hari. Dalam peperangan ini dikatakan bahwa
pasukan Mongol menggunakan meriam yang pada zaman itu masih tergolong langka di
dunia.
Terjadi tiga kali pertempuran besar antara kedua kekuatan yang berseteru ini di
keempat arah kota dan dimenangkan oleh pihak para penyerbu. Pasukan Singhasri
terpecah dua, sebagian menuju sungai dan tenggelam di sana karena dihadang oleh
orang-orang Mongol, sedang sebagian lagi sebanyak lebih kurang 5.000 dalam
keadaan panik akhirnya terbunuh (slain = bantai) setelah bertempur dengan tentara
gabungan Mongol-Majapahit. Salah seorang anak Jayakatwang yang melarikan diri ke
perbukitan di sekitar ibukota dapat ditangkap dan ditawan oleh pasukan Kau Hsing
berkekuatan seribu orang.
Setelah itu, dengan membawa pasukan yang lebih besar, Raden Wijaya menyerang
balik orang-orang Mongol dan memaksa mereka keluar dari Pulau Jawa. Shih Pi dan
Kau Hsing yang terpisah dari pasukannya itu harus melarikan diri sampai sejauh 300 li
(± 130 kilometer), sebelum akhirnya dapat bergabung kembali dengan sisa pasukan
yang menunggunya di pesisir utara. Dari sini ia berlayar selama 68 hari kembali ke Cina
dan mendarat di Chuan-chou.
Kekekalahan bala tentara Mongol oleh orang-orang Jawa hingga kini tetap dikenang
dalam sejarah Cina. Sebelumnya mereka nyaris tidak pernah kalah di dalam
peperangan melawan bangsa mana pun di dunia. Selain di Jawa, pasukan Kublai Khan
juga pernah hancur saat akan menyerbu daratan Jepang. Akan tetapi kehancuran ini
bukan disebabkan oleh kekuatan militer bangsa Jepang melainkan oleh terpaan badai
sangat kencang yang memporakporandakan armada kapal kerajaan dan membunuh
hampir seluruh prajurit di atasnya.
Menjelang akhir bulan Maret, yaitu di hari ke-24, seluruh pasukan Mongol kembali ke
negara asalnya dengan membawa tawanan para bangsawan Singhasari ke Cina
beserta ribuan hadiah bagi kaisar. Sebelum berangkat mereka menghukum mati
Jayakatwang dan anaknya sebagai ungkapan rasa kesal atas ‘pemberontakan’ Raden
Wijaya. Kitab Pararaton memberikan keterangan yang kontradiktif, disebutkan bahwa
Jayakatwang bukan mati dibunuh orang-orang Mongol melainkan oleh Raden Wijaya
sendiri, tidak lama setelah ibukota kerajaan Singhasari berhasil dihancurkan.
Selain itu, peristiwa ini mencoreng wajah Kublai Khan karena untuk kedua kalinya
dipermalukan orang-orang Jawa setelah raja Kartanegara melukai wajah Meng Chi.
Namun sebagai raja yang tahu menghargai kesatriaan, tiga tahun kemudian nama baik
Shih Pi direhabilitasi dan harta bendanya dikembalikan. Ia diberi hadiah jabatan tinggi
dalam hirarkhi kerajaan Dinasti Yuan yang dinikmatinya sampai meninggal dalam usia
86 tahun.
Berbeda dengan Sora dan Ranggalawe, setelah berdirinya kerajaan Majapahit mereka
justru dihukum mati karena dituduh melakukan makar (memberontak) terhadap Raden
Wijaya atas hasutan Mahapati. Termasuk Nambi dan tokoh-tokoh berjasa lainnya yang
mempunyai andil besar mendirikan kerajaan baru menggantikan hegemoni Singhasari
di Nusantara.
Raden wijaya
Raden Wijaya (lahir: ? - wafat: Majapahit, 1309) adalah pendiri Kerajaan Majapahit sekaligus
raja pertama yang memerintah pada tahun 1293-1309, bergelar Prabu Kertarajasa
Jayawardana. Nararya Sanggramawijaya Sri Maharaja Kertajasa Jayawardhan
Nama Asli
Raden Wijaya nerupakan nama yang lazim dipakai para sejarawan untuk menyebut pendiri
Kerajaan Majapahit. Nama ini terdapat dalam Pararaton yang ditulis sekitar akhir abad ke-15.
Kadang Pararaton juga menulisnya secara lengkap, yaitu Raden Harsawijaya. Padahal menurut
bukti-bukti prasasti, pada masa kehidupan Wijaya (abad ke-13 atau 14) pemakaian gelar raden
belum populer.
Nagarakretagama yang ditulis pada pertengahan abad ke-14 menyebut pendiri Majapahit
bernama Dyah Wijaya. Gelar dyah merupakan gelar kebangsawanan yang populer saat itu dan
menjadi cikal bakal gelar Raden. Istilah Raden sendiri diperkirakan berasal dari kata Ra Dyah
atau Ra Dyan atau Ra Hadyan.
Nama asli pendiri Majapahit yang paling tepat adalah Nararya Sanggramawijaya, karena nama
ini terdapat dalam prasasti Kudadu yang dikeluarkan oleh Wijaya sendiri pada tahun 1294. Gelar
Nararya juga merupakan gelar kebangsawanan, meskipun gelar Dyah lebih sering digunakan.
[sunting] Asal-Usul
Menurut Pararaton, Raden Wijaya adalah putra Mahisa Campaka, seorang pangeran dari
Kerajaan Singhasari.
Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, Raden Wijaya adalah putra pasangan Rakeyan
Jayadarma dan Dyah Lembu Tal. Ayahnya adalah putra Prabu Guru Darmasiksa, raja Kerajaan
Sunda Galuh, sedangkan ibunya adalah putri Mahisa Campaka dari Kerajaan Singhasari. Setelah
Rakeyan Jayadarma tewas diracun musuhnya, Lembu Tal pulang ke Singhasari membawa serta
Wijaya. Dengan demikian, Raden Wijaya merupakan perpaduan darah Sunda dan Jawa.
Kisah di atas mirip dengan Babad Tanah Jawi yang menyebut pendiri Kerajaan Majapahit
bernama Jaka Sesuruh putra Prabu Sri Pamekas raja Kerajaan Pajajaran, yang juga terletak di
kawasan Sunda. Jaka Sesuruh melarikan diri ke timur karena dikalahkan saudara tirinya yang
bernama Siyung Wanara. Ia kemudian membangun Kerajaan Majapahit dan berbalik menumpas
Siyung Wanara.
Berita di atas berlawanan dengan Nagarakretagama yang menyebut Dyah Lembu Tal adalah
seorang laki-laki, putra Narasinghamurti. Naskah ini memuji Lembu Tal sebagai seorang perwira
yuda yang gagah berani dan merupakan ayah dari Dyah Wijaya.
Di antara berita-berita di atas, yang paling dapat dipercaya adalah Nagarakretagama karena
naskah ini selesai ditulis pada tahun 1365. Jadi, hanya selisih 56 tahun sejak kematian Raden
Wijaya.
Menurut prasasti Balawi dan Nagarakretagama, Raden Wijaya menikah dengan empat orang
putri Kertanagara, raja terakhir Kerajaan Singhasari, yaitu Tribhuwaneswari, Narendraduhita,
Jayendradewi, dan Gayatri. Sedangkan menurut Pararaton, ia hanya menikahi dua orang putri
Kertanagara saja, serta seorang putri dari Kerajaan Malayu bernama Dara Petak.
Menurut prasasti Sukamerta dan prasasti Balawi, Raden Wijaya memiliki seorang putra dari
Tribhuwaneswari bernama Jayanagara. Sedangkan Jayanagara menurut Pararaton adalah putra
Dara Petak, dan menurut Nagarakretagama adalah putra Indreswari. Sementara itu, dari Gayatri
lahir dua orang putri bernama Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat.
Namun demikian ada juga pendapat lain, dimana Raden Wijaya juga mengambil Dara Jingga
yang juga salah seorang putri Kerajaan Melayu sebagai istrinya selain dari Dara Petak, karena
Dara Jingga juga dikenal memiliki sebutan sira alaki dewa — dia yang dinikahi orang yang
bergelar dewa.
