Anda di halaman 1dari 2

Hari ini rakyat Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional.

Bagaimana
sebenarnya kondisi di bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono?
Menurut pakar pendidikan Profesor Conny Semiawan, kesempatan pendidikan
yang berkualitas dan merata itulah yang masih belum tercapai.

Conny Semiawan [CS]: "Kondisi pendidikan di seluruh Indonesia memperlihatkan profil


yang sangat tidak sama. Ada yang bagus. Ada yang tidak begitu bagus, tapi masih
memenuhi. Dan ada yang jelek sekali. Itu yang menjadi keprihatinan saya. Saya tahu
bahwa pemerintah sudah banyak berusaha. Sudah banyak pencapaiannya dalam arti fisik
barangkali. Tetapi dalam kaitannya dengan kualitas yang tidak hanya dapat diukur
dengan hal-hal yang sifatnya fisik, itu masih banyak kekurangan-kekurangannya.

Ujian nasional
Jadi banyak sekolah-sekolah yang gedungnya masih bobrok. Apalagi guru-guru yang
belum memenuhi kualitas yang diharapkan. Dan atau sekolah-sekolah yang tidak
mempunyai guru. Itu ada juga. Kalau Anda pernah melihat siaran dari Metro, di mana
bisa dilihat seorang penjaga sekolah di Papua, menjadi guru. Dia sendiri belum lulus SD.
Tapi mengajar anak-anak Papua. Itu diajar oleh penjaga sekolah itu. Dia sangat prihatin
terhadap kondisi anak-anak itu yang tidak memperoleh pendidikan. Jadi dengan segala
terbatasannya, dia yang mengajar menulis, membaca, berhitung dengan caranya sendiri.
Karena dia sendiri tidak lulus SD.

Ini satu gambaran dari kualitas pendidikan yang tidak merata. Artinya, sekolah-sekolah
itu harus ditunjang sedemikian, yang kualitasnya belum baik. Sehingga kualitas membaik
itu bersifat merata. Ini terkait dengan aspek keadilan dalam pendidikan. Kesempatan
yang sama.

Terkait dengan itu pertanyaan bagaimana mencapainya? Begini, sekarang kan lagi ramai
ujian nasional. Ada yang pro, ada yang kontra. Saya tidak kontra. Tapi saya ingin
menambahkan setiap ujian ada tanggungjawab terhadap penilaian yang kita lakukan.
Tanggung jawab itu harus terkait dengan siapa yang kita nilai. Nah, siapa itu terkait
dengan siapa yang menjadi pembelajar itu. Dan dalam kaitan dengan itu, apa yang
menjadi perolehan mereka. Apa yang menjadi peroleh mereka bisa dibagi dua. Apa yang
seharusnya menjadi perolehan mereka. Dan apa yang dalam kenyataannya menjadi
perolehan mereka.

Nah, antara yang seharusnya dan yang sebagaimana apa adanya, itu juga ada gap yang
luar biasa. Yang seharusnya, itu diukur dengan apa yang sekarang terjadi di dalam ujian
nasional, yaitu ada satu patokan atau satu kriteria, satu standar yang sifatnya dalam ilmu
penilaian, ilmu evaluasi, satu patokan itu disebut criterium reference. Pokoknya 5,5 itulah
patokan dari pengukuran pendidikan nasional, berdasarkan ujian nasional. Tapi itu
mengukur apa yang seharusnya dimiliki sebagai perolehan peserta didik kita. Tidak
mengukur apa yang sebagaimana adanya dimiliki sebagai perolehan peserta didik kita."
Penilaian berbeda
Radio Nederland Wereldomroep: "Apa pesan atau harapan Anda dari Departemen
Pendidikan?"

CS: "Bahwa mereka mengkaji apa yang menjadi hasil ujian UN itu dengan cara penilaian
yang berbeda. Bukan hanya berdasarkan satu standar nasional, tapi sesuai dengan kondisi
daripada daerah dan sekolah masing-masing. Kalau itu dibandingkan, yang terakhir itu,
yaitu kondisi sebagai mana adanya yang kita peroleh datanya, itu bisa menjadi batu
loncatan untuk kita, untuk meningkatkan kualitas sekolah-sekolah yang masih kurang
baik itu."

Anda mungkin juga menyukai