Anda di halaman 1dari 4

Sarlito Wirawan Sarwono, Psikolog ~ Indonesian Psychologist

Optimalisasi Kecerdasan Ganda dalam Era Informasi dan Globalisasi


Last Updated Saturday, 03 November 2007

Bulan-bulan menjelang EBTANAS DAN UMPTN (sekarang namanya: SPMB/Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru)
setiap tahun, adalah musimnya orangtua mengkonsultasikan anak-anaknya untuk tes bakat. Persoalan orangtua (belum
tentu persoalan anak juga) adalah bahwa anaknya, walaupun sudah kelas 3 SMU, belum jelas mau memilih program
studi apa di perguruan tinggi. Karena takut bahwa anaknya gagal di tengah jalan, maka orangtua mengkonsultasikan
anaknya pada psikolog.

Catatan kaki

* Dibacakan pada Seminar RS Mitra Internasional, Hotel Ibis, Jalan S. parman, Jakarta, 12 Oktober 20021 Keketatan
persaingan di UI (2001) berkisar antara 1-3,5% untuk jurusan-jurusan favorit (HI, Akuntansi, Psikologi, Hukum,
Kedokteran, Kedokteran gigi) dengan nilai UMPTN antara 800-1000 dan sekitar 18-20% untuk jurusan-jurusan kurang
favorit (geografi, sastra Jawa) dengan nilai UMPTN minimum 700.

2 Mungkin karena cukup banyak anak muda di Jakarta, semasa Orde Baru, khususnya mereka yang berasal dari
kalangan elite, yang sangat mudah memperoleh pekerjaan mentereng dengan gaji tinggi (karena mendapat fasilitas dari
orangtuanya).
Perwujudan frustrasi bisa berbentuk agresivitas pada lingkungan (keluarga, atasan, system, pemerintah, bahkan
lingkungan alam), agresivitas pada diri sendiri (depresi, menyalahkan diri sendiri, perasaan berdosa, bunuh diri) atau
pelarian dari kenyataan (menganut fanatisme agama atau aliran golongan yang sempit atau narkoba).
3 Brofenbrenner, U. 1979: The Ecology of Human Development, Cambridge, MA: Harvard University Press.4 Alvin
Toffler: Future Shock5 Alvin Toffler: The Third Wave.6 Charles Jencks: What is Post-Modernism?7 Teknologi komputer
mulai berkembang pesat pada masa itu dan sekarang, dengan manggabungkannya dengan teknologi telekomunikasi,
orang sudah bisa berdagang saham dan valuta asing, atau saling tukar informasi dari tempat masing-masing yang
terpisah ribuan mil, hanya dalam hitungan detik.8 Esteva & Prakash: Grass root Post-Modernism: Remaking the Soil of
the Culture9 Pendidikan mono-nilai yang menyebabkan Siti Nurbaya terpaksa berontak ketika mau dinikahkan dengan
Datuk Meringgih (sesuai dengan nilai adat orang-orangtua), karena hatinya sendiri lebih memilih Syamsulbahri (pemuda
yang kebetulan menjadi serdadu Belanda). 10 Howard Gardner: Frame of Mind 11 Howard Gardner: Frame of Mind12
Howard Gardner: Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for the 21st century.13 Howard Gardner: Intelligence
Reframed: Multiple Intelligences for the 21st century.
Sementara itu, dari pengamatan saya di ruang praktek, dari pihak anak sendiri sering kurang nampak ada urgensi pada
permasalahan yang dihadapinya. Rata-rata anak-anak ingin lulus UMPTN untuk masuk perguruan-perguruan tinggi
favorit, tetapi tidak terbayang bagaimana betapa ketatnya persaingan yang harus dihadapi1. Kalau tidak lulus UMPTN
pilihannya adalah PTS (yang bervariasi dari yang mahal sampai relatif murah, dari yang terakrediatasi A sampai yang
belum terakreditasi) atau sekolah di luar negeri saja (buat yang orangtuanya berduit).

Tidak adanya perasaan urgensi ini lebih nyata pada tidak adanya persiapan-persiapan yang serius. Kebanyakan anak
tidak mempunyai kebiasaan belajar yang teratur, tidak mempunyai catatan pelajaran yang lengkap, tidak membuat PR,
membolos, sering mencari bocoran ulangan atau ujian atau menyontek saja untuk mendapat nilai yang bagus.

Di sisi lain, banyak siswa-siswi SMU itu yang bercita-cita menjadi MBA. Jika ditanya, maka alasannya adalah bahwa
sebagai manajer bisa jadi pimpinan, gaji besar, punya rumah bagus, nyetir mobil sendiri dan sebagainya, pokoknya
seperti eksekutif muda yang sering ditampilkan dalam aneka sinetron TV. Hampir tidak terbayangkan oleh mereka
proses panjang yang harus ditempuh seseorang dari jenjang yang paling bawah untuk sampai ke papan atas2.

Sikap jalan pintas ini, .bukan hanya menyebabkan menurunnya motivasi belajar, melainkan juga menimbulkan gaya
hidup konsumtif yang kontra produktif, yang merupakan kendala yang serius bagi para generasi muda tersebut untuk
bersaing dalam era globalisasi dan informasi yang sudah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir ini. Pada gilirannya,
bukan saja individu-individu yang bersangkutan yang bisa tersisih dari persaingan, melainkan juga seluruh bangsa ini
(jika terlalu banyak generasi muda Indonesia yang bersikap kontra produktif seperti itu).

Teori Ekologi dari Brofenbrenner

Dalam menghadapi sikap jalan pintas (banyak yang sejak SD) banyak orangtua dan guru dan pendidik yang hanya
terfokus pada sikap anak itu sendiri sebagai individu. Maka akan timbullah berbagai stigma pada anak seperti: pemalas,
tidak serius, bodoh dsb. Tindakan orangtua dan gurupun pada umumnya tidak jauh dari stigma yang diberikannya pada
anak, antara lain: memaksa, menasihati, melarang, menghukum, menyuruh anak mengikuti les tambahan dsb.

Tetapi menurut Broffenbrenner3 (dalam teori Ekologi Perkembangan Manusia), seorang individu tidak dapat dilepaskan
dari lingkungannya, sehingga perkembangan jiwanya dan seluruh sikap serta perilakunya (dari anak sampai dewasa)
harus dipahami dalam konteks lingkungan yang terdiri dari:
- Sistem Mikro, yaitu lingkungan yang paling dekat dengan pribadi individu, terdiri dari orangtua, saudara kandung,
http://sarlito.hyperphp.com Powered by Joomla! Generated: 19 August, 2010, 19:07
Sarlito Wirawan Sarwono, Psikolog ~ Indonesian Psychologist

keluarga serumah, sekolah, guru, tempat penitipan anak, teman bermain, tetangga dan orang-orang lain yang sehari-
hari dekat dan berhubungan erat dengan individu.

- Sistem Meso, yaitu interaksi antar faktor di dalam sistem Mikro, misalnya hubungan ayah-ibu, hubungan orangtua-
guru, pergaulan antar teman dsb.

- Sistem Exo, yaitu sistem yang lebih luar, tidak langsung menyangkut diri individu namun masih besar pengaruhnya
seperti keluarga besar, polisi, POMG, dokter, koran, TV dsb.

- Sistem Makro, yaitu sistem yang paling luar dan berpengaruh langsung atau tidak langsung pada individu seperti
pemerintah, agama, tradisi, hukum, undang-undang, politik dsb.

Revolusi pada sistem Makro

Perbedaan sistem Makro pada generasi yang hidup pada tahun 1920-an dengan yang hidup pada tahun 1990-an bisa
tampil nyata kalau kita mengamati lingkungan makro orang-orang dari generasi-generasi yang berbeda itu. Angkatan 20-
an ditandai dengan kehidupan yang relatif sangat stabil dan sangat sedikit perubahan. Bupati yang menjabat di suatu
daerah bisa mencapai masa jabatan 30-40 tahun. Alun-alun, pohon beringin dan kabupaten tidak berubah sejak
seseorang lahir sampai pensiun. Hiburan (di Jawa tengah misalnya) berkisar antara tembang-gamelan Jawa, keroncong,
wayang dan ketoprak, yang digemari oleh semua orang, tua dan muda, dari generasi kakek sampai cucu. Jenis
pekerjaan juga cuma itu-itu saja: petani, buruh kasar, para tukang, pegawai pemerintah, profesional (dokter, ahli hukum)
dan bangsawan (dari camat sampai bupati).

Generasi 1940-an merasakan imbas dari revolusi global: Perang Dunia II. Jepang masuk ke Indonesia, mengusir
Belanda yang lari terbirit-birit, menjanjikan kemedekaan Indonesia melalu perang Asia Timur Raya, tetapi akhirnya
merusak semua tatanan sistem makro di Indonesia. Ketika Jepang menyerah, buru-buru Indonesia menyatakan
kemerdekaan, tetapi sempat terjadi kekosongan kekuasaan untuk beberapa saat, sebelum tentara sekutu yang
diboncengi Belanda masuk ke Indonesia dan pecahlah revolusi kemerdekaan RI. Salah satu dampaknya adalah bahwa
tiba-tiba tersedia berbagai lowongan jabatan bagi orang-orang Indonesia, mulai dari jabatan pemerintah tingkat
Gubernur ke atas, sampai jabatan-jabatan administratur perkebunan atau direksi perussahaan-perusahaan negara yang
semuanya ditinggalkan oleh Belanda setelah revolusi fisik. Bahasa Belanda dan Jepang tidak dipakai lagi, digantikan
oleh bahasa Indonesia dan sistem pendidikan nasionalpun berubah. Dengan tatanan masyarakat yang baru, terbuka
peluang untuk mobilitas sosial secara vertikal untuk seluruh lapisan sosial. Bukan hanya anak bangsawan yang bisa
mencapai pendidikan tinggi dan menduduki jabatan tinggi, tetapi anak-anak dari lapisan bawah pun punya kesempatan.
Bukan hanya laki-laki, tetapi perempuan juga bisa berkarir sampai jenjang teratas. Semua itu terjadi dalam kurun waktu
yang relatif singkat, kurang dari 10 tahun (1942-1950), jauh lebih singkat dari pada era kolonial yang stabil selama 350
tahun. Bisa dibayangkan betapa generasi ini mengalami cultural shock seperti yang pernah disinyalir oleh Alfin Toffler4.

Tetapi generasi 1960-an pun tidak bebas dari cultural shock. Di satu sisi, melalui teknologi media massa yang masih
sangat sederhana saat itu, bangsa Indonesia mulai mengenal budaya Amerika mulai dari lagu-lagu rock and roll sampai
ideologi demokrasi liberal. Di sisi lain komunisme pun makin kuat, yang mencerminkan adu kekuatan global di antara
super powers (Blok Barat dan Blok Timur) pada masa itu. Maka pecahlah revolusi lagi di Indonesia, yaitu pemberontakan
G-30-S pada tahun 1965.

Tatanan masyarakat kembali menghadapi kemungkinan perubahan besar-besaran (antara lain kekuatan politik golongan
Islam mulai mencuat setelah tertekan selama bertahun-tahun), namun pemerintah Orde Baru segera mengambil
prakarsa untuk mengendalikan jalannya kehidupan bangsa melalui suatu proses pembangunan yang terprogram dan
seragam di seluruh tanah air. Maka lahirlah generasi yang serba seragam, sesuai aturan: OSIS, KNPI, Darma Wanita,
Karang Taruna, GBHN, Trilogi pembangunan, pemilu, SD Inpress, Daftar Isian Proyek dsb. Semuanya tersentralisasi ke
Jakarta, sehingga peredaran uang pun 70% terjadi di Jakarta.

Nampaknya selama 32 tahun bangsa Indonesia berhasil maju pesat di bawah suatu sistem yang sangat tersentralisasi
dan terkendali. Akan tetapi stabilitas yang terjadi hanya semu, karena di dunia luar justru sedang terjadi revolusi besar-
besaran yang oleh Toffler dinamakan the Third Wave5, yaitu revolusi informasi melalui teknologi media massa,
telekomunikasi dan komputer (televisi, satelit, video, fax, mobile phone, internet,. dsb). Pada era informasi ini, semua
informasi bisa masuk sampai ke kamar-kamar tidur melalui teknologi media massa itu. Tidak ada lagi yang rahasia,
sehingga pemerintah pun kehilangan power-nya untuk tetap mempertahankan kekuasaan (sesuai dengan pepapatah
bahwa siapa yang mempunyai informasi, maka dialah yang akan memimpin). Akhirnya stabilitas semu ini tidak bisa
bertahan lebih jauh dan jebol pada era kirisis moneter pada pertengahan tahun 1990-an yang segera diikuti dengan
revolusi politik (reformasi) yang dampaknya masih belum selesai sampai hari ini.
http://sarlito.hyperphp.com Powered by Joomla! Generated: 19 August, 2010, 19:07
Sarlito Wirawan Sarwono, Psikolog ~ Indonesian Psychologist

Dampak dari gejolak-gejolak selama RI merdeka itu (termasuk 32 tahun stabilitas semu), adalah friksi-friksi yang
tersebar di mana-mana (Ambon, Papua, Kalimantan, Aceh dsb.) yang bertemakan SARA (suku, agama, ras dan antar
golongan), tetapi di sisi lain generasi 2000-an punya peluang yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan generasi-
generasi sebelumnya. Pengetahuan tidak hanya dapat diperoleh di sekolah, tetapi juga liwat TV dan media massa
lainnya. Aneka pekerjaan pun makin bertambah variasinya (yang di jaman Siti Nurbaya tidak pernah ada): programmer,
teknologi informatika, disainer, manajemen, penerbang (untuk perempuan), perawat dan guru TK (untuk laki-laki), TKI
dan TKW dsb. Fasilitas pendidikan pun makin merata ke masyarakat: SD sampai ke pelosok-pelosok dan perguruan
tinggi tersedia sampai ke kabupaten-kabupaten.

Masalahnya adalah: siapkah manusia-manusia Indonesia saat ini untuk memanfaatkan peluang tsb.? Kalau tidak, maka
jangan heran jika dalam era perdagangan bebas ASEAN (AFTA) nanti, bukannya orang-orang Indonesia memasuki
pasaran kerja di negara-negara tetangga (kecuali TKI dan TKW yang bermasalah), melainkan orang-orang asinglah
yang akan menguasai pesaran tenaga kerja di Indonesia.

Sistem Pendidikan Gaya Jaman Siti Nurbaya

Seorang penulis, Charles Jencks6, menamakan perubahan super-cepat yang mendunia ini sebagai Post Modernisme
(posmo). Biang keladi posmo, yang sudah dimulai sejak tahun 1960-an, menurut Jencks, adalah electronic economy dan
instant communication network7. Dampaknya adalah tidak adanya lagi kepastian atau keteraturan dalam hampir semua
sektor kehidupan (Jencks menunjukkannya dalam art dan arsitektur). Kecenderungan untuk memprotes (protestanisme)
lagi menjadi gejala yang khas di abad pertengan di Eropa, melainkan terjadi setiap hari di seantero pelosok dunia.
Dengan perkataan lain, satu-satunya kepastian dalam era posmo adalah ketidak pastian itu sendiri dan satu-satunya
yang teratur adalah perubahan itu sendiri.

Tidak mengherankan jika pada tingkat kehidupan masyarakat sehari-hari (grass root) juga muncul hal-hal yang tidak
lazim pada 50 tahunan yang lalu. Dua penulis lain, Gustavo Esteva dan Madhu Sari Prakesh8, misalnya, menyebutkan
bahwa ciri posmo antara lain adalah peralihan dari Global ke lokal: global thinking is impossible, The Wisdom of thinking
small, Escaping Parochialism, The Power of thinking and acting Locally. Jadi jangan heran jika sekarang ada single
parent family, dokter yang mau melakukan aborsi (dan tentunya wanita yang mau diaborsi), ratusan sekte dari agama-
agama besar, profesi-profesi yang tidak terikat pada tempat dan waktu (konsultan, pengamat, disainer, entertainer, dsb.)
yang menyebabkan makin banyak orang (termasuk bapak-bapak) yang bisa bekerja di rumah saja, atau bekerja tidak
pada jam-jam atau hari-hari kerja yang lazim. Sebaliknya, sebagian yang lain (termasuk ibu-ibu) justru lebih banyak ke
luar rumah untuk aneka kegiatan atau pekerjaan. Semuanya bisa dinilai baik atau buruk hanya dengan ukuran-ukuran
lokal saja, tidak bisa universal atau global. Apa yang dirasa baik oleh masyarakat di suatu tempat atau waktu tertentu
belum tentu baik juga pada masyarakat atau waktu yang berbeda.

Jelaslah bahwa perubahan pada sistem Makro berpengaruh langsung pada sistem Meso dan Mikro. Namun perubahan
ini, sejauh ini, tidak berdampak pada sistem pendidikan kita. Orangtua maupun guru masih mengandalkan pada cara
mendidik jaman Siti Nurbaya9 yang menganggap anak hanya perlu melaksanakan kewajiban yang digariskan orangtua
atau guru, karena orangtua dan gurulah yang paling tahu mengenai bagaimana mendidik anak. Pendidikan jadinya satu
arah, lebih berorientasi pada keinginan orangtua atau guru dan sangat cenderung skolastik (mengutamakan prestasi
sekolah saja). Di tengah-tengah tantangan yang begitu meluas, bisalah dimengerti bahwa kecenderungan untuk selalu
menekankan aspek skolastik ini menyebabkan timbulnya generasi yang kurang berinisatif (tunggu instruksi, takut salah,
malu kalau mendahului yang lain), hanya ikut-ikutan saja (lebih aman kalau mem-"bebek" saja), kalah berani berbicara
(dibandingkan dengan orang Barat atau dengan orang India atau Philipina) dan sebagainya. Di sisi lain generasi itu juga
tidak sabaran, mau cepat berhasil (jalan pintas, kurang menghargai proses) dan cepat marah yang dengan mudah akan
meledak jika tidak ada kendali yang kuat (sehingga banyak tawuran dan kerusuhan).

Inteligensi Ganda

Sementara kita di Indonesia sampai sekarang masih sibuk dengan cara mendidik tradisional ala era Siti Nurbaya, pada
tahun 1983, di Amerika Serikat, seorang psikolog pendidikan bernama Howard Gardner pernah melontarkan pertanyaan
yang unik: "Pernahkah terpikir oleh anda, jika seorang jenius musik seperti Mozart di tes IQ, berapa hasilnya?
Sebaliknya, bisakah seorang Einstein menciptakan lagu seperti Mozart atau melukis seperti Rembrandt?"10.

Pertanyaan ini kemudian mendorong Gardner untuk berteori bahwa kecerdasan pada hakikatnya tidak hanya satu
macam (apalagi hanya skolastik saja), melainkan sedikitnya ada 8 macam, yaitu kecerdasan bahasa, kecerdasan ilmu
pasti, kecetrdasan ilmu alam, kecerdasan gerak (seperti pada penari dan olahragawan), kecerdasan musik, kecerdasan
untuk menganalisis diri sendiri (seperti pada Sigmund Freud), kecerdasan antar pribadi (sehingga mudah bergaul) dan
kecerdasan ruang (pada pelukis, disainer, arsitek dsb.)11. Bahkan akhir-akhir ini, dalam bukunya yang mutakhit,
Gardner menambahkan 3 macam kecerdasan lagi, yaitu: naturalist (seperti pada para pakar lingkungan), spiritual
(rohaniwan) dan eksistensial (filsuf)12.

Teori Gardner ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut, khususnya tentang metode pengukuran dari masing-masing
http://sarlito.hyperphp.com Powered by Joomla! Generated: 19 August, 2010, 19:07
Sarlito Wirawan Sarwono, Psikolog ~ Indonesian Psychologist

jenis kecerdasan itu (yang dalam bidang IQ sudah sangat canggih) dan apakah jenis-jenis kecerdasan itu berhenti pada
8 atau 11 jenis saja, atau masih bisa bertambah lagi? Tetapi yang terpenting dari gagasan Gardner ini adalah bahwa ia
mendefinsi ulang konsep tentang inteligensi (kecerdasan) sebagai: a biopsychological potrential to process information
that can be activited in a cultural setting to solve problems or to create products that are of value in a culture13.

Dengan definisi tersebut, maka jelas konsepsi Gardner dalam menjawab tantangan posmo ("dari global menuju lokal").
Tidak ada lagi IQ tunggal yang universal dan karena inteligensi sangat terkait dengan budaya kita masing-masing, maka
kita semua (baca: semua orang) mempunyai potensi untuk mencapai tingkat inteligensi tetentu pada bidangnya masing-
masing dan di tempatnya masing-masing juga. Itulah sebabnya, jika semua jenis kecerdasan di seluruh dunia
dikumpulkan, jumlahnya tidak terbatas pada 11, melainkan bisa ratusan. Seorang suku Indian di Amerika, misalnya bisa
mempunyai kecerdasan tinggi untuk membaca jejak (termasuk dalam kecerdasan naturalist) yang tidak dimiliki oleh
bangsa lain di dunia, seorang dalang wayang kulit mempunyai kecerdasan tinggi dalam bidang musik, gerak dan ruang
yang tidak dimiliki oleh sutradara Holywood atau koreografer dari Broadway, sedangkan ibu-ibu di Manado mempunyai
kecerdasan tinggi untuk mengolah sagu menjadi makanan yang lezat yang tidak ada pada chef Perancis sekalipun (di
sini mungkin kita perlu menambahkan jenis kecerdasan memasak dalam daftarnya Gardner).

Perubahan Paradigma Pendidikan

Menghadapi era posmo yang serba tidak jelas, kesalahan para pendidik (orangtua dan guru) adalah mendidik anak
berdasarkan tradisi lama dan tanpa alternatif. Artinya, semua yang diajarkan oleh orangtua dan guru mutlak benar dan
harus dituruti. Di rumah orangtua merasa paling punya hak atas anaknya (bahkan sampai anak memasuki usia dewasa),
sedangkan di sekolah guru merasa paling tahu (dan marah kalau murid bertanya tentang hal yang dia tidak tahu).
Bahkan dalam kehidupan masyarakat kita masih mendapati banyak pemimpin yang mengira bahwa agama atau partai
politiknya sendiri yang paling benar dan universal.

Jika dihadapkan terus pada pendekatan yang otoriter, universal dan tanpa alternatif seperti ini, anak (dan juga
masyarakat) akan bertambah bingung menghadapi era posmo yang justru penuh perubahan, dinamika dan alternatif,
yang segalanya serba relatif, tidak pernah pasti. Karena itu dalam era posmo ini (pada tataran sistem Makro), pendidikan
(sistem Mikro) harus berorientasi pada pengembangan potensi anak sendiri, bukan berorientasi pada idealisme oranguta
atau guru apalagi ideologi dan politik. Anak harus dididik sedemikain rupa sehingga mampu membuat penilaian dan
keputusan sendiri secara tepat, percaya diri dan tidak selalu tergantung atau mengacu pada orang lain. Dengan
demikian anak perlu dididik untuk bisa menguasai 3 hal yaitu: mampu menguasai informasi, mampu mengolah informasi
itu dengan kreatif sehingga mampu menilai mana yang baik dan benar untuk dirinya sendiri dan atas dasar itu mampu
membuat keputusan dan melakukan seusatu yang cerdas.

Tentu saja secara teknis paradigma baru ini juga membutuhkan penyesuaian di tingkat pelaksanaan pendidikan oleh
orangtua dan guru. Orangtua tidak boleh lagi hanya mengutamakan nilai rapor (khususnya pelajaran IPA), melainkan
harus mencermati bakat dari masing-masing anak (yang berbeda-beda antara satu anak dengan yang lainnya) dan
mengembangkannya seoptimal mungkin. Di sekolah sistem ranking perlu dihapuskan, pelajaran wajib perlu dikurangi,
sementara pelajaran pilihan diperbanyak. Bahkan Gardner mempersyaratkan agar guru kelas di SD tidak diganti setiap
tahun, melainkan seorang guru ikut "naik kelas" bersama muridnya (dari kelas 1 sampai kelas 6, lalu kembali lagi ke
kelas 1 untuk angkatan yang baru). Dengan demikian, kata Gardner, guru bisa mengikuti perekmbangan anak dengan
sebaik-baiknya, tidak seperti sekarang di mana guru tidak lagi menegnal muridnya, karena di SD pun guru berganti-ganti
sesuai dengan mata pelajarannya.

Penutup

Harus diakui bahwa menjadi orangtua atau pendidik jaman sekarang sangat sulit. Pertama, karena kebanyakan mereka
belum pernah mengalami jaman seperti ini di masa kecilnya. Kedua, karena mereka cenderung meniru saja cara-cara
mendidik yang dilakukan orang-orang dari jaman terdahulu dan yang ketiga, memang sangat sulit untuk mengubah pola
pikir seseorang dari pola pikir tradisional ke pola pikir alternatif sesuai tuntutan jaman sekarang.

Walaupun demikian, upaya perubahan harus tetap dilakukan, karena kalau tidak maka kita akan menjerumuskan
generasi muda dan masa depan bangsa kita kedalam kesulitan yang lebih besar lagi.

http://sarlito.hyperphp.com Powered by Joomla! Generated: 19 August, 2010, 19:07

Anda mungkin juga menyukai