Menyadari hal itu, Raden Wijaya melarikan diri hendak berlindung ke Terung di sebelah utara
Singhasari. Namun karena terus dikejar-kejar musuh ia memilih pergi ke arah timur. Dengan
bantuan kepala desa Kudadu, ia berhasil menyeberangi Selat Madura untuk bertemu Arya
Wiraraja penguasa Songeneb (nama lama Sumenep).
Bersama Arya Wiraraja, Raden Wijaya merencanakan siasat untuk merebut kembali takhta dari
tangan Jayakatwang. Wijaya berjanji, jika ia berhasil mengalahkan Jayakatwang, maka daerah
kekuasaannya akan dibagi dua untuk dirinya dan Wiraraja. Siasat pertama pun dijalankan. Mula-
mula, Wiraraja menyampaikan berita kepada Jayakatwang bahwa Wijaya menyatakan menyerah
kalah. Jayakatwang yang telah membangun kembali negeri leluhurnya, yaitu Kerajaan Kadiri
menerimanya dengan senang hati. Ia pun mengirim utusan untuk menjemput Wijaya di
pelabuhan Jungbiru.
Siasat berikutnya, Wijaya meminta Hutan Tarik di sebelah timur Kadiri untuk dibangun sebagai
kawasan wisata perburuan. Wijaya mengaku ingin bermukim di sana. Jayakatwang yang gemar
berburu segera mengabulkannya tanpa curiga. Wiraraja pun mengirim orang-orang Songeneb
untuk membantu Wijaya membuka hutan tersebut. Menurut Kidung Panji Wijayakrama, salah
seorang Madura menemukan buah maja yang rasanya pahit. Oleh karena itu, desa pemukiman
yang didirikan Wijaya tersebut pun diberi nama Majapahit.
[sunting] Menjadi Raja Majapahit
Catatan Dinasti Yuan mengisahkan pada tahun 1293 pasukan Mongol sebanyak 20.000 orang
dipimpin Ike Mese mendarat di Jawa untuk menghukum Kertanagara, karena pada tahun 1289
Kertanagara telah melukai utusan yang dikirim Kubilai Khan raja Mongol.
Jayakatwang yang mendengar persekutuan Wijaya dan Ike Mese segera mengirim pasukan
Kadiri untuk menghancurkan mereka. Namun pasukan itu justru berhasil dikalahkan oleh pihak
Mongol. Selanjutnya, gabungan pasukan Mongol dan Majapahit serta Madura bergerak
menyerang Daha, ibu kota Kerajaan Kadiri. Jayakatwang akhirnya menyerah dan ditawan dalam
kapal Mongol.
Wijaya kemudian menobatkan dirinya menjadi raja Majapahit. Menurut Kidung Harsa Wijaya,
penobatan tersebut terjadi pada tanggal 15 bulan Karttika tahun 1215 Saka, atau bertepatan
dengan 12 November 1293.
Pada tahun 1295 seorang tokoh licik bernama Mahapati menghasut Ranggalawe untuk
memberontak. Pemberontakan ini dipicu oleh pengangkatan Nambi sebagai patih, dan menjadi
perang saudara pertama yang melanda Majapahit. Setelah Ranggalawe tewas, Wiraraja
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pasangguhan. Ia menagih janji Wijaya tentang
pembagian wilayah kerajaan. Wijaya mengabulkannya. Maka, sejak saat itu, wilayah kerajaan
pun hanya tinggal setengah, di mana yang sebelah timur dipimpin oleh Wiraraja dengan ibu kota
di Lamajang (nama lama Lumajang).
Pada tahun 1300 terjadi peristiwa pembunuhan Lembu Sora, paman Ranggalawe. Dalam
pemberontakan Ranggalawe, Sora memihak Majapahit. Namun, ketika Ranggalawe dibunuh
dengan kejam oleh Kebo Anabrang, Sora merasa tidak tahan dan berbalik membunuh Anabrang.
Peristiwa ini diungkit-ungkit oleh Mahapati sehingga terjadi suasana perpecahan. Pada
puncaknya, Sora dan kedua kawannya, yaitu Gajah Biru dan Jurudemung tewas dibantai
kelompok Nambi di halaman istana.
Ken Dedes
Ken Dedes adalah nama permaisuri dari Ken Arok pendiri Kerajaan Tumapel (Singhasari). Ia
kemudian dianggap sebagai leluhur raja-raja yang berkuasa di Jawa, nenek moyang wangsa
Rajasa, trah yang berkuasa di Singhasari dan Majapahit. Tradisi lokal menyebutkan ia sebagai
perempuan yang memiliki kecantikan luar biasa, perwujudan kecantikan yang sempurna.
Ketika Mpu Purwa pulang ke rumah, ia marah mendapati putrinya telah diculik. Ia pun
mengutuk barangsiapa yang telah menculik putrinya, maka ia akan mati akibat kecantikan Ken
Dedes.
Ken Arok menyampaikan hal itu kepada gurunya, yang bernama Lohgawe, seorang pendeta dari
India. Menurut Lohgawe, wanita dengan ciri-ciri seperti itu disebut sebagai wanita nareswari
yang diramalkan akan menurunkan raja-raja. Mendengar ramalan tersebut, Ken Arok semakin
berhasrat untuk menyingkirkan Tunggul Ametung dan menikahi Ken Dedes.
Maka, dengan menggunakan keris buatan Mpu Gandring, Ken Arok berhasil membunuh
Tunggul Ametung sewaktu tidur. Yang dijadikan kambing hitam adalah rekan kerjanya, sesama
pengawal bernama Kebo Hijo. Ken Arok kemudian menikahi Ken Dedes, bahkan menjadi
akuwu baru di Tumapel. Ken Dedes sendiri saat itu sedang dalam keadaan mengandung anak
Tunggul Ametung.
Seiring berjalannya waktu, Anusapati merasa dianaktirikan oleh Ken Arok. Setelah mendesak
ibunya, akhirnya ia tahu kalau dirinya bukan anak kandung Ken Arok. Bahkan, Anusapati juga
diberi tahu kalau ayah kandungnya telah mati dibunuh Ken Arok.
Keistimewaan merupakan syarat mutlak yang didambakan masyarakat Jawa dalam diri seorang
pemimpin atau leluhurnya. Masyarakat Jawa percaya kalau raja adalah pilihan Tuhan. Ken
Dedes sendiri merupakan leluhur raja-raja Majapahit versi Pararaton. Maka, ia pun dikisahkan
sejak awal sudah memiliki tanda-tanda sebagai wanita nareswari. Selain itu dikatakan pula kalau
ia sebagai seorang penganut Buddha yang telah menguasai ilmu karma amamadang, atau cara
untuk lepas dari samsara.
Dalam kisah kematian Ken Arok dapat ditarik kesimpulan kalau Ken Dedes merupakan saksi
mata pembunuhan Tunggul Ametung. Anehnya, ia justru rela dinikahi oleh pembunuh suaminya
itu. Hal ini membuktikan kalau antara Ken Dedes dan Ken Arok sesungguhnya saling mencintai,
sehingga ia pun mendukung rencana pembunuhan Tunggul Ametung. Perlu diingat pula kalau
perkawinan Ken Dedes dengan Tunggul Ametung dilandasi rasa keterpaksaan
KERAJAAN SINGASARI
Posted on February 18, 2010 by febriy
1. SUMBER SEJARAH
Kitab Pararaton
Kitab Negarakartagama Kitab Kidung (Kidung Harsa Wijaya & Serat Arok)
Prasasti Balawi tahun 1227 Saka (1305 M)
Prasasti Maribong tahun 1186 Saka (1264 M)
Prasasti Kusmala (Kandangan) tahun 1272 Saka (1350 M)
Prasasti Mula Malurung tahun 1177 saka (1255 M)
Kerajaan singasari dibangun oleh Ken Arok setelah runtuhnya kerajaan Kediri. Ken
Arok bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi dengan Dinasti Girindrawanca, dengan
tujuan untuk menghilangkan jejak tentang siapa sebenarnya Ken Arok & mengapa ia
berhasil mendirikan kerajaan. Ken Arok berkuasa ± 5 tahun (1222 – 1227 M). pada
tahun 1227 Ken Arok terbunuh oleh kaki tangan Anusapati.
₪ Anusapati
Memerintah dari tahun 1227 – 1248 M. Peristiwa kematian Ken Arok akhirnya
terbongkar & didengar oleh Tohjaya, putra Ken Arok dengan Ken Umang. Dimakamkan
di Candi Kidal.
₪ Tohjaya
Memerintah tahun 1248 dan pemerintahannya tidak berlangsung lama, karena putra
Anusapati yang bernama Ranggawuni yang dibantu Mahesa Cempaka menuntut hak
atas tahta kepada Tohjaya.
₪ Wisnuwardhana (Ranggawuni)
Naik tahta pada tahun 1248 dengan gelar Wisnuwardhana, dibantu oleh Mahesa
Cempaka dengan gelar Narashimbamurti. Pemerintahan keduanya sering disebut
dengan pemerintahan Ratu Angabaya. Pada tahun 1254 Wisnuwardhana mengangkat
putranya sebagai Yuva raja (Raja muda), dengan maksud mempersiapkan putranyaq
yang bernama Kertanegara sebagai Raja di Kerajaan Singasari. Pada tahun 1268
Wisnuwardhana meninggal dan tahta kerajaan dipegang oleh Kertanegara.
₪ Kertanegara
Memerintah tahun 1268 – 1292 M. Ia merupakan Raja terbesar dan terkemuka
Kerajaan Singasari. Setelah naik tahta, ia bergelar Sri Maharajadhiraja Sri Kertanegara.
Pada masa pemerintahannya datang utusan dari Cina atas perintah Kaisar Khubilai
Khan agar Raja Kertanegara tunduk terhadap Kaisr Cina, namun Kertanegara menolak
dan menghina utusan tersebut. Khubilai Khan marah, sehingga mempersiapkan untuk
menyerang Kerajaan Singasari, tetapi sebelum serangan itu datang Raja Kertanegara
mengadakan Ekspedisi Pamalayu tahun 1275 M, menguasai Kerajaan Melayu dengan
tujuan menghadang serangan Cina agar peperangan tidak terjadi di Singasari. Karena
pasukan Singasari sebagian menghadang serangan Cina, maka Jayakatwang
keturunan Kerajaan Kediri menyerang Kerajaan Singasari.
Dyah Lembu Tal adalah nama orang tua Raden Wijaya, pendiri sekaligus raja pertama
Kerajaan Majapahit.
Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, Lembu Tal atau Dyah Singamurti
adalah putri dari Mahisa Campaka, putra Mahisa Wonga Teleng, putra Ken Arok,
pendiri Kerajaan Singhasari.
Lembu Tal menikah dengan Rakeyan Jayadarma, putra Prabu Guru Darmasiksa raja
Kerajaan Sunda-Galuh yang memerintah tahun 1175-1297. Dari perkawinan itu lahir
Raden Wijaya.
Rakeyan Jayadarma menjadi putra mahkota yang berkedudukan di Pakuan. Akan tetapi
ia meninggal dunia karena diracun oleh musuh. Sepeninggal suaminya, Dyah Lembu
Tal membawa Raden Wijaya pergi dari Pakuan. Keduanya kemudian menetap di
Singhasari, negeri kelahiran Lembu Tal.
Dengan demikian, naskah di atas menunjukkan kalau Raden Wijaya memiliki hubungan
darah dengan keluarga Kerajaan Sunda-Galuh.
Lain halnya dengan Nagarakretagama. Menurut naskah ini, Dyah Lembu Tal bukan
seorang perempuan, melainkan seorang laki-laki. Disebutkan bahwa, Ayah Raden
Wijaya bernama Lembu Tal, putra Narasinghamurti. Lembu Tal dikisahkan sebagai
seorang perwira yuda yang gagah berani.
Sementara itu, Pararaton yang juga berkisah tentang sejarah Majapahit menyebut
Raden Wijaya sebagai putra Narasinghamurti.
Mahisa Wonga Teleng adalah tokoh dalam Pararaton yang merupakan putra dari Ken
Arok pendiri Kerajaan Tumapel (atau lebih terkenal dengan nama Singhasari). Tokoh ini
merupakan ayah dari Narasinghamurti, leluhur raja-raja Majapahit.
Tokoh Mahisa Wonga Teleng hanya terdapat dalam Pararaton. Sementara itu dalam
prasasti Mula Malurung ditemukan nama Bhatara Parameswara raja Kadiri yang
diduga identik dengannya. Prasasti ini dikeluarkan oleh cucunya dari pihak ibu yang
bernama Kertanagara saat masih menjabat sebagai yuwaraja tahun 1255.
Menurut prasasti tersebut, Bhatara Parameswara semasa hidupnya menjadi adiguru
yang dihormati di tanah Jawa. Ia memiliki putri bernama Waning Hyun yang menikah
dengan Wisnuwardhana raja Tumapel saat itu. Dari perkawinan ini lahir Kertanagara.
Menurut Pararaton, pada tahun 1222 Ken Arok menaklukkan Kadiri dan menjadikannya
sebagai bawahan Tumapel. Menurut prasasti Mula Malurung, wilayah Kadiri diperintah
oleh Parameswara. Besar kemungkinan bahwa Parameswara identik dengan Mahisa
Wonga Teleng, karena ia merupakan putra tertua Ken Arok yang lahir dari permaisuri
Ken Dedes.
Mungkin pengangkatan Mahisa Wonga Teleng sebagai raja Kadiri inilah yang membuat
Anusapati anak tiri Ken Arok cemburu. Pararaton mengisahkan Ken Arok tewas tahun
1247 dibunuh Anusapati (ayah Wisnuwardhana). Mungkin akibat peristiwa ini
Parameswara meisahkan Kadiri dari Tumapel dan menolak menjadi bawahan
Anusapati. Mereka baru berdamai setelah Waning Hyun menikah dengan
Wisnuwardhana.
Nasib Kadiri setelah ditaklukkan Ken Arok memang sama sekali tidak disinggung dalam
Pararaton. Sementara itu dalam prasasti Mula Malurung tersirat bahwa Kadiri
memisahkan diri dari Tumapel dan kemudian dipersatukan lagi oleh Wisnuwardhana
sepeninggal Tohjaya.
Pararaton menyebutkan Mahisa Wonga Teleng adalah ayah dari Mahisa Campaka
alias Narasingamurti. Menurut Nagarakretagama, Narasingamurti memiliki putra
bernama Lembu Tal, yang kemudian menjadi ayah dari Raden Wijaya pendiri Kerajaan
Majapahit.
Ekspedisi Pamalayu
Ekspedisi Pamalayu adalah sebuah operasi militer[1] yang dilakukan Kerajaan Singhasari
dibawah perintah Raja Kertanagara pada tahun 1275–1293 terhadap Kerajaan Melayu di
Dharmasraya di Pulau Sumatera.
Menurut analisis para sejarawan, latar belakang pengiriman Ekspedisi Pamalayu adalah untuk
membendung serbuan bangsa Mongol. Saat itu kekuasaan Kubilai Khan raja Mongol (atau
Dinasti Yuan) sedang mengancam wilayah Asia Tenggara. Untuk itu, Kertanagara mencoba
mendahuluinya dengan menguasai Sumatera sebelum datang serbuan dari pihak asing tersebut.
Namun ada juga pendapat lain mengatakan bahwa tujuan dari ekspedisi ini adalah untuk
menggalang kekuatan di Nusantara dibawah satu komando Singhasari yang bertujuan untuk
menahan kemungkinan serangan dari Mongol.
Catatan dari Dinasti Ming memang menyebutkan bahwa pada tahun 1377 tentara Jawa
menghancurkan pemberontakan San-fo-tsi. Meskipun demikian, istilah San-fo-tsi tidak harus
bermakna Sriwijaya. Dalam catatan Dinasti Song istilah San-fo-tsi memang identik dengan
Sriwijaya, namun dalam naskah Chu-fan-chi yang ditulis tahun 1225, istilah San-fo-tsi identik
dengan Dharmasraya. Dengan kata lain, San-fo-tsi adalah sebutan bangsa Cina untuk pulau
Sumatera, sebagaimana mereka menyebut Jawa dengan istilah Cho-po.
