Anda di halaman 1dari 6

Pemimpin negara adalah faktor penting dalam kehidupan bernegara.

Jika pemimpin
negara itu jujur, baik, cerdas dan amanah, niscaya rakyatnya akan makmur. Sebaliknya
jika pemimpinnya tidak jujur, korup, serta menzalimi rakyatnya, niscaya rakyatnya akan
sengsara.

----------

A Nizami

Pemimpin negara adalah faktor penting dalam kehidupan bernegara. Jika pemimpin
negara itu jujur, baik, cerdas dan amanah, niscaya rakyatnya akan makmur. Sebaliknya
jika pemimpinnya tidak jujur, korup, serta menzalimi rakyatnya, niscaya rakyatnya akan
sengsara.

Oleh karena itulah Islam memberikan pedoman dalam memilih pemimpin yang baik.
Dalam Al Qur’an, Allah SWT memerintahkan ummat Islam untuk memilih pemimpin
yang baik dan beriman:

“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang
pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman
penolong dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Apakah mereka mencari kekuatan
di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah. “ (An
Nisaa 4:138-139)

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimmpin (mu): sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebahagiaa yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka sebagai pemimpin,
maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada oarng-orang yang zalim " (QS. Al-Maidah: 51)

"Hai orang2 yang beriman! Janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu
menjadi pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas
keimanan. Dan siapa di antara kamu menjadikan mereka menjadi pemimpin, maka
mereka itulah orang2 yang zalim" (At Taubah:23)

"Hai orang2 yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang2 kafir menjadi wali
(teman atau pelindung)" (An Nisaa:144)

"Janganlah orang2 mukmin mengambil orang2 kafir jadi pemimpin, bukan orang
mukmin. Barang siapa berbuat demikian, bukanlah dia dari (agama) Allah sedikitpun..."
(Ali Imran:28)

Selain beriman, seorang pemimpin juga harus adil:

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “ada tujuh
golongan manusia yang kelak akan memperoleh naungan dari Allah pada hari yang tidak
ada lagi naungan kecuali naungan-Nya, (mereka itu ialah):
1. Imam/pemimpin yang adil
2. Pemuda yang terus-menerus hidup dalam beribadah kepada Allah
3. Seorang yang hatinya tertambat di masjid-masjid
4. Dua orang yang bercinta-cintaan karena Allah, berkumpul karena Allah dan berpisah
pun karena Allah
5. Seorang pria yang diajak (berbuat serong) oleh seorang wanita kaya dan cantik, lalu ia
menjawab “sesungguhnya aku takut kepada Allah”
6. Seorang yang bersedekah dengan satu sedekah dengan amat rahasia, sampai-sampai
tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya
7. Seorang yang selalu ingat kepada Allah (dzikrullâh) di waktu sendirian, hingga
melelehkan air matanya.
(HR. Bukhari dan Muslim)

“Hai orang-orang yang beriman! Tegakkanlah keadilan sebagai saksi karena Allah. Dan
janganlah rasa benci mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena itu
lebih dekat dengan taqwa…” (Q.s. Al-Maidah 5: 8)

Keadilan yang diserukan al-Qur’an pada dasarnya mencakup keadilan di bidang


ekonomi, sosial, dan terlebih lagi, dalam bidang hukum. Seorang pemimpin yang adil,
indikasinya adalah selalu menegakkan supremasi hukum; memandang dan
memperlakukan semua manusia sama di depan hukum, tanpa pandang bulu. Hal inilah
yang telah diperintahkan al-Qur’an dan dicontohkan oleh Rasulullah ketika bertekad
untuk menegakkan hukum (dalam konteks pencurian), walaupun pelakunya adalah putri
beliau sendiri, Fatimah, misalnya.

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan
keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau bapak ibu dan
kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, Allah lebih mengetahui kemaslahatan
keduanya”. (Qs. An-Nisa; 4: 135)

Dalam sebuah kesempatan, ketika seorang perempuan dari suku Makhzun dipotong
tangannya lantaran mencuri, kemudian keluarga perempuan itu meminta Usama bin Zaid
supaya memohon kepada Rasulullah untuk membebaskannya, Rasulullah pun marah.
Beliau bahkan mengingatkan bahwa, kehancuran masyarakat sebelum kita disebabkan
oleh ketidakadilan dalam supremasi hukum seperti itu.

Dari Aisyah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: adakah patut engkau memintakan
kebebasan dari satu hukuman dari beberapa hukuman (yang diwajibkan) oleh Allah?
Kemudian ia berdiri lalu berkhutbah, dan berkata: ‘Hai para manusia! Sesungguhnya
orang-orang sebelum kamu itu rusak/binasa dikarenakan apabila orang-orang yang mulia
diantara mereka mencuri, mereka bebaskan. Tetapi, apabila orang yang lemah mencuri,
mereka berikan kepadanya hukum’. (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Abu Daud,
Ahmad, Dariini, dan Ibnu Majah)

“Sesungguhnya Allah akan melindungi negara yang menegakkan keadilan walaupun ia


kafir, dan tidak akan melindungi negara yang dzalim (tiran) walaupun ia muslim”.
(Mutiara I dr Ali ibn Abi Thalib) Pilihlah pemimpin yang jujur:

Dari Ma’qil ra. Berkata: saya akan menceritakan kepada engkau hadist yang saya dengar
dari Rasulullah saw. Dan saya telah mendengar beliau bersabda: “seseorang yang telah
ditugaskan Tuhan untuk memerintah rakyat (pejabat), kalau ia tidak memimpin rakyat
dengan jujur, niscaya dia tidak akan memperoleh bau surga”. (HR. Bukhari)

Pilih pemimpin yang mau mencegah dan memberantas kemungkaran seperti korupsi,
nepotisme, manipulasi, dll:

“Barang siapa melihat kemungkaran, maka hendaknya ia merubah dengan tangannya,


jika tidak mampu, maka hendaknya merubah dengan lisannya, jika tidak mampu, maka
dengan hatinya. Dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim)

Pilih pemimpin yang bisa mempersatukan ummat, bukan yang fanatik terhadap
kelompoknya sendiri:

Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyatakan dalam Al Qur’an :


“ … Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian, orang-orang Muslim, dari dahulu … .”
(QS. Al Hajj : 78)

Dalam menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir menukil satu hadits yang berbunyi :
“Barangsiapa menyeru dengan seruan-seruan jahiliyah maka sesungguhnya dia menyeru
ke pintu jahanam.” Berkata seseorang : “Ya Rasulullah, walaupun dia puasa dan shalat?”
“Ya, walaupun dia puasa dan shalat, walaupun dia mengaku Muslim. Maka menyerulah
kalian dengan seruan yang Allah telah memberikan nama atas kalian, yaitu : Al
Muslimin, Al Mukminin, Hamba-Hamba Allah.” (HR. Ahmad jilid 4/130, 202 dan jilid
5/344)

Ada beberapa sifat baik yang harus dimiliki oleh para Nabi, yaitu: Amanah (dapat
dipercaya), Siddiq (benar), Fathonah (cerdas/bijaksana), serta tabligh (berkomunikasi dgn
baik dgn rakyatnya). Sifat di atas juga harus dimiliki oleh pemimpin yang kita pilih.

Pilih pemimpin yang amanah, sehingga dia benar-benar berusaha mensejahterakan


rakyatnya. Bukan hanya bisa menjual aset negara atau kekayaan alam Indonesia untuk
kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Pilih pemimpin yang cerdas, sehingga dia tidak bisa ditipu oleh anak buahnya atau
kelompok lain sehingga merugikan negara. Pemimpin yang cerdas punya visi dan misi
yang jelas untuk memajukan rakyatnya.

Terkadang kita begitu apatis dengan pemimpin yang korup, sehingga memilih Golput.
Sikap golput atau tidak memilih pemimpin merupakan sikap yang kurang baik. Dalam
Islam, kepemimpinan itu penting, sehingga Nabi pernah berkata, jika kalian bepergian,
pilihlah satu orang jadi pemimpin. Jika hanya berdua, maka salah satunya jadi pemimpin.
Sholat wajib pun yang paling baik adalah yang ada pemimpinnya (imam).

Memilih pemimpin dalam Islam


Mimbar Jumat
FACHRURROZY PULUNGAN

Kepemimpinan adalah pangkal utama dan pertama penyebab dari timbulnya suatu
kegiatan, proses atau kesediaan suatu kelompok orang atau masyarakat untuk melakukan
perubahan baik sikap atau prilaku maupun pandangan hidup mereka.

Kepemimpinan dalam Islam, berarti, bagaimana ajaran Islam dapat memberi sibghah
(corak) dan wijhah (arah) kepada pemimpin itu, dan dengan kepemimpinannya mampu
merubah pandangan atau sikap mental komunitas yang dipimpinnya kepada aturan yang
telah ditetapkan al Qur’an dan al Sunnah, serta terapan-terapan yang diberlakukan semasa
khulafa’ur rasyidin, dan sesudahnya.

Kepemimpinan merupakan kenyataan yang penting dalam keberlangsungan dan


kesinambungan hidup, lebih-lebih pada kehidupan manusia. Dapat dipastikan bahwa tidak
ada satupun komunitas tanpa pemimpin, meski bentuk dan mekanisme pengangkatan dan
penggantiannya sangat beragam.

Dalam terminologi al Qur’an dan al Sunnah kepemimpinan sering diungkapkan dengan


istilah-istilah : imam, malik, khalifah, amir. Dan gelarnya pun beragam serta berkembang,
terutama dalam terminologi politik, kepemimpinan diartikan juga sebagai rois, syeikh, dan
sulthon. Namun fungsi jabatannya tetap, yaitu untuk melindungi masyarakat dengan
menjaga agama dan mengatur kehidupan dunia/hirasatu al din wa siasat al dunia,
menyuruh (rakyat) untuk berbuat kebaikan dan mencegah (rakyat) dalam berbuat
kerusakan (al amru bil ma’ruf wa al nahyi ‘anil munkar).

Mengingat betapa pentingnya fungsi tersebut maka kepemimpinan harus dijaga eksistensi
(keberadaan) dan suksesi (kesinambungannya), meskipun mekanismenya bisa beragam
dan berkembang sesuai situasi dan kondisi saat itu. Di kalangan intelektual muslim ada
wacana (pemikiran) mengenai proses dan mekanisme suksesi kepemimpinan, tetapi setiap
wacana yang ada tetap mengacu kepada ketentuan syar’i. Sesuai telaah sejarah, ragam
wacana suksesi tersebut ada tiga cara yang dilakukan; pertama, melalui pemilihan
langsung. Kedua, pemilihan tidak langsung.

Ketiga, penunjukan langsung oleh pimpinan sebelumnya. Keragaman mekanisme suksesi


ini telah terjadi semenjak masa khulafa’ al rasyidin dan sampai sekarang, dan di beberapa
negara-negara Islam. Kenyataan ini menunjukkan bahwa mekanisme suksesi
kepemimpinan bukan sesuatu yang baku. Dan ketidak bakuan mekanisme itu sendiri
justru mencerminkan fleksibelitas tuntunan ajaran Islam. Karena kepemimpinan bukan
tujuan. Kepemimpinan adalah sekedar alat dan jalan untuk melindungi masyarakat agar
kehidupannya dapat mencapai maslahat (kebaikan) dan terhindar dari kemudharatan atau
dalam istilah ushul fiqihnya ‘dar al mafasid muqaddam ‘ala jalib al mashalih’.

Islam menuntun umatnya agar memilih dan mengangkat pemimpin. Tidak hanya dalam
suatu masyarakat bangsa yang luas dan menetap dalam satu wilayah. Dalam perjalanan di
tengah padang pasir sekalipun, walau hanya bertiga-pengangkatan pemimpin diperlukan.
Hal ini sesuai sabda Nabi SAW, “ Apabila kamu dalam perjalanan , walau dipadang pasir,
maka hendaklah mereka memilih salah seorang sebagai pemimpin”. H.R. Abu Daud.
Dalam hadis yang lain sebagaimana diriwayatkan al Hakim, Nabi SAW memperingatkan,
‘ Barangsiapa yang memilih seseorang, sedang ia mengetahui bahwa ada orang yang lebih
wajar dari yang dipilihnya, maka ia telah mengkhianati Allah, Rasul dan amanat kaum
muslimin ’. Rasulullah SAW juga mengisyaratkan siapa yang harus dipilih, ‘
Sebagaimana keadaan kalian, demikian pula ditetapkan pemimpin atau penguasa atas
kalian ’.

Kalimat yang singkat dari Rasulullah di atas dapat mengandung beberapa makna, 1)
seorang penguasa atau pemimpin adalah cerminan keadaan masyarakatnya. Pemimpin
atau penguasa yang baik adalah yang dapat menangkap aspirasi masyarakatnya dan
mewujudkannya. Sedang masyarakat yang baik adalah yang berusaha mengangkat
pemimpin yang dapat menyalurkan aspirasi mereka. 2) tidak tergesa-gesa menyalahkan
lebih awal pemimpin yang tidak perduli rakyat, pemimpin menyeleweng, durhaka atau
membangkang. Sebab, pada dasarnya yang salah adalah masyarakat itu sendiri. Bukankah
pemimpin atau penguasa adalah cerminan dari keadaan masyarakat nya secara umum?

Al Qur’an dan al Hadis mengingatkan umat Islam dalam memilih pemimpin atau
penguasa pada beberapa aspek normatif berikut ; 1). Pemimpin haruslah orang yang
beriman dan yang mengutamakan keberimanannya (religius), bukan pemimpin yang lebih
mencintai kekufuran (menjamurnya tempat-tempat maksiat, membiarkan korupsi
merajalela, dsb) Q. S. Attaubah.A.23, 2). yang memiliki keluasan ilmu (faktor
pendidikan) dan kuat perkasa /basthotan fi al ‘lmi wa al jism Q.S. Al Baqarah ayat 247,
serta mampu memelihara harta negara dan berilmu pengetahuan./hafidzun ‘alim,
S.Yusuf.A.55, 3). orang yang kuat dan dipercaya/al qowiyu al amin. Q.S.al Qashash ayat
26.

Kekuatan yang dimaksud, adalah kekuatan dalam berbagai bidang, tidak hanya kekuatan
fisik, tapi juga mental. Selanjutnya kepercayaan yang dimaksud, adalah integritas pribadi
yang menuntut adanya sifat amanah, sehingga tidak merasa bahwa apa yang ada dalam
genggaman tangannya merupakan milik pribadi, yang bisa dibagi-bagi kepada kerabat dan
famili, tetapi milik masyarakat yang harus dipelihara untuk kepentingan masyarakat,
sekaligus rela mengembalikannya bila diminta kembali.

Dalam sebuah hadis dari Ma’qal bin Yasar al Muzni, Rasulullah SAW bersabda, ‘tidak
ada seorang pemimpin yang mengurus urusan kaum muslimin lalu tidak sungguh-sungguh
(mengurusnya) dan tidak jujur, melainkan Allah tidak akan memasukkannya ke dalam
surga’. H.R. Muslim.
Memang tidak mudah menemukan orang yang dalam dirinya tergabung secara sempurna
ke tiga sifat di atas. Umar bin Khattab ra semasa kepemimpinannya pernah mengeluh dan
mengadu kepada Allah, ‘ Ya Allah, aku mengadu kepada Mu, kekuatan si fajir (orang
yang suka berbuat dosa) dan kelemahan orang-orang yang kupercaya’. Karena itu, harus
ada alternatif.

Tuntutan normatif terhadap setiap fenomena politik yang dijalani umat Islam sepanjang
masa, merupakan kenyataan dan keharusan dalam ajaran agama. Kepemimpinan adalah
kekuasaan, dan kekuasaan adalah alat untuk menegakkan syari’at (hukum). Akan tetapi
perkembangan akan tuntutan itu sepanjang sejarahnya mengalami pasang surut. Dan kita
terkadang dihadapkan pada satu situasi yang sulit dalam menjatuhkan pilihan. Di sini,
sekali lagi Islam datang dengan tuntunannya. Yang utama, jika kita berhadapan antara
kehendak pribadi dan kehendak Allah dan Rasul Nya, maka seperti bunyi ayat 36 surah al
Ahzab, Allah berfirman, “ Tidaklah patut/wajar bagi orang yang beriman laki-laki
maupun perempuan, apabila Allah dan Rasul Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan
ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka....”.

Jika menghadapi dua hal yang sulit, pilihlah yang termudah, selama tidak bertentangan
dengan syara’. Jika menghadapi dua hal yang keduanya buruk, pilihlah yang paling
sedikit keburukannya. Yang demikian inilah yang selalu dilakukan Rasulullah SAW.
Beliau juga mewanti-wanti umat Islam agar berhati-hati memilih pemimpin, apalagi calon
pemimpin yang pandai bicara, membuat orang ta’jub dengan retorikanya, baik dibidang
ekonomi, demokrasi, politik dll. padahal ia adalah perusaknya. Hal itu ditegaskan al
Qur’an dalam surah al Baqarah ayat 204 Disamping itu, berhati-hatilah kepada mereka
yang mengatasnamakan agama (ustadz/ustadzah, kiyai, dan yang mengaku ulama) untuk
menarik-narik anda agar memilih salah satu calon Walikota dan Wakilnya, padahal
tujuannya untuk menggelembungkan perutnya sendiri, kalaupun anda diberi, paling anda
cuma dapat recehannya. Kasihan deh lu!

Kita sudah tahu, bahwa 10 calon pimimpin kota Medan ini ada yang sudah pernah
menjadi pejabat Walikota, dan ada yang pernah menjadi wakil walikota,, karenanya anda
pasti bisa menilai.

Hanya tinggal menghitung hari untuk datang ke bilik-bilik TPS. Kitalah yang menentukan
nasib kita dan kota ini lima tahun mendatang. Betapapun, dari sekian banyak keburukan,
pilihan harus tetap dijatuhkan.

Akhirnya, dalam hal ihwal penting, Rasulullah SAW mengajarkan kita, sebelum
menjatuhkan pilihan, bermusyawarahlah dengan orang yang lebih banyak pengetahuannya
tapi tidak terikat dengan salah satu kandidat, serta melaksanakan shalat istikharah-mohon
petunjuk kepada Allah tentang pilihan terbaik, Rasulullah SAW bersabda sebagaimana
diriwayatkan imam Ahmad,: Ma khaba man istakhara wala nadima man istasyara/ Tidak
kecewa orang yang melakukan shalat istikhara, dan tidak pula menyesal orang yang
bermusyawarah.
Wallohu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai