Anda di halaman 1dari 1

Can We Stopped The Sea ?

Posted: 04 Sep 2009 10:19 AM


“Lacking money and machinery but rich in manpower, Bangladesh used the brawn of 15.000 men to
close the mouth of the Feni River to control flooding and create a freshwater reservoir for irrigating
rice. Crossing the muddy river bottom at low tide, workers carry 45 kilogram (100 pound) bags to 11
stockpiles. During a frenetic seven-hour intertidal marathon, they blocked a 1,300 meter (0,8 mile)
gap, the largest dam yet built in the south Asian country.”

Ini adalah sebuah kisah nyata yang begitu spektakuler yang dilaporkan oleh Hans Van Duivenduk
pada National Geographic di bulan Juli 1987. Kisah ini akan semakin membekas dihati jika saja Anda
juga melihat foto-foto karya Pablo Batholomew yang turut merekam kejadian tersebut. Dalam foto itu
tampak ribuan lelaki besar kecil berkulit gelap berpakaian sederhana –sarung, kaos dalam, celana
pendek – memikul karung berisi pasir diatas kepala mereka.

Membendung aliran laut dan Sungai Feni, demi mencegah banjir dan menciptakan saluran irigasi
untuk sawah, itu yang mereka lakukan. Sebagian besar masyarakat Bangladesh berada digaris
kemiskinan –itu kita semua tahu- dan kini mereka punya masalah besar. Bagaimana menyelesaikan
masalah itu dengan “sesuatu” yang mereka punya. Jelas-jelas mereka tidak punya uang berlebih,
apalagi teknologi modern yang mempermudah mengundang solusi sebuah masalah, tetapi satu hal
mereka punya sumber daya manusia, yang cukup kuat untuk memanggul jutaan karung pasir dengan
berat sekitar 45 kg untuk membendung 1.300 meter gap pertemuan antara sungai dan laut. Dan
mereka berhasil.

Contoh luar biasa tentang kemauan, kesederhanaan berpikir dan kecerdikan. Teladan bagi siapa
saja, entah sebagai bangsa atau kita manusia secara pribadi, yang kerap kali menghadapi
keterbatasan yang sama. Kita –kalau mau jujur- sering kali berpikir terlalu jauh tentang penyelesaian
sebuah masalah. Pikiran melayang mencari jawaban dikaki langit, padahal pecahan-pecahan
jawaban ada di depan hidung. Mengharapkan jawaban doa yang terlalu spektakuler, padahal
sebelum meminta, Dia sudah meletakkan jawabannya dikantong baju kita. Menengadah terlalu lama,
mengharapkan apa yang sementara ini belum kita punya, dan mengabaikan apa yang sekarang ada
digenggaman. Dan ketika penyelesaian masalah itu –menurut versi kita- tak kunjung datang, mulailah
kita memakai otak jenius kita untuk berlogika ria tentang mengapa itu tidak dapat kita lakukan.
Mencari alasan yang begitu cerdas, tentang mengapa hal ini atau itu tidak dapat kita lakukan. Kurang
modal, tidak punya gelar, bukan dari keluarga kaya raya, tidak sekolah diluar negeri, ini itu anu
inu….dan lain sebagainya. Masuk akal. Selalu masuk akal.

Ujung-ujungnya, semua itu kembali kepada kita. Apakah kita sungguh-sungguh mau menaklukan
masalah kita. Hari ini, mungkin hanya ketepel, beberapa potong roti dan ikan dan tongkat kayu yang
ada dalam genggaman kita. Dunia ini mungkin berkata itu jauh dari memadai, tetapi TUHAN –yang
menyukai para pemimpi yang berani- mengatakan itu : lebih dari cukup

Anda mungkin juga menyukai