Setelah penyerahkan arca tersebut, Raja Melayu kemudian menghadiahkan dua putrinya, Dara
Jingga dan Dara Petak, untuk dinikahkan dengan Kertanagara di Singhasari.
Menurut catatan Dinasti Yuan, Kaisar Khubilai Khan mengirim pasukan Mongol untuk
menyerang kerajaan Singhasari tahun 1292. Namun, Singhasari ternyata sudah runtuh akibat
pemberontakan Jayakatwang. Pasukan Mongol kemudian bekerja sama dengan Raden Wijaya
penguasa Majapahit untuk menghancurkan Jayakatwang.
Sesudah itu, Raden Wijaya ganti mengusir pasukan Mongol dari Pulau Jawa. Kepergian pasukan
yang dipimpin Ike Mese itu terjadi pada tanggal 23 April 1293. Jadi, pemberitaan Pararaton
meleset satu tahun. Dengan demikian, kepulangan pasukan Pamalayu tiba di Jawa sekitar tanggal
3 Mei 1293.
Dan selanjutnya kedua orang putri Melayu tersebut, Raden Wijaya sebagai ahli waris
Kertanagara mengambil Dara Petak sebagai istri, dan menyerahkan Dara Jingga kepada seorang
dewa. Dimana dari Dara Petak lahirlah nantinya Jayanagara raja Majapahit penganti Raden
Wijaya.
Sedangkan Dara Jingga kemudian melahirkan seorang anak laki-laki bernama Tuhanku Janaka
atau Mantrolot Warmadewa yang identik dengan Adityawarman[7], yang kemudian hari menjadi
raja di Malayapura. Adityawarman sendiri mengaku sebagai putra Adwayawarman. Nama ini
mirip dengan salah satu nama pengawal yang mengantar arca Amoghapasa sebelumnya, yaitu
Adwayabrahma yang menjabat sebagai Rakryan Mahamantri. Jabatan ini merupakan jabatan
tingkat tinggi dalam pemerintahan Singhasari. Mungkin istilah dewa dalam Pararaton merujuk
kepada jabatan ini.
Namun ada pendapat lain terutama dari Prof. Uli Kozok yang mengatakan bahwa anak dari Dara
Jingga tersebut adalah yang bernama Akarendrawarman.
Pada tahun 1222 terjadi perseteruan antara Kertajaya raja Kadiri melawan kaum brahmana. Para brahmana lalu
menggabungkan diri dengan Ken Arok yang mengangkat dirinya menjadi raja pertama Tumapel bergelar Sri Rajasa
Sang Amurwabhumi. Perang melawan Kadiri meletus di desa Ganter yang dimenangkan oleh pihak Tumapel.
Nagarakretagama juga menyebut tahun yang sama untuk pendirian Kerajaan Tumapel, namun tidak menyebutkan
adanya nama Ken Arok. Dalam naskah itu, pendiri kerajaan Tumapel bernama Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra
yang berhasil mengalahkan Kertajaya raja Kadiri. Prasasti Mula Malurung atas nama Kertanagara tahun 1255,
menyebutkan kalau pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa. Mungkin nama ini adalah gelar anumerta dari
Ranggah Rajasa, karena dalam Nagarakretagama arwah pendiri kerajaan Tumapel tersebut dipuja sebagai Siwa.
Selain itu, Pararaton juga menyebutkan bahwa, sebelum maju perang melawan Kadiri, Ken Arok lebih dulu
menggunakan julukan Bhatara Siwa.
Ken Arok merebut daerah Tumapel, salah satu wilayah Kerajaan Kediri yang dipimpin oleh Tunggul Ametung, pada
1222. Ken Arok pada mulanya adalah anak buah Tunggul Ametung, namun ia membunuh Tunggul Ametung karena
jatuh cinta pada istrinya, Ken Dedes. Ken Arok kemudian mengawini Ken Dedes. Pada saat dikawini Ken Arok, Ken
Dedes telah mempunyai anak bernama Anusapati yang kemudian menjadi raja Singasari (1227-1248). Raja terakhir
Kerajaan Singasari adalah Kertanegara.
Ketika di pusat Kerajaan Kediri terjadi pertentangan antara raja dan kaum Brahmana, semua pendeta melarikan diri
ke Tumapel dan dilindungi oleh Ken Arok. Pada 1222, para pendeta Hindu kemudian menobatkan Ken Arok sebagai
raja di Tumapel dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi. Adapun nama kerajaannya ialah
Kerajaan Singasari. Berita pembentukan Kerajaan Singasari dan penobatan Ken Arok menimbulkan kemarahan raja
Kediri, Kertajaya. la kemudian memimpin sendiri pasukan besar untuk menyerang Kerajaan Singasari. Kedua
pasukan bertempur di Desa Ganter pada 1222. Ken Arok berhasil memenangkan pertempuran dan sejak itu wilayah
kekuasaan Kerajaan Kediri dikuasai oleh Singasari.
Ken Arok memerintah Kerajaan Singasari hanya lima tahun. Pada 1227 ia dibunuh oleh Anusapati, anak tirinya (hasil
perkawinan Tunggul Ametung dan Ken Dedes). Sepuluh tahun kemudian Anusapati dibunuh oleh saudara tirinya,
Tohjaya (putra Ken Arok dengan Ken Umang).
Kematian Anusapati menimbulkan kemarahan Ranggawuni, putra Anusapati. Ranggawuni langsung menyerang
Tohjaya. Pasukan Tohjaya kalah dalam pertempuran dan meninggal dunia dalam pelarian. Pada 1248 Ranggawuni
menjadi raja Singasari bergelar Sri Jaya Wisnuwardhana. Ranggawuni memerintah Kerajaan Singasari selama 20
tahun (1248-1268) dan dibantu oleh Mahisa Cempaka (Narasingamurti). Ranggawuni wafat pada 1268 dan
digantikan oleh putranya, Kertanegara. la memerintah Kerajaan Singasari selama 24 tahun (1268-1292).
Kertanegara terus memperluas pengaruh dan kekuasaan Kerajaan Singasari. Pada 1275 ia mengirim pasukan untuk
menaklukkan Kerajaan Sriwijaya sekaligus menjalin persekutuan dengan Kerajaan Campa (Kamboja). Ekspedisi
pengiriman pasukan itu dikenal dengan nama Pamalayu. Kertanegara berhasil memperluas pengaruhnya di Campa
melalui perkawinan antara raja Campa dan adik perempuannya. Kerajaan Singasari sempat menguasai Sumatera,
Bakulapura (Kalimantan Barat), Sunda (Jawa Barat), Madura, Bali, dan Gurun (Maluku).
Kerajaan Singhasari yang sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke luar Jawa akhirnya mengalami keropos di
bagian dalam. Pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelang-Gelang, yang merupakan
sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan dari Kertanagara sendiri. Dalam serangan itu Kertanagara mati terbunuh.
Pasukan Pamalayu dipersiapkan Kertanegara untuk menghadapi serangan kaisar Mongol, Kubilai Khan, yang
berkuasa di Cina. Utusan Kubilai Khan beberapa kali datang ke Singasari untuk meminta Kertanegara tunduk di
bawah Kubilai Khan. Apabila menolak maka Singasari akan diserang. Permintaan ini menimbulkan kemarahan
Kertanegara dengan melukai utusan khusus Kubilai Khan, Meng Ki, pada 1289. Kertanegara menyadari tindakannya
ini akan dibalas oleh pasukan Mongol. la kemudian memperkuat pasukannya di Sumatera. Pada 1293 pasukan
Mongol menyerang Kerajaan Singasari. Namun Kertanegara telah dibunuh oleh raja Kediri, Jayakatwang, setahun
sebelumnya. Singasari kemudian dikuasai oleh Jayakatwang. Setelah runtuhnya Singhasari, Jayakatwang menjadi
raja dan membangun ibu kota baru di Kadiri. Riwayat Kerajaan Tumapel-Singhasari pun berakhir.