Anda di halaman 1dari 65

B.

Forum Penyelesaian Sengketa dalam Transaksi Bisnis internasional yang

Menggunakan E-Commerce.

Pada dasarnya para pihak yang terlibat dalam dunia bisnis terlepas apapun

instrumen yang mereka gunakan dalam melakukan transaksi bisnis tersebut

termasuk yang menggunakan instrumen e-commerce, mereka ingin agar segala

sesuatunya dapat berjalan sesuai dengan apa yang telah mereka rencanakan, akan

tetapi dalam praktek ada kalanya apa yang telah disetujui oleh para pihak tidak

dapat dilaksanakan karena salah satu pihak mempunyai penafsiran yang berbeda

dengan apa yang telah disetujui sebagaimana yang tercantum dalam kontrak,

sehingga akan dapat menimbulkan perselisihan. Dengan munculnya perselisihan

tersebut dapat menimbulkan berbagai hal yang tidak diinginkan oleh kedua belch

pihak, karenanya untuk merealisasikan kembali perjanjian diperlukan kesepakatan

kembali, dengan demikian ditinjau dari sudut bisnis jelas kurang menguntungkan

karena is dapat menimbulkan kerugian bukan saja materiil akan tetapi juga

immateriil.

Berkaitan dengan cars penyelesaian sengketa Adam Smith mengemukakan

pendapat sebagaimana pendapat ini dikedepankan oleh James Riedel di mana

dikatakan bahwa "hanya kedamaian, ringannya pajak, dan pelaksanaan peradilan

yang dapat diterima yang diperlukan untuk mengangkat negara paling melarat

menjadi negara paling sejahtera, selebihnya tergantung pada faktor-faktor alami".

Jika pendapat Adam Smith ini kita telaah lebih jauh maka menjadi peringatan bagi

kita bahwa setiap gerak perkembangan perekonomian dan kegiatan praktek bisnis,

tidak mungkin mencapai hasil gemilang dan lancar tanpa dukungan sistem
peradilan yang dapat diterima, karena mampu dengan cepat dan tepat untuk

menyelesaikan sengketa dan dengan biaya murah, sistem peradilan yang

mengingkari hakikat penyelesaian sengketa yang sederhana, cepat dan biaya

ringan, tidak sesuai dan tidak dapat diterima dalam dunia bisnis, sistem peradilan

yang bertele-tele dan kurang responsif (unresponsive) menyelesaikan sengketa

bisnis, merupakan peradilan yang reaktif terhadap kepentingan bisnis, dan

membuat kegiatan perekonomian tidak efisien, biaya meningkat, risiko usaha

menjadi tinggi, kredibilitas para pihak rusak, sebab kemungkinan perusahaan akan

mengalami kehancuran karena


terus-menerus dilanda sengketa yang berlanjut, oleh karena itu proses

penyelesaian sengketa yang lama dan panjang, mengakibatkan perusahaan yang

bersengketa mengalami ketidakpastian dan kehancuran, cara penyelesaian seperti

itu tidak dapat diterima dalam dunia bisnis karena tidak sesuai dengan tuntutan

dunia bisnis, cara penyelesaian sengketa yang diinginkan dan dituntut dunia bisnis

adalah sistem penyelesaian sederhana, cepat dan biaya ringan atau informal

procedure and can be put in motion quickly dalam arti: penyelesaian sengketa

tetap berada dalam jalur sistem yang formal dan resmi serta dibenarkan oleh

hukum yang lazim disebut juga: Formal and official law enforcement system,

tidak dibenarkan cara penyelesaian melalui sistem yang tidak dibenarkan oleh

hukum atau secondary enforcement system, sistem yang seperti ini membawa

malapetaka karena membenarkan dan menghalalkan segala cara demi mencapai

tujuan, sistem penyelesaian sengketa sekunder inilah yang sering dipraktekkan

oleh mafia atau Yakuza, memang sangat efektif dan efisien akan tetapi dalam

pelaksanaannya, selalu mempergunakan kekerasan, intimidasi, dan penyekapan.

Itu sebabnya sistem mafia dan yakuza diperangi di negara-negara seperti,

Amerika, Italia, Jepang dalam kehidupan bisnis negaranya.

Sebenarnya sistem penyelesaian sengketa sederhana, cepat dan biaya ringan

telah dipancangkan sebagai salah satu asas dalam peradilan Indonesia, pasal 4

ayat 2 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, telah

menjadikan sistem yang demikian sebagai fundamentum dalam pelaksanaan

fungsi peradilan, jadi secara teoritis, tuntutan dunia bisnis yang menghendaki

penyelesaian sengketa secara informal Procedure and Can Be Put Motion


Quickly, sudah tertampung dalam perundang-undangan Indonesia, namun dalam

kenyataannya asas itu selalu berhadapan dengan sistem yang lain yang membuat

proses penyelesaian berlarut-larut. Permasalahannya sekarang adalah dalam hal

tidak adanya titik temu tentang hal yang dipersengketakan, maka cara apa yang

harus ditempuh.

Dalam Pasal 18 ayat 4 dan 5 UU ITE pada prinsipnya telah menyebutkan

perihal forum dalam penyelesaian sengketa yakni: "Para pihak memiliki

kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase atau lembaga

penyelesaian sengketa alternatif yang berwenang menangani sengketa yang

mungkin timbul dari transaksi elektronik


(ayat 4). Apabila para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana

dimaksud dalam ayat (4) penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase atau

lembaga penyelesaian sengketa alternatif yang berwenang menangani sengketa

yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas-asas Hukum

Perdata Internasional (ayat 5)". Pada dasarnya pengaturan yang menyerahkan

kepada para pihak sebagaimana dalam Pasal 18 ayat 5 akan menimbulkan

permasalahan berkaitan dengan kesulitan para pihak dalam memperoleh kesepa-

katan karena pada dasarnya para pihak yang bersengketa mempunyai

kepentingan yang berbeda sehingga ada kecenderungan para pihak juga akan

memilih forum yang berbeda pula dalam melakukan penyelesaian sengketanya

dan pengembalikan kepada asas-asas Hukum Perdata Internasional juga akan

berdampak kepada kesulitan hakim dalam menentukan forum penyelesaian

sengketa tersebut.

Secara umum pada dasarnya ada dua cars yang dapat digunakan yakni:

melalui Litigasidan Non Litigasi.

Penyelesaian sengketa bisnis melalui /itigasi/badan peradilan biasanya hanya

dimungkinkan ketika para pihak sepakat, kesepakatan ini tertuang dalam

penyelesaian sengketa dalam kontrak bisnis para pihak, dalam klausula tersebut

biasanya ditegaskan bahwa jika timbul sengketa dari hubungan bisnis mereka,

mereka sepakat untuk menyerahkan sengketanya kepada suatu pengadilan

(negeri) suatu negara tertentu, kemungkinan kedua, para pihak dapat

menyerahkan sengketanya kepada badan peradilan internasional, salah satu badan

peradilan yang menangani sengketa dagang ini misalnya saja adalah WTO,
namun dalam hal ini WTO hanya menangani sengketa yang berhubungan dengan

sengketa antarnegara anggota WTO saja. Umumnya pun sengketa lahir karena

adanya suatu pihak (pengusaha atau negara) yang dirugikan karena adanya

kebijakan perdagangan negara lain anggota WTO yang merugikan. Adapun

alternatif badan peradilan lain adalah Mahkamah Internasional (international

court of justice), namun penyerahan sengketa ke mahkamah internasional

menurut hasil pengamatan beberapa sarjana kurang begitu diminati oleh negara-

negara. Sebagai ilustrasi adalah peranan Mahkamah Internasional (the

international court of justice), peran mahkamah internasional dalam

menyelesaikan sengketa-sengketa ekonomi (termasuk perdagangan) menurut F.

A. Mann, sangatlah "suram", hal ini dikarenakan hasil kerja


mahkamah internasional kurang memberikan penghargaan terhadap fakta-fakta

spesifik mengenai duduk perkaranya dan kurangnya keahlian atau kemampuan

mahkamah internasional pada permasalahanpermasalahan bidang hukum

ekonomi atau perdagangan internasional. Selama berdiri sejak tahun 1945,

mahkamah internasional hanya menangani dua kasus di bidang ekonomi

internasional, yakni the ELSI Case antara Amerika Serikat melawan Italia, dan

the Barcelona Traction Case antara Belgia melawan Spanyol.

Litigasi sebagai salah satu proses penyelesaian sengketa saat ini, apalagi

berkaitan dengan transaksi bisnis internasional yang menggunakan e-commerce

dianggap tidak efektif dan efisien, walaupun satu sisi memang keberadaan badan

peradilan ini merupakan instrumen penekan (pressure valve) atas pelanggaran

hukum dalam masyarakat demokrasi, bahkan masih diakui beberapa landasan

pokok mengenai kedudukan, fungsi, peran, dan kewenangan peradilan, antara

lain:1

1. Peradilan merupakan institusi yang memiliki fungsi istimewa (serve a very

special function): sedemikian istimewanya pelaksanaan fungsi yang

diembannya, sehingga putusan yang dijatuhkannya dianggap Judicium Die

(putusan Tuhan) atau disebut His Decision = Judicium Die, oleh karena itu

putusan pengadilan melalui hakim, diibaratkan sama dengan putusan

Tuhan (the judgment was that of God).

2. Sehubungan dengan kedudukan dan kewenangan yang demikian,

peradaban manusia telah menempatkan hakim sebagai kelompok aparat

yang memiliki kelas tersendiri dari pejabat pemerintah yang lain (judges a
class a part from other governmental officers), itu sebabnya para hakim

dihormati.

