Anda di halaman 1dari 34

BAB II

HADIS-HADIS
TENTANG URGENSI PENDIDIKAN

A. Hadis Tentang Fitrah & Relevansinya dengan PBM

َ‫عنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم‬


َ ُ‫الله‬
َّ َ‫عنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي‬
َ
ِ‫علَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِه‬
َ ُ‫كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَد‬
‫رواه البخاري‬

“Dari Abi Hurairah r.a, Rasulullah SAW bersabda: “Setiap


anak lahir dalam keadaan fiitrah. Kedua orang tuanyalah yang
menjadikan anak itu beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi.”
(H.R al-Bukhāriy)1

Abū ‘Abd Allah Muhammad bin Ismā’īl al-Bukhāriy, selan-


1

jutnya ditulis al-Bukhāriy, Al-Jāmi’ Shahīh al-Bukhāriy, Juz I,


Beirut: Dār al-Fikri, 2006, h. 297. Hadis ini juga diriwayatkan oleh:
Muslim, Kitab Al-Jāmi’ Shahīh bab Qadr: 22, 23, 24; Ahmad bin
Hanbal, Kitab Musnad jilid II: 315, 346. Lihat, A.J. Wensink,
Mu’jam al-Mufahras lialfazh al-Hadits al-Nabawiy, Jilid V, Leiden,
E.J Brill, 1936, h. 180
6 Hadis Tematik
Tarbawi

Sejak awal kemunculannya, Islam sebagai agama meng-


isyaratkan pentingnya pendidikan. Isyarat ini terjelaskan pada
berbagai muatan dan konsep ajarannya yang tersimpul al-
Qur`an dan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW, salah satunya
adalah konsep tentang fitrah yang terkandung pada hadis di
atas. Hadis tentang fitrah tersebut demikian populer, tidak
hanya dalam pendidikan Islam tapi juga di tengah kalangan
masyarakat Islam dengan pemaknaan yang variatif.
Secara bahasa kata fitrah ( ‫) فطرة‬, berasal dari akar kata
“fathara ( ‫ ") فطر‬yang mengadung arti al-insyiqāq atau al-
syaqq yang berarti al-inkisār (membelah, terbelah atau terbuka)
al-khilqah, al-ījād atau ibda` (penciptaan atau menciptakan).2
Dalam al-Qur’an kata fathara dengan berbagai bentuknya
disebut sebanyak 20 kali dalam 17 ayat. 3 Ayat al-Qur`an yang
menggunakan kata fathara atau fitrah dalam arti terbelah atau
terbuka antara lain:

  


“Apabila langit terbelah” (Q.S al-Infithār/82: 1)

2
Ibn Manzhūr, Lisān al-’Arab, jilid V, Beirut: Dār al-Turāts
al-’Arabiy, 1992, h. 5. Juga; Al-Munawwir, Kamus al-
Munawwar Arab Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Progersif,
1997, h. 1062
3
Yaitu: Q.S al-Al-An’ām/6: 14, 79; Q.S al-Rūm/30: 30; Q.S
al-Isrā`/17: 51; Q.S Thāha/20: 72; Q.S Hūd/11: 52; Q.S Yāsin/36:
22; Q.S al-Zukhrūf/43: 22; Q.S al-Anbiyā`/21: 56; Q.S
Maryam/19:90; Q.S al-Syūra/42: 5, 11; Q.S al-Infithār/82: 1; Q.S
Yūsuf/12: 101; Q.S Ibrāhīm/14: 10; Q.S al-Fāthir/35: 1; Q.S al-
Zumar/39: 46; Q.S al-Muluk/67: 3, dan Q.S al-Muzammil/73: 18.
Lihat, Muhammad Fu`ad ’Abd al-Bāqi`, Al-Mu’jam al-Mufahras
li al-fāzh al-Qur`an al-Karīm, ttp: Makabah Dahlan Indonesia, tth,
h. 163-164
Hadis Tematik Tarbawi
7
Selanjutnnya, dalam doa berbuka puasa tersebut:

Jُ ْ‫ت َو َعلَى ِر ْزقِكَ أَ ْفطَر‬


‫ت‬ ُ ‫ص ْم‬ َ َ‫اللَّهُ َّم ل‬
ُ ‫ك‬

”Ya Allah karenamu aku berpuasa dan atas rezekimu aku


berbuka”.

Antonim kata terbelah atau terbuka adalah tertutup. Sesuatu


yang tertutup tidak bisa dimasukkan atau menerima sesuatu.
Sebaliknya jika sesuatu terbuka, berarti siap untuk menerima
sesuatu atau bisa dimasukkan sesuatu. Jika dikaitkan dengan
hadis Nabi SAW di atas ”setiap anak terlahir dalam keadaan
fitrah” itu berarti begitu lahir, sang bayi sudah punya
kemampuan siap menerima sesuatu yang berasal dari luar
dirinya. Karena itulah Islam mengajarkan bahwa anak yang
baru lahir diperdengarkan adzan. Berbagai macam yang
diterima oleh anak sejak lahir itulah yang nanti membentuk
kepribadiannya.
Adapun kata fathara atau fitrah dalam arti penciptaan atau
menciptakan, al-Qur`an menyebut antara lain:

      


     
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang
menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada
agama yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang
yang mempersekutukan tuhan.” (Q.S al-An’ām/6: 79)

Selain kata fathara, dalam bahasa Arab juga terdapat istilah


atau kata lain yang maknanya sepadan dengan kata fathara
dalam arti ciptaan atau penciptaan, yaitu khalaqa ‫))خلق‬, ja’ala
( ‫ ) جعل‬dan ansya`a ( ‫) انشأ‬, yang ketiganya juga digunakan al-
Qur`an. Namun demikian diantara keempat istilah kata itu
8 Hadis Tematik
Tarbawi

memiliki muatan makna dan pengertian yang berbeda. Fathara


dalam arti mencipta atau ciptaan, biasanya menunjukkan pada
pengertian asal mula penciptaan atau menciptakan sesuatu yang
sebelumnya belum ada dan masih merupakan pola dasar (blue
print) yang memerlukan penyempurnaan4 atau masih dapat
dikembangkan. Adapun kata khalaqa, ansya’a dan ja’ala
digunakan untuk menunjukkan meleng-kapi atau
menyempurnaan penciptaan awal (pola dasar ciptaan).
Misalnya:

      


  
”Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes
mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan
perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan Dia
mendengar dan melihat.” (Q.S al-Insān/76:2)

      


     
”Katakanlah: Dia-lah yang menciptakan kamu dan
menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati".
(tetapi) Amat sedikit kamu ber-syukur.” (Q.S al-Mulk/67: 23)

Dari uraian di atas setidaknya ada dua hal utama yang patut
dicermati. Pertama, kata khalaqa dan ansya`a menunjukkan
pencip-taan manusia yang baru merupakan pernyataan
(informasi) pendahuluan, belum final. Kemudian baru
sempurna setelah diikuti dengan kata ja’ala. Kedua, kata
fathara digunakan untuk menunjukkan bahwa proses
penciptaan telah final. Tinggal lagi manusia memelihara dan
mengembangkan fitrah yang sudah ada dalam dirinya

4
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka
Pelajar, 2005, h. 41
Hadis Tematik Tarbawi
9
Seperti apakah kekhususan (spesifikasi) fitrah (blue print/ pola
dasar) asal penciptaan manusia.? Jawaban atas pertanyaan ini
patut diurai mengingat demikian beragamanya pendapat para
ahli ketika memberikan pengertian atau konsep tentang fitrah
secara termi-nologis. Beberapa pendapat yang menjelaskan
terminologi Islam tentang fitrah sebagaimana terdapat dalam al-
Qur’an dan hadis adalah sebagai berikut.
Pertama, fitrah berarti suci bersih. Menurut Achmadi 5,
fitrah berarti suci kurang tepat, mengingat dari segi bahasa,
sebagaimana telah dijelaskan, ialah asal atau pola dasar (blue
print) kejadian manusia. Namun demikian, jika dilihat secara
teologis, setiap manusia menurut ajaran Islam, yang lahir
dalam keadaan suci, bersih tidak berdosa. Hal yang mendukung
makna ini, misalnya pernyataan al-Qur’an yang menyatakan
bahwa ruh yang ada dalam diri manusia adalah berasal dari Zat
Yang Maha Suci.

        


     


“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya


roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali
bersyukur.” (Q.S al-Sajadah/32:9)

Selain itu menurut ajaran Islam, anak yang lahir tidak


membawa dosa keturunan (warisan). Seseorang tidak akan
memi-kul dosa orang lain. Karenanya setiap anak lahir dalam
keadaan suci bersih tidak berdosa.

     

5
Ibid., h. 46
10 Hadis Tematik
Tarbawi

“Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang


lain” (Q.S al-Isrā`/17: 15)

Kedua, fitrah berarti potensi ber-Tuhan atau mengakui


adanya Tuhan (beragama). Fitrah dalam makna ini diperkuat
dengan pernyataan al-Qur’an surat al-Rum/30: 30.

       


         
      
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama
Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui.” (Q.S al-Rūm/30: 30).

Adanya naluri manusia untuk beragama atau mengakui


adanya Tuhan adalah merupakan fitrah (blue print Tuhan) atas
manusia dan tidak ada perubahan ciptaan Tuhan dalam hal ini.
Karenanya manusia disebut makhluk religius. Lebih dalam, al-
Qur`an menje-laskan bahwa potensi untuk mengakui adanya
Allah (Tuhan) serta mentauhid (mengesakan)-Nya sudah
merupakan perjanjian antara Allah dengan anak turunan Adam
a.s yang terjadi di alam ruh atau alam immateri.

       


    
         
     

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan


anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul
Hadis Tematik Tarbawi
11
(Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan
yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-
orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", (Q.S al-
A’rāf/7: 172)

Dalam tafsir al-Mizān, Thabathā`iy6 menjelaskan bahwa


dialog antara ruh manusia dengan Allah yang terjadi di alam
arwah, dalam ayat di atas, merupakan sunnah penciptaan
ketuhanan (al-khiqah ilahiyyah) yang mengikat semua manusia.
Oleh karena itu Ibn ‘Arabiy7 menyebutnya dengan fitrah
manusia yang universal. Dengan demikian manusia yang tidak
beragama tauhid merupakan penyimpangan dari keaslian
(fitrah)nya.
Ketiga, fitrah dalam arti potensi ber-Islam. Pemaknaan
fitrah seperti ini menunjukkan bahwa tujuan penciptaan
manusia adalah penyerahan kepada yang Maha Mutlak, tunduk,
patuh berserah diri kepada kehendak Allah (Islam). 8 Artinya
setiap anak yang lahir pada asalnya dalam potensi (keadaan)
Islam. Namun kemu-dian lingkungan sekitar dapat
mempengaruhinya sehingga me-mungkinkan menyimpang dari
asalnya aslinya.
Keempat, pemaknaan lain fitrah lainnya sebagaimana dike-
mukakan para ahli adalah kondisi selamat (al-salāmah),
perasaan tulus ikhlas, kesanggupan menerima atau cenderung

6
Syed Muhammad Husein Al-Thbathā`iy, Tafsīr al-Mizān,
jilid VIII, Beirut: Muassasah al-’Alami li al-Mathbū’āt, 1991, h.
315
7
Abu Bakar Muhammad bin ’Abd Allah bin ’Arabiy (Ibn
’Arabiy), Ahkām al-Qur’an, jilid II, Dār al-Kutub al-’Ilmiyyah,
1988, h. 2051
8
Abdul Mujib, Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi
Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 2002, h. 80
12 Hadis Tematik
Tarbawi

kepada kebenaran, tabiat atau watak asli manusia dan sifat-sifat


Allah yang ditiupkan pada setiap manusia sebelum dilahirkan.9
Demikian terlihat demikian luas makna yang terkandung
dalam istilah fitrah. Namun demikian, subtansinya adalah
fitrah mencakup semua potensi asli, sebagaimana tersimpul
pada makna-makna yang terkandung di dalamnya, yang telah
ada dan dibawa semua anak manusia yang baru lahirkan. Dari
sinilah para pakar menyebut bahwa konsep fitrah yang
dimaksudkan dalam al-Qur’an dan hadis Nabi SAW tidak sama
dengan teori Psiko-Behavioristik atau Tabula Rasa John Locke,
yang menyatakan bahwa manusia lahir tanpa membawa potensi
apa apa (seperti kertas putih kosong). Tapi justru dengan fitrah
itu manusia sejak lahir talah mempunyai banyak potensi yang
masih asli atau sumber daya insani yang siap untuk ditumbuh
kembangkan.10 Agar fitrah berkembang tidak menyimpang dari
asalnya inilah, maka dalam proses pengembangannya ia
memerlukan bimbingan dan arahan yang itu semua dapat
berjalan dengan baik melalui proses pendidikan dan
pengajaran.
Dengan demikian ketika hadis Nabi SAW menyebut bahwa
“ setiap anak lahir dalam keadaan fitrah, lalu kedua orang
tuanyalah yang menjadikan bergama Jahudi, Nasrani atau
Majusi” menunjukkan be-gitu urgennya pendidikan dalam
proses menumbuh kembangkan potensi fitrah itu. Orang tua
yang dalam hadis itu disebut berperan membentuk anak. Dalam
dalam arti luas tentu dalam hal ini tidak hanya sebatas orang
tua yang dapat mem-pengaruhi perkembangan jiwa anak, akan
tetapi mencakup seluruh apa yang ada di luar diri anak, seperti
lingkungan sekitar, pengetahuan yang ia peroleh melalui indra
pendengaran, peng-lihatan dan lainnya yang diterima anak
sejak ia lahir.
9
Ibid., h. 81 - 84
10
Ibid., 80; Juga Achamdi, Op. Cit, h. 47
Hadis Tematik Tarbawi
13

B. Hadis-Hadis Tentang Mendidik Anak


Anak dalam perspektif Islam adalah amanah dari Allah
SWT. Bahkan dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa anak disebut
sebagai “fitnah” (cobaan);

     


  

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan


(bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Q.S al-
Taghābun/64: 15)

Pada ayat lain, al-Qur’an mengingatkan agar manusia tidak


meninggalkan anak keturunan yang lemah. Baik lemah dalam
fisik, akal, ilmu, ekonomi, iman dan lain sebagainya.

      


     
 

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang


seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)
mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada
Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang
benar.” (Q.S al-Nisā`/4: 9)

Melihat ayat-ayat di atas jelas bahwa semua orang tua ber-


kewajiban untuk mendidik anaknya agar dapat menjadi insan
yang sholeh, berilmu dan bertaqwa. Hal ini merupakan suatu
wujud pertanggung-jawaban dari setiap orang tua kepada
14 Hadis Tematik
Tarbawi

Khaliknya. Jika demikian, maka pada hakikatnya, pelaksanaan


pendidikan anak merupakan amanat besar dari Allah.
Karenanya, kelalaian dan penyelewengan pendidikan dari
jalana (manhaj) yang telah diten-tukan merupakan
penghianatan terhadap amanat besar itu. Meng-ingat besarnya
tanggungjawab atas pelaksanaan pendidikan, maka Allah dan
Rasul-Nya telah akan memberikan pertunjuk-petunjuk dalam
mendidik anak sebagaimana terdapat dalam al-Qur`an dan
hadis-hadis Rasulullah SAW.

1. Hadis Tentang Mendidik Anak Usia Bayi


Secara didaktis11, masa bayi dimulai dari 0 hingga 2
tahun. Periode ini disebut juga masa asuhan (nursery) atau
masa vital. Pada masa ini, meski belum bisa bicara, namun
sebagaimana telah dijelaskan hadis tentang fitrah, anak yang
baru lahir telah memiliki fotensi akal dan qalb (perasaan) yang
siap menerima “materi pengajaran” melalui indra
pendengaran (al-sam’u) dan penglihatan (al-abshar).
Berdasarkan hadis-hadis Nabi SAW, berikut ini dikemukakan
beberapa hal terkait mendidik anak pada masa bayi.

1.a) Mengadzankan anak ketika baru lahir

11
Yang dimaksud dengan secara didaktis adalah periodesasi
perkembangan anak dilihat dari segi keperluan/materi apa yang
kiranya yang tepat diberikan kepada anak pada masa tertentu, serta
memikirkan tentang kemungkinan metode yang paling efektif untuk
diterapkan di dalam mengajar dan mendidik anak pada masa tertentu
tersebut. Lihat, Abu Ahmadi, Psikologi Perkembangan, Jakarta:
Rineka Cipta, 1991, h. 38.
Hadis Tematik Tarbawi
15
ُ‫عنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَ لَّى اللَّه‬
َ ٍ‫عبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِع‬
ُ ْ‫عن‬
َ
.ِ‫لَاة‬ َّ‫علَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالص‬
َ
‫رواه الترمذى‬

“Dari Ubaid Allah bin Abi Rafi’, dari ayahnya berkata, aku
melihat Rasulullah SAW melakukan adzan di telinga Hasan bin
‘Aliy ketika Fatimah melahirkannya, dengan adzan sholat.”
(H.R Turmudziy)12

Menurut Kohnstam, dalam Kartini Kartono 13, manusia


selalu dalam proses pembentukan dan perkembangan, selalu
“menjadi” dan dia tidak akan kunjung selesai terbentuk. Ia tidak
akan pernah selesai, walaupun dengan bertambahnya usia ia
justru semakin sulit dibentuk dan dirubah. Maka proses
“menjadi seorang pribadi” itu merupakan tugas yang tidak
kunjung selesai dalam kehidupan manusia.
Pernyataan ahli psikologi di atas, secara tersirat setidaknya
mengandung dua makna penting. Pertama, betapa urgensinya
pendidikan dan pengajaran untuk membentuk watak kepribadian
seseorang. Kedua, proses pendidikan dan pengajaran harus dila-
kukan sejak dini, sebab semakin betambah usia, watak yang
telah terbentu semakin sulit untuk dirubah.
Menurut Islam, proses pendidikan dan pengajaran sudah
dapat dimulai sejak lahir. Sebagaimana Nabi SAW memberi
contoh mela-kukan adzan di telinga kanan dan iqamat di telinga
kiri pada cucunya Hasan saat baru lahir. Hal demikian dilakukan
Abū ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Tsaurah al-Turmudziy,
12

selanjutnya ditulis, al-Turmudziy, Sunan al-Turmudziy, Juz III,


Beirut: Dār al-Fikr, 2005, 173.
13
Kartini Kartono, Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan),
Ban-dung: Mandar Maju, 1995, h. 30
16 Hadis Tematik
Tarbawi

oleh Nabi SAW karena anak yang baru lahir fungsi indra
pendengaran telah berfungsi. Telah berfungsinya indra anak
yang baru lahir ini dinyatakan oleh al-Qur’an dan terbukti pula
secara ilmiah.

      


      
 

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam


Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (Q.S
al-Nahl/16: 78)

Dari pernyataan al-Qur`an dan yang lakukan oleh Nabi SAW


dalam hadis di atas, tersirat bahwa pendidikan dan pengajaran
dilakukan orang tua dilakukan dengan melalui metode memper-
dengarkan sesuatu yang baik pada anak di usia bayi. Apa yang
didengar si bayi, maka itulah yang mulai membentuk jiwa dan
mempengaruhi proses potensi fitrah yang terdapat pada dirinya.
Islam mengajarkan agar anak yang baru lahir perdengarkan
adzan dan iqamat, karena pada keduanya terdapat kalimat
”syaha-datullah” yang seakan-akan mengingatkan kembali
akan sumpah dan janji yang telah diikrarkannya sebelum lahir
yaitu berjanji akan menyembah dan mentauhidkan Allah SWT.
Di samping itu, dalam hadis lain, hikmah diadzankannya anak
yang baru lahir agar terlindungi dari pengaruh kejahatan iblis
(setan) yang akan memalingkannya dari fitrah. Rasulullah SAW
bersabda:
Hadis Tematik Tarbawi
17
‫ من ولد له فأذن‬: ‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬: ‫عن حسين قال‬
‫و‬JJ‫ رواه أب‬.‫بيان‬J‫ره أم الص‬JJ‫ في أذنه اليسرى لم تض‬J‫في أذنه اليمنى وأقام‬
‫يعلى‬
“Dari Husain, Rasulullah SAW bersabda: Siapa yang lahir
baginya seorang bayi, kemudian ia azan di telinga kanannya
dan beriqamat di telinga kirinya, maka pengikut jin (setan)
tidak akan membahaya-kannya.” (H.R Abu Ya’la)14

1.b) Memberi nama yang baik dan mengakikahkan anak

Tentang memberi nama yang baik bagi anak Rasulullah


SAW bersabda:

َ‫ ْدعَوْ ن‬Jُ‫لَّ َم إِنَّ ُك ْم ت‬J‫ ِه َو َس‬J‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬ َ َ‫ع َْن أَبِي ال َّدرْ دَا ِء قَا َل ق‬
َ ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬
‫ رواه أحمد‬.‫ أَ ْس َما َء ُك ْم‬J‫يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة بِأ َ ْس َمائِ ُك ْم َوأَ ْس َما ِء آبَائِ ُك ْم فَ َح ِّسنُوا‬

“Dari Abi Darda`, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya


kamu pada hari kiamat akan dipanggil dengan nama-nama
kamu dan nama bapak kamu, maka bagus (baik)kanlah nama-
nama kamu.” (H.R Ahmad)15

Adapun tentang melaksanakan akikah, Nabi SAW


bersabda:

14
CD Maktabah al-Syamilah, Musnad Abu Ya’la, Juz XIV, h.
20
Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad, Juz. XVI , Kairo: Dār al-
15

Hadits, 1995, h. 63-64


18 Hadis Tematik
Tarbawi

‫لَّ َم‬JJ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس‬


َ ِ ‫ُول هَّللا‬ ُ ‫ال َس ِمع‬
Jَ ‫ْت َرس‬ َّ ‫ع َْن َس ْل َمانُ بْنُ عَا ِم ٍر ال‬
َ َ‫ضب ُِّّي ق‬
‫ رواه‬.‫هُ اأْل َ َذى‬J‫وا َع ْن‬JJُ‫ا َوأَ ِميط‬JJ‫هُ َد ًم‬J‫أ َ ْه ِريقُوا َع ْن‬JJَ‫ةٌ ف‬J َ‫ َع ْال ُغاَل ِم َعقِيق‬J‫و ُل َم‬JJُ‫يَق‬
‫البخاري و أحمد‬
“Dari Sulaiman bin ‘Amir al-Dhabiyyi berkata, aku mendengar
Rasulullah SAW bersabda: ”Hak bagi bayi adalah aqiqah.
Alirkan darah baginya dann hilangkan penyakit darinya
(khitan). (H.R Bukhari dan Amad).16

Memberi nama yang baik, mencukur rambut dan melak-


sanakan akikah merupakan bagian lain yang diajarkan oleh
Islam pada anak usia bayi. Memberi nama yang baik, karena
nama menurut ajaran Islam adalah sebuah panggilan yang
mengandung makna doa atau pengharapan. Dengan demikian
pada nama yang baik terdapat harapan dan doa agar si anak
menjadi anak yang baik sesuai dengan namanya. Itu berarti sejak
bayi, sudah ditanamkan dan menguatkan jiwanya bahwa ia akan
menjadi orang yang baik. Demikian pula mencukur sebagian
rambut, memberikan pelajaran kebersihan pada anak usia dini.
Adapun akikah (`aqiqah/ ‫) عقيقة‬, menurut terminologi Islam
adalah memotong atau menyembelih hewan tertentu untuk
kepen-tingan anak yang dilahirkan.17 Dilihat dari pengertian ini
maka akikah semakna dengan kurban yang tujuannya untuk
taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT.
Selain merupakan bentuk pendekatan (taqarrub) kepada
Allah, akikah juga merupakan gambaran kesyukuran dan
kegembiraan atas lahirnya bayi yang diisi dengan ketaatan. Ia
juga merupakan suatu bentuk solidaritas sosial, karena kaum
fakir miskin mendapat jatah dari hewan yang diakikahkan. Hal

Ibid, Juz XIII, h. 533


16

A.Fuad Said, Kurban dan Akikah, Jakarta: Pustaka Al-


17

Husna, 1994, h. 89
Hadis Tematik Tarbawi
19
demikian untuk memper-kokoh tali cinta dan sayang di antara
sesama masyarakat. Dengan keberkahannya Allah
menghindarkan bayi dan keluarganya dari malapetaka. Tentunya
dengan pengharapan semoga Allah menum-buhkannya dengan
baik. Demikian, meski anak di usia bayi belum dapat berfikir
dan berbicara tapi secara psikologis anak di usia bayi telah dapat
merasakan segala sesuatu yang barasal dari luar dirinya,
termasuk apa yang dilakukan orang tuanya.Memberi nama yang
baik, mencukur rambut dan mengakikahkannya secara implisit
mengajarkannya untuk menjadi anak yang baik, suka kebersian,
bersykur dengan ketaatan serta memiliki sifat kepedulian sosial
dan kasih sayang kepada orang lain.

2. Mendidik Anak Usia Anak-Anak


Kemudian dari usia 3 hingga 12 tahun disebut masa anak-
anak. Pada masa ini, anak mulai mengenal dunia luar dirinya
secara objektif disertai pengahayatan secara subjektif. Mulai
adanya pengenalan pada Aku sendiri dengan bantuan bahasa
dan kata-kata. Pada masa ini pula anak mulai bergaul dengan
sesama dan atau masyarakat luas, serta memasuki usia sekolah
dasar18. Pada masa inilah, Nabi SAW mengingatkan agar orag
tua mengajarkan dan mendidik anak dengan beberapa hal,
yaitu:

2.a) Mengajari adab yang baik

18
Kartini Kartono, Op. Cit, h. 28-29
20 Hadis Tematik
Tarbawi

‫ قد علمنا حق الوالد على‬، ‫ يا رسول اهلل‬: ‫ أنهم قالوا‬، ‫عن ابن عباس‬
‫ ويحسن‬، ‫مه‬ ‫ أن يحسن اس‬: ‫ فما حق الولد على الوالد ؟ قال‬، ‫الولد‬
‫ رواه البيهقي‬.‫أدبه‬

“Dari Ibn ‘Abbas, bahwa mereka (para sahabat) bertanya:


Sungguhkami telah mengethaui hak orang tua atas anak, lalu
apa hak anak atas orang tua ? Rasulullah SAW bersabda:
Beri ia nama yang baik dan ajarkan perbaiki adabnya.” (H.R
Baihaqiy)19

‫وا‬JJ‫ا َل أَ ْك ِر ُم‬JJَ‫لَّ َم ق‬J ‫ ِه َو َس‬J ‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬J ‫ص‬


َ ِ ‫ول هَّللا‬
ِ J ‫ك ع َْن َر ُس‬ َ ‫ع َْن أَن‬
ٍ J ِ‫َس ْبنَ َمال‬
‫ رواه ابن ماجه‬.‫ أَ َدبَهُ ْم‬J‫أَوْ اَل َد ُك ْم َوأَحْ ِسنُوا‬

“Dari Anas bin Malik, dari Rasulullah SAW bersabda:


Muliakanlah anak-anakmu dann perbaikilah adab mereka.”
(H.R Ibn Majah)20.

Melatih membiasakan suatu perbuatan baik, merupakan


mertode yang amat tepat pada masa usia anak-anak. Karena
dari metode pembiasaan inilah akan terbentuknya jiwa dan
kepri-badian yang baik. Beberapa adab (etika) yang baik untuk
dididk dan dibiasakan pada anak misalnya:

CD Maktabah al-Syamilah, Baihaqiy, Syu’bat al-Iman, Juz


19

XVIII, h. 173
20
Abū ‘Abd Allah Ibn Muhammad ibn Yazīd Ibn Mājah,
selanjutnya ditulis Ibn Mājah, Sunan Ibn Mājah, Juz IV,
Lebanon, Beirut: Dar al-Fikr, 2004, h. 54
Hadis Tematik Tarbawi
21
o Meminta izin sebelum berpergian
o Mengucapkan salam saat pergi dan akan masuk rumah
o Makan dengan tangan kanan dan duduk
o Sebelum dan sesudah makan minum membaca do’a
o Memakai pakain (celana, baju, sendal, sepatu) mulai
dengan tangan atau kaki kanan
o Melepas pakaian dimulai dengan tangan atau kaki kiri
o Membaca doa saat akan memakai dan membuka
pakaian
o Belajar dan tidur sesuai dengan waktu yang dijadual-
kan
o Menggosok gigi dan wudhu’ sebelum tidur
o Membaca doa sebelum dan sesudah bangun tidur
o Dan lain sebagainya.

Dalam hal ini agar proses pembiasaan ini dapat berjalan


efektif, harus ada pengawasaan secara kontiniu dari orang tua,
dan yang tidak kalah pentingnya adalah pemberian contoh
(keteladaan) dari orang tua itu sendiri. Jika orang tua
(pendidik) hanya menyuruh anak berbuat dan membiasakan
suatu perbuatan baik, tapi ia sendiri tidak melakukannya, maka
perbuatan baik yang diajarkan itu tidak akan melekat pada diri
anak.21

2.b) Mengajarkan Ibadah (sholat)

Akmal Hawi, Dasar-Dasar Pendidikan Islam, Palembang:


21

IAIN Raden Fatah Press, 2005, h. 135


22 Hadis Tematik
Tarbawi

‫عنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرُوا‬
َ
ُ‫أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْ رِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَ اء‬
‫ رواه أبو داود‬.ِ‫عشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِع‬
َ

“Dari ‘Amr bin Syu’aib, Rasulullah SAW bersabda: Suruhlah


anakmu mengerjakan sholat pada ketika umurnya sudah
mencapai tujuh tahun. Pukullah mereka (jika tidak mau
mengerjakan sholat) ketika telah berusia sepuluh tahun.
Pisahkan diantara mereka dari tempat tidurnya”. (H.R. Abū
Dāwud)22

Sholat merupakan perkara paling penting setelah iman.


Sholat merupakan tiang agama dan karenanya menjadi hal
paling dasar dari kriteria seorang yang mengaku beragama
Islam. Oleh sebab itulah, Nabi SAW mengisyaratkan agar
anak di usia tujuh tahun harus sudah diajarkan, disuruh dan
dibiasakan mengerjakan sholat. Lebih dri itu, jika pada usia 10
tahun anak belum mau melaksanakan sholat, orang tua
dibolehkan membe-rikan hukuman ”pukul” pada anak.
Metode pemberian hukuman (punishman) dan peng-
hargaan (reward) terkadang diperlukan untuk sebuah proses
pendidikan. Pemberian hukuman yang diberikan pada
hakikatnya memberi kesan derita bila menyimpang dari jalan
yang benar atau utuyk menyadarkan si anak akan
kesalahannya dan kembali ke jalan yang benar. Begitupun
hukuman berupa pukulan yang tidak membahayakan. Dan
sebaliknya pemberian penghargaan (reward) dimaksudkan

Abū Dāwud Sulaimān bin al-Asy’ats al-Sijistān,


22

selanjutnya ditulis Abū Dāwud, Sunan Abū Dāwud, Juz I, Beirut:


Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2007, h. 173
Hadis Tematik Tarbawi
23
untuk memberi semangat (spirit) dan senang dalam mengkuti
kebaikan yang dilakukannya.23

2.c) Menanamkan kecintaan kepada nabi dan baca al-


Qur’an

- ‫ قال رس ول اهلل‬:‫ قال‬-‫ رضي اهلل عنه‬-‫وعن علي بن أبي طالب‬


‫ على حب‬:‫"أدبوا أوالدكم على خصال ثالث‬: - ‫صلى اهلل عليه وسلم‬
‫ رواه ابن النجار‬.‫ وعلى قراءة القرآن‬،‫ وحب أهل بيته‬،‫نبيكم‬

“Dari ‘Ali bin Ali Thalib r.a, Rasulullah SAW bersabda:


Didiklah anak-anakmu dengan tiga perkara, yaitu mencintai
Nabi, mencintai ahl bait (keluarga Nabi) dan membaca al-
Qur`an.” (H.R Ibn al-Najjār)24

Mengajarkan membaca al-Qur`an dan menanamkan kecin-


taan kepada Nabi SAW merupakan bagian penting dari tang-
gungjawab orang tua harus diberikan kepada anak semenjak
kecil. Adapun materi dan metode mengajarkan serta
menanamkan kecintaan kepada Nabi SAW antara lain:

o Menjelaskan kepada anak tentang keutamaan


Rasululah atas orang lain
o Rasulullah SAW adalah manusia pilihan
o Rasulullah SAW adalah teladan bagi semua manusia

Akmal Hawi, Op. Cit, h. 136-138


23

CD Maktabah al-Syamilah, Ittihaf al-Khiyarah al-Mahrah


24

bizawaid al-Masanid al-‘Asyrah Ibn Najjār, Juz VIII, h. 65, dan


Jami’ al-Ahadis, Juz II, h. 68
24 Hadis Tematik
Tarbawi

o Rasulullah sangat mencintai umatnya


o Menceritakan kepada anak tentang sejarah perjuangan
Nabi SAW
o Menceritakan sifat-sifat mulia Rasulullah SAW, seperti
al-shiddiq (benar/jujur), amanah, pemalu, sangat
penderma (al-Sakhi), pemberani (al-Syuja`)
o Dengan mencintainya berarti mencintai Allah
o Mengajarkan kepada anak agar senatiasa bersolawat
kepada Nabi SAW
o Memotifasi dan menyuruh anak menghafal hadis-
hadis Rasulullah SAW yang sesuai untuk anak-anak.25

2.d) Mengembangkan Bakat dan Minat

‫عن بكر بن عبد اهلل بن الربيع األنصارى قال رسول اهلل صلى‬
‫ رواه ابن منده‬.‫ علموا أوالدكم السباحة والرماية‬:‫اهلل عليه وسلم‬

“Dari Bakr bin ‘Abd Allah bin al-Rabī’ al-Anshari,


Rasulullah SAW bersabda: Ajarilah anak-anakmu memanah
dan berenang.” (H.R. Ibn Mandah)26

Tidak seperti teori Psiko-Behavouristik dan Tabula Rasa


Jhon Luck yang menyatakan bahwa anak yang lahir ibarat
kertas putih, tidak memiliki (membawa) potensi apapun,
namun dalam konsep fitrah Islam, justru sebaliknya. Menurut

25
Nājib Khālid al-‘Amir, Min Asalibir Rasul SAW fi
Tarbiyah, terj. Tarbiyah Rasulullah, Jakarta: Gema Insani Press,
1996, h. 65-65
26
CD Maktabah al-Syamilah, Jami’ al-Ahadis Ibn Mandah,
Juz IXV, h. 229
Hadis Tematik Tarbawi
25
Islam, dengan konsep fitrah manusia terlahir telah memiliki
banyak potensi, diantaranya adalah bakat minat.
Bakat merupakan kecenderungan khas yang terdapat pada
setiap orang. Bakat yang ada pada diri seseorang umumnya
karena faktor genetis, namun adakalanya terbentuk melalui
faktor proses pendidikan. Hadis di atas mengisyaratkan bahwa
orang tua, termasuk pendidik, harus menumbuh kembangkan
bakat minat yang ada pada anak. Oleh karenanya orang tua
dan harus dapat mengunggkap potensi bakat dan minat yang
ada pada anak serta mengem-bangkan dan mengarahkan bakat
minat itu sesuai dengan jalurnya. Jika demikian, maka
pemahaman hadis di atas jangan dilihat secara tekstual akan
tetapi secara kontekstual. Keterampilan berenang dan
memanah dapat dipahami sebagai simbol bakat minat yang
dikembangkan.

3. Mendidik Anak Usia Remaja

Usia remaja, menurut para ahli psikologi, mulai dari


umur 12 hingga 18 tahun. Masa ini dibedakan menjadi masa
pra Pubertas (12- 14 tahun) dan masa Pubertas (14-18 tahun).27
Pra Pubertas merupakan masa peralihan dari masa sekolah
menuju masa pubertas, dimana seorang anak yang telah besar
sudah ingin berlaku seperti orang dewasa tetapi dirinya belum
siap termasuk kelompok orang dewasa. Pada masa ini adalah
saat terjadinya kemasakan seksual yang sesungguhnya.
Peristiwa kemasakan seksual tersebut pada wanita terjadi 1,5
sampai 2 tahun lebih awal dari anak laki-laki. Secara fisik dan
psikologi terjadi banyak perubahan pada masa ini. Perasaan
yang muncul pada masa pra Pubertas ini umumnya perasaan
negatif, sehingga sebagian ahli menyebutnya masa negatif.
27
Abu Ahmadi, Op. Cit, h. 85
26 Hadis Tematik
Tarbawi

Anak mulai timbul keinginan untuk melepaskan diri dari


kekuasaan orang tua, tidak mau tunduk lagi pada segala
perintah, kebijakan orang tua, tidak tenang dan gelisah.
Semuanya terasa ingin ditolak. Begitu pula pada masa
Pubertas (14-18 thun), seorang anak tidak lagi hanya bersifat
reaktif, tetapi mulai aktif mencapai kegiatan dalam rangka
menemunkan dirinya, serta mencari pedoman hidup untuk
bekal kehidupannya mendatang.28 Ringkasnya usia remaja
merupakan masa penuh gejolak jiwa, kegelisahan dan labil.
Agar tidak terjadi penyimpangan dari dorongan-dorongan
negatif demikian itulah maka di masa ini anak sangat
membutuhkan bimbingan dan arahan. Adapun diantara yang
terpenting dari pengajaran dan pendidikan yang diajarkan Nabi
SAW pada usia ini adalah:

3.a) Berhati-hati memilih eman

Hadis Rasullullah SAW:

ُ‫عنْهُ قَالَ قَالَ رَسُ ول‬


َ ُ‫عنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّه‬
َ ‫عنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنَ أَبِي مُوسَى‬
َ
ِ‫علَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَ ل‬
َ ُ‫اللَّهِ صَلَّى اللَّه‬
ِ‫سكِ إِمَّا تَشْ تَرِيه‬
ْ ِ‫صَاحِبِ الْمِسْكِ وَكِيرِ الْحَدَّادِ لَا يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْم‬
‫أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِ دُ مِنْ هُ رِيحًا‬
‫ روا ه البخاري و أحمد‬.‫خَبِيثَة‬

“Dari Abi Burdah bin Abi Musa, dari Ayahnya berkata;


Rasulullah SAW bersabda: Perumpamaan teman yang baik
dan teman yang buruk adalah seperti pembawa minyak wangi
28
Ibid., h. 86-87
Hadis Tematik Tarbawi
27
dan seorang pandai besi. Dari penjual minyak wangi
adakalanya engkau mendapatkan hadiah atau bau harum-
nya. Adapun dari tukang pandai besi adakalanya engkau
terbakar bajumu atau mendapatkan bau busuk”. (H.R
Bukhariy dan Ahmad)29

Sudah menjadi takdir bahwa manusia hidup membutuhkan


orang lain sebagai teman. Karena memang secara tabiatnya
adalah makluk sosial (zoon politicon) Seorang teman biasanya
tem-pat mengungkapkan segala isi hati dan menyertainya
dalam hal-hal yang pribadi sekalipun, agar ia tenang dengan
pendapatnya dan menemukan jalan keluar dengan idenya.
Oleh karenanya peran teman tidak bisa dipungkiri dan tidak
boleh diabaikan oleh para orang tua. Orang tua harus
memberikan bimbingan dan arahan kepada anaknya untuk
berhati-hati dalam memilih teman. Pilihlah teman yang sholeh
yang mempunyai hubungan dekat dengan Allah.30 Karena
dengan begitu diharapkan akan mendapat kebaikan dari teman
yang baik itu.

3.b) Menundukkan pandangan dan menjaga kesucian


diri.

Hadis Rasulullah SAW:

‫ َمنُوا لِي‬J‫اض‬ ْ ‫ال‬J َ Jَ‫لَّ َم ق‬J‫ ِه َو َس‬J‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬J‫ص‬


َ ‫ي‬ َّ ِ‫ت أَ َّن النَّب‬
ِ ‫ع َْن ُعبَا َدةَ ب ِْن الصَّا ِم‬
‫ ْدتُ ْم‬J‫ إِ َذا َو َع‬J‫وا‬JJُ‫ َّد ْثتُ ْم َوأَوْ ف‬J‫ ُدقُوا إِ َذا َح‬J‫اص‬ ْ َ‫ ُك ْم أ‬J‫ِستًّا ِم ْن أَ ْنفُ ِس‬
ْ َ‫ َم ْن لَ ُك ْم ْال َجنَّة‬J‫ض‬

Al-Bukhariy, Juz II, Op.Cit, h. 14


29

’Abd al-Hakam Ash-Sha’idi, Al-Usrah al-Muslimah:


30

Ususun wa Mabadi`u, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta:


Akbar Media Eka Sarana, 2002, h. 142
28 Hadis Tematik
Tarbawi

.‫ ِديَ ُكم‬Jْ‫أَي‬ ‫ار ُك ْم َو ُكفُّوا‬ َ ‫وا أَب‬J‫ض‬


َ J‫ْص‬ ْ ‫َوأَ ُّدوا إِ َذا‬
َ ‫م َواحْ فَظُوا فُر‬Jُْ‫اؤتُ ِم ْنت‬
ُّ ‫ُوج ُك ْم َو ُغ‬
‫رواه أحمد‬
" Dari ‘Ubadah bin al-Shamith bahwa Nabi SAW bersabda:
Jaminlah untukku enam hal dari kalian, maka aku akan
menjamin kamu masuk surga. Yaitu jujurlah kalau bicara,
tepatilah kalau berjanji, sampaikanlah amanah jika kamu
dipercaya, jagalah kemaluanmu, tundukkanlah pandanganmu
dan tahanlah tanganmu.” (H.R Ahmad)31

3.c) Mengajarkan etika pergaulan dengan lawan jenis

َ‫علَيْهِ وَسَ لَّم‬


َ ُ‫عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه‬
‫ رواه‬.ٌ‫يَقُولُ لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلَا تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْ رَم‬
‫صحيح البخاري‬

“Dari Ibn ‘Abbas r.a bahwa Rasulullah saw bersabda:


Janganlah bersuny-sunyian laki-laki dan perempuan dan
janganlah berpegian seorang perempuan kecuali bersama
mahramnya.” (H.R Bukhariy)32

Dari dua hadis di atas, setidaknya ada pokok pelajaran


seba-gai upaya untuk mengatasi gejolak nafsu seksual yang

Ahmad, Juz. XVI, Op. Cit, h. 413..


31

Al-Bukhariy, Juz III, Op. Cit, h. 282. Juga diriwayatkan


32

oleh: Muslim, Kitab Jāmi’ Shahīh bab Hāji: 424; Turmudziy,


Kitab Sunan bab Radha’: 16, bab Fatn: 7, dan; Ahmad bin Hanbal,
Kitab Muznad jilid I: 222, jilid III: 229, 446. Lihat, A.J Wensink,
Jilid II, Op. Cit, h. 76
Hadis Tematik Tarbawi
29
cenderung ingin bebas. Pertama, menundukkan pandangan,
dan kedua tidak membolehkan pergi berduaan atau duduk
bersunyi-sunyian antara seorang laki-laki dan perempuan
tanpa ada mahramnya. Menundukkann pandangan disini, tidak
memandangnya secara berlebihan atau memandangnya dengan
nafsu syahwat. Panda-ngan demikian adalah karena menjadi
salah satu senjata atau anak panah Iblis (syetan) untuk
menjatuhkan manusia. Sebagaimana dalam hadis Nabi SAW:

‫ إِ َّن‬:‫لَّ َم‬J‫ ِه َو َس‬Jْ‫لَّى هَّللا ُ َعلَي‬J‫ص‬


َ ِ ‫ل هَّللا‬Jُ ‫ال َرسُو‬ َ َ‫ ق‬،‫ع َْن َع ْب ِد هَّللا ِ بن َم ْسعُو ٍد‬
َ َ‫ ق‬:‫ال‬
‫ه‬JJ‫وف هللا أثاب‬JJ‫ا من خ‬JJ‫ َم ْن تركه‬،‫ ُمو ٌم‬J‫يس َم ْس‬ ْ َّ‫الن‬
َ ِ‫هَ ِام إِ ْبل‬J‫ظ َرةَ َس ْه ٌم ِم ْن ِس‬
‫ رواه الطبراني‬.‫جل وعز إيمانا يجد حالوته في قلبه‬

“Dari Abd Allah bin Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda:


Pandangan adalah salah satu anak panah iblis yang beracun.
Siapa yang meninggal-kannya karena takut kepada-Ku, maka
Aku akan menggantikannya dengan iman yang dia temukan
manisnya dalam hatinya.” (H.R Thabrani)33

Pada hadis lain, Nabi SAW mempertegas dengan


sabdanya:

َ ‫ع َْن أَبِي أُ َما َمةَ ع َْن النَّبِ ِّي‬


َ Jَ‫م ق‬Jَ َّ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسل‬
‫ ُر‬J ُ‫لِ ٍم يَ ْنظ‬J ‫ا ِم ْن ُم ْس‬JJ‫ال َم‬J
َ ‫ص َرهُ إِاَّل أَحْ د‬
‫ ُد‬J‫ا َدةً يَ ِج‬JJَ‫َث هَّللا ُ لَهُ ِعب‬ َ َ‫اس ِن ا ْم َرأَ ٍة أَ َّو َل َم َّر ٍة ثُ َّم يَ ُغضُّ ب‬
ِ ‫إِلَى َم َح‬
‫ رواه أحمد‬.‫َحاَل َوتَهَا‬

CD Maktabah al-Syamilah, Mu’jam al-Kabir al-Thabrāniy,


33

Juz IX, h. 17
30 Hadis Tematik
Tarbawi

“Dari Abi Umamah, Nabi SAW bersabda: Tidaklah seorang


muslim (lk) yang memandang kepada cantiknya rupa seorang
perempuan kemudian menundukkan pandangannya melainkan
Allah menggantikan-nya dengan ibadah yang ia temukan
manisnya dalam hatinya.” (H.R Ahmad)34

3.d) Melarang menyerupai lawan jenis

َ Jَ‫لَّ َم ق‬J‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس‬


‫ ِّر َم‬J‫ال ُح‬J َ ‫ي أَ َّن َرس‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬ ِّ ‫ اأْل َ ْش َع ِر‬J‫ع َْن أَبِي ُمو َسى‬
.‫ رواه الترمذي‬J.‫ور أُ َّمتِي َوأُ ِح َّل إِل ِ نَاثِ ِه ْم‬ ِ ‫ب َعلَى ُذ ُك‬ ِ َ‫الذه‬ َّ ‫ير َو‬ ِ ‫لِبَاسُ ْال َح ِر‬

“Dari Abi Musa al-Asy’ari, bahwa Rasulullah SAW bersabda:


Pakaian sutera dan emas diharamkan atas umatku yang laki-
laki dan dihalalkan bagi wanita.” (H.R Turmudzi)35

Untuk menjaga kemurnian jender dan menghindari


penyimpangan seksual, Islam sesungguhnya telah
mengajarkan beberapa hal terkait masalah ini. Diantaranya,
pertama, anak laki-laki dan perempuan harus dipisahkan dari
tempat tidurnya (tidak boleh satu tempat tidur) sejak usia tujuh
tahun. Pemisahan dari satu tempat tidur ini, karena pada usia
itu anak sudah mulai mengenal lawan jenis, membedakan
banar salah. Kedua, mem-berikan atau mensesuaikan mainan
sesuai dengan mainan laki-laki untuk laki-laki atau permainan
perempuan untuk perempuan. Ketiga, menjauhkan gambar-
gambar atau tayangan visual yang dapat menimbulkan
rangsangan syahwat. Keempat, tidak meniru-niru perbuatan
lawan jenisnya. Kelima, tidak berhias atau memakai pakaian
34
Ahmad, Juz XVI, Op. Cit, h. 256
35
Al-Turmudziy, Juz, III, Op. Cit, h. 234
Hadis Tematik Tarbawi
31
lawan jenis. Hadis di atas cukup menjadi peringatana keras
bahwa Allah melaknat seorang laki-laki yang berhias,
berperilaku dan berpakaian perempuan demikian pula
sebaliknya.
4. Mendidik Anak Masa Dewasa

Berakhirnya masa Pubertas, maka anak kemudian mulai


masuk masa dewasa (17/18 – 21 tahun), yang sebagian ahli
menyebutnya masa adolesen. Pada masa ini terjadi proses
pematangan fungsi-fungsi psikis dan fisis, yang berlangsung
secara beransur-ansur dan teratur. Ia sudah menemukan AKU-
nya sendiri, secara aktif dan objektif melibatkan diri dalam
macam-macam kegiatan di dunia luar, bersikap kritis terhadap
objek-objek di luar dirinya, mampu mengambil sintesa
diantara tanggapan tentang dunia luar dengan dunia intern,
mulai membuat rencana kehidupan serta sudah mulai memilih
dan menentukan jalan hidup (way of life) yang hendak
ditemuinya.36 Dalam hal akan mencari dan menentukan calon
pasangan hidup kehidupan berkeluarga ini, anak yang telah
menjadi dewasa tetap memerlukan bimbingan dan arahan dari
orang tua. Nabi SAW bersabda:

َ Jَ‫لَّ َم ق‬J‫ ِه َو َس‬J‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬J‫ص‬


‫ال‬J َ ‫هُ ع َْن النَّبِ ِّي‬J‫ي هَّللا ُ َع ْن‬
Jَ J‫ض‬ ِ ‫ع َْن أَبِي هُ َري َْرةَ َر‬
ْ Jَ‫ ِدينِهَا ف‬J ِ‫ َول‬J‫ا‬J َ‫ َو َج َمالِه‬J‫بِهَا‬J ‫ا َولِ َح َس‬JJَ‫ع لِ َمالِه‬J
ِ ‫ َذا‬J ِ‫اظفَرْ ب‬J
‫ت‬ ٍ Jَ‫تُ ْن َك ُح النِّسَاءَ أِل َرْ ب‬
J‫ رواه النسائى‬.‫ك‬ ْ َ‫الدِّي ِن ت َِرب‬
َ ‫ت يَدَا‬

“Dari Abi Hurairah r.a, Nabi SAW bersabda: Nikahilah


perempuan karena empat faktor; karena hartanya,
keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Pilihlah yang

36
Abu Ahmadi, Op. Cit, h. 89-92
32 Hadis Tematik
Tarbawi

utama karena agamanya, karena ia akan mengikat tanganmu.”


(H.R Nasa`i)37

Sisi lain diantara potensi lain yang terdapat pada manusia


adalah potensi seksual untuk melanjutkan keturunan. Manu-sia
yang telah mencapai kematangan seksualnya pada masa dewasa
secara naluri ingin mencari lawan jenisnya sebagai pasangan
hidupnya membangun sebuah keluarga. Jadi seorang laki-laki
mencintai seorang wanita, dan juga sebaliknya adalah sebuah
fitrah atau sunnatullah, namun harus disalurkan dan
diwujudkan melalui pernikahan (perkawinan). Bahkan Islam
melarang menempuh hidup tabattul (hidup membujang) atau
rahbaniyyah (hidup kependetaan). Dengan tujuan terjaminnya
keturunan yang baik dan terwujudnya keluarga yang harmonis,
Islam tidak membiarkan urusan perkawinan begitu saja.
Bahkan Islam meletakkkan dasar dan prinsip tertentu yang
menjamin terbentuknya keluarga yang sakinah dan keturunan
yang baik. Diantara prinsip yang diajarkan Nabi SAW terkait
urusan ini adalah prinsip atau kriteria dalam memilih calaon
pasangan hidup. Pada hadis tersebut di atas, Nabi SAW
mengajarkan tentang kriteria yang menjadi pertimbangan
pokok manusia dalam memilih calon pasangannya, yaitu harta,
keturunan, kecantikan dan agama.
Tidak ragukan bahwa banyak faktor (alasan) yang menjadi
pertimbangan seseorang dalam memilih calon pasangan
hidupnya. Dari banyak faktor yang adanya, secara realitas
tampaknya, harta, keturunan dan kecantikan/ ketampanan
merupakan yang paling dominan. Karena itu dalam hadis Nabi
SAW tersebut, faktor agama disebut urutan yang terakhir.
Namun demikian, Nabi SAW memberi penekanan bahwa
37
Al-Nasā`iy, Sunan al-Nasā`iy, Juz VI, Lebanon, Beirut:
Dar al-Fikr, 2005, h. 68
Hadis Tematik Tarbawi
33
utamakanlah (prioritaskanlah) agama yang harus lebih
dipentingkan. Karena bagaimanapun, harta dan kecantikan
bersifat nisbi, tidak bisa memberikan rasa cinta dan keba-
hagiaan yang hakiki dan abadi. Lebih lanjut, Islam seba-
gaimana tersimpul dalam beberapa hadis, Nabi SAW memberi
pelajaran sebagai berikut.

Pertama, melihat calon istri; Islam tidak menyukai


spekulasi dalam segala hal. Islam tidak membolehkan jika
seseorang melakukan akad transaksi atas sesuatu yang tidak
dilihat, atau sesuatu yang tidak mungkin diperkirakan kadarnya,
atas sesuatu yang tidak mungkin di dapat, seperti ikan dalam air
dan burung di udara, atas sesuatu yang tidak ada wujudnya
yang nyata seperti buah yang belum sempurna masaknya.
Demikian pula dalam hal perkawinan. Ini bukti Islam sangat
menghormati kecenderungan hati dan keinginan pribadi
seseorang, karena itu sejalan dengan fitrah yang diletakkkan
oleh Allah dalam diri manusia. Yang saling menge-nal akan
bisa rukun, sedang yang tidak saling mengenal akan bisa
berselisih. Dalam sebuah riwayat diceritakan, bahwa Mughirah
bin Syu’bah hendak melamar seorang wanita, lalu Nabi SAW
bertanya bersabda: “Lihatlah dia, karena hal itu akan lebih
memuat kamu serasi.?”
Melihat calon pasangan bukan hanya hak sang pelamar saja,
tapi juga hak wanita yang dilamar. Tapi harus diingat, bahwa
yang diperintahkan dan dibolehkan adalah melihat bukan
berduaan tanpa mahram, seperti yang dikenal dalam berbagai
masyarakat modern sekarang dengan cara pergi berduaan yang
dibenci oleh fitrah dan jiwa yang suci, terlebih lagi oleh
kaedah-kaedah agama. Adapun batas boleh melihat menurut
ketentuan fikihnya, para ulama berbeda pendapat. Namun
jumhur ulama menyatakan batas kebolehan melihat itu adalah
wajah, tangan, leher dan kaki. Ringkasnya, kebolehan melihat
34 Hadis Tematik
Tarbawi

ini karena kebanyakan manusia memilih calon pasangan


hidupnya adalah salah faktor dominan kecantikan, ketampanan
(fisik).
Kedua, memudahkan dalam mahar/mas kawin; Harta
merupakan salah satu perhiasan dunia yang manusia cenderung
kepadanya. Karena itulah harta, disebut dalam hadis, menjadi
penilaian memilih calon pasangan hidup. Karena bagaimanapun
harta merupakan salah satu sarana (wasilah) pendukung yang
tidak dapat diabaikan untuk menciptakan keluarga yang rukun
dan damai. Namun demikian Islam mengajarkan, jumlah harta
tidak dijadikan syarat utama, atau harta tidak boleh
mempersulit orang yang akan melakukan pelamaran atau
peminangan calon istrinya. Sedapat mungkin mahar
diringankan sesuai kemampuan si pelamar. Dalam sirah
Nabawiyah tersebut bahwa Rasulullah SAW menikahkan
putrinya Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib hanya dengan
mahar yang jumlahnya empat ratus tujuh puluh dirham.
Demikian pula beliau pernah menikahkan sahabatnya dengan
mahar hapalan al-Qur`an. Dalam sebuah riwayat diceritakan
bahwa suatu ketika seorang wanita datang kepada Nabi SAW
dan berkata: “ Ya Rasulullah, aku menghadiahkan diriku
kepadamu.” Ia berdiri lama (menunggu jawaban Nabi SAW).
Maka, seorang laki-laki berdiri dan berkata: “ Ya Rasulullah,
nikahkanlah aku dengannya jika engkau tidak
menghendakinya.” Nabi berkata kepadanya: “Apakah engkau
punya sesuatu yang menjadi maharnya?”. Ia menjawab: “Aku
tidak punya apa-apa selain kainku ini.” Nabi berkata: ”Kalau
kau berikan kain itu untuknya, kau tanpa kain. Carilah sesuatu
yang lain.”. Ia menjawab: Aku tidak menemukan apa-apa.”
Nabi berkata:” Carilah walaupun satu cincin dari besi.” Laki-
laki pergi untuk mencari, namun tidak mene-mukan apa-apa.
Maka Nabi berkata: ” