Anda di halaman 1dari 18

Pendahuluan

Pemeriksaan Investigasi atas kasus PT Bank Century Tbk (BC) dilakukan berdasarkan Undang-undang (UU) No
15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan UU No 15
Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, serta memperhatikan Surat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
No PW/5487/DPRRI/IX/2009 tanggal 1 September 2009 perihal Permintaan Audit Investigasi/Pemeriksaan
dengan Tujuan Tertentu terhadap Bank Century. Sesuai dengan surat DPR tersebut, pemeriksaan ini meliputi:

1. Dasar hukum, kriteria, dan proses pengambilan keputusan yang digunakan pemerintah dalam menetapkan
status Bank Century yang berdampak sistemik;
2. Jumlah dan penggunaan Penyertaan Modal Sementara yang telah diberikan Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS) untuk menyelamatkan Bank Century; dan
3. Status dan dasar hukum pengucuran dana setelah peraturan Pemerintahan Pengganti Undang-Undang No.4
Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) ditolak DPR.

Untuk memenuhi pemerintahan DPR tersebut di atas, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merumuskan tujuan
pemerikasaan investigasi atas kasus BC sebagai berikut (1) Menilai apakah pengawasan BC oleh Bank
Indonesia (BI) telah dilakukan sesuai dengan ketentuan; (2) Menilai apakah pemberian Fasilitas pendanaan
Jangka Pendek (FPJP) oleh BI kepada BC telah dilakukan sesuai dengan ketentuan; (3) Menilai apakah proses
pengambilan keputusan penyalamatan BC telah sesuai dengan ketentuan dan didukung dengan data yang dapat
diandalkan; (4) Menilai apakah penggunaan dana FPJP dan Penyertaan Modal Sementara (PMS) telah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku; dan (5) Menilai apakah terdapat dugaan pelanggaran ketentuan dalam
pengelolaan BC yang dapat merugikan bank.

Pemeriksaan dilakukan pada Bank Indonesia (BI), Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS), dan Bank Century (BC), serta instansi terkait lainnya. Pemeriksaan lapangan
berlangsung dari tanggal 2 September 2009 s.d. 17 November 2009.

Dalam pemeriksaan ini, BPK menggunakan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang ditetapkan
oleh BPK tahun 2007.Sesuai SPKN, BPK telah meminta tanggapan atas hasil pemeriksaan BPK kepada entitas
yang diperiksa.

Gambaran Umum
BC adalah hasil merger tiga bank yaitu Bank Pikko, Bank Danpac, dan Bank CIC pada bulan Desember tahun
2004. Berdasarkan hasil pemeriksaan BI, dalam kurun waktu tahun 2005 s.d. 2008, BC mengalami berbagai
permasalahan terutama berkaitan dengan kepemilkan surat-surat berhaga (SSB) yang berkualitas rendah,
dugaan pelanggaran Batas Maksimal Pemberitaan Kredit (BMPK) oleh pengurus bank, dan dugaan pelanggaran
Posisi Devisa Neto (PDN).

Sejak tanggal 29 Desember 2005, BC dinyatakan berada "dalam pengawasan intensif oleh BI karena
permasalahan terkait SSB dan perkreditan yang berpotensi menimbulkan kesulitan, serta membahayakan
kelangsungan usaha bank. Kemudian pada tanggal 6 November 2008, BI menetapkan BC sebagai bank "dalam
pengawasan khusus" dengan posisi rasio kewajiban penyediaan modal minimum atau Capital Adequacy Ratio
(CAR) pada saat itu 2,35%.

Untuk mengatasi kesulitan likuiditas yang dihadapinya, pada tanggal 14,17, dan 18 November 2008, BC
menerima Fasilitas Pendanaan Jngka Pendek (FPJP) dari BI dengan total sebesar Rp689 miliar.

Setelah menerima FPJP, kondisi BC terus memburuk yang ditandai dengan menurunnya CAR per 31 Oktober
2008 menjadi negatif 3,53%, sehingga dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) tanggal 20 November 2008, BI
menetapkan BC sebagai Bank Gagal yang ditengarai berdampak sistemik. Keputusan tersebut disampaikan
Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dengan Surat BI No. 10/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November
2008 tentang penetapan Status Bank Gagal PT Bank Century Tbk dan Penanganan Tindak Lanjutnya.

Selanjutnya, setelah melalui proses pembahasan, dalam Rapat KSSK tanggal 21 November 2008, dan dengan
Keputusan NO.04/KSSK.03/2008, KSSK menetapkan:

1. PT Bank Century Tbk sebagai Bank Gagal yang Berdampak Sistemik sesuai dengan Surat Gubernur BI No.
10/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008; dan
2. Penanganan bank gagal sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama kepada LPS untuk dilakukan
penanganan sesuai dengan UU 24 Tahun 2004 tentang LPS. Sesuai Pasal 21 ayat (3) UU LPS, LPA melakukan
penanganan bank gagal yang berdampak sistemik setelah Komite Koordinasi (KK) menyerahkan
penanganannya kepada LPS.

Keputusan KSSK tersebut kemudian dijadikan pertimbangan oleh KK untuk mengeluarkan Keputusan KK No
01/KK.01/2008 tanggal 21 November 2008 yang menetapkan:

1) Menyerahkan penanganan PT Bank Century Tbk yang merupakan bank gagal yang berdampak sistemik
kepada LPS; dan
2) Penanganan bank gagal sebagaimana yang dimaksud pada diktum pertama dilakukan sesuai dengan UU No
24 Tahun 2004 tentang LPS. Setelah penyerahan tersebut, dalam rangka penanganan LPS telah melakukan
tindakan penanganan BC, antara lain, mengganti direksi dan komisaris, serta mengeluarkan dana untuk
Penyertaan Modal Sementara (PMS) sebesar Rp6,76 triliun yang dikucurkan secara bertahap sejak tanggal 24
November 2008 s.d. 24 Juli 2009.

Temuan Pemeriksaan
Sebagaimana tujuan pemeriksaan yang telah diuraikan di atas, BPK mengelom-pokan temuan pemeriksaan
menjadi lima kelompok yaitu (1) proses merger dan pengawasa BC oleh BI, (2) pemberian FPJP; (3) penetapan
BC sebagai bank gagal berdampak sistemik dan penanganannya oleh LPS; (4) penggunaan dana FPJP dan
PMS; dan (5) praktik-praktik tidak sehat dan pelanggaran ketentuan dalam pengelolaan BC yang merugikan BC.

Proses Merger dan Pengawasan BC oleh BI

1. BC adalah hasil merger tiga bank yaitu Bank Pikko, Bank Danpac, dan Bank CIC Merger ketiga bank tersebut
didahului dengan adanya akuisisi Chinkara Capital Ltd (Chinkara) terhadap Bank Danpac dan Bank Pikko, serta
kepemilikan saham Bank CIC Chinkara adalah sebuah perusahaan yang berdomisili di Kepulauan Bahama.
Pemegang saham mayoritas Chinkara adalah RAR.

Persetujuan prinsip atas akuisisi diputuskan dalam RDG BI tanggal 27 November 2001. Persetujuan akuisisi
diberikan oleh BI walaupun Chinkara tidak memenuhi persyaratan administratif berupa publikasi atas akuisisi
oleh Chinkara, laporan keuangan Chinkara untuk tiga tahun terakhir, dan rekomendasi pihak berwenang di
negara asal Chinkara. RDG BI juga mensyaratkan agar ketiga bank tersebut melakukan merger, memperbaiki
kondisi bank, mencegah terulangnnya tindakan melawan hukum, serta mencapai dan mempertahankan CAR
8%.

Ijin akuisisi pada akhirnya diberikan pada tanggal 5 Juli 2002 walaupun dari hasil pemeriksaan BI terdapat
indikasi adanya perbuatan melawan melawan hukum yang melibatkan Chinkara pada Bank CIC. BI tetap
melanjutkan proses merger atas ketiga bank tersebut, walaupun berdasarkan hasil pemeriksaan BI periode
tahun 2001 s.d 2003 ditemukan adanya pelanggaran signifikan oleh ketiga bank tersebut antara lain yaitu:

a. Pada CIC terdapat transaksi SSB fiktif senilai USS25 juta yang melibatkan Chinkara, dan terdapat beberapa
SSB yang berisiko tinggi sehingga wajib membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang
berakibat CAR menjadi negatif, serta pembayaran kewajiban General Sales Management (GSM 102) dan
penarikan Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam jumlah yang mengakibatkan bank mengalami kesulitan likuiditas
serta pelanggaran PDN,

b. Pada Bank Pikko terdapat kredit kepada Texmaco yang dikategorikan macet dan selanjutnya ditukarkan
dengan Medium Term Notes (MTN) Dresdner Bank yang tidak memilki notes rating sehingga bank wajib
membentuk PPAP yang berakibat CAR menjadi negatif.

Proses akuisisi seharusnya dapat dibatalkan jika mengacu pada persyaratan dalam persetujuan akusisi tanggal
5 Juli 2002 dari BI. Persyaratan tersebut antara lain adalah apabila berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap
Bank CIC terbukti bahwa Chinkara sebagai pemegang saham bank melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
perundang-undangan atau dinyatakan "tidak lulus" dalam penilaian fit and proper test, maka BI akan
membatalkan persetujuan akuisisi pada Bank Pikko dan Bank Danpac.

Pada tanggal 6 Desember 2004, BI membenkan persetujuan merger atas ketiga bank tersebut. Pemberian
persetujuan merger tersebut dipermudah berdasarkan Catatan Direktorat Pengawasan Bank 1/DPwB1 (SAT)
kepada Deputi Gubernur/ DpG (AP) dan Deputi Gubernur Senior/DGS (AN) pada tanggal 22 Juli 2004. Bentuk
kemudahan tersebut adalah (1) SSB pada Bank CIC yang semula dinilai macet oleh BI, dinilai lancar sehingga
kewajiban pemenuhan setoran keuangan modal oleh pemegang saham pengendali (PSP) menjadi lebih kecil
dan akhirnya CAR seolah-olah memenuhi persyaratan merger dan (2) Hasil Fit and Proper Test "sementara"
atas pemegang saham (RAR) yang dinyatakan tidak lulus, ditunda penilaiannya dan tidak diproses lebih lanjut.

Pemberian kelonggaran tersebut tidak pernah dibahas dalam forum RDG akan tetapi hanya dilaporkan dalam
Catatan Direktur DPwB1 (SAT) tanggal 22 Juli 2004 tersebut di atas. Dalam proses pemberian ijin merger terjadi
manipulasi oleh Direktur DPwB1 (SAT) atas Disposisi Gubernur BI (BA) yang menyatakan seolah-olah Gubernur
BI (BA) membenkan disposisi bahwa merger ketiga bank tersebut mutlak diperlukan. Dalam keterangan dan
Surat BA kepada Pjs. Gubernur BI tanggal 2 November 2009, BA menyatakan bahwa BA tidak pernah
memberikan disposisi yang menyatakan bahwa merger mutlak diperlukan dan BA juga menyatakan bahwa telah
terjadi manipulasi oleh Direktur DPwBi (SAT) dalam Catatan yang disampaikan kepada DGS (AN) dan DpG (AP)
tersebut.

BI tidak menerapkan aturan dan persyaratan dalam pelaksanaan akuisisi dan merger sebagaimana yang
diatur dalam (1) Surat Keputusan (SK) Direksi BI No 3251 KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang
Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank Umum;(2) SK Direksi BI No.31/147/
KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif; dan 3) Peraturan BI (PBI) No.2/1
PBl/2000 tanggal 14 Januari 2000 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test)
sebagaimana terakhir diubah dengan PBI No.5/25/PBI/2003 tanggal 10 November 2003.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam proses akuisisi dan merger Bank Danpac, Bank
Pikko, dan Bank CIC menjadi Bank Century, BI bersikap tidak tegas dan tidak prudent dalam menerapkan
aturan dan persyaratan yang ditetapkannya sendiri.

2. BI tidak bertindak tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh BC selama tahun 2005 s.d.
2008.

a. Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaaan BI atas BC yang diterbitkan pada tanggal 31 Oktober 2005,
diketahui bahwa posisi CAR BC per 28 Februari 2005 (dua bulan setelah merger) adalah negatif 132.5%. Sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.3/21/PBI/2001 tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Bank Minimum Bank Umum dan PBI Np.6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut Pengawasan
dan Penetapan Status Bank sebagaimana diubah dengan PBI No.7/38/PBl/2005, seharusnya BC ditetapkan
sebagai bank "dalam pengawasan khusus" sejak Laporan Hasil Pemeriksaaan BI atas BC diterbitkan pada
tanggal 31 Oktober 2005.
Atas usul Direktur DPw81 (RS), dan disetujui oleh DpG Bidang 6 (SCF), BC hanya ditetapkan sebagai bank
"dalam pengawasan intensif". Bank yang ditempatkan "dalam pengawasan khusus" adalah bank yang
mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya sehingga BI mengharuskan bank dan PSP
untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dalam waktu enam bulan (bisa diperpanjang selama tiga bulan),
Apabila dalam periode tersebut temyata permasalahan bank tidak terselesaikan, maka BI akan menyatakan
sebagai bank gagal. Sedangkan bank "dalam pengawasan intensif" adalah bank yang mengalami kesulitan yang
dapat membahayakan kelangsungan usahanya sehingga BI mengharuskan bank dan PSP untuk menyelesaikan
permasalahan bank tanpa ada batasan waktu yang jelas.

Nilai CAR BC per 28 Februan 2005 menjadi sebesar negatif 132,5% terutama disebabkan adanya aset berupa
SSB sebesar USD203 juta yang berkualitas rendah, diantaranya sebesar USD116 juta masih dikuasai oleh
pemegang saham. BI menyetujui untuk tidak melakukan penyisihan 100% atau pengakuan kerugian (PPAP)
terhadap SSB tersebut, walaupun menurut PBI No.7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum,
seharusnya atas SSB tersebut dilakukan PPAP atau penyisihan sebesar 100%. Hal tersebut merupakan
rekayasa akuntansi yang dilakukan BC agar laporan keuangan bank tetap menunjukkan kecukupan modal dan
hal ini disetujui oleh BI sebagai pengawas bank. Bt menyetujui kondisi tersebut dengan atasan karena
pemegang saham telah berkomitmen untuk menjualkan SSB bermasalah serta membuat skema penyelesaian
melalui skema Assefs Management Agreement (AMA) dan skema Assef Sales and Purchase Agreement
(ASPAJ. Akan tetapi komitmen dan skema penyelesaian tersebut tidak pernah dilaksanakan oleh PSP.
Sementara itu, pengawas BI tidak memerintahkan manajemen BC untuk melakukan penyisihan dan tidak
mengakui adanya kerugian atas SBB tersebut.

Jika BI bertindak tegas terhadap BC terutama mengenai penerapan ketentuan mengenai penyisihan SSB, maka
nilai CAR BC menjadi negatif dan sesuai dengan ketentuan BI tentang tindak lanjut pengawasan dan penetapan
status bank, BC seharusnya ditempatkan "dalam pengawasan khusus" sejak tanggal 31 Oktober 2005.
Penempatan BC hanya "dalam pengawasan intensif" mengakibatkan tidak adanya kekuatan bagi BI untuk
memaksa pemegang saham untuk menyelesaikan permasalahan dalam jangka waktu yang jelas, serta tidak
memberikan kepastian hukum bagi BI untuk mengambil tindakan jika pemegang saham tidak dapat
menyelesaikan permasalahan tersebut.

Hal tersebut di atas melanggar ketentuan:

1) PBI No.7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang mengatur bahwa SBB yang
tidak diperdagangkan di bursa efek, tidak terdapat informasi nilai pasar secara transparan, dan tidak
memiliki peringkat investasi, maka SSB tersebut dinilai macet dan harus dibentuk Penyisihan
Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) 100%.

2) PBI No.3/21/PBI/2001 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum yang mengatur
bahwa bank yang tidak dapat memenuhi modal minimum (CAR) 8% akan ditempatkan dalam pengawasan
khusus sebagaimana yang diatur dalam ketentuan yang berlaku. PBI No.6/9/PBI/2004 tentang Tindak
Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank sebagaimana diubah dengan PBI NO.7/38/PBI/2005 yang
mengatur bahwa bank ditempatkan dalam pengawasan khusus bila memenuhi satu atau lebih kriteria
yakni CAR di bawah 8% atau rasio Giro Wajib Minimum (GWM) dalam Rupiah kurang dari rasio yang
ditetapkan untuk GWM, dengan perkembangan yang memburuk dalam waktu singkat atau berdasarkan
penilaian BI mengalami kesulitan likuiditas yang mendasar.

b. Sejak tahun 2005 s.d. 2007. Hasil Pemeriksaan BI menemukan adanya pelanggaran Batas Maksimum
Pembenan Kredit (BMPK) dalam kegiatan BC. namun BI tidak mengambil tindakan yang tegas. Pelanggaran
BPMK tersebut antara lain melalui pembelian SSB valas yang berkualitas rendah, penetapan antar bank yang
menurut Bankers Almanak Tahun 2003 tidak termasuk dalam Top 200. dan pemberian fasilitas Letter of
Credit{UC) yang hanya dijamin dengan Bankers Acceptance.

Hal tersebut melanggar ketentuan PBI No.7/3/PBI/2005 tentang BMPK Bank Umum yang menyatakan
bank yang tidak menyelesaikan pelanggaran BMPK selam dikenakan sanksi administrasi, terhadap
Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank, pemegang saham, maupun pihak terafiliasi lainnya dapat
dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dakan Pasal 49 Ayat (2) huruf b, Pasal 50, dan Pasal 50 A
Undang-Undang (UU) No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No.10
Tahun 1998.

c. Sejak tahun 2004, BC melakukan pelanggaran terhadap ketentuan PDN sehingga sesuai ketentuan, BC
seharusnya diberikan sanksi denda sebesar Rp22 miliar. Dalam pelaksanaannya, BI membenkan keringanan
denda sebesar 50% sehingga BC hanya membayar sanksi denda sebesar Rp 11 miliar.