3. Selain dari itu pengadilan masih tetap dianggap memiliki fungsi dan

kewenangan dalam hal: pertama, sebagai penjaga kemerdekaan masyarakat

(inguarding the freedom of society), kedua, dianggap pula sebagai wali

masyarakat (are regarding as custodians of society), ketiga pengadilan jugs

dianggap sebagai pelaksana penegak hukum (judiciary as the up holders of

the rule of law).

1. Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauaa Mengenai _Cistern Peradilan dan

Penyelesaian sengketa, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal. 237.


Akan tetapi terlepas dari kedudukan dan fungsi yang disanjungkan kepada

lembaga pengadilan dan hakim, rakyat mulai mempertanyakan apakah pantas

memberikan kewenangan dan julukan yang begitu tinggi, jika dibandingkan

dengan kinerja dan putusan yang dijatuhkan. Kritik terhadap citra pengadilan dan

hakim ini bukan hanya terjadi di Indonesia karena hampir disemua negara timbul

kritik yang sama, kritik dan kecaman yang dilontarkan masyarakat Amerika, jauh

lebih ramai jika dibandingkan dengan yang terjadi di Indonesia, begitu juga

masyarakat Jepang yang menganggap sistem penyelesaian sengketa melalui

pengadilan sangat menjemukan. Apabila kita coba mendiskripsikan kritik yang

paling umum dilontarkan kepada pengadilan. Kritik umum ini dirangkum dari

berbagai negara, meskipun wujud kritiknya hampir sama, yang terpenting di

antaranya adalah:2

1.Penyelesaian sengketa melalui litigasi sangat lambat

Inilah permasalahan pertama yang dianggap melekat pada pengadilan,

penyelesaian sengketa tidak cepat, lambat dan formalistik, sebagaimana yang

telah digambarkan oleh J. David Reitzel: "There is a long wait for litigants to get

trail" jangankan untuk memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap,

untuk memulai pemeriksaan sajapun harus menunggu waktu yang cukup lama,

memperhatikan kenyataan lamanya proses penyelesaian perkara melalui litigasi,

Hetger Muller juga ikut memberikan tanggapan bahwa "The advent of litigious

society and the increasing case loads and delays that this generate are already

matter of public concern." Kritik atas lambatnya penyelesaian sengketa melalui

litigasi ini merupakan kenyataan yang umum di seluruh pelosok dunia, lihat saja
kenyataan yang terjadi di Jepang, di mana dibutuhkan waktu rata-rata antara 10-

15 tahun, Di Korea Selatan waktunya rata-rata 5-7 tahun, hal ini juga terjadi di

Indonesia di mana dalam proses penyelesaian perkara dari tingkat pertama

sampai tingkat Kasasi, rata-rata dibutuhkan waktu antara 7-12 tahun. Kelam-

banan ini sulit dihilangkan sebab hampir semua perkara diajukan Banding dan

Kasasi, bahkan permintaan Peninjauan Kembali scat ini sudah menjadi trend.

2. Ibid., hal. 239.


Masyarakat pencari keadilan sudah dirasuki sikap yang irasional, mereka

tidak lagi mempersoalkan apakah putusan yang dijatuhkan benar dan adil,

kekalahan dianggap ketidakadilan, oleh karena itu segala upaya hukum yang

dibenarkan undang-undang, dimanfaatkan, dan pemanfaatannya kadang-kadang

nyata-nyata mengandung unsur itikad buruk, sekedar untuk menjegal terjadinya

pelaksanaan eksekusi. Dalam keadaan yang seperti ini, benar-benar sistem

peradilan tidak mampu memperkecil, apalagi melenyapkan penggunaan upaya hu-

kum yang diselimuti itikad buruk, sehingga sistem litigasi ini menjadi sangat

potensial memperlambat penyelesaian sengketa, menanggapi sistem peradilan

yang demikian barangkali ada benarnya apa yang diungkapkan oleh Tony Mc

Adams bahwa: "To many American our system of justice is neither systematic or

just" bahkan lebih dramatis lagi keadaan yang dikemukakan oleh Peter

Lovenheim yang menyatakan bahwa: "a litigated case may be pending for two,

three four of five years before trial".

2. Biaya berperkara penyelesaian melalui litigasi mahal

Suatu gambaran tentang mahalnya biaya perkara melalui litigasi, dapat

dilihat dari yang dikemukakan oleh Tony Mc Adams, pada tahun 1985

pendapatan total 750.000 pengacara di Amerika berjumlah $64,5 miliar,

berdasarkan data ini timbul kritik: "Law has become a very big American

business"malahan tentang mahalnya biaya perkara, Iangsung dikaitkan dengan

masalah perekonomian Amerika, dikatakan that litigation cost may be actually

be doing damage to the nation's economy". Tingginya biaya berperkara dianggap

sebagai faktor yang sangat merusak terhadap perekonomian Amerika.


Kerisauan tentang besarnya biaya berperkara di pengadilan terdapat hampir

diseluruh negara, di Korea Selatan misalnya meskipun proses penyelesaian

perkara dianggap relatif cepat antara 5-7 tahun, kecepatan ini tetap memakan

biaya yang sangat mahal (very expensive), pihak yang berperkara dibebani biaya

resmi peradilan. Ditambah upah pengacara (lawyer charge), upah pengacara

Amerika rata-rata antara $35 hingga $250 per jam, memperhatikan betapa

besarnya biaya perkara yang harus dikeluarkan, Lawrence S Clark memperkirakan

"So the cost of a law suits may exceeded the value of winning". Jumlah
biaya perkara yang dikeluarkan pihak yang berperkara, bisa melampaui nilai hasil

kemenangan.

3. Peradilan pada umumnya tidak responsif

Selain daripada penyelesaian perkara melalui proses litigasi memakan waktu

yang relatif lama (waste of time), dan harus Pula mengeluarkan biaya yang

mahal, peradilan pada umumnya dianggap masyarakat tidak responsif

(unresponsive). Pertama: peradilan kurang atau tidak tanggap terhadap

kepentingan umum, sering pengadilan mengabaikan kepentingan dan kebutuhan

masyarakat banyak, bahkan Tony Mc Adams mengatakan: the courts are

extremely dogged up and are generally unresponsive to the needs of publk"mata

pengadilan sering tertutup melihat dan memperhatikan kepentingan orang

banyak. Malahan masyarakat mengkritik, pengadilan sering memberi perlakuan

tidak adil atau unfair, karena dianggap hanya memberi kesempatan dan

keleluasaan kepada lembaga-lembaga besar dan orangorang kaya. Kedua:

Peradilan kurang tanggap melayani kepentingan rakyat biasa dan kalangan

miskin (ordinary citizen). Rakyat miskin dan rakyat biasanya sering tidak

mendapat pelayanan yang wajar, karena mereka tidak mampu membayar biaya

kewajiban, membayar biaya perkara dan biaya pengacara, memang kewajiban

membayar merupakan syarat formal yang dilekatkan dalam proses berperkara.

Namun syarat inilah yang menjadi penghalang bagi rakyat biasa mendapat

pelayanan yang tidak wajar dari pengadilan, ketidakmampuan mereka membuat

peradilan tidak mempedulikan keberadaan mereka, atau kekurang pedulian itu

bisa terjadi apabila rakyat biasa tidak di dampingi pengacara. Disebabkan


mahalnya biaya pengacara, jarang rakyat keel' yang mampu membayarnya,

terpaksa dia tampil sendiri tanpa didampingi pengacara, padahal sama sekali dia

buts htikum. Dalam keadaan yang seperti itu jarang pengadilan yang tanggap

melayani orang tersebut dengan manusiawi.

4. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah

Tidak ada putusan pengadilan yang mengantar para pihak yang bersengketa

kearah penyelesaian masalah, karena kebanyakan putusan


pengadilan tidak bersifat Problem Solving di antara pihak yang bersengketa, akan

tetapi menempatkan kedua belah pihak pada dua sisi ujung yang sating

berhadapan yakni: menempatkan salah satu pihak pada posisi pemenang (the

winner) dan menyudutkan pihak yang lain sebagai pihak yang kalah (the losser),

yang akhirnya pihak yang kalah dan menang ini bukan melahirkan kedamaian dan

ketentraman akan tetapi justru akan menimbulkan dendam dari pihak yang kalah

karena ketidakpuasannya terhadap putusan pengadilan tersebut.

Kadangkala putusan yang dijatuhkan justru sangat dikecam masyarakat

karena sangat membingungkan, misalnya:

1. Terkadang tanpa dasar dan alasan yang masuk akal, pengadilan menjatuhkan

putusan ganti rugi yang luar biasa besarnya;

2. Sebaliknya meskipun alasan dan dasarnya sangat kuat, pengadilan justru

menjatuhkan putusan ganti rugi yang sangat kecil sekali;

3. Perilaku pengadilan yang demikian memperlihatkan penegakan hukum yang

tidak pasti (uncertainty) dan tidak dapat diprediksi serta adanya disparitas

yang sangat jauh.

Sedangkan yang diharapkan dalam penyelesaian sengketa, dapat membawa

para pihak kepada suatu kedamaian, serta memberi penyelesaian yang memuaskan

kepada kedua belah pihak, dan suasana yang demikian tidak dapat diharapkan dari

proses penyelesaian melalui pengadilan.

5. Kemampuan para hakim bersifat general's

Pada masa belakangan ini, terutama pada era IPTEK muncul pendapat umum

di mana hakim dilihat sebagai sosok manusia yang genera/is, pada sisi lain
perkembangan ilmu dan teknologi telah membonceng berbagai permasalahan

yang kompleks, sehingga diperlukan cara-cara penyelesaian berdasarkan keahlian

yang profesional, sedangkan para hakim sebagai manusia genera/is, paling

mampu memiliki pengetahuan yang bersifat luar saja, oleh karena itu mana

mungkin diharapkan penyelesaian yang baik dan objektif dari para hakim,

misalnya sengketa dalam transaksi bisnis internasional yang meng-


gunakan e-commerce ini, sejauh mana pengetahuan dan kemampuan hakim

memahami permasalahannya secara mendasar dan objektif.

Oleh karena para hakim belum memiliki kualitas yang menyeluruh atas

masalah yang kompleks, terutama sengketa yang timbul dari permasalahan High-

Tech, sering putusan yang dijatuhkan pengadilan menyimpang dari permasalahan

pokok.

Dari uraian singkat di atas, dapat dilihat lunturnya citra pandangan

masyarakat terhadap peran dan fungsi pengadilan. Selain daripada kritik yang

dilontarkan kearah proses penyelesaian sengketa melalui litigasi, muncul pula

bermacam ungkapan yang menyudutkan popularitas badan peradilan, ungkapan

atau preposisi yang dikemukakan semakin dikembangkan dan diperluas

pemasyarakatannya terhadap khalayak ramai, berikut ini beberapa ungkapan

yang mengandung makna sinisme terhadap kenyataan praktek peradilan:

ungkapan Abraham Lincoln pada tahun 1850 "Discourage litigation, persuade

your neighbours to compromise whenever you can, point out to them how the

nominal winner is often a real losser-infus, expence, and waste of time". Yang

terjemahan bebasnya: "Hindari perkara di pengadilan, sedapat mungkin bujuk

lawanmu untuk berkompromi, tunjukkan kepada mereka pada dasarnya pihak

yang menang berperkara adalah pihak yang kalah, karena untuk memperoleh

kemenangan itu dia harus mengeluarkan biaya yang mahal dan membuang waktu

yang lama". Selanjutnya Voltair juga pernah mengungkapkan bahwa "I was

ruined but twice, once when I won a lawsuit and once when I lost one" (saya

mengalami kehancuran dua kali, pertama apabila saya menang perkara, yang
kedua apabila saya kalah perkara) dari pendapat Voltair ini terlihat bahwa

pengadilan mengakibatkan kehancuran lerhadap yang menang dan yang kalah

perkara. Prof. Jack Ethridge 2uga mengungkapkan berkaitan dengan berperkara

di pengadilan, yaitu: "Litigation paralyzes people, it makes them enemies, it pets

them not only against one another but against the others employed

combatant"(berperkara menimbulkan orang lumpuh, membuat para Dihak

bermusuhan, tidak hanya antara para pihak akan tetapi menyePabkan semua

pihak yang terlibat. Selain daripada itu Peter Lovenheim juga mengatakan bahwa

sistem peradilan bukan didesain dan dirancang untuk menyelesaikan sengketa

orang yang berperkara, pada


dasarnya tujuan mengadili perkara melalui proses pengadilan memang sangat

tinggi, namun sangat kabur, tujuannya yakni menemukan kebenaran, memang

satu segi menemukan kebenaran sangat ideal, tetapi sebaliknya makna kebenaran

itu sangat kabur, hanya dapat diungkapkan hakim dengan kalimat: Salah (guilty)

atau Tidak Salah (not guilty), melanggar perjanjian (breach of contract) atau tidak

melanggar perjanjian (not breach of contract), pelanggaran (violation of law) atau

tidak pelanggaran (not violation of law). Padahal tujuan berperkara bukan hanya

sekedar mencari dan menemukan kebenaran yang kabur, akan tetapi lebih

ditujukan untuk memecahkan sambil menyelesaikan masalah yang memberikan

kepuasan kepada kedua belah pihak. Muncul gejala yang mendunia tentang

kemerosotan penilaian terhadap praktek dan putusan yang dijatuhkan pengadilan,

kemerosotan penghargaan terhadap pengadilan telah mendorong negaranegara

maju dan negara industri baru mencari dan menciptakan bentuk penyelesaian

sengketa yang lain dalam bentuk Non Litigasi.

Penyelesaian sengketa melalui Non Litigasi dalam dunia bisnis menghendaki

agar terciptanya cara penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien, penyelesaian

sengketa yang tidak melulu formalistik atau informal procedure and can be put in

motion quickly, tidak bertele-tele dan buang waktu serta murah, selain itu dunia

bisnis menuntut penyelesaian sengketa yang dapat mengarahkan langkah kedepan

bukan memperdebatkan masa lalu, penyelesaian sengketa harus dapat membina

hubungan yang lebih baik di antara para pihak, agar tetap terjalin hubungan bisnis

yang saling menguntungkan, oleh karena itu penyelesaian sengketa bisnis bukan

bertujuan menempatkan para pihak pada ujung sisi yang saling berlawanan dalam
posisi sebagai pihak menang dan kalah, tetapi yang diinginkan adalah pemecahan

masalah yang memberi kepuasan kepada pihak-pihak yang sengketa. Sistem

penyelesaian sengketa yang demikian sulit dicapai melalui penegakan hukum

semata, tetapi menghendaki relevansi penyelesaian yang lebih luas yang dapat

menjanjikan harapan atas penyelesaian yang tidak mematikan kegiatan bisnis para

pihak. Selanjutnya kita menyadari bahwa meskipun telah diupayakan pembuatan

dalam transaksi bisnis internasional yang menggunakan e-commerce berdasarkan

sistem analisis, keamanan dan kehati-hatian yang seksama, tetap saja ini bukan

merupakan jaminan yang mutlak tentang tidak terjadinya


konflik dan sengketa, bagaimanapun jelinya mekanisme yang dibuat dalam

transaksi e-commerce tersebut, konflik dan sengketa tidak mungkin dihindari

sepenuhnya.

Forum penyelesaian sengketa Non Litigasi dalam hukum bisnis internasional

pada prinsipnya sama dengan dalam hukum penyelesaian sengketa internasional

dalam transaksi bisnis internasional yang menggunakan e-commerce. Forum

tersebut adalah negosiasi, penyelidikan, fakta-fakta (inquiry), mediasi, konsiliasi,

arbitrase, penyelesaian melalui hukum atau melalui pengadilan, atau cara-cara

penyelesaian sengketa lainnya yang dipilih dan disepakati para pihak.3

1. Negosiasi

Dalam buku Business Law, Principles, Cases and Policy karya Mark E.

Roszkowski dikatakan bahwa negosiasi adalah: "Negotiation is a process by

which two parties, with differing demand reach an agreement generally through

compromise and concession"yang terjemahan bebasnya: Negosiasi adalah suatu

proses di mans dua pihak, dengan permintaan berbeda menjangkau suatu

persetujuan yang biasanya tercapai suatu kompromi dan konsesi.

Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan paling

tua digunakan, penyelesaian sengketa melalui negosiasi merupakan cara yang

paling penting, banyak sengketa diselesaikan setiap hari oleh negosiasi ini tanpa

adanya publisitas yang menarik perhatian publik. Alasan utamanya adalah karena

dengan cara ini, para pihak dapat mengawasi procedural penyelesaian

sengketanya, setiap penyelesaian sengketanya pun didasarkan pada kesepakatan

atau konsensus para pihak, senada dengan hal tersebut, Kahona mengemukakan
bahwa negosiasi adalah "an efficacious means of setting disputes relating to an

agreement because they enable parties to arrive at conclusions having regard to

the wishes of all the disputants" (suatu alat-alat perselisihan yang mengatur

paling manjur berkenaan dengan suatu persetujuan sebab hal ini memungkinkan

dengan tidak mengabaikan berbagai keinginan dari semua pembantah).

3. Munir Fuady, 2000, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa

Bisms, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.


Kelemahan utama dari cara ini adalah, pertama ketika para pihak

berkedudukan tidak seimbang, salah satu pihak kuat, yang lain lemah, maka

dalam keadaan seperti ini salah satu pihak yang kuat berada dalam posisi untuk

menekan pihak lainnya dalam bernegosiasi dan hal ini acapkali terjadi ketika dua

pihak bernegosiasi untuk menyelesaikan sengketa antara mereka.

Kelemahan kedua adalah bahwa dalam proses berlangsungnya negosiasi

sering lambat dan memakan waktu yang cukup lama, ini terutama karena sulitnya

permasalahan-permasalahan yang timbul di antara para pihak, selain itu jarang

sekali ada persyaratan penetapan batas waktu bagi para pihak untuk

menyelesaikan sengketanya melalui negosiasi ini.

Kelemahan ketiga adalah ketika suatu pihak terlalu keras dengan

pendiriannya, keadaan ini dapat mengakibatkan proses negosiasi ini menjadi

lebih tidak produktif.

Menurut pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 pada

dasarnya para pihak dapat berhak untuk menyelesaikan sendiri sengketa yang

timbul di antara mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut

selanjutnya harus dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui oleh para

pihak. Negosiasi adalah mirip dengan perdamaian sebagaimana diatur dalam

pasal 1851 s.d. 1864 KUHPerdata, di mana perdamaian itu adalah suatu

persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan

atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung

atau mencegah timbulnya suatu perkara. Persetujuan mana harus dibuat secara

tertulis dengan ancaman tidak sah. Namun ada beberapa hal yang membedakan,
yaitu: pada negosiasi diberikan tenggang waktu penyelesaian paling lama 14 hari,

dan penyelesaian sengketa tersebut harus dilakukan dalam bentuk pertemuan

langsung oleh dan di antara para pihak yang bersengketa.

Perbedaan lain adalah bahwa negosiasi merupakan salah satu lembaga

alternatif penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di luar pengadilan, sedangkan

perdamaian dapat dilakukan baik sebelum proses persidangan pengadilan

dilakukan maupun setelah sidang peradilan dilaksanakan, balk di dalam maupun

di luar pengadilan.

Mengenai pelaksanaan negosiasi, prosedur-prosedur yang terdapat di

dalamnya perlu dibedakan sebagai berikut, pertama: negosiasi


digunakan ketika suatu sengketa belum lahir (disebut pula sebagai konsultasi),

dan kedua: negosiasi digunakan ketika suatu sengketa telah lahir, prosedur

negosiasi ini merupakan proses penyelesaian sengketa oleh para pihak (dalam arti

negosiasi).

2. Mediasi

Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga, pihak ketiga

tersebut bisa individu (pengusaha) atau lembaga atau organisasi profesi atau

dagang, mediator ikut serta secara aktif dalam proses negosiasi, biasanya is

dengan kapasitasnya sebagai pihak yang netral, berupaya mendamaikan para

pihak dengan memberikan saran penyelesaian sengketa.

Menurut Black Law Dictionary dikatakan bahwa mediasi dan mediator

adalah: "Mediation is private, informal dispute resolution process in which a

neutral third person, the mediator, helps disputing parties to reach an agreement.

The mediator has no power to impose a decision on the parties".

Usulan-usulan penyelesaian sengketa melalui mediasi dibuat agak tidak

resmi (informal), usulan ini dibuat berdasarkan informasiinformasi yang

diberikan oleh para pihak, bukan atas penyelidikannya. jika usulan tersebut

diterima, mediator masih dapat tetap melanjutkan fungsi mediasinya dengan

membuat usulan-usulan baru, oleh karena itu, salah satu fungsi utama mediator

adalah mencari berbagai solusi (penyelesaian), mengidentifikasi hal-hal yang

dapat disepakati para pihak serta membuat usulan-usulan yang dapat mengakhiri

sengketa.

Seperti halnya dalam negosiasi, tidak ada prosedur-prosedur khusus yang


harus ditempuh dalam proses mediasi, para pihak bebas untuk menentukan

prosedurnya sendiri, hal yang paling penting adalah kesepakatan para pihak

mulai dari proses (pemilihan) cara mediasi, menerima atau tidaknya usulan-

usulan yang diberikan oleh mediator, sampai kepada pengakhiran tugas

mediator. Gerald Cooke menggambarkan kelebihan mediasi ini sebagai berikut:

"where mediation is successfully used, it generally provides a quick, cheap and

effective result, it is dearly appropriate, therefore, to consider providing for

mediation or other alternative dispute resolution techniques in the contractual

dispute resolution clause". Cooke juga mengingatkan


bahwa penyelesaian melalui mediasi tidaklah mengikat, artinya para pihak meski

telah sepakat untuk menyelesaikan sengketanya melalui mediasi, namun mereka

tidak wajib atau tidak harus menyelesaikan sengketanya melalui mediasi. Ketika

para pihak gaga) menyelesaikan sengketanya melalui mediasi, mereka masih

dapat menyerahkan ke forum yang mengikat yaitu penyelesaian melalui hukum,

yaitu pengadilan atau arbitrase.

Di Indonesia berdasarkan pasal 6 ayat 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999, atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat

diselesaikan melalui bantuan "seorang atau lebih penasihat ahli" maupun melalui

seorang mediator. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara

tertulis adalah final dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan

itikad balk. Kesepakatan tertulis wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam

waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penandatanganan, dan

wajib dilaksanakan dalam waktu lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.

Mediator dapat dibedakan: mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para

pihak, mediator yang ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif

penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak.

Di Amerika Serikat kedudukan dan keberadaan mediasi sebagai lembaga

swadaya masyarakat dalam menyelesaikan sengketa telah didukung oleh hukum

positif berupa Dispute Resolution Act, yang ditandatangani oleh presiden Jimmy

Carter, tanggal 12 Februari 1980 bersamaan dengan hari lahirnya Abraham

Lincoln, dengan demikian penandatanganan tersebut merupakan penghormatan

kepada beliau untuk memperingati ungkapan yang mendorong masyarakat


Amerika mencari penyelesaian sengketa melalui kompromi, jangan melalui

Litigasi, di mana Abraham Lincoln mengatakan: "Discourage litigation,

persuade your neighbour to compromise point out to them how the nominal

winner is of ten a real loser in fees expensive, and waste of time':

Sebagai ilustrasi perkembangan lembaga mediasi di Amerika dapat

dikemukakan jaringan umum mediasi 1986 (public mediate network):4

1. Sebanyak 220 public mediation centers yang beroperasi di selu-

ruh 40 negara bagian.

4. Yahya Harahap,, hal. 195.


2. Setiap mediation centers mempunyai jaringan yang melaksanakan operasi

pada setiap wilayah.

3. Sebagian besar didukung dana pemerintah (public fund) dan sebagian berasal

dari dana yayasan atau dari biaya administrasi yang dibayar pihak pemakai.

4. Melayani penyelesaian sengketa masyarakat Amerika dari pantai ke pantai,

sengketa besar dan kecil, lapisan atas, menengah dan bawah.

5. Menangani penyelesaian sengketa sekitar 250.000 kasus per tahun, dengan

sejumlah 1,5 juta orang yang terlibat di dalamnya.

Adapun jenis sengketa yang bersifat umum diajukan penyelesaiannya ke

mediasi terdiri dari:

1. Sengketa konsumen berlawanan dengan pedagang.

2. Sengketa tanah antara pemilik dengan penyewa.

3. Sengketa kerja antara karyawan dengan majikan (pengusaha).

4. Tindak pidana kecil yang tidak berbentuk kejahatan (minor, nonviolent

criminal cases).

5. Sengketa antar partner bisnis, sengketa antar tetangga, sengketa antar suami

istri, sengketa antar mantan pacar.

Sengketa khusus di Amerika yang banyak dibawa ke mediasi adalah

sengketa bisnis, dari waktu ke waktu masyarakat bisnis cenderung mencari

penyelesaian sengketa melalui sistem ADR, mediasi dianggap sebagai salah satu

pilihan terbaik di antara sistem dan bentuk ADR yang ada, di mana digunakannya

mediasi ini dikarenakan adanya kesadaran mereka berkaitan dengan: Tidak hanya

biaya perkara dan upah pengacara yang mahal melalui litigasi, tetapi juga akan
menguras tenaga dan waktu eksekutif perusahaan. Lamanya penyelesaian

sengketa yang dapat menyebabkan hubungan dengan konsumen menjadi

memburuk dan rusak, dan litigasi juga akan menguras sumber penting

perusahaan seperti uang, waktu, hubungan, pendapat umum (image), dan tenaga

para pekerja.

Jenis sengketa bisnis yang sudah umum dicari penyelesaiannya melalui

mediasi di Amerika adalah: Sengketa kontrak (contract disputes) termasuk

transaksi yang menggunakan e-commerce, Sengketa keluhan konsumen

(consumer complaints), Keluhan menderita luka (personal


injury complaints), Tuntutan pertanggungjawaban produksi (product liability

complaints), Sengketa kontruksi (construction disputes), Sengketa yang muncul

dari mergerdan akuisisi, Sengketa yang timbul antara karyawan dan majikan,

Sengketa antarpekerja (disputes between employees), Sengketa antarpartner,

Sengketa antara anggota keluarga dalam bisnis keluarga.

Dalam mediasi kewenangan dan peran mediator sangat terbatas yakni:

1. Pada hakikatnya, hanya mencoba menolong para pihak mencari jalan keluar

dari persengketaan yang mereka hadapi (merely tries to help to parties work

out their differences).

2. Dengan demikian pada hakikatnya mediator tidak memiliki kewenangan

dalam menentukan penyelesaian sengketa.

3. Hasil penyelesaian dalam bentuk kompromi (compromise) terletak

sepenuhnya di atas kesepakatan para pihak.

1. Selanjutnya, sifat kekuatan penyelesaian yang dicapai dalam bentuk

kompromi, tidak mutlak final dan binding. Meskipun telah dicapai kompromi

tidak multak mengakhiri sengketa secara final, bahkan kompromi tidak

mutlak mengikat para pihak, bergantung pada itikad baik para pihak untuk

memenuhi secara sukarela, apabila tidak dipenuhi oleh para pihak, lembaga

mediasi atau pengadilan, tidak dapat memaksakan pemenuhan melalui ekse-

kusi, pengadilan tidak berwenang memaksakan pemenuhan hasil kompromi.

Adapun kedudukan dan peran mediator dalam penyelesaian suatu sengketa

yang menggunakan mediasi adalah sebagai berikut:

1. Mediator berada di tengah para pihak, di mana mediator bertindak sebagai


pihak ketiga yang menempatkan diri benar-benar di tengah para pihak (to go

between or to be in the middle).

2. Mengisolasi proses mediasi, mediator harus bersifat terisolasi dari

koleganya maupun supervisi dari pihak luar.

3. Mediator tidak berperan sebagai hakim, dalam hal ini mediator tidak

menentukan pihak yang mana salah dan benar, tidak bertindak dan berperan

pemberi nasihat (counsellor) atau mengobati (the rapist), dan mediator hanya

berperan sebagai penolong (helper frole), oleh karena itu fungsi mediator

berusaha mem-
bawa dan mengajak para pihak yang bersengketa membicarakan bersama

penyelesaian sengketa, dan mempersilahkan mereka "mencari dan

menemukan pemecahan solusi yang dapat diterima secara mufakat" (the two

of you find solution of you own making), oleh karena itu mediator dalam

menjalankan dan memainkan peran menjalankan fungsi sebagai penolong

maka mediator berusaha memodifikasi sengketa sejelas dan sesederhana

mungkin, menjaga supaya tetap terjalin komunikasi yang lancar antara para

pihak, meluruskan persamaan persepsi kedua belah pihak tentang sengketa,

menyeimbangkan posisi kedua belah pihak, serta mengemukakan atau

menawarkan jalan keluar penyelesaian yang dapat diterima para pihak.

4. Mediator harus mampu menekan reaksi, mediator harus mampu berperan

untuk menghargai apa saja yang dikemukakan kedua belah pihak, oleh

karena itu mediator menjadi pendengar yang ahli dan bijak, mampu

mengontrol kesan buruk sangka, mampu berbicara dengan terang dengan

bahasa netral, dan mampu menganalisis dengan cermat fakta persoalan

yang kompleks serta mampu berpikir di atas pendapat sendiri.

5. Mediator harus mampu mengarahkan pertemuan pemeriksaan (hearing),

dalam hal ini mediator harus sedapat mungkin pembicaraan pertemuan

tidak melantur dan menyimpang, serta mampu mengarahkan langsung

pembicaraan ke arah pokok penyelesaian.

6. Pemeriksaan bersifat konfidensial, segala sesuatu yang dibicarakan dan

dikemukakan para pihak harus dianggap sebagai informasi rahasia

(confidential information), oleh karena itu mediator harus memegang


teguh kerahasiaan persengketaan maupun identitas pihak-pihak yang

bersengketa.

7. Hasil kesepakatan dirumuskan dalam bentuk kompromis, hasil penyelesaian

dituangkan dalam bentuk kompromis (compromise solution), kedua belah pihak

tidak ada yang kalah dan tidak ada pemenang, tetapi sama-sama menang.

Berkaitan dengan sistem proses penyelesaian sengketa melalui mediasi dapat

dijelaskan sebagai berikut:

1. Ada dua pihak yang bersengketa, apabila ada pihak yang bersengketa, yang

menjadikan mereka saling berhadapan sebagai


pihak C/aimant(penggugat, pemohon) dan Respondent (tergugat, termohon),

namun status para pihak dalam mediasi tidak begitu prinsipil, kemungkinan

saja dalam proses bisa terjadi pergeseran, pihak yang semula menjadi

Claimant berubah menjadi Respondent, oleh karena itu tanpa mengurangi

pengertian teknis yang menamakan pihak pengambil inisiatif pengajuan

sengketa adalah Claimant dan orang yang ditarik sebagai lawan Respondent,

hal itu tidak bersifat sangat teknik sekali dalam proses penyelesaian sengketa

melalui mediasi.

Malahan dalam praktek, sengaja lembaga mediasi yang menangani

penyelesaian sengketa menghindari penggunaan simbol


seba-
Claimant dan Respondent, pen ye b uta n kedudukan mereka gai pihak

yang bersengketa, pada umumnya diganti dengan me-

nyebut nama saja, cara ini sangat bermanfaat agar tidak terkesan para pihak

merasa berada dalam proses konflik yang tajam.

2. Persetujuan penyelesaian mediasi, salah satu syarat formal yang harus

dipenuhi agar sengketa dapat dilakukan melalui mediasi, hal ini berkaitan

dengan adanya pernyataan Submission To Mediation atau disebut juga

Consent To Mediation, yakni berupa pernyataan kesediaan menyerahkan

penyelesaian sengketa kepada mediasi. Untuk memenuhi syarat formal

Submission To Mediation, maka pertama, harus ada kesepakatan kedua belah

pihak, oleh karena itu jika terjadi sengketa dan ingin menyelesaikannya

melalui mediasi maka agar terpenuhinya syarat Submission To Mediation,

maka mendekati pihak lawan untuk mencapai kesepakatan tentang itu atau
jika hal itu tidak mungkin, karena diperkirakan sulit mengajak pihak lawan,

ajukan saja dulu permintaan sengketa melalui mediasi secara sepihak,

dengan harapan mediator dapat menyadarkan pihak lawan untuk sepakat

mempergunakan mediasi mencari penyelesaian. Kedua, kalau para pihak

sepakat, mereka menandatangani formulir Submission To Mediation, cara

inipun yang berlaku dalam pengajuan mediasi secara sepihak, apabila

diperkirakan pihak lawan tidak dapat diajak berdasarkan kesepakatan, pihak

yang berkehendak dapat menandatangani formulir tersebut, sedangkan

persetujuan pihak lawan akan disempurnakan nanti, apabila is bersedia dan

setuju mencari penyelesaian melalui mediasi.


3. Menguraikan sengketa, uraian sengketa biasanya langsung dituliskan

permohonan dalam formal Submission To Mediation, oleh karena itu uraian

sengketa (describing the disputes) tidak panjang dan tidak teknis seperti

yang dituntut dalam pengajuan sengketa melalui litigasi (harus jelas

fundamentum pitendi).

3. Konsiliasi

Yang dimaksud dengan konsiliasi adalah usaha yang dilakukan pihak ketiga

yang bersifat netral, untuk berkomunikasi dengan kelompokkelompok yang

bersengketa secara terpisah, dengan tujuan untuk mengurangi ketegangan dan

mengusahakan kearah tercapainya persetujuan untuk berlangsungnya suatu proses

penyelesaian sengketa.

Dalam Black Law Dictionarydikatakan bahwa konsiliasi adalah:

"Conciliation is the adjustment and settlement of a dispute in a friendly,

unantagontic manner used in courts before trial with a view towards avoiding

trial and in labor disputes before arbitration".

"Court of Conciliation is a court which propose terms of adjustment, so as to

avoid litigation".

Strategi ini lazim dipergunakan untuk mendamaikan para pihak yang terlibat

konflik yang tidak mungkin atau sulit menyelesaikannya dengan saling

berhadapan langsung dalam meja perundingan. Konsiliasi mensyaratkan adanya

pihak ketiga yang dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa.

Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi, kedua cara ini adalah

melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketanya secara damai,


konsiliasi dan mediasi sulit untuk dibedakan, istilahnya seringkali digunakan

dengan bergantian. Namun menurut Behrens, ada perbedaan antara kedua istilah

tersebut, yaitu konsiliasi lebih formal daripada mediasi, konsiliasi bisa juga

diselesaikan oleh seorang individu atau suatu badan yang disebut dengan badan

atau komisi konsiliasi, komisi konsiliasi ini bisa sudah terlembaga atau ad hoc

(sementara) yang berfungsi untuk menetapkan persyaratan-persyaratan

penyelesaian yang diterima oleh para pihak, namun putusannya tidaklah mengikat

para pihak.

Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap yaitu,

tahap tertulis dan tahap lisan. Pertama, sengketa (yang diuraikan


secara tertulis) diserahkan kepada badan konsiliasi, kemudian badan ini akan

mendengarkan keterangan lisan dari para pihak, para pihak dapat hadir pada

tahap pendengaran tersebut, tetapi bisa pula diwakili oleh kuasanya.

Berdasarkan fakta-fakta yang diperolehnya konsiliator atau badan konsiliasi

akan menyerahkan laporannya kepada para pihak disertai dengan kesimpulan dan

usulan-usulan penyelesaian sengketanya, usulan ini sifatnya tidaklah mengikat

oleh karena itu diterima tidaknya usulan tersebut bergantung sepenuhnya kepada

para pihak. Contoh komisi konsiliasi yang terlembaga adalah badan yang

dibentuk oleh bank dunia untuk menyelesaikan sengketa-sengketa penanaman

modal asing, yaitu the ICID Rule of Procedure for Conciliation Proceeding

(Conciliation Rules), namun ternyata dalam prakteknya penggunaan cara ini

kurang populer. Sejak berdiri tahun 1966 badan konsiliasi ICID hanya menerima

dua kasus, kasus pertama diterima pada 5 Oktober 1982 (selama 16 tahun

kosong), namun sebelum badan konsiliasi terbentuk para pihak sepakat untuk

mengakhiri persengketaannya, Kasus kedua yaitu Tesoro Petroleum

Corp.v.Goverment of Trinidad and Tobago diterima tahun 1983, kasus ini

berhasil diselesaikan pada tahun 1985 setelah para pihak sepakat untuk menerima

usulan-usulan yang diberikan konsiliator.

Di Indonesia, seperti sebagaimana pranata alternatif penyelesaian sengketa

yang telah diuraikan di atas, konsiliasi pun tidak dirumuskan secara jelas dalam

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 sebagai suatu bentuk alternatif

penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah suatu tindakan atau proses untuk

mencapai perdamaian di luar pengadilan dan untuk mencegah dilaksanakan


proses ligitasi, melainkan juga dalam setiap tingkat peradilan yang sedang

berjalan, baik di dalam maupun di luar pengadilan, dengan pengecualian untuk

hal-hal atau sengketa di mana telah diperoleh suatu putusan hakim yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap.

Untuk model konsiliasi (Conciliation) yang berkembang di Amerika Serikat

pada dasarnya agak berbeda dengan yang dipraktekkan di Jepang dan Korea

Selatan. Sistem konsiliasi di Amerika merupakan


tahap awal dari proses mediasi, dengan acuan penerapan sebagai berikut: 5

1. Apabila terhadap seseorang diajukan proses mediasi dan tuntutan yang

diajukan Claimant dapat diterima dalam kedudukannya sebagai Respondent.

2. Maka pada tahap yang demikian berarti telah diperoleh penyelesaian tanpa

meianjutkan pembicaraan, karena pihak Respondent dengan kemauan balk

(good-will) bersedia menerima apa yang dikemukakan oleh pihak Claimant.

1. Cara penyelesaian dengan good-will yang demikian disebut dengan

konsiliasi winning over by good will(kemenangan diperoleh dengan

kemauan baik).

3. Biasanya alasan Respondent mau menerima dan memenuhi tuntutan

secara good-will karena: adanya pengertian dan kesadaran dari

Respondent sejauh mana persoalan yang disengketakan, sehingga

dianggapnya layak untuk memenuhi permintaan tersebut, dan adanya

keinginan agar permasalahan tersebut tidak dicampuri oleh pihak ketiga,

dengan pertimbangan penyelesaian akan lebih balk tercapai di antara

kedua belah pihak.

Lain halnya dengan konsiliasi yang dikembangkan di Jepang, Korea,

Hongkong, dan Singapura, dalam ketentuan Article 53 The Commercial

Arbitration Rule dari The Korean Commercial Arbitration Board (KCAB) di

mana menurut ketentuan ini, diatur suatu sistem Koneksitas antara Mediasi-

Konsiliasi-Arbitrase (connected mediation, conciliation and arbitration system),

sistem koneksitas antara ketiga jenis ADR tersebut dengan cara menempatkan

conciliation di tengah.
Proses apabila sengketa diajukan ke KCAB untuk diminta penyelesaian

sengketa, penyelesaian dilakukan secara bertahap dengan acuan penerapan:

1. Tahap pertama, diupayakan lebih dahulu penyelesaian melalui proses mediasi,

panel arbitrator yang ditunjuk bertindak sebagai mediator, apabila dapat

disepakati penyelesaian, solusi yang disetujui para pihak dijadikan

kompromis, dan kompromis dapat

5. Ibid.
efektif menjadi award (putusan arbitrase) yang bersifat final and binding,

apabila para pihak meminta.

2. Tahap kedua, jika mediasi gagal, proses ditingkatkan menjadi konsiliasi,

apabila mediasi gaga! menyelesaikan sengketa, atas kesepakatan bersama,

mediator semula bertindak sebagai konsiliator, dalam hal ini konsiliator

berusaha memberikan solusi yang dapat diterima, apabila berhasil dicapai

kesepakatan atas solusi yang dibuat konsiliator, maka kedudukannya

berubah menjadi arbitor, dengan demikian resolution yang dihasilkan

meningkat menjadi award yang bersifat final and binding kepada para

pihak, sehingga putusan mempunyai daya eksekutorial seperti layaknya

putusan arbitrase.

3. Tahap ketiga, jika ternyata konsiliasi juga gagal dalam menyelesaikan

persengketaan, maka proses dilanjutkan dengan arbitrase, apabila

konsiliator tidak berhasil mewujudkan penyelesaian dalam bentuk

resolution, proses konsiliasi dihentikan (the conciliation procedure shall

come to an end), berbarengan dengan itu penyelesaian dilanjutkan dengan

proses pemeriksaan arbitrase, konsiliator langsung bertindak sebagai

arbitor, dengan demikian penyelesaian sengketa menjadi putusan arbitrase

(arbital award) yang bersifat final and binding kepada para pihak.

4. Arbitrase

Menurut Rv. Arbitrase merupakan suatu bentuk peradilan yang

diselenggarakan oleh dan berdasarkan kehendak serta itikad baik dari pihak-

pihak yang berselisih agar perselisihan mereka tersebut diselesaikan oleh hakim
yang mereka tunjuk dan angkat sendiri, dengan pengertian bahwa putusan yang

diambil oleh hakim tersebut merupakan putusan yang bersifat final (putusan pada

tingkat akhir) dan dapat mengikat kedua belch pihak untuk melaksanakannya.

Berdasarkan definisi yang diberikan dalam pasal 1 angka 1 UndangUndang

Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

bahwa Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar

peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian Arbitrase yang dibuat secara

tertulis oleh para pihak yang bersangkutan.


Mengacu pada konvensi New York 1958 maupun berdasarkan ketentuan

yang terdapat dalam Uncitral Arbitration Ruler maka kita dapat mengemukakan

beberapa jenis arbitrase, yaitu:

1. Arbitrase ad hoc

Arbitrase ad hoc (arbitrase volunter) adalah arbitrase yang dibentuk

khususnya menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu. Arbitrase ini

bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu sampai sengketa itu diputuskan.

2. Arbitrase Institusional

Arbitrase Institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase yang

sifatnya permanen. Karena sering juga disebut "permanent arbitral body"

sebagaimana dalam pasal 1 ayat 2 konvensi New York 1958. Arbitrase ini

disediakan oleh organisasi tertentu dan sengaja didirikan untuk menampung

perselisihan yang timbul dari perjanjian.

Dalam konteks penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional yang

menggunakan e-commerce maka jika forum penyelesaian sengketanya disepakati

para pihak menggunakan arbitrase maka arbitrase yang dimaksud adalah arbitrase

internasional. Suatu arbitrase dianggap internasional apabila para pihak pada scat

dibuatnya perjanjian yang bersangkutan mempunyai tempat usaha mereka (place

of business) di negara-negara yang berbeda, misalnya salah satu pihak memiliki

tempat usaha di Indonesia dan pihak lain memiliki tempat usaha di Amerika, jika

terjadi sengketa atau perselisihan di antara mereka dan mereka memilih cara

penyelesaian melalui arbitrase, maka arbitrase ini tergolong arbitrase

internasional. Pasal 1 UNCITRAL Rule dinyatakan bahwa undang-undang ini


diberlakukan untuk apa yang dinamakan internasional commercial arbitration,

artinya bahwa UNCITRAL Rule hanya digunakan untuk menyelesaikan

perselisihanperselisihan commercial yang bersifat internasional, dan suatu

perselisihan akan tergolong perselisihan commercial internasional apabila

beberapa hal terpenuhi, dari ketentuan pasal 1 UNCITRAL Rule terse-but dapat

disimpulkan bahwa suatu arbitrase adalah internasional jika meliputi syarat-

syarat sebagai berikut:


1. Apabila pihak yang membuat klausul arbitrase atau perjanjian arbitrase

pada scat membuat perjanjian itu mempunyai tempattempat usaha di

negara-negara yang berbeda.

2. Jika tempat di mana akan dilakukannya arbitrase (yang ditentukan dalam

perjanjian arbitrase) terletak di luar negara tempat usaha para pihak, jadi

meskipun mereka memiliki tempat usaha yang sama dalam satu negara,

tetapi karena mereka memilih tempat penyelesaian perselisihan di negara

yang berbeda dengan tempat usaha mereka, maka arbitrase tersebut akan

tergolong arbitrase internasional..

3. Jika tempat di mana bagian yang terpenting kewajiban atau hubungan

dagang dari para pihak harus dilaksanakan atau tempat di mana objek

sengketa paling erat hubungannya memang terletak di luar negara tempat

usaha para pihak. Misalnya dua perusahaan dagang yang tempat usahanya

sama-sama di Singapura, membuat perjanjian mengenai pembangunan

konstruksi hotel di Jakarta, jika mereka membuat klausul arbitrase dalam

perjanjian mereka ini, arbitrase ini akan bersifat internasional.

4. Apabila para pihak secara tegas menyetujui bahwa objek perjanjian

arbitrase mereka ini berhubungan dengan lebih dari satu negara.

Dari apa yang diuraikan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa cara yang

menunjukkan suatu arbitrase dapat disebut internasional adalah sebagai berikut:

1. Internasional menurut badan arbitrasenya, dikatakan internasional menurut

badan arbitrasenya jika di dalam klausul arbitrase para pihak memilih badan

arbitrase internasional untuk menyelesaikan sengketa mereka, misalnya yang


menggambarkan internasionalnya arbitrase adalah para pihak memilih ICSID

sebagai arbitrase internasional yang didirikan berdasarkan Convention of the

Settlement Disputes between National of Other States, menurut konvensi ini

setiap negara peserta atau negara yang ikut serta meratifikasi dapat

menggunakan ICSID untuk menyelesaikan perselisihan oleh warga negara

atau warga negara lain, jika warga negara mereka memilih ICSID untuk

menyelesaikan perselisihannya maka arbitrase ini tergolong arbitrase

internasional.
2. Internasional menurut struktur/prosedur, umumnya arbitrase internasional

dilaksanakan di dalam suatu negara, akan tetapi adakalanya terlepas dari

sistem, struktur atau prosedur hukum negara di mana arbitrase itu akan

dilakukan, tats cara atau prosedur persidangannya dan lain-lain

dilaksanakan menurut atau sesuai dengan ketentuan yang disepakati oleh

mereka yang terlibat, jika mereka sepakat untuk menggunakan struktur

atau prosedur suatu badan arbitrase yang berada di luar negara di mana

persidangan arbitrase itu dilaksanakan, arbitrase ini tergolong arbitrase

internasional.

3. Internasional menurut subjeknya, suatu arbitrase dapat pula dikatakan

arbitrase internasional jika subjek-subjek yang terkait berbeda

kewarganegaraan atau domisili, misalnya seorang subjeknya

berkewarganegaraan Indonesia berhubungan hukum dengan pihak lain

kewarganegaraan Inggris, dalam hal ini memang terjadi hubungan hukum

perdata internasional yang akan membawa konsekuensi penyelesaian

perselisihannya melalui arbitrase, maka arbitrase seperti ini akan tergolong

arbitrase internasional.

