Anda di halaman 1dari 2

Pendidikan karakter dalam tantangan

Leo Sutrisno

Tulisan dua orang guru besar yang baru FKIP-Untan, Prof. Dr. Aunurrachman,
M.Pd. dan Prof. Dr. Yohanes Bahari, M.Si yang diturunkan bersamaan di harian ini,
Pontianak Post 10-4-2012 menelaah tentang karakter. Prof. Aunurrachman membahas
tentang pendidikan karakter. Prof. Yohanes Hahari menawarkan restorasi peradaban
bangsa melalui pendidikan karakter yang mengedepankan perdamaian.
Kedunya sepakat, dengan idiom yang berbeda, bahwa dewasa ini terjadi
kevakuman moral di masyarakat kita. Perilaku yang jauh dari etika dan estitika serta
kaidah moral dapat dengan mudah dilihat dimana saja. Perilaku semacam itu dilakukan
oleh siapa saja dan kapan saja.
Kevakuman moral terjadi karena moral tradisional (Timur) mulai ditinggalkan
sedangkan moral ’modern’ (Barat) belum sepenuhnya terpegang . banyak di antara kita
dewasa ini yang memilih berambut pirang dari pada berambut hitam. Banyak di antara
kita memilih KFC daripada lontong. Banyak orang memilih berbenlaja ke Hypermart
daripada ke pasar Flamboyan
Kevakuman moral ini terjadi karena beberapa sebab. Dua sebab yang utama bagi
masyarakat Kalimantan Barat adalah pergeseran pola hidup dan dampak globalisasi.
Masyarakat Kalbar sedang mengalami pergeseran pola hidup dari kehidupan pinggir
sungai ke pinggir jalan raya. Mereka juga bergeser dari pola hidup yang homogen ke
yang heterogen. Pergeseran pola hidup mengubah cara bersikap dan bertindak.
Selain pergeseran pola hidup, masyarakat Kalbar juga ’terlanda’ gelombang
globalisasi. Gelombang ini tidak hanya menembus batas-batas kewilayahan tetapi juga
menembus batas-batas peradaban. Sepuluh tahun yang lalu, duduk di pelataran Opera
House di Sidney masih dengan mudah mengenali yang yang warga Asia dan yang mana
yang warga Australia. Kini, jika duduk di lobi Mega Mall Ayani Pontianak kita melihat
ABG ’Bule’ yang sedang jalan-jalan di Indonesia.
Mengapa dapat terjadi seperti itu? Sistem pendidikan karakter masa lalu
menganut paradigma absolutisme. Dalam paradigma absolutisme semua yang baik
ditentukan dari atas. Agar yang baik itu tidak rusak maka cara penyampaiannya
berbentuk ’mengisi’ botol kosong. Siswa ’diisi’ dengan hal-hal yang baik. Cara
mengajarnya monolog satu arah dari atas ke bawah.
Cara evaluasi bersifat reproduksi pengetahuan. Siswa diminta mengungkapkan
kembali apa yang telah disampaikan gurunya. Karena itu, siswa mendapat latihan
menjadi burung beo. Beo akan mendapat nilai tinggi jika dapat nemirukan persis sama
dengan yang disampaikan pelatihnya. Namun, manusia sesungguhnya bukan beo. Maka,
ketika pelindungnya sudah tidak memadai maka yang tradisiinal ini ditinggalkannya.
Dalam kerangka tradisional etika kerukunan menjadi kendali berperikalu. Demi
kerukunan orang rela melepaskan kepentingan dan hak pribadinya. Misalnya, meskipun
sakit gigi tetapi karena ada teman lain di dekatnya ia juga harus bertegur sapa. Meskipun
tidak setuju, tetapi agar tidak menggoncangkan maka ia memilih diam tidak protes. Yang
penting rukun.
Kini, demi kerukunan seperti itu dianggap ketinggalan. Orang mengangap yang
utama itu adalah hak azasi manusia. Mengutamakan diri sendiri lebih utama daripada
kelompok.
Faham seperti itu tidak keliru. Tetapi mengedepankan HAM itu mesti didahului
dengan perwujudan Hak Manusia atas Perdamaian. Damai dulu baru HAM terjamin.
Dalam konteks ini bukan kerukunan yang menjadi prasyarat utama dalam mewujudkan
perdamaian tetapi keadilan. Semua orang wajib mengedepankan keadilan. Ada etika
kewajiban.
Dalam etika kerukunan orang menekan kepentingan pribadi demi kerukunan.
Dalam etika kewajiban orang wajib menjamin hak-hak orang lain dipenuhi. Kalau
seseorang memperoleh sesuatu dari orang lain maka ia wajib mengucapkan terima kasih
atas pemberiannya itu. Kalau ia duduk di dekat seseorang akan membuat ia merasa
terganggu maka ia wajib minta permisi untuk duduk di situ dsb.
Masyarakat kita mengalami kevakuman moral karena etika kewajiban seperti ini
belum diinternalisasi. Maka, jangan heran orang yang berpenampilan ’modern’ dan
asesoris mobil mewah tetapi tidak menjunjung tinggi etika kewajiban.
Dalam konteks wayang (ini tradisional tetapi telah diakui sebagai warisan budaya
dunia), orang-orang semacam ini bak ’Petruk jadi raja’. Tampilannya raja tetapi
berpeirlku pembantu (Punakawan). Duduk di singgasana, tetapi karena baru selesai
perjamuan bersama ia masih mencari tusuk gigi sambil meludah langsung di dekatnya
tanpa merasa melanggar etika.
Karena itu, pola pendidikan karakter dengan paradigma absolutisme perlu diganti.
Paradigma konstruktivisme dapat menjadi pilihan alternatif.
Pemaknaan nilai juga harus diubah. Nilai tidak cukup dipandang sebagai
pedoman hidup saja tetapi juga harus dijadikan perahu mengarungi samudera kehidupan
iniAnak tidak cukup sekedar tahu bahwa jujur itu baik tetapi ia harus belajar hidup jujur.
Dan, ternyata ia akan mengalami bahwa hidup jujur itu tidak mujur. Kalau ia bertahan
berarti ia selamat melewati samudera. Sebaliknya, jika ia tidak tahan hidup jujur berarti
ia tidak mampu sampai ke seberang.
Materi juga perlu diperbaharui. Selain kejujuran, keadilan, kerendahan hati, serta
baik terhadap sesama, keberanian moral dan kemandirian moral perlu dimasukkan. Dua
materi yang terakhir terasa amat sangat diperlukan.
Bola telah digelindingkan pakarnya. Kita perlu menggiring ke gawang. Mau atau
tidak, terserah kita semua. Tetapi FKIP-Untan sebagai ’kerajaan’ kedua profesor ini mesti
memulai. Semoga!

Anda mungkin juga menyukai