Pemberian keringanan denda tersebut bertentangan dengan ketentuan dalam PBI No.7/37/PBI/2005
tentang PDN Bank Umum yang mengatur bahwa bank wajib memelihara PDN secara keseluruhan
setinggi-tingginya 20% dari modal dan untuk necara setinggi-tingginya 20% dari modal tengah hari kerja
dan akhir hari kerja. Terhadap bank yang tidak memenuhi ketentuan tersebut selain dikenakan sanksi
administrasi juga dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar sebesar Rp250 juta setiap hari
pelanggaran.

d. Pengawas BI juga tidak mengungkapkan berbagai pelanggaran lainnya yang dilakukan oleh pemegang
saham, pengurus bank, dan pihak-pihak terkait dengan BC yang mengakibatkan kerugian BC. seperti pembenan
kredit dan fasilitas L/C yang melanggar ketentuan dan pengeluaran biaya-biaya fiktif. Pelanggaran-pelanggaran
tersebut baru diungkapkan oleh Tim Investigasi BI pada saat BC telah ditangani oleh LPS (tahun 2008 s.d.
2009).

Hal tersebut menunjukkan bahwa BI tidak bertindak tegas dalam penerapan ketentuan BI terhadap pelanggaran-
pelanggaran yang dilakukan oleh BC. Bi membiarkan BC melakukan rekayasa akuntansi sehingga seolah-olah
BC masih memenuhi kecukupan modal (CAR) dengan cara membiarkan BC melanggar ketentuan PBI
No.7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Produktif Bank Umum. BI baru bersikap tegas menerapkan
ketentuan BI mengenai PPAP pada saat BC telah ditangani oleh LPS.

Pemberian FPJP

3. Sehubungan dengan kesulitan likuiditas yang dihadapinya, BC mengajukan permohonan repo aset kredit
kepada BI pada tanggal 30 Oktober 2008 sebesar Rp1 triliun. BI kemudian memproses permohonan tersebut
sebagai permohonan FPJP. Pada saat mengajukan permohonan FPJP, posisi CAR BC menurut perhitungan BI
adalah positif 2,35% (posisi 30 September 2008). Sementara itu, PBI No.10/26/ P8I/2008 tanggal 30 Oktober
2008 mensyaratkan bahwa untuk memperoleh FPJP, bank harus memiliki CAR minimal 8%. Dengan demikian,
BC tidak memenuhi syarat untuk memperoleh FPJP.

Pada tanggal 14 November 2008, BI mengubah PBI mengenai persyaratan pembenan FPJP dari semula CAR
minimal 8% menjadi CAR positif, padahal menurut data BI posisi CAR bank umum per 30 September 2008
berada di atas 8% yaitu berkisar antara 10,39 % s.d. 476,34% dimana satu-satunya yang CAR-nya di bawah 8%
adalah BC.

Dengan demikian, perubahan persyaratan CAR dalam PBI tersebut patut diduga dilakukan untuk
merekayasa agar BC dapat memperoleh FPJP.
Dengan perubahan ketentuan tersebut dan dengan menggunakan posisi CAR per 30 September 2008 sebesar
positif 2,35%, BI menyetujui pemberian FPJP kepada BC sebesar Rp502,07 miliar pada tanggal 14 November
2008 yang dicairkan pada hari yang sama pukul 20.43 WIB sebesar Rp356,81 miliar dan tanggal 17 November
2008 sebesar Rp145,26 miliar. Kemudian, pada tanggal 18 November 2008, BC mengajukan tambahan FPJP
sebesar Rp319,26 miliar. Permohonan tersebut disetujui sebesar Rp187,32 miliar dan kemudian dicairkan oleh
BI pada hari yang sama. Dengan demikian, total pemberian FPJP adalah sebesar Rp689 miliar. Penelitian lebih
lanjut menunjukkan bahwa posisi CAR BC pada tanggal 31 Oktober 2008 (sebelum persetujuan FPJP) sudah
negatif 3,53%.

Hal ini melanggar ketentuan PBI No.10/30/PBI/2008 yang menyatakan bahwa bank yang dapat
mengajukan FPJP adalah bank dengan CAR positif.

Selain itu, sebagian jaminan FPJP yang diperjanjikan sebesar Rp467,99 miliar ternyata tidak secure menurut
penilaian Direktorat Kredit, BPR dan UMKM (DKBU) BI, sehingga nilai jaminan hanya sebesar 83% dari plafon
FPJP.

Hal ini melanggar ketentuan PBI No 10.26/PBI/2OO8 juncto PBI No 10/30/ PBI/2008 yang menyatakan
bahwa jaminan dalam bentuk aset kredit minimal 150% dari plafon FPJP.

Penetapan BC sebagai Bank Gagal Berdampak Sistemik dan Penanganannya oleh LPS

4. Sejak tanggal 6 November 2008, BC ditetapkan sebagai bank "dalam pengawasan khusus", untuk itu BI
menempatkan pengawas bank di BC, sehingga BI mempunyai akses yang cukup untuk memperoleh data BC
yang mutakhir. Sesuai dengan ketentuan dalam FBI No.6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan
Penetapan Status Bank sebagaimana diubah dengan PBI No.7/38/PBI/2005, bank yang berstatus "dalam
pengawasan khusus" dilarang melakukan transaksi dengan pihak terkait dan atau pihak-pihak lain yang
ditetapkan BI, kecuali telah memperoleh persetujuan BI.

Sesuai dengan PBI No.6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank
sebagaimana diubah dengan PBI No.7/38/PBI/2005, pemegang saham bank yang ditetapkan sebagai bank
dalam pengawasan khusus diberikan waktu selama enam bulan (diperpanjang selama tiga bulan) untuk
menyelesaikan permasalahan bank. Apabila dalam periode tersebut permasalahan bank tidak terselesaikan
maka bank tersebut akan ditetapkan oleh BI sebagai bank gagal. Meskipun BC baru pada tanggal 6 November
2008 ditetapkan sebagai bank "dalam pengawasan khusus", namun dalam RDG BI tanggal 20 November 2008
pukul 19.44 WIB, BI menetapkan BC sebagai "Bank Gagal." Penetapan tersebut didasarkan pada pertimbangan
sebagai berikut:

a). CAR BC posisi 31 Oktober 2008 adalah negatif 3,53% dan dinilai tidak dapat ditingkatkan menjadi 8%
sehingga bank dinilai insolvent. Hal ini disebabkan sampai dengan saat ini pemegang saham tidak dapat
melaksanakan komitmennya untuk melakukan penambahan modal dan usaha untuk mengundang masuknya
investor baru tidak membawa hasil;

b). Kondisi likuiditas yakni Giro Wajib Minimum (GWM) dalam Rupiah tanggal 19 November 2008 masih positif
sebesar Rp134 miliar (1,85%), namun terdapat kewajiban Real Time Gross Settlement (RTGS) dan kliring yang
belum diselesaikan oleh BC sebesar Rp401 miliar, sehingga GWM Rupiah kurang dan 0%. Di samping itu,
kewajiban yang akan jatuh tempo pada tanggal 20 November 2008 adalah sebesar Rp458 miliar.

Selanjutnya, RDG membahas analisis dampak sistemik dan penetapan BC sebagai "Bank Gagal". Hasil analisis
BI atas dampak kegagalan BC menggunakan lima aspek yakni dampak kepada institusi keuangan, dampak
kepada pasar keuangan, dampak kepada sistem pembayaran, dampak kepada sektor riil, dan dampak kepada
psikologi pasar. Hasil analisis tersebut menunjukkan adanya ketidakpastian yang tinggi terutama terhadap
psikologi pasar/masyarakat yang selanjutnya dapat memicu ketidakpastian/gangguan di pasar keuangan dan
sistem pembayaran.

Berdasarkan analisis tersebut, RDG BI menetapkan bahwa BC adalah "Bank Gagal yang Ditengarai Berdampak
Sistemik". Keputusan RDG tersebut kemudian disampaikan kepada Menteri Keuangan selaku Ketua KSSK
dengan Surat No.10/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008 tentang Penetapan Status Bank Gagal PT
Bank Century Tbk dan Penetapan Tindak Lanjutnya.

Sebelum BI mengirimkan Surat No.10/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008, KKSK telah beberapa kali
melakukan rapat konsultasi untuk membahas kondisi BC. Rapat konsultasi tersebut dihadiri oleh unsur-unsur BI,
Departemen Keuangan, dan LPS pada tanggal 14, 17,18, dan 19 November 2008. Setelah menerima Surat
Gubernur BI No.10/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008, KSSK melakukan rapat KSSK yang diawali
dengan Rapat Konsultasi KSSK tanggal 21 November 2008 pukul 00.11 s.d. 05.00 WIB. Rapat Konsultasi
tersebut didahului dengan presentasi BI yang menguraikan BC sebagai bank gagal dan analisis dampak
sistemiknya.

Berdasarkan notulen Rapat Konsultasi KSSK tersebut, diketahui bahwa selain BI, peserta rapat lainnya (LPS,
Departemen Keuangan, dan Bank Mandiri) pada umumnya mempertanyakan dan tidak setuju dengan
argumentasi dan analisis BI yang menyatakan bahwa BC ditengarai berdampak sistemik. Menanggapi
pernyataan dari peserta rapat lainnya, BI menyatakan bahwa sulit untuk mengukur apakah dapat menimbulkan
resiko sistemik atau tidak, karena merupakan dampak berantai yang sulit diukur dari awal secara pasti. Yang
dapat diukur hanyalah perkiraan cost/ biaya yang timbul apabila dilakukan penyelamatan. Mengingat situasi yang
tidak menentu, maka lebih baik mengambil pendekatan kehati-hatian dengan melakukan penyelamatan namun
dengan meminimalisir cost. Keputusan harus diambil segera dan tidak dapat ditunda sampai Jumat sore seperti
saran LPS karena Bank Century tidak mempunyai cukup dana untuk pre-fund kliring dan memenuhi kliring
sepanjang hari itu.

Setelah Rapat Konsultasi KSSK tersebut di atas, selanjutnya diadakan Rapat Tertutup KSSK pada tanggal 21
November 2008 pukul 04.25 WIB s.d. 06.00 WIB, yang dihadiri oleh Menteri Keuangan (SMI) selaku Ketua
KSSK, Gubemusr BI (BO) selaku Anggota KSSK, dan Sekretaris KSSK (RP). Rapat tersebut memutuskan BC
sebagai Bank Gagal yang Berdampak Sistemik sesuai dengan Surat Gubernur BI No.10/232/GBI/Rahasia
tanggal 20 November 2008 dan menetapkan penanganan BC kepada LPS sesuai dengan (JU No.24 Tahun
2004 tentang LPS.

Keputusan KSSK tersebut ditindaklanjuti dengan Rapat Komite Koordinasi (KK) pada tanggal 21 November 2008
pukul 05.30 WIB s.d. selesai yang dihadiri oleh Menteri Keuangan selaku Ketua KK, Gubernur BI, dan Ketua
Dewan Komisioner (DK) LPS masing-masing sebagai anggota KK. Rapat tersebut memutuskan (1)
Menyerahkan penanganan BC yang merupakan bank gagal yang berdampak sistemik kepada LPS; (2)
Penanganan bank gagal tersebut dilakukan dengan UU No.24 Tahun 2004 tentang LPS. Keputusan Rapat KK
tersebut selanjutnya dituangkan dalam Keputusan KK No.01 /KK.01 /2008 tanggal 21 November 2008.

Penetapan BC sebagai bank gagal berdampak sistemik oleh KSSK dilakukan berdasarkan Perppu No.4 Tahun
2004 tentang JPSK dan penyerahan penanganan BC oleh KK kepada LPS dilakukan berdasarkan UU No.24
Tahun 2004 tentang LPS.

Terhadap proses penetapan BC sebagai bank gagal berdampak sistemik dapat dikemukakan beberapa hal
sebagai berikut:

a. BI tidak memberikan informasi yang sesungguhnya, lengkap dan mutakhir mengenai kondisi BC
kepada KSSK.
Surat Gubernur BI No.10/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008 tentang Penetapan Status Bank Gagal
PT Bank Century Tbk dan Penanganan Tindak Lanjutnya, antara lain menyatakan bahwa untuk menaikkan CAR
BC posisi 31 Oktober 2008 dari negatif 3,53% menjadi 8%, dibutuhkan tambahan modal sebesar Rp632 miliar,
namun jumlah tersebut akan terus bertambah seiring dengan pemburukan kondisi BC selama bulan November
2008. Selain itu, BI juga menginformasikan bahwa kebutuhan likuiditas sampai dengan tiga bulan ke depan
adalah sebesar Rp4.792 miliar.

Keputusan KSSK yang menetapkan BC sebagai bank gagal yang berdampak sistemik dilakukan pada hari
Jumat pagi tanggal 21 November 2008. Pada hari Minggu tanggal 23 November 2008, Dewan Komisioner LPS
mengadakan rapat untuk menetapkan biaya penanganan BC. Sebelum rapat dimulai dilakukan pertemuan
informal antara LPS dan pengawas bank dari BI. Dari hasil pertemuan tersebut, LPS memperoleh informasi
bahwa biaya yang diperlukan untuk setoran modal agar mencapai CAR 8% adalah sebesar Rp2,6 triliun.
Peningkatan biaya penanganan dari semula Rp632 miliar pada hari Jumat tanggal 21 November 2008 menjadi
Rp2,6 triliun (nilai ini disesuaikan oleh LPS menjadi Rp2,77 triliun) pada hari Minggu tanggal 23 November 2008
terjadi bukan karena adanya transaksi baru pada hari Sabtu dan Minggu, melainkan karena adanya perubahan
asumsi terutama mengenai penilaian SSB valas yang semula dinilai lancar, kemudian setelah bank ini ditangani
oleh LPS, BI menilai SSB tersebut sebagai aset macet sehingga harus disisihkan 100%.

Berdasarkan informasi pengawas bank dari BI tersebut, Dewan Komisioner LPS memutuskan bahwa biaya
penanganan BC dan penyetoran pendahuluan Penyertaan Modal Sementara (PMS) LPS kepada BC adalah
sebesar Rp2.776 miliar. Keputusan Dewan Komisioner (KDK) LPS tersebut dituangkan dalam KDK LPS
No.KEP-18/DK/ XI/2008 tanggal 23 November 2008.

Peningkatan biaya penanganan ini, kemudian dibahas dalam Rapat KSSK tanggal 24 November 2008. Terkait
hal ini, Menteri Keuangan selaku Ketua KSSK dalam rapat tanggal 24 November 2008 mempertanyakan
kemampuan BI untuk melakukan assessment mengenai profil pemegang saham dikaitkan dengan risiko bank,
karena apabilayudgemenf BI atas BC diragukan kredibilitasnya, maka hasil assessment atas potensi klaim
potensi risiko sistemik yang diputuskan KSSK dapat dipertanyakan kredibilitasnya, sehingga secara fundamental
akan berpengaruh terhadap penilaian kemampuan KSSK untuk melakukan assessment risiko sistemik.

Selain itu, Menteri Keuangan dan Anggota Dewan Komisioner LPS juga mempertanyakan judgement BI yang
tidak memacetkan (mengakui kerugian) atas surat berharga yang dijamin AMA sebelum digelarnya Rapat KSSK
pada tanggal 20 November 2008.

Tanggapan Gubernur BI atas hal tersebut adalah bahwa Pemerintah telah memutuskan pengambilalihan BC dan
diharapkan tidak mengambil policy lain yang dapat menjadi blunder dan berdampak lebih buruk. Dan saat
pengambilan keputusan KSSK sampai dengan ke belakang, BI sesuai dengan proporsinya akan bertanggung
jawab penuh atas segala kebijakan dalam rangka pengawasan BC.

Koreksi atas PPAP yang dilakukan BI merupakan permasalahan yang sebelumnya telah diketahui BI
berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Tahunan BI terhadap BC dari tahun 2005 s.d. Desember 2008. BI baru
menerapkan secara tegas ketentuan PPAP atas SSB dan aktiva-aktiva produktif lainnya setelah BC diambil alih
oleh LPS. Kebutuhan biaya penanganan tersebut terus meningkat seiring dengan adanya perhitungan baru yang
dilakukan BI, masing-masing tanggal 27 Januari 2009 dan 21 Juli 2009, sehingga pada akhirnya biaya
penanganan menjadi Rp6,7 triliun.

Peningkatan kebutuhan dana tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan CAR berdasarkan assessment yang
dilakukan oleh BI. Rincian assessment yang dilakukan BI adalah sebagai berikut:
No Posisi Tanggal CAR Kebutuhan
Assessment PMS
Oleh BI Kumulatif
(Rp.miliar)

1 31 Oktober 2008 20 November 2008 Negatif 3,53% 632

2 20 November 2008 23 November 2008 Negatif 35,92% 2.776

3 31 Desember 2008 27 Januari 2009 Negatif 19,21% 6.132

4 30 Juni 2009 24 Juli 2009 Positif 8% 6.762

Menurut perhitungan BPK, jika PPAP atas aktiva produktif diterapkan sesuai ketentuan, maka CAR BC per
tanggal 20 November 2008 adalah sebesar negatif 257,90%, dengan kebutuhan tambahan modal yang
diperlukan untuk mencapai CAR 8% sebesar Rp4.233.40 miliar. Dengan demikian, seharusnya BI sudah dapat
menginformasikan kepada KSSK mengenai kondisi BC tersebut pada Rapat KSSK tanggal 21 November 2008,
sehingga KSSK dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data yang lebih lengkap dan mutakhir.

BPK berkesimpulan bahwa BI tidak memberikan informasi yang sesungguhnya, lengkap, dan mutakhir
mengenai kondisi BC pada saat menyampaikan BC sebagai bank gagal yang ditengarai berdampak
sistemik kepada KSSK melalui Surat Gubernur BI No 10/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008.
Informasi yang tidak diberikan seutuhnya adalah terkait PPAP (pengakuan kerugian) atas SSB valas yang
mengakibatkan penurunan ekuitas. BI baru menerapkan secara tegas ketentuan PPAP atas aktiva-aktiva
produktif tersebut setelah BC diserahkan penanganannya kepada LPS sehingga terjadi peningkatan
biaya penanganan BC dari yang semula diperkirakan sebesar Rp632 miliar menjadi Rp6.7 triliun.

b. BI dan KSSK tidak memiliki kriteria yang terukur dalam menetapkan dampak sistemik BC.

Analisis dampak sistemik dalam penetapan BC sebagai "Bank Gagal" menggunakan kriteria yang dimuat dalam
Memorandum of Understanding (MoU) on Cooperation Between The Financial Supervisory Authorities, Central
Banks and Finance Ministries of The European Union On Cross Border Financial Stability tanggal 1 Juni 2008
(selanjutnya disebut MoU). Dalam MoU tersebut disepakati empat aspek sebagai dasar penentuan dampak
sistemik yaitu aspek institusi keuangan, pasar keuangan, sistem pembayaran, dan sektor riil, yang diukur dengan
indikator kuantitatif. Dari keempat aspek tersebut, BI hanya menggunakan indikator kuantitatif untuk aspek
institusi keuangan, sedangkan untuk aspek lainnya lebih mendasarkan pada pertimbangan kualitatif. Selain
keempat aspek tersebut, BI juga mempertimbangkan aspek lain yaitu aspek psikologi pasar. Hasil analisis
kuantitatif terhadap aspek institusi keuangan oleh BI adalah sebagai berikut:

Kriteria Pertanyaan PT Bank Century Tbk

Fungsi Apakah fungsi bank sangat Tidak.


penting dalam industri • DPK Bank / DPK Industri : 0,68%
perbankan? • Kredit Bank / Kredit Industri : 0,42%

Hubungan Apakah peranan bank dalam Dari sisi kredit, mayoritas diberikan untuk modal kerja
dengan melayani nasabah? (76,58%), serta untuk membiayai sector industri
nasabah pengolahan (21,79%), perdagangan, restoran dan hotel
(22,93%), dan jasa-jasa dunia usaha(28,47%). Namun
dilihat dari pangsa kreditnya terhadap industri (0,42%),
maka perannya relatif kecil.
Dari segi penghimpunan dana, sebagian besar dihimpun
dalam bentuk deposito 84,82%.

Size / ukuran Bagaimana ukuran (size) bank Kecil (tidak signifikan)


bank dibandingkan terhadap • Aset bank/aset industri : 0,72%
industry? • DPK bank/DPK industri : 0,68%
• Kredit bank/kredit industri : 0,42%

Substitu-lability Apakah fungsi bank dapat Ya. Terdapat banyak bank sejenis dalam industry
digantikan oleh bank lain? perbankan.

Keterkaitan Bagaimana kaitan antara bank Relatif signifikan .


dengan bank lain dalam • Transaksi antar bank aktiva/total aset : 24,28%
industri perbankan? • Transaksi antar bank pasiva/total kewajiban:
19,34%

Dari penilaian terhadap kelima aspek tersebut BI menyimpulkan bahwa dari aspek institusi keuangan dan sektor
riil menunjukkan aspek pengaruh BC adalah
low to medium impact, namun dengan mempertimbangkan aspek psikologi pasar. BI berpendapat bahwa BC
ditengarai berdampak sistemik yang dapat memicu ketidakpastian; gangguan di pasar keuangan dan sistem
pembayaran.

Hasil analisis BPK terhadap proses assesment terhadap dampak sistemik oleh BI menunjukkan bahwa;

1) Terdapat inkonsistensi dalam penerapan MoU Uni Eropa yaitu dengan penambahan satu aspek berupa aspek
psikologi pasar dalam pembuatan analisis dampak sistemik BC yang dilakukan oleh BI. Selain itu, BI juga tidak
menggunakan indikator kuantitatif dalam melakukan penilaian terhadap dampak selain dampak pada institusi
keuangan. Assessmenf pada masing-masing aspek lebih banyak didasarkan pada judgement dan mengandung
sejumlah kelemahan dalam penentuan indikatornya.

2) Proses pembuatan analisis dampak sistemik BC terkesan tergesa-gesa karena hanya dibuat dalam waktu dua
hari dengan menggunakan suatu metode yang baru pertama kali digunakan dan belum pernah diujicobakan
sebelumnya.

3) Data yang digunakan adalah data yang tidak mutakhir karena menggunakan data per 31 Oktober 2008 bukan
data yang paling dekat dengan tanggal penetapan BC sebagai Bank Gagal yang ditengarai berdampak sistemik
(tanggal 20 November 2008). Sementara, posisi CAR yang digunakan untuk menetapkan BC sebagai bank
gagal berdampak sistemik adalah posisi tanggal 31 Oktober 2008.

KSSK juga tidak mempunyai suatu kriteria yang terukur untuk menetapkan dampak sistemik BC. tetapi
penetapannya lebih didasarkan kepada judgement. Dari aspek institusi kuangan terlihat bahwa size BC tidak
signifikan dibandingkan dengan industri perbankan secara nasional, namu KSSK lebih memperhatikan
aspek psikoloc pasar yang dapat menurunkan kepercayaa masyarakat terhadap perbankan secara keseli
ruhan yang pada akhirnya dapat mempengarul stabilitas ekonomi dan keuangan, maka KSSI menetapkan
BC sebagai bank gagal yang bei dampak sistemik.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahw KSSK menetapkan BC sebagai bank gag; berdampak sistemik
serta menetapkan penan ganannya kepada LPS mengacu pada Perpp No 4 Tahun 2008. Tetapi proses
pengambila keputusan tersebut tidak dilakukan berdasai kan data kondisi bank yang lengkap dan mi
takhir, serta tidak berdasarkan kriteria yan terukur.

5. Berdasarkan Keputusan KSSK No 04 KKSK.03/2008 tanggal 21 November 2008, KSSI menetapkan BC


sebagai bank gagal berdampa sistemik dan menetapkanpenanganannya kepad LPS s esuai dengan UU No 24
Tahun 2004 tentan LPS. Mengacu kepada Keputusan KSSK tersebu KK kemudian menerbitkan Keputusan KK
No 01 KK.01/2008 tanggal 21 November 2008 yan isinya (1) Menyerahkan penanganan BC yan merupakan
bank gagal yang berdampak sistemi kepada LPS; (2) Penanganan bank gagal sebe gaimana dimaksud pada
diktum pertama dilakuka sesuai dengan UU No 24 Tahun 2004 tentan LPS. Walaupun Keputusan KK
mendasarkan pad Keputusan KSSK, namun tidak ditemukan adany penyerahandan/atau korespondensi
mengenai p nyerahan BC dari KSSK kepada KK.

UU No 24 Tahun 2004 tentang LPS telah mengatur beberapa ketentuan mengenai keberadaan dan tugas
Komite Koordinasi sebagai berikut Dalam Jutaan Rupiah:

a. Pasal 1 angka 3 "Lembaga Pengawas Perbankan yang selanjutmya disebut LPP, adalah Bank Indonesia atau
lembaga pengawasan sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang Bank
Indonesia."

b. Pasal 1 angka 9 "Komite Koordinasi adalah komite yang beranggotakan Menteri Keuangan, LPP, Bank
Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan, yang memutuskan kebijakan penyelesaian dan penanganan
suatu Bank Gagal yang ditengarai berdampak sistemik.

c. Pasal 21

1. LPS meminta pemberitahuan dari LPP mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang perbankan.

2. LPS melakukan penyelesaian Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik setelah LPP atau Komite Koordinasi
menyerahkan penyelesaiannya kepada LPS.

3. LPS melakukan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik setelah Komite Koordinasi menyerahkan
penanganannya kepada LPS.

d. Penjelasan Pasal 21 ayat (2) "Komite Koordinasi adalah komite yang akan diben tuk berdasarkan undang-
undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Dalam kenyataannya kelembagaan KK yang beranggotakan Menteri Keuangan, LPP, BI dan LPS sebagaimana
diatur dalam Pasal 21 ayat (2) UU LPS belum pernah dibentuk berdasarkan UU. Sementara Perppu No.4 tahun
2008 tentang JPSK tidak mengatur pembentukan KK namun mengatur pembentukan dan tugas KSSK. Perppu
No.4 tahun 2008 juga tidak mengatur hubungan kerja antara KK dan KSSK.

BPK berkesimpulan bahwa dari semua ketentuan yang ada, menunjukkan pada saat penyerahan BC dari
KK kepada LPS tanggal 21 November 2008, kelembagaan KK yang beranggotakan Menteri Keuangan
(sebagai Ketua), Gubernur BI (sebagai Anggota), dan Ketua Dewan Komisioner LPS (sebagai Anggota)
belum pernah dibentuk berdasarkan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 21
ayat (2) UU No.24 tahun 2004 tentang LPS, sehingga dapat mempengaruhi status hukum atas keberadaan
lembaga KK dan penanganan BC oleh LPS.

6. Berdasarkan Keputusan KK No.01/KK.01/2008 tanggal 21 November 2008, KK menyerahkan penanganan BC


yang merupakan Bank Gagal yang berdampak sistemik kepada LPS. Penanganan BC dilakukan sesuai dengan
UU No. 24 Tahun 2004 tentang LPS. Dalam melakukan penanganan terhadap BC. LPS telah melakukan
langkah-langkah sebagai berikut:

a.Mengambil alih RUPS BC dan mengganti pengurus bank (Komisaris dan Direksi BC) pada tanggal 21
November 2008.

b.Menyalurkan penyertaan modal sementara sebesar Rp6,7 triliun dengan tahapan penyaluran sebagai berikut:
Tahap Nilai Setoran PMS LPS ke BC

Tahap I Rp. 2.776.140,00 No Tanggal Nilai Keterangan

Dasar penetapan : Keputusan Dewan Komisioner (KDK)


LPS No.KEP.18/DK/XI/2008 tanggal 23 November 2008
tentang Penetapan Biaya Penanganan PT Bank Century,
Tbk.
Tujuan PMS : Untuk memenuhi KPMM/CAR 10%

Penyetoran dilakukan 6 kali 1 24-Nov-08 Rp1.000.000,00 Tunai

2 25-Nov-08 Rp. 588.314,00 Tunai

3 26-Nov-08 RP. 475.000,00 Tunai

4 27-Nov-08 Rp. 100.000,00 Tunai

5 28-Nov-08 Rp. 250.000,00 Tunai

6 1-Des-08 RP. 362.826,00 Tunai

Tahap II Rp. 2.201.000,00 Dasar Penetapan: KDK LPS No.KEP.021/DK/XII/2008


tanggal 5 Desember 2008 tentang Penetapan Tambahan
Biaya Penanganan PT Bank Century, Tbk
Tujuan PMS : Untuk memenuhi kebutuhan likuiditas dari
tanggal 9 s.d 31 Desember 2008

Penyetorandilakukan 13 kali 1 9-Des-08 RP. 250.000,00 Tunai

2 10-Des-08 RP. 200.000,00 Tunai

3 11-Des-08 Rp. 200.000,00 Tunai

4 15-Des-08 Rp. 175.000,00 Tunai

5 16-Des-08 Rp. 100.000,00 Tunai

6 17-Des-08 Rp. 100.000,00 Tunai

7 18-Des-08 Rp. 75.000,00 Tunai

8 19-Des-08 Rp. 125.000,00 Tunai

9 22-Des-08 RP. 150.000,00 Tunai

10 23-Des-08 Rp. 30.000,00 Tunai

11 23-Des-08 Rp. 445.250,40 Tunai

12 24-Des-08 Rp. 80.000,00 Tunai

13 30-Des-08 Rp. 270.749,60 Tunai

Tahap III Rp. 1.155.000,00 Dasar Penetapan : KDK LPS No.KEP.001/DK/II/2009


tanggal 3 Februari 2009 tentang Penetapan Tambahan
Kedua Biaya Penanganan PT Bank Century, Tbk.
Tujuan PMS : Untuk memenuhi KPMM/CAR 8%

Penyetoran dilakukan 3 kali 1 4-Feb-09 Rp. 820.000,00 SUN

2 24-Feb-09 Rp. 150.000,00 Tunai

3 24-Feb-09 Rp. 185.000,00 SUN


Tahap IV Rp. 630.221,00 Dasar Penetapan : KDK LPS No.KEP.019/KDK/DK/VII/2009
tanggal 21 Juli 2009 tentang Penetapan Tambahan Ketiga
Biaya Penanganan PT Bank Century, Tbk.
Tujuan PMS : Untuk memenuhi KPMM/CAR 8%

Penyetoran dilakukan 1 kali 1 24-Jul-09 Rp. 630.221,00 Tunai

Total Rp. 6.762.361,00

Atas penyaluran PMS tersebut dapat dikemukakan bahwa:

a. Keputusan KSSK tentang penetapan BC sebagai bank gagal berdampak sistemik tanpa menyebutkan biaya
penanganan yang harus dikeluarkan oleh LPS Hal tersebut karena penanganan bank gagal berdampak sistemik
dilakukan oleh LPS berdasarkan UU LPS dan peraturan pelaksanaannya. Dengan demikian, yang berwenang
melakukan perhitungan biaya penanganan bank gagal berdampak sistemik adalah LPS. Namun demikian, pada
kenyataannya LPS tidak terlebih dahulu melakukan perhitungan dan penetapan perkiraan biaya penanganan
BC. sebelum melakukan penyaluran dana PMS. Perhitungan kebutuhan dana PMS dilakukan oleh LPS secara
bertahap berdasarkan assessment dan BI dan permintaan manajemen BC. Sampai saat ini, LPS belum secara
resmi menetapkan perhitungan perkiraan biaya penanganan BC secara keseluruhan.

Hal tersebut melanggar ketentuan Peraturan LPS (PLPS) No.5/PLPS/2006 pasal 6 ayat (1) yang
menyatakan bahwa "LPS menghitung dan menetapkan perkiraan biaya penanganan bank gagal
sistemik".

b. Penyaluran PMS sebesar Rp6.762 triliun dilakukan melalui empat tahap. Tahap pertama sebesar Rp2.776
miliar, tahap kedua Rp2.201 miliar, tahap ketiga sebesar Rp1.155 miliar, dan tahap keempat sebesar Rp630
miliar. Dan keempat tahap tersebut tambahan PMS tahap kedua yang tidak dibahas dengan KK.

Hal ini bertentangan dengan Pasal 33 PLPS No.5 PLPS.2006 sebagaimana diubah dengan PLPS No.3
PLPS 2O0S yang menyatakan bahwa "selama bank gagal sistemik dalam penanganan LPS. jika
berdasarkan penilaian LPP kondisi bank menurun sehingga menyebabkan diperlukan tambahan modal
disetor untuk memenuhi tingkat kesehatan bank, maka LPS Meminta Komite Koordinasi untuk
membahas per isabhan bank serta langkah-langkah yang akan diambil untuk penanganan bank
tersebut".

PMS tahap kedua sebesar Rp2.201 miliar disalurkan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas sesuai dengan
permintaan dari manajemen BC. Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) PLPS No.5/PLPS/2006 menetapkan
bahwa "perkiraan biaya penanganan bank gagal sistemik adalah jumlah perkiraan biaya untuk menambah modal
disetor bank yang bersangkutan sampai bank tersebut memenuhi ketentuan yang berlaku mengenai tingkat
kesehatan bank". Berdasarkan ketentuan tersebut seharusnya LPS tidak dapat memenuhi permintaan
manajemen BC untuk menambah PMS dalam rangka memenuhi kebutuhan likuiditas. Untuk memenuhi
permintaan manajemen BC tersebut LPS merubah ketentuan Pasal 6 PLPS No.5/PLPS/2006 dengan PLPS
No.3/PLPS/2008 pada tanggal 5 Desember 2008. Dalam ketentuan baru tersebut. LPS menambah ketentuan
bahwa biaya penanganan bank gagal sistemik tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan KPPM atau CAR tetapi
juga untuk memenuhi kebutuhan likuiditas, sekurang-kurangnya memenuhi ketentuan tingkat kesehatan bank
yang ditetapkan oleh BI. Dengan perubahan LPS tersebut, pada tangga) yang sama yaitu 5 Desember 2008,
Dewan Komisioner LPS memutuskan untuk menambah biaya penanganan BC untuk memenuhi likuiditas
sebesar Rp2.201 miliar.

Dengan demikian patut diduga bahwa perubahan PLPS merupakan rekayasa yang dilakukan agar BC
dapat memperoleh tambahan PMS tidak hanya untuk memenuhi CAR tetapi juga untuk memenuhi
kebutuhan likuiditas.

c. Berdasarkan dokumen Notulen Rapat Panpuma DPR tanggal 18 Desember 2008. penjelasan Ketua DPR RI
Periode 2004-2009, surat Ketua DPR RI kepada Ketua BPK No.PW/5487/DPR RI/1X/2009 tanggal 1 September
2009 perihal Permintaan Audit Investigasi/Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu terhadap Bank Century, serta
berdasarkan Laporan Komisi Xl DPR RI mengenai pembahasan Laporan Kemajuan Pemeriksaan Investigasi
Kasus Bank Century dalam Rapat Panpuma DPR RI tanggal 3 September 2009, DPR menyatakan bahwa
Perppu No.4 Tahun 2008 tentang JPSK ditolak oleh DPR RI.

PMS kepada BC sebesar Rp6,762,36 miliar, dari jumlah tersebut diantaranya sebesar Rp2.886,22 miliar
disalurkan setelah tanggal 18 Desember 2008, yaitu sebagian PMS tahap kedua sebesar Rp1.101,00 miliar,
PMS tahap ketiga sebesar Rp1.155,00 miliar, dan PMS tahap keempat sebesar Rp630,22 miliar.

BPK berpendapat bahwa penyaluran dana PMS kepada BC setelah tanggal 18 Desember 2008 tidak
memiliki dasar hukum.

Penggunaan Dana FPJP dan PMS

7. Setelah ditempatkan sebagai bank dalam pengawasan khusus pada tanggal 6 November 2008 dan pada
tanggal 14 November 2008 BI memberikan FPJP sebesar Rp689 miliar kepada BC, dalam hubungan dengan
status SSU ini, BI meminta BC untuk tidak mengijinkan penarikan dana dari rekening simpanan milik pihak yang
terkait dengan bank dan atau pihak lain yang ditetapkan BI. Namun demikian. BPK menemukan adanya
penarikan dana oleh pihak terkait dalam periode BC ditempatkan dalam pengawasan khusus tanggal 6
November 2008 s.d. 11 Agustus 2009 sebesar ekuivalen Rp939.67 miliar. Dari jumlah tersebut diantaranya
sebesar Rp39i ,91 miliar ditarik oleh pihak terkait selama periode setelah BC memperoleh FPJP dari BI dan PMS
dari LPS.

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, dana PMS yang disalurkan oleh LPS kepada BC sebesar Rp6.762 miliar
pada dasarnya digunakan untuk menutupi kerugian bank agar bank dapat mencapai tingkat CAR sesuai
ketentuan BI. Setelah diterima oleh BC, dana tersebut kemudian digunakan untuk hal-hal sebagai berikut:

a. PMS dalam bentuk tunai sebesar Rp5.312 miliar, digunakan untuk (1) Mengisi kas (Rupiah dan valas) sebesar
Rp74 miliar (2) Memenuhi GWM sebesar Rp208 miliar. (3) Penempatan pada Fasilitas Bank Indonesia (FASBI)
sebesar Rp649 miliar; (4) Pelunasan FPJP Rp690 miliar (5) Pelunasan deposito jatuh tempo sebesar Rp3.276
miliar; dan (6) Pelunasan deposito bank lain sebesar Rp415 miliar.

b. PMS dalam bentuk Surat Perbendaharaan Negara (SPNVSurat Utang Negara (SUN) sebesar Rp1.450 miliar,
diantaranya sebesar Rp1 350 miliar tetap dalam bentuk SUN dan sebesar Rp100 miliar dijual dan ditempatkan
pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI).

BPK berpendapat bahwa penarikan dana oleh pihak terkait dalam periode BC ditempatkan dalam
pengawasan khusus tanggal 6 November 2008 s.d. 11 Agustus 2009 sebesar ekuivalen Rp939,67
miliarmelanggar ketentuan PBI NO.6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut pengawasan dan Penetapan Status
Bank sebagaimana diubah dengan PBI No.7/38/PBI/2005 yang menyatakan bahwa bank dilarang
melakukan transaksi dengan pihak terkait dan atau pihak-pihak lain yang ditetapkan Bank Indonesia,
kecuali telah memperoleh persetujuan Bank Indonesia.
8. Pada tanggal 14 November 2008, BS salah satu nasabah BC meminta kepada BC agar memindahkan
depositonya senilai USD96 juta dari Kantor Cabang Surabaya-Kertaiaya ke Kantor Pusat Operasional (KPO)
Senayan. Jakarta. Setelah deposan berpindah ke KPO Jakarta, DT dan RT mencairkan deposito milik BS
sebesar USD18 juta pada tanggal 15 November 2008. Pencairan deposito tersebut kemudian digunakan oleh DT
untuk menutupi kekurangan ban notes yang selama ri telah digunakan untuk keperluan pribadi DT.

Sebagai Kepala Divisi Bank Notes, selama ini DT telah menjual uang kertas asing {bank notes) ke luar negeri,
dengan jumlah melebihi dan jumlah yang tercatat, sehingga secara akumulatif terjadi selisih kurang antara
fisikbank notes dengan catatan akuntansi.

Deposito milik BS tersebut kemudian diganti oleh BC pada tanggal 29 Mei 2009 dengan dana yang berasal dan
PMS LPS dan untuk itu BC mengakui kerugian sebesar USS18 juta. Sebelumnya karena ada pengadaan dari
Pengacara BS mengenai penggelapan deposito BC, pada tanggal 7 April 2009 dan 17 April 2009 Kabareskrim
Polri menginm surat kepada manajemen BC yang menyatakan bahwa deposito milik BS tersebut tidak ada
permasalahan lagi.

Dalam wawancara, RT menyatakan bahwa tidak terjadi penggelapan deposito sebesar USS 18 juta akan tetapi
RT meminjam deposito tersebut dari BS dan untuk itu RT dan DT telah membuat surat pernyataan utang kepada
BS sebesar US$18 juta tertanggal 14 November 2008. Sementara itu. dalam pernyataannya BS mengemukakan
bahwa yang bersangkutan tidak pernah meminjamkan depositonya kepada RT dan DT.

Selain itu, atas perintah RT. BC memecah deposito milik BS sebesar US$42.80 iuta menjadi 247 Negotiable
Certificate Deposit (NCD) dengan nilai nominal masing-masmg sebesar Rp2 miliar dengan
menggunakannominee atas nama Kartu Tanda Penduduk (KTP) para pelamar karyawan BC. NCD tersebut
disampaikan kepada BS pada tanggal 16 November 2008. Pada tanggal 17 Desember 2008. BS mengembalikan
NCD kepada BC dan menyatakan tidak pernah menyetujui penempatan depositonya dalam 247 NCD. BC
kemudian merubah NCD tersebut menjadi 40 bilyet Certificate Deposit (CD) nominal US$1 iuta pada tanggal 15
Jum 2009.

Dengan demikian, BC telah mengalami kerugian karena mengganti deposito milik BS yang
dipinjamkan/digelapkan oleh RT dan DT sebesar US$18 juta dengan dana yang berasal dari PMS.
Selain itu, pemecahan deposito BS menjadi 247 NCD dilakukan untuk mengantisipasi jika BC ditutup
maka deposito BS termasuk deposito yang dijamin oleh LPS.

Praktik-praktik tidak sehat dan pelanggaran oleh pengurus bank, pemegang saham, dan pihak-pihak
terkait dengan bank yang merugikan BC.

9. Dalam rangka penanganan BC. LPS telah mengeluarkan biaya penanganan untuk PMS sebesar Rp6.762
miliar, baik untuk mencapai CAR sesuai ketentuan BI maupun untuk membantu likuiditas BC. Biaya penanganan
yang mencapai sebesar Rp6.762 miliar tersebut digunakan untuk menutupi kerugian-kerugian BC akibat adanya
praktik-praktik tidak sehat dan pelanggaran-pelanggaran ketentuan yang dilakukan oleh pengurus bank,
pemegang saham, maupun pihak-pihak terkait dengan BC. Karena BC ditetapkan sebagai bank gagal dan
penanganannya dilakukan oleh LPS. maka kerugian tersebut pada akhirnya harus ditutup melalui PMS oleh LPS
yang merupakan bagian dan keuangan negara. Dan jumlah PMS sebesar Rp6.762 miliar tersebut, diantaranya
kurang lebih sebesar Rp6.322.57 triliun digunakan untuk menutupi penurunan CAR yang diakibatkan adanya
kerugian yang terjadi karena adanya praktik-praktik tidak sehat dan pelanggaran ketentuan perbankan oleh
pengurus, pemegang saham, dan pihak-pihak terkait dengan BC.

Dan jumlah kerugian sebesar Rp6.184.74 miliar tersebut, sebesar Rp3.115,89 miliar merupakan kerugian yang
melibatkan RAR dan HAW (First Gulf Asia Holding/ FGAH) serta pihak-pihak terkait dengan RAR dan HAW dan
sebesar Rp3.068,89 miliar merupakan kerugian yang melibatkan RT dan pihak-pihak yang terkait dengan RT.
Adapun permasalahan-permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Permasalahan surat-surat berharga yang melibatkan RAR dan HAW


1) BC memiliki SSB sebesar US$112.486 juta yang terdin dan Loans Republic of Indonesia (ROD sebesar
US$42,49 juta dan US Treasury Stnps (UTS) sebesar US$7C%rta. SSB tersebut digunakan BC sebagai jaminan
untuk memperoleh fasilitas Letter of Credit (L/C) dari The Saudi National Commercial Bank (SNCB) dengan
plafon sebesar US$100 iuta. Akan tetapi, dan jumlah tersebut hanya ROI sebesar USS34.998 juta yang
digunakan untuk membayar jaminan L/C kepada SNCB. sedangkan sisanya sebesar US$7.48 juta dikonversi
menjadi UTS yang masih dikuasai oleh FGAH sampai dengan saat ini.

Adapun terhadap UTS sebesar US$70 juta, diantaranya sebesar USS12 iuta telah dijual dan diterima tunai oleh
BC pada tanggal 3 Apnl 2007 sebesar US$13 juta dikuasai oleh FGAH sampai dengan saat ini; dan sebesar
US$45 juta dijual dalam dua tahap yaitu tahap pertama untuk SSB senilai US$4 juta dan tahap kedua untuk SSB
sebesar US$41 juta, namun hasil penjualan SSB tahap kedua sebesar US$37,284 juta tersebut tidak diterima
oleh BC.

SSB sebesar US$41 juta yang telah dijual BC. dicatat pada pos "Aset Lain-lain". Sedangkan SSB sebesar
USS13 iuta dicatat pada pos "Efek-efek". Keseluruhan SSB tersebut telah dilakukan penyisihan dengan
pengakuan kerugian 100% atau sebesar US$54 juta ekuivalen Rp581.32 miliar teteh diakui sebagai kerugian.

2)Berdasarkan Perjanjian Pertukaran Aset [Asset Exchange Agreement) tanggal 4 November 2004 antara BC
dan Landesbank Baden-Wurttemberg (LBBW), BC memperoleh UTS sebesar US$115 juta dan MTN Rabobank
sebesar US$20 juta.

UTS sebesar US$115 juta beserta call money BC di SNCB sebesar US$2,906,824 dijadikan jaminan kepada
SNCB atas pembukaan L/C impor sebesar USS48.999.644 untuk menjamin fasilitas L/C kepada dua nasabah
BC yang diduga merupakan pihak-pihak terkait BC. Pada tanggal 17 November 2008, UTS sebesar US$115 juta
dijual oleh SNCB dengan harga hanya sebesar USS56.63 juta (49.24%), sehingga BC mengalami kerugian
sebesar USS58.37 juta atau ekuivalen Rp703,36 miliar.

MTN Rabobank senilai US$20 juta beserta jaminan lainnya berupa UTS US$4 juta dan Deposito Murabaha
sebesar US$3.73 juta dijaminkan BC kepada SNCB untuk memperoleh fasilitas L/C dan SNCB untuk nasabah
BC. yaitu PT Energy Quantum Eastern, sebesar USS19.99 juta yang diduga merupakan pihak terkait BC. Untuk
melunasi kewajiban L/C kepada SNCB. jaminan MTN Rabobank senilai USD20 juta dijual dengan harga
US$13,20 juta dan UTS senilai US$4 juta dijual dengan harga US$3.73 juta

Jumlah kerugian atas transaksi sebesar US$58.37 juta ekuivalen Rp636.24 miliar, UTS sebesar US$4 iuta
ekuivalen Rp43.60 miliar dan penurunan nilai MTN Rabobank sebesar US$6,80 juta ekuivalen Rp74,i2 miliar per
31 Desember 2008 atau keseluruhannya mencapai Rp753,96 miliar telah diakui sebagai kerugian BC.

3)Untuk mengatasi permasalahan SSB milik BC yang berkualitas rendah karena tidak mempunyai rating, tidak
marketable, dan bersifat private placement, pada tanggal 17 Februari 2006. BC melakukan Perjanjian AMA
dengan Telltop Holdings Limited (TTH) dimana TTH akan mengelola dan menjual SSB sebesar US$203,48 juta
paling lambat 17 Februan 2009. Dari jumlah tersebut, diantaranya sebesar US$25 juta milik FGAH digunakan
sebagai jaminan kredit debitur BC dan tidak dicatat dalam Laporan Keuangan BC.

Pelaksanaan AMA tidak berjalan efektif karena dari US$203.48 juta tersebut, hanya sebesar US$32 juta yang
dapat ditenma oleh BC. sedangkan sisanya sebesar USS171.48 juta tidak dapat dieksekusi pada awalnya oleh
BC. Dari SSB yang tersisa US$171,48 juta tersebut, di antaranya sebesar USS23 juta telah jatuh tempo dan
dibayar tunai. Pada tahun 2007, BC/nenerima pembayaran bunga dari FGAH dalam bentuk SSB sebesar US$40
juta, sheingga sisa SSB per 31 Desember 2008 sebesar US$163,48 juta.

Dalam transaksi tersebut, BC menderita kerugia sebesar USS163.48 juta ekuivalen Rp1.683.16 miliar.

b. Transaksi-transaksi pada BC yang melibatkan RT dan /atau pihak yang terkait dengannya yang
mengakibatkan kerugian BC

1) Salah satu pemegang saham BC, yaitu PT Antaboga Delta Sekuritas (PT ADS) adalah merupakan agen
penjual reksadana dari empat manajer investasi. Berdasar pemeriksaan BI pada periode tahun 2002 s.d. 2005
ditemukan adanya penyimpangan dalam operasi dari PT ADS, yaitu penjualan produk reksadana yang
berkarakteristik deposito, PT ADS bertindak selaku manajer investasi, serta PT ADS dan BC belum memperoleh
izin dari Bapepam untuk menjadi wakil agen penjual efek reksadana. Berdasarkan hasil pemeriksaan ini, BI
mengirimkan Surat No 7/112/DPmB1/)DM1 /Rahasia tanggal 20 April 2005 kepada Bapepam untuk meminta
bantuan Bapepam memeriksa investasi. Laporan hasil pemeriksaan Bapepam sesuai permintaan BI tersebut,
sampai dengan saat ini belum diterbitkan oleh Bapepam.

BI juga telah menegur BC dan BC telah mengeluarkan memo internal yang menegaskan BC tidak lagi menjadi
sub agen penjual dari PT ADS. Sejak tahun 2007 s.d. 2008, PT ADS memasarkan produk Discretionary Funds
(DF). Walaupun tidak ada perjanjian antara BC dan PT ADS. temyata produk DF tersebut dijual oleh kantor-
kantor cabang BC. BPK tidak dapat memperoleh data yang lengkap mengenai transaksi PT ADS, karena seluruh
data berkaitan dengan kegiatan PT ADS disita oleh Bareskrim POLRI. Namun berdasarkan data yang ada di BC,
diketahui bahwa terdapat hasil penarikan kredit oleh pihak-pihak terkait yang digunakan untuk membayar
nasabah PT ADS mengingat produk PT ADS dijual di seluruh cabang BC.

2) Terdapat kredit kepada sebelas debitur BC dengan nilai outstanding per 31 Desember 2008 senilai Rp592,24
miliar yang diduga diberikan kepada pihak-pihak yang terkait dengan BC dan RT. Pemberian kredit tersebut
diduga dilakukan dengan melanggar prosedur pemberian kredit di BC. Kredit tersebut saat ini berstatus macet
dan BC telah mengakui kerugian sebesar Rp453,91 miliar setelah BC diambil alih oleh LPS.

3) BC memberikan fasilitas L/C impor kepada sepuluh debitur senilai US$172,13 juta yang diduga diberikan
kepada pihak terkait dengan BC dan RT. Untuk itu, BC telah menempatkan jaminan kepada bank koresponden
berupa penempatan dana dalam bentuk call money. SSB valas, dan Callable Range Accrual Notes. Pemberian
fasilitas L/C tersebut dilakukan dengan melanggar ketentuan BC mengenai pemberian fasilitas L/C. Para debitur
BC tidak dapat melunasi tagihan L/C tersebut pada saat jatuh tempo, sehingga BC membentuk penyisihan
(mengakui kerugian) sebesar 100% atau sebesar US$172,13 juta ekuivalen Rp1.876,31 juta setelah BC diambil
alih oleh LPS.

4) Terdapat penggelapan bank notes yang dilakukan oleh DT senilai US$18 juta ekuivalen Rp196, 20 miliar
sebagaimana dijelaskan dalam butir 8 di atas.

5) BC melakukan pengeluaran biaya-biaya operasional yang diduga fiktif senilai Rp211,01 miliar dan USS3,75
juta ekuivalen Rp16,15 miliar. Dana dari hasil pengeluaran biaya fiktif tersebut digunakan untuk kepentingan
pemegang saham (RT) dan/ atau pihak-pihak yang terkait dengan BC dan RT, misalnya, untuk melunasi dana
nasabah PT ADS. salah satu pemegang saham BC.

6) Biaya-biaya pra merger dan biaya-biaya lainnya sebesar Rp325, 50 miliar yang dibebankan sebagai biaya
pada tahun 2008.

Praktik-praktik yang tidak sehat yang dilakukan oleh pemegang saham dan pihak terkait lainnya diduga
melanggar ketentuan Pasal 8 ayat (1), Pasal 49 ayat (1), Pasal 49 ayat (2), Pasal 50, dan Pasal 50 A UU No
10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan teleh merugikan BC
sekurang-kurangnya sebesar Rp6.322.57 miliar yang pada akhirnya kerugian tersebut ditutup dengan
dana PMS dari LPS.

Anda mungkin juga menyukai