4. Internasional menurut faktanya, suatu arbitrase dapat pula dikatakan

internasional berdasarkan hubungannya dengan lebih dari satu yurisdiksi

badan arbitrase, hal ini dapat terjadi meskipun arbitrase ini diorganisasi dan

dilaksanakan menurut hukum nasional dari suatu negara tertentu, tetapi

asalkan berhubungan dengan yurisdiksi badan arbitrase dari negara lain

(unsur asing) maka dapat tergolong arbitrase internasional.


Dalam praktek biasanya penyerahan sengketa kesuatu badan peradilan

tertentu, termasuk arbitrase termuat dalam klausul penyelesaian sengketa dalam

suatu kontrak (termasuk dalam sengketa bisnis internasional yang menggunakan

e-commerce), biasanya judul klausula tersebut ditulis secara langsung dengan

"Arbitrase" kadangkadang istilah lain yang digunakan adalah 'choice of forum'

atau 'choice of jurisdiction; pada dasarnya kedua istilah ini mengandung

pengertian yang agak berbeda, istilah choice of forum berarti pilihan cara untuk

mengadili sengketa, dalam hal ini pengadilan atau lembaga arbitrase, sedangkan

istilah choice of jurisdiction berarti pilihan tempat di mana pengadilan memiliki

kewenangan untuk menangani


sengketa, tempat yang dimaksud misalnya Inggris, Belanda, Indonesia, dan lain-

lain.

Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan

pembuatan suatu submission clause, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu

sengketa yang telah lahir, alternatif lainnya, atau melalui perbuatan suatu klausul

arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya lahir (klausul arbitrase atau

arbitration clause). Dalam hal ini balk submission clause atau arbitration clause

harus tertulis, syarat ini sangat esensial, sistem hukum nasional dan internasional

mensyaratkan hal ini sebagai suatu syarat utama untuk arbitrase, dalam hukum

nasional Indonesia syarat ini tertuang dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No.

30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam

instrumen hukum internasional termuat dalam pasal 7 ayat (2) UNCITRAL Model

Law on International Commercial Arbitration 1985, atau Pasal II Konvensi New

York 1958. Hal yang penting dalam hal ini adalah klausul arbitrase melahirkan

yurisdiksi arbitrase, artinya klausul tersebut memberi kewenangan kepada arbitor

untuk menyelesaikan sengketa, apabila pengadilan menerima suatu sengketa

yang dalam kontraknya terdapat klausul arbitrase, maka pengadilan harus

menolak untuk menangani sengketa tersebut.

Peran arbitrase ini difasilitasi oleh adanya lembaga-lembaga arbitrase

internasional terkemuka, badan-badan tersebut misalnya adalah the London

Court of International Arbitration (LCIA), the Court Arbitration of the

International Chamber of Commerce (ICC), dan the Arbitration Institute of the

Stockholm Chamber of Commerce (SCC), disamping kelembagaan ini pengaturan


arbitrase sekarang ini ditujukan pula oleh adanya suatu aturan berarbitrase yang

menjadi acuan bagi banyak negara di dunia, yaitu Model Law on International

Commercial Arbitration yang dibuat oleh the United Nations Commission on

International Trade Law (UNCITRAL).

Dilihat dari proses saat terjadinya perselisihan, maka terdapat dua macam

perjanjian arbitrase, yaitu:

1. Pada saat perselisihan sudah terjadi, maka para pihak sepakat memilih

penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Kesepakatan ini dituangkan dalam

suatu Perjanjian Arbitrase di mana perjanjian bersangkutan harus dinyatakan

dalam suatu dokumen tertulis yang ditandatangani para pihak, balk secara di

bawah tangan
atau di hadapan Notaris. Pernyataan tertulis itu harus memuat persoalan-

persoalan yang menjadi pokok perselisihan dan nama para arbiter dalam

jumlah ganjil. Adanya pelanggaran terhadap ketentuan persyaratan

perjanjian tersebut dapat mengakibatkan batalnya permufakatan tersebut.

2. Saat yang lain untuk memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase, adalah

menentukan sebelum lahirnya sengketa. Dengan lain perkataan ketentuan

arbitrase dibuat untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul di kemudian

hari (pactum de comprometendo). Misalnya "apabila dikemudian hari timbul

perselisihan yang menyangkut perjanjian ini maka perselisihan dimaksud

akan diselesaikan dengan jalan Arbitrase". Dalam klausula arbitrase ini

biasanya disebutkan jumlah para arbiter dalam satuan ganjil di samping

bahwa keputusan arbitrase merupakan keputusan terakhir yang mengikat

serta cara pengangkatan para arbiter.

Akibat perjanjian arbitrase ini adalah menghindari jalan ke Pengadilan.

Dalam hal ini Pengadilan melepaskan yurisdiksinya. Dengan kata lain perkataan

perselisihan hanya dapat diselesaikan oleh para arbiter. Untuk dapat merumuskan

suatu klausula arbitrase yang baik sudah barang tentu peranan ahli hukum atau

ahli arbitrase akan banyak membantu. Karena, di dalam merumuskan suatu

ketentuan yang terkandung dalam klausula tersebut harus sangat hati-hati agar

pihaknya atau kedua pihak sama-sama puas dan sama-sama tidak merasa

dirugikan. Khususnya di pusat-pusat arbitrase internasional terdapat bentuk-

bentuk standar klausula arbitrase yang dapat digunakan para pihak seperti antara

lain:
1. Standar klausula Arbitrase ICSID yang berbunyi:

The parties here to consent to submit to the International Centre for

Settlement of Investment Disputes any dispute in relation to or arising out of

this Agreement for settlement by arbitration pursuant to the Convention on

the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of other

States".

Ketentuan standar di atas dapat dimodifikasi dalam memenuhi keinginan

para pihak khususnya yang berhubungan dengan:

a. Pemilihan pakar (expert) pada panel arbitrator misalnya

dalam permasalahan shipping, construction, sale of goods,


dan sebagainya atau persyaratan untuk menjamin netralitas,

kewarganegaraan (bukan kewarganegaraan yang sama dengan pihak

yang bersengketa dan sebagainya);

b. Untuk membatasi atau meluaskan lingkup sengketa yang dapat dicakupnya

(scope of dispute subject arbitration);

c. Ketentuan-ketentuan khusus tentang pembayaran;

d. Memberikan kewenangan khusus bagi para arbitrator, dalam bentuk

provisional remedies, specific performance, atau right to consult witness,

e. Ketentuan-ketentuan bahasa yang dipergunakan (language of proceeding)

atau tempat penyelenggaraan arbitrase (special location);

f. Ketentuan-ketentuan tentang jangka waktu berlangsungnya arbitrase.

2. Standar klausula Arbitrase menurut UNCITRAL (United Nations

Commission on International Trade Law): 'Any dispute, controversy or

claim arising out of or relating to this contract, or the breach, termination

or invalidity thereof, shall be settled by arbitration in accordance with the

UNCITRAL Arbitration Rules at a present in force'.

2. Standar klausula Arbitrase menurut ICC (International Chamber of

Commerce):

'Any dispute arising in connection with the present contract shall be finally

settled under the Rules of Conciliation and Arbitration of the International

Chamber of Commerce by one or more arbitrators appointed in accordance

with the said Rules'.

4. Standar klausula Arbitrase menurut ketentuan nasional. Di Amerika Serikat,


AAA (American Arbitration Association) memberikan klausula standar yang

berbunyi sebagai berikut: 'Any controversy or claim arising out of or

relating to this contract, or the breach thereof, shall be settled by arbitration

in accordance with the Commercial Arbitration Rules of the A.A.A., and

judgment upon the award rendered by the Arbitrator(s) may be entered in

any court having jurisdiction thereof".

Di samping memberikan standar klausula kontrak yang bersifat umum di

atas, AAA memberikan pula standar klausula atau Rules


yang bersifat khusus bagi bidang komersial tertentu, misalnya The Construction

Industry Arbitration Rules, The Real Estate Valuation Arbitration Rules, The

Rules of the General Arbitration Council of the Textile and Apparel Industries,

The Securities Arbitration Rules, and the Accident Claims Arbitration Rules".

Di Indonesia, badan arbitrase nasional yang ada, yaitu Badan Arbitrase

Nasional Indonesia (BANI) memberikan klausula sebagai berikut: "Semua

sengketa yang timbul dari perjanjian ini akan diselesaikan dalam tingkat pertama

dan terakhir menurut peraturan prosedur BANI oleh arbitrase yang ditunjuk

menurut peraturan tersebut".

Berkaitan dengan isi klausula arbitrase, sebagaimana kita ketahui bahwa

jenis perjanjian arbitrase terdiri dari pactum de compromittendo dan akta

kompromis, perbedaan keduanya hanya terletak pada "saat" pembuatan

perjanjian. Pactum de compromittendo dibuat sebelum perselisihan terjadi, dari

segi isi perjanjian tidak ada perbedaan, sehingga dalam pembahasan mengenai isi

klausula arbitrase, dapat diuraikan secara sekaligus mencangkup pactum de

compromittendo dan akta kompromis. Yang dimaksudkan dengan isi klausula

arbitrase ini adalah hal-hal yang boleh dicantumkan dalam perjanjian arbitrase,

yakni:

1. Tidak melampaui isi perjanjian pokok

Pada prinsipnya klausula arbitrase tidak boleh melampaui isi kontrak pokok,

maksudnya isi klausula arbitrase harus mengenai masalah penyelesaian

perselisihan yang relevan dengan pokok kontrak, klausula arbitrse tidak boleh

bertentangan dengan kontrak pokok dan tidak boleh memuat masalah-masalah


penyelesaian perselisihan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan isi kontrak

pokok, misalnya jika isi kontrak berkaitan dengan jual-beli tekstil, maka tidak

boleh dicantumkan masalah-masalah penyelesaian perselisihan yang berkaitan

dengan bisnis elektronik. Asas ini sejalan dengan ketentuan pasal 615 ayat (3)

dan pasal 618 Rv yang menyatakan bahwa: yang diperkenankan dicantumkan

dalam persetujuan arbitrase hanya sepanjang kesepakatan untuk menyerahkan

penyelesaian perselisihan yang mungkin timbul atau yang telah timbul dari

perjanjian pokok, begitu pula halnya sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 4

ayat (2) BANI di mana ditegaskan bahwa BANI dapat memeriksa dan memutus

suatu sengketa yang terjadi atau yang timbul dari perjanjian pokok antara para

pihak
atas persetujuan para pihak tersebut. Dalam UNCITRAL Arbitration Rule juga

ditegaskan model klausulanya antara lain berbunyi: 'Any disputes, contraversary

or claim arising out of or relating to this contract", dari model klausula

UNCITRAL Arbitration Rule tersebut jelas terlihat bahwa isi perjanjian arbitrase

tidak boleh melampaui isi perjanjian pokok.

Penegasan prinsip yang terdapat dalam Pasal 615 ayat (3) dan Pasal 618 Rv

maupun yang diatur dalam UNCITRAL Arbitration Rule, sama dengan yang

diatur dalam Pasal I ayat (1) Konvensi New York 1958, antara lain pasal ini

menegaskan bahwa "all or any differences which have arise or which may arise

between them in respect of a defined legal relationship".

Jika klausula arbitrase tersebut menyimpang atau melampaui hal-hal

penyelesaian dari perjanjian pokok, lebih cenderung untuk menerapkannya secara

luas, sekiranya klausula arbitrase menyimpang atau melampaui, tapi sebagian

masih barada dalam ruang lingkup perjanjian pokok, klausula yang demikian

hanya batal sepanjang halhal yang menyimpang atau melampaui, namun masih

tetap sah dan mengikat sepanjang isi klausula masih relevan dengan perjanjian

pokok, karena batal sebagian isi klausula tidak dapat dijadikan dasar untuk

membatalkan seluruh isi perjanjian arbitrase.

2. Klausula boleh secara umum

Sehubungan dengan isi klausula arbitrase, para pihak dapat merumuskan

secara umum, cars perumusan secara umum berpedoman kepada ketentuan Pasal

615 ayat (3) Rv yakni para pihak dapat memperjanjikan kesepakatan mengikat

diri satu sama lain untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan yang timbul
kepada seseorang atau beberapa orang arbiter. Ketentuan ini sejalan dengan Pasal

618 Rv, berarti baik dalam pactum de compromittendo maupun akta kompromis

boleh mencantumkan klausula secara umum, begitu juga Pasal II ayat (1)

Konvensi New York 1958, memperkenalkan perumusan klausula secara umum

dalam pasal tersebut dikatakan: "the patties undertakes to submit to arbitration

all or any differences which have arisen or which may arise between them".

Isi klausula arbitrase yang bersifat umum dapat dirumuskan secara ringkas,

cukup dengan mencantumkan kalimat: "segala perseli-


sihan yang timbul antara para pihak, sepakat diselesaikan dan diputus oleh

arbitrase". Dengan kalimat demikian sudah mengikat kepada mereka untuk

menyelesaikan setiap perselisihan yang timbul melalui forum arbitrase. Model

klausula yang seperti ini disebut jugs klausula yang tidak terperinci, klausula ini

meliputi segala jenis perselisihan yang timbul dari perjanjian pokok, klausula

yang umum seperti itu dapat menimbulkan bahaya, bahayanya terletak pada

itikad buruk para pihak, apabila salah satu pihak dimotivasi oleh itikad buruk, dia

akan berupaya menafsirkan klausula ke arah yang lebih menguntungkan dirinya,

atau bisa saja dengan sengaja mengajukan penafsiran untuk mengundur-undur

waktu bagi anggota arbiter untuk mengadakan pemeriksaan atas pokok

perselisihan, misalnya, bisa saja pihak yang beritikad buruk membantah bahwa

apa yang diajukan pihak lawan belum dapat diklasifikasikan sebagai perselisihan,

misalnya kesalahan pengertian (misunderstanding) mengenai pelaksanaan dan

pemenuhan perjanjian, bisa saja ditolak sebagai bentuk perselisihan yang takluk

kepada perjanjian arbitrase. Untuk menghindari hambatan yang mungkin timbul

dari klausula yang bersifat umum maka lebih tepat jika merumuskan perjanjian

arbitrase secara rinci.

3. Klausula arbitrase secara terinci

Sebagaimana yang sudah dijelaskan, untuk menghindari berbagai hambatan

dalam pelaksanaan penerapan perjanjian arbitrase, sebaiknya klausula memuat

syarat-syarat yang dirumuskan secara rinci dalam bentuk: terinci sekali secara

menyeluruh, atau terperinci mengenai pokok-pokoknya saja (terinci seperlunya),

perjanjian arbitrase yang rinci jauh lebih menguntungkan dan memudahkan,


apabila klausula arbitrase dirumuskan secara rinci, para pihak lebih mudah

memantau dan menemukan apakah sesuatu keadaan atau tindakan yang dilaku-

kan salah satu pihak termasuk atau tidak kedalam kerangka perjanjian arbitrase,

sekaligus pula hal tersebut memberi pegangan yang lebih pasti bagi anggota

arbiter untuk menentukan kewenangan dan penyelesaian perselisihan.

Suatu perjanjian arbitrase disebut memuat klausula rinci apabila rumusannya

mencantumkan semua aspek perjanjian, rumusan yang mengandung semua aspek

perjanjian apabila klausula merinci mulai dari masalah perselisihan yang akan

timbul tentang keabsahan per-


janjian, arti perjanjian, hak-hak dan kewajiban para pihak

dalam pemenuhan perjanjian, pada satu segi memang balk dan ideal untuk

memuat klausula arbitrase secara rinci ditinjau dari semua aspek perjanjian

pokok. Cuma kita sadar sangat sulit untuk merumuskan suatu rekayasa tentang

perselisihan yang akan timbul dikemudian hari, dan dilain pihak kemampuan kita

cukup terbatas untuk menyusun suatu rincian yang limitatif atas semua aspek

yang mungkin timbul dari suatu perjanjian, bahkan klausula arbitrase yang terlalu

rinci, bisa menimbulkan bahaya kelancaran pelaksanaan perjanjian pokok,

sehingga menimbulkan sikap kaku dan terlalu hati-hati, karena takut terjebak

kepada salah satu syarat yang disebut dalam klausula.

Menurut perkiraan, klausula arbitrase yang paling berdaya guna ialah

klausula yang rincian rumusannya bersifat 'moderasi; klausula yang seperti ini,

hanya merumuskan rincian pokok-pokok saja, rincian hanya seperlunya saja

didasarkan kaitannya dengan ruang lingkup perjanjian pokok. Hal-hal pokok

yang menjadi perselisihan dalam suatu perjanjian saja yang rinci dalam klausula,

dari segi pendekatan hukum dan pengalaman praktek, pokok-pokok utama yang

sering menjadi perselisihan dalam perjanjian (agreement) dapat disebut antara

lain: Perbedaan penafsiran (dispute) mengenai pelaksanaan perjanjian

didalamnya bisa termasuk: kontroversi pendapat (controversy), kesalahan

pengertian (misunderstanding), ketidaksepakatan (disagreement), Pelanggaran

perjanjian (break of contract) kedalamnya termasuk sah atau tidaknya perjanjian

dan berlaku atau tidaknya perjanjian, Pengakhiran perjanjian (termination of

contract), Klaim (claim) mengenai ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan
melawan hukum.

Sekalipun berbagai konvensi telah mengatur secara khusus arbitrase untuk

bidang bisnis tertentu, hal ini tidak mengurangi hak para pihak untuk

menyepakati tentang rumusan rincian klausula arbitrase.

Salah satu instrumen arbitrase yang mensyaratkan sahnya suatu perjanjian

arbitrase internasional agar suatu negara mengakui perjanjian arbitrase tersebut

telah diatur secara lengkap dalam Pasal II ayat (1) Konvensi New York 1958, di

mana syarat-syarat tersebut adalah: Perjanjian tersebut harus dibuat dalam bentuk

tertulis, perjanjian tersebut mengatur sengketa-sengketa yang telah timbul atau

mungkin akan timbul di antara para pihak, sengketa-sengkata yang timbul ter-

sebut adalah sengketa yang berasal dari hubungan hukum balk yang
sifatnya kontraktual atau bukan. Sengketa-sengketa tersebut adalah masalah-

masalah yang bisa diselesaikan oleh arbitrase, para pihak dalam perjanjian

tersebut memiliki kemampuan hukum menurut hukum yang berlaku kepada

mereka, dan perjanjian arbitrase tersebut harus sah menurut hukum para pihak

dan apabila tidak ada pengaturan seperti itu maka perjanjian tersebut harus sah

menurut negara di mans suatu putusan arbitrase dibuat. Selain syarat-syarat

tersebut ada pula syarat-syarat lainnya yang sifatnya juga mengikat, misalnya

syarat tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kemampuan/kecakapan

para pihak.

Anda mungkin juga menyukai