MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PROTOKOL.
1
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Protokol adalah serangkaian aturan dalam acara kenegaraan atau acara resmi
yang meliputi aturan mengenai tata tempat, tata upacara, dan tata penghormatan
sebagai bentuk penghormatan kepada seseorang sesuai dengan jabatan
dan/atau kedudukannya dalam negara, pemerintahan, atau masyarakat.
2. Acara kenegaraan adalah acara yang bersifat kenegaraan, dilakukan oleh
lembaga negara yang diatur dan dilaksanakan secara terpusat.
3. Acara resmi adalah acara yang bersifat resmi yang diatur dan dilaksanakan oleh
pemerintah atau lembaga negara dalam melaksanakan tugas dan fungsi tertentu,
dan dihadiri oleh pejabat negara dan/atau pejabat pemerintah serta undangan
lainnya.
4. Tata tempat adalah aturan mengenai urutan tempat bagi pejabat negara dan
Tokoh masyarakat tertentu dalam acara kenegaraan atau acara resmi.
5. Tata upacara adalah aturan untuk melaksanakan upacara dalam acara
kenegaraan atau acara resmi.
6. Tata penghormatan adalah aturan untuk pemberian hormat bagi pejabat negara
dan tokoh masyarakat tertentu dalam acara kenegaraan atau acara resmi.
7. Pejabat negara adalah pimpinan dan anggota lembaga negara pemegang
kekuasaan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
8. Pejabat pemerintah adalah pejabat yang menduduki jabatan tertentu dalam
pemerintahan.
9. Tokoh masyarakat tertentu adalah seseorang yang karena kedudukan sosialnya
menerima kehormatan dari masyarakat dan/atau pemerintah.
10. Bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Bendera
Negara adalah Sang Merah Putih.
11. Lagu Kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya
disebut Lagu Kebangsaan adalah Indonesia Raya.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
Pasal 3
2
c. menciptakan hubungan baik dalam tata pergaulan antar bangsa.
Pasal 4
BAB III
PEJABAT NEGARA, PEJABAT PEMERINTAH
DAN TOKOH MASYARAKAT TERTENTU
Bagian Kesatu
Pejabat Negara
Pasal 5
Bagian Kedua
Pejabat Pemerintah
Pasal 6
Pejabat pemerintah meliputi pejabat pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten atau
kota.
Pasal 7
Pasal 8
3
c. pimpinan lembaga pemegang tugas pemerintahan provinsi; dan
d. pejabat tertentu.
(2) Pejabat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d untuk provinsi
terdiri dari:
a. pejabat pegawai negeri eselon I b atau pejabat setingkat
b. pejabat pegawai negeri eselon II a atau pejabat setingkat;
c. pimpinan badan usaha milik daerah provinsi;dan
d. pejabat pegawai negeri eselon II b atau pejabat setingkat.
Pasal 9
Pasal 10
Selain pejabat pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal
9, pejabat yang berhak mendapat protol di daerah adalah;
a. konsul atau perwakilan negara asing untuk Republik Indonesia;
b. ketua Pengadilan Tinggi atau ketua Pengadilan Negeri sesuai tingkatannya;
c. kepala Perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan di daerah;
d. panglima/komandan Tentara Nasional Indonesia di daerah sesuai
tingkatannya;
e. kepala kantor departemen di daerah, kepala kejaksaan, kepala kepolisian di
daerah sesuai tingkatannya;
f. kepala kantor perwakilan Bank Indonesia di daerah;
g. ketua Komisi Pemilu Umum di daerah sesuai tingkatannya; dan
h. pimpinan perwakilan lembaga negara yang dibentuk oleh Undang-undang
yang berkedudukan di daerah sesuai tingkatannya.
Bagian Ketiga
Tokoh Masyarakat Tertentu
Pasal 11
(1) Tokoh masyarakat tertentu terdiri dari tokoh masyarakat tertentu nasional dan
tokoh masyarakat tertentu daerah.
(2) Tokoh masyarakat tertentu nasional yaitu :
a. mantan presiden dan mantan wakil presiden Republik Indonesia;
b. perintis pergerakan kebangsaan/kemerdekaan;
c. pemilik Tanda Jasa berbentuk medali dan Tanda Kehormatan berbentuk
bintang;
d. ketua umum partai politik yang memiliki wakil-wakil di lembaga legislatif baik
pusat maupun daerah; dan
e. ketua umum organisasi keagamaan tingkat nasional.
(3)Tokoh masyarakat tertentu daerah, yaitu:
a. mantan kepala daerah dan mantan wakil kepala daerah;
4
b. pimpinan partai politik di daerah;dan
c. pemuka agama dan pemuka adat daerah.
BAB IV
TATA TEMPAT
Bagian Kesatu
Tata Tempat Kenegaraan
Pasal 12
(1). Pejabat negara, pejabat pemerintah, dan tokoh masyarakat tertentu serta
perwakilan negara asing dalam acara kenegaraan atau acara resmi mendapat
tempat sesuai dengan ketentuan tata tempat.
(2). Tata tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diadakan di Ibukota
Negara Republik Indonesia ditentukan dengan urutan sebagai berikut :
a. Presiden Republik Indonesia;
b. Wakil Presiden Republik Indonesia;
c. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat;
d. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat;
e. Ketua Dewan Perwakilan Daerah;
f. Ketua Mahkamah Agung;
g. Ketua Mahkamah Konstitusi;
h. Ketua Komisi Yudisial;
i. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan;
j. mantan presiden dan mantan wakil presiden Republik Indonesia;
k. perintis pergerakan kebangsaan/kemerdekaan;
l. duta besar asing untuk Republik Indonesia;
m. wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, wakil ketua Dewan
Perwakilan Rakyat, wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah, dan ketua muda
Mahkamah Agung;
n. menteri, Jaksa Agung, Gubernur Bank Indonesia, Panglima Tentara
Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, duta besar Luar
Biasa Berkuasa Penuh Republik Indonesia,
o. ketua umum partai politik yang memiliki wakil-wakil di lembaga legislatif baik
pusat maupun daerah;
p. anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan hakim agung pada
Mahkamah Agung, hakim Mahkamah Konstitusi, anggota Komisi Yudisial,
dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
q. ketua/pimpinan lembaga pemegang tugas pemerintahan yang dibentuk oleh
undang-undang;
r. Kepala staf angkatan Tentara Nasional Indonesia;
s. gubernur;
t. pemilik tanda jasa berbentuk medali dan tanda kehormatan berbentuk
bintang;
u. pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian, pejabat tertentu (eselon
Ia/pejabat setingkat), ketua DPRD Provinsi, dan pimpinan badan usaha
milikinegara;
v. ketua umum organisasi keagamaan tingkat nasional;
w. sekretaris daerah provinsi (eselon I b), dan pejabat setingkat;
x. bupati/walikota dan ketua DPRD kabupaten/kota; dan
y. pejabat eselon II a/setingkat.
(3) Tata tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diadakan di luar
ibukota negara Republik Indonesia diatur dengan berpedoman kepada urutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
5
Bagian Kedua
Tata Tempat Provinsi
Pasal 13
(1) Pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat tertentu dalam acara resmi provinsi
menempati tempat sesuai dengan ketentuan tata tempat.
(2) Tata tempat bagi pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat tertentu provinsi
adalah sebagai berikut :
a. gubernur;
b. wakil gubernur ;
c. ketua DPRD provinsi;
d. ketua Pengadilan Tinggi;
e. wakil ketua DPRD provinsi,
f. konsul atau perwakilan negara asing untuk Republik Indonesia;
g. kepala Perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan di daerah;
h. anggota DPRD dan hakim pengadilan tinggi;
i. mantan Gubenur dan wakil gubenur, pemuka agama dan pemuka adat
provinsi;
j. kepala kantor perwakilan Bank Indonesia di daerah;
k. ketua Komisi Pemilu Umum di daerah sesuai tingkatannya; dan
l. sekretaris Daerah Provinsi, pejabat eselon I b/setingkat, bupati/walikota, dan
ketua DPRD kabupaten/kota;
m. kepala dinas di provinsi, kepala kantor departemen di provinsi, asisten
sekretaris daerah provinsi, kepala badan provinsi, pejabat eselon II
a/setingkat, kepala kejaksaan tinggi, panglima / komandan Tentara Nasional
Indonesia di provinsi, kepala kepolisian di provinsi, dan pimpinan perwakilan
lembaga negara yang dibentuk oleh undang-undang yang berkedudukan di
provinsi.
n. wakil bupati, wakil walikota, dan wakil ketua DPRD kabupaten/kota;
o. kepala biro pemerintah daerah provinsi dan pejabat eselon II b/setingkat;dan
p. kepala bagian pemerintah daerah provinsi dan pejabat eselon III a/setingkat.
Bagian Ketiga
Tata Tempat Kabupaten/Kota
Pasal 14
(1) Pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat tertentu dalam acara resmi
kabupaten/kota menempati tempat sesuai dengan ketentuan tata tempat.
(2) Tata tempat bagi pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat tertentu tingkat
Kabupaten adalah sebagai berikut :
a. bupati/walikota;
b. wakil bupati/walikota;
c. ketua DPRD kabupaten/kota;
d. ketua pengadilan negeri;
e. wakil ketua DPRD kabupaten/kota;
f. anggota DPRD dan hakim pengadilan negeri;
g. mantan bupati dan wakil bupati, pemuka agama dan pemuka adat
kabupaten/kota;
h. sekretaris daerah kabupaten/kota, pejabat eselon II.b/setingkat;
i. kepala kantor perwakilan Bank Indonesia di daerah;
j. ketua Komisi Pemilu Umum di daerah sesuai tingkatannya;
k. sekretaris Daerah Provinsi, pejabat eselon I b/setingkat, bupati/walikota, dan
ketua DPRD kabupaten/kota;
l. kepala dinas kabupaten/kota, kepala kantor departemen kabupaten/ kota,
asisten sekretaris daerah kabupaten/kota, kepala badan kabupaten/kota,
6
pejabat eselon II a/setingkat, kepala kejaksaan negeri, panglima / komandan
Tentara Nasional Indonesia di kabupaten/kota, kepala kepolisian di daerah
kabupaten/kota dan pimpinan perwakilan lembaga negara yang dibentuk oleh
undang-undang yang berkedudukan di kabupaten/kota.
m. kepala bagian pemerintah daerah kabupaten/kota, camat, dan pejabat eselon
III.a/setingkat.
Pasal 15
Tata tempat bagi pejabat yang menjadi tuan rumah dalam pelaksanaan acara resmi
sebagai berikut:
a. apabila acara resmi tersebut dihadiri Presiden dan/atau Wakil Presiden, pejabat
tersebut mendampingi Presiden dan/atau Wakil Presiden.
b. apabila tidak dihadiri Presiden dan/atau Wakil Presiden, pejabat tersebut
mendampingi pejabat negara dan/atau pejabat pemerintah yang tertinggi
kedudukannya.
Pasal 16
(1) Istri atau suami pejabat negara atau pejabat pemerintah atau tokoh masyarakat
tertentu dalam acara kenegaraan dan/atau acara resmi dapat mendampingi
pejabat negara atau pejabat pemerintah atau tokoh masyarakat tertentu.
(2) Istri yang mendampingi suami sebagai pejabat negara atau pejabat pemerintah
atau tokoh masyarakat tertentu dalam acara kenegaraan atau acara resmi
mendapat tempat sesuai dengan urutan tata tempat suami.
(3) Apabila istri yang menjabat sebagai pejabat negara atau pejabat pemerintah,
dalam acara kenegaraan atau acara resmi, suami mendapat tempat sesuai
dengan urutan tata tempat istri.
Pasal 17
(1) Dalam hal pejabat negara berhalangan hadir pada acara kenegaraan atau acara
resmi, maka tempatnya ditempati oleh pejabat negara yang mewakilinya.
(2) Dalam hal pejabat pemerintah atau tokoh masyarakat tertentu berhalangan hadir
pada acara kenegaraan atau acara resmi, maka tempatnya tidak ditempati oleh
yang mewakili.
(3) Seorang yang mewakili sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat tempat
sesuai dengan kedudukan sosial dan kehormatan yang diterimanya atau
jabatannya.
Pasal 18
Pejabat negara dan/atau pejabat pemerintah memiliki jabatan lebih dari satu yang
tidak sama tingkatnya, maka baginya berlaku tata tempat yang urutannya lebih
dahulu.
Pasal 19
(1) Tata tempat dalam acara kenegaraan atau acara resmi yang diselenggarakan
oleh lembaga negara, diatur oleh masing-masing lembaga negara dengan
berpedoman kepada ketentuan dalam undang-undang ini.
(2) Tata tempat dalam acara resmi yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah di
pusat diatur oleh instansi masing-masing dengan berpedoman kepada ketentuan
dalam undang-undang ini.
7
BAB V
TATA UPACARA
Bagian Kesatu
Upacara Bendera
Pasal 20
Tata upacara bendera dalam penyelenggaraan acara kenegaraan dan acara resmi
meliputi:
a. tata urutan upacara bendera;
b. tata Bendera Negara dalam upacara bendera;
c. tata Lagu Kebangsaan dalam upacara bendera;dan
d. tata pakaian upacara bendera.
Pasal 21
Pasal 22
(1) Tata urutan upacara bendera dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, sekurang-kurangnya meliputi :
a. pengibaran Bendera Negara diiringi dengan Lagu Kebangsaan;
b. mengheningkan cipta;
c. detik-detik Proklamasi diiringi dengan tembakan meriam, sirine, bedug,
lonceng gereja dan lain-lain selama satu menit;
d. pembacaan Teks Proklamasi;dan
e. pembacaan doa.
(2) Upacara penurunan Bendera Negara dalam acara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), dilakukan pada waktu terbenamnya matahari dengan diiringi Lagu
Kebangsaan.
Pasal 23
Tata Bendera Negara dalam upacara bendera sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20 huruf b meliputi:
a. bendera dikibarkan sampai saat matahari terbenam;
b. tiang bendera didirikan di atas tanah di halaman depan gedung;dan
c. penghormatan pada saat pengibaran atau penurunan bendera;
Pasal 24
8
c. apabila tidak ada korps musik/genderang dan atau sangkala, maka
pengibaran/penurunan Bendera Negara diringi dengan nyanyian bersama Lagu
Kebangsaan oleh seluruh peserta upacara;dan
d. pada waktu mengiringi pengibaran/penurunan bendera tidak dibenarkan dengan
menggunakan musik dari alat rekam.
Pasal 25
(1) Tata pakaian upacara bendera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf d
dalam acara kenegaraan atau acara resmi disesuaikan menurut jenis acara
tersebut;
(2) Dalam acara kenegaraan digunakan pakaian sipil lengkap, pakaian dinas,
pakaian kebesaran atau pakaian nasional yang berlaku sesuai dengan
jabatannya atau kedudukannya dalam masyarakat;
(3) Dalam acara resmi digunakan pakaian sipil harian atau seragam resmi lainnya
yang telah ditentukan;dan
(4) Ketentuan mengenai pakaian sipil lengkap, pakaian dinas, pakaian kebesaran,
pakaian nasional, pakaian sipil harian atau seragam resmi diatur lebih lanjut
dalam peraturan pemerintah.
Pasal 26
(1) Untuk melaksanakan upacara bendera dalam acara kenegaraan atau acara
resmi diperlukan kelengkapan dan perlengkapan.
(2) Kelengkapan upacara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. inspektur upacara;
b. komandan upacara,
c. penanggung jawab upacara;
d. peserta upacara;
e. pembawa naskah;
f. pembaca naskah;dan
g. pembawa acara.
(3) Perlengkapan upacara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-
kurangnya meliputi :
a. bendera;
b. tiang bendera dengan tali;
c. mimbar upacara;
d. naskah Proklamasi;
e. naskah Pancasila;
f. naskah Pembukaan UUD 1945;dan
g. doa.
Pasal 27
Upacara bendera hanya dapat dilaksanakan untuk acara kenegaraan atau acara
resmi sebagai berikut:
a. hari ulang tahun kemerdekaan;
b. hari besar nasional tertentu;
c. hari ulang tahun lahirnya lembaga negara;dan
d. hari ulang tahun lahirya instansi pemerintah.
9
Bagian Kedua
Tata Upacara Bukan Bendera
Pasal 28
Tata upacara bukan bendera dalam penyelenggaraan acara kenegaraan dan acara
resmi meliputi:
a. tata urutan upacara bukan bendera; dan
b. tata pakaian upacara.
Pasal 29
Tata urutan acara bukan upacara bendera sebagaimana dimaksud dalam pasal 28
dalam acara kenegaraan atau resmi terdiri dari:
a. pembukaan/sambutan;
b. acara pokok;dan
c. penutup.
Pasal 30
(1) Pemakaian pakaian upacara dalam acara kenegaraan atau acara resmi
disesuaikan menurut jenis acara tersebut.
(2) Ketentuan mengenai tata pakaian dalam upacara bukan bendera menyesuaikan
menurut jenis acara sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah.
Pasal 31
Dalam acara kenegaraan atau acara resmi bukan upacara bendera, Bendera
Negara dipasang pada sebuah tiang bendera dan diletakkan di sebelah kanan
mimbar.
Pasal 32
Upacara bukan bendera dapat dilaksanakan untuk acara kenegaraan atau acara
resmi sebagai berikut:
a. pembukaan konferensi/sidang/rapat;
b. pelantikan pejabat negara dan/atau pejabat pemerintah;
c. peresmian proyek;
d. penandatanganan kerjasama internasional;dan
e. penyambutan tamu.
Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tata upacara dalam acara kenegaraan
dan resmi lainnya yang diselenggarakan oleh lembaga pemerintah baik pusat
maupun daerah diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB VI
TATA PENGHORMATAN
Pasal 34
10
d. bentuk penghormatan lainnya.
Pasal 35
Pasal 36
(1) Penghormatan kepada jenazah pejabat negara, pejabat pemerintah dan tokoh
masyarakat tertentu yang meninggal dunia, diberikan dalam bentuk pengibaran
setengah tiang Bendera Negara sebagai tanda berkabung selama waktu
tertentu.
(2) Jangka waktu pengibaran setengah tiang Bendera Negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a. selama 7 (tujuh) hari bagi Presiden dan Wakil Presiden.
b. selama 5 (lima) hari bagi ketua atau pimpinan lembaga negara.
c. selama 3 (tiga) hari bagi anggota lembaga negara, menteri negara, pejabat
yang diberi kedudukan setingkat dengan menteri negara dan Panglima
Tentara Nasional Indonesia.
(3) Dalam hal mantan presiden dan mantan wakil presiden meninggal dunia
berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a.
(4) Hari-hari selama pengibaran setengah tiang Bendera Negara tersebut
dinyatakan sebagai hari berkabung nasional dan dikibarkan di seluruh pelosok
tanah air.
Pasal 37
Pasal 38
(1) Dalam hal pejabat negara, pejabat pemerintah, dan tokoh masyarakat tertentu
pada daerah provinsi atau kabupaten/kota meninggal dunia, Bendera Negara
dikibarkan setengah tiang sebagai tanda berkabung di wilayah daerahnya
masing-masing selama paling lama 3 (tiga) hari sesuai dengan kedudukan dan
jabatannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang pejabat negara, pejabat pemerintah dan tokoh
masyarakat tertentu pada daerah provinsi atau kabupaten/kota yang mendapat
penghormatan dan lamanya pengibaran bendera diatur berdasarkan peraturan
pemerintah.
Pasal 39
Dalam hal jenazah pejabat negara, pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat
tertentu sebagaimana ditetapkan dalam peraturan pemerintah ini meninggal dunia di
luar negeri, pengibaran setengah tiang Bendera Negara dilaksanakan sejak tanggal
kedatangan jenazah tersebut di Indonesia.
Pasal 40
11
Pasal 41
Pasal 42
Pasal 43
BAB VII
ACARA KENEGARAAN DAN ACARA RESMI
Pasal 44
Pasal 45
(1) Acara kenegaraan dan acara resmi dilaksanakan dengan upacara bendera atau
bukan upacara bendera.
(2) Dalam acara kenegaraan dan acara resmi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Pasal 46
Pasal 47
12
BAB VIII
TAMU NEGARA
Pasal 48
(1) Tamu negara yang berkunjung secara resmi ke Negara Indonesia mendapat
protokol sebagai penghormatan kepada negaranya sesuai tata pergaulan
internasional.
(2) Tamu negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tamu yang
berkunjung secara resmi ke negara Indonesia yang dilakukan oleh :
a. kepala atau wakil kepala negara asing;
b. menteri / pejabat setingkat menteri;dan/atau
c. duta besar asing.
(3) Kunjungan tamu negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. kunjungan kenegaraan;
b. kunjungan resmi;
c. kunjungan kerja;atau
d. kunjungan pribadi.
Pasal 49
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 50
Pasal 51
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti
dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
13
Pasal 52
Disahkan di Jakarta
pada tanggal …
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal ...
Ttd
PATRIALIS AKBAR
14
PENJELASAN
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR. . . TAHUN. . .
TENTANG
PROTOKOL
I. UMUM
Undang-undang ini mengatur tentang tatacara penghormatan dan perlakuan
terhadap seseorang dalam suatu acara yang meliputi tata tempat, tata upacara,
dan tata penghormatan maupun pemberian penghormatan dan perlakuan sesuai
dengan kedudukan dan martabat jabatannya. Tata penghormatan ini meliputi
juga tata penghormatan terhadap bendera negara, lagu kebangsaan, pataka, dan
jenazah. Penghormatan dan perlakuan terhadap seseorang dalam keadaan
tertentu meliputi juga pemberian perlindungan, ketertiban, dan keamanan dalam
menjalankan tugas. Dengan demikian jangkauan daripada Undang-undang ini
juga bersifat pengakuan tentang status dan kedudukan protokol seseorang
sesuai dengan jabatannya dalam negara, pemerintahan, dan kedudukannya
dalam masyarakat.
Lingkup pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi pengaturan
protokol bagi pejabat negara, pejabat pemerintah, dan tokoh masyarakat
tertentu, serta kebiasaan yang berlaku dalam tata pergaulan internasional.
Pengaturan ini diperlukan karena sesuai dengan perkembangan kehidupan
ketatanegaraan dan politik bangsa, telah terjadi perubahan yang mendasar
dalam tatanan kenegaraan setelah berlakunya perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perubahan sistem
ketatanegaraan tersebut, termasuk perubahan susunan dan kedudukan lembaga
permusyawaratan, lembaga perwakilan rakyat dengan adanya lembaga-lembaga
negara yang baru, seperti Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Konstitusi, dan
komisi-komisi negara, serta berbagai lembaga yang pengaturanya dilakukan
dengan undang-undang.
Pejabat negara dalam Undang-Undang ini meliputi pimpinan dan anggota
lembaga negara yang disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Di dalamnya tidak termasuk pejabat negara yang diatur
dengan pembentukan undang-undang.
Ketentuan protokol bagi Kepala Perwakilan Negara Asing di Negara Republik
Indonesia diperlakukan berdasarkan asas resiprositas sesuai dengan kebiasaan
internasional. Hal lain yang perlu diperhatikan ialah adanya kenyataan tentang
eratnya keterkaitan antara protokol dan acara-acara yang bersangkutan, yaitu
acara kenegaraan ataupun acara resmi.Keprotokolan dalam acara kenegaraan
atau acara resmi tersebut harus tetap memperhatikan nilai sosial dan budaya
bangsa Indonesia sendiri yang berkembang, tanpa mengabaikan kebiasaan-
kebiasaan yang berlaku dalam pergaulan internasional.
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kebangsaan” adalah protokol harus
mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik
(kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan
Republik Indonesia.
15
Huruf b
Yang dimaksud dengan “ketertiban dan kepastian hukum'' adalah
protokol harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat
melalui adanya kepastian hukum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “keseimbangan, keserasian, dan keselarasan”
adalah protokol harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan
kepentingan bangsa dan negara.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “timbal balik” adalah adalah protokol diberikan
setimpal atau balas jasa terhadap protokol dari negara lain.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “ketua umum organisasi keagamaan
tingkat nasional” adalah Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia,
Ketua Presidium Konferensi Wali-wali Gereja Indonesia, Ketua
Persekutuan Gereja-gereja Indonesia, Ketua Parisada Hindu
Dharma Indonesia, Ketua Perwalian Umat Budha Indonesia,
dan Ketua Umum Organisasi Keagamaan yang diakui oleh
peraturan perundang-undangan.
16
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pemuka agama daerah” adalah Ketua
Umum Majelis Ulama Indonesia, Ketua Presidium Konferensi
Wali-wali Gereja Indonesia, Ketua Persekutuan Gereja-gereja
Indonesia, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia, Ketua
Perwalian Umat Budha Indonesia, dan Ketua Umum Organisasi
Keagamaan daerah yang diakui oleh peraturan perundang-
undangan.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
17
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
18
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kunjungan kenegaraan” adalah
merupakan kunjungan yang dilakukan oleh kepala negara (Raja,
Presiden, Sultan, Ratu, Paus, Kanselir, Yang Dipertuan Agong)
dalam suatu periode masa jabatan dan baru pertama kali
diadakan dengan tujuan memperkenalkan diri atau mengawali
suatu perjanjian kerjasama kedua negara dalam bidang tertentu.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kunjungan resmi” adalah kunjungan
yang dilakukan perdana menteri/kepala pemerintahan untuk
pertama kalinya atau kunjungan kepala negara untuk kedua
kalinya atau lebih denga tujuan menindaklanjuti atau
mengembangkan suatu perjanjian kerjasama yang disepakati
sebelumnya atau berdasarkan undangan negara yang
bersangkutan.
Huruf c
Yang dimaksud deng “kunjungan kerja” adalah kunjungan yang
kesekian kalinya oleh kepala negara/pemerintahan ke negara
yang sama atau dalam rangka menghadiri pertemuan-
pertemuan internasional, seperti KTT.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kunjungan pribadi” adalah kunjungan
yang dilakukan karena keperluan pribadi/khusus dan
semaksimal mungkin mengurangi hal-hal yang bersifat
protokoler.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
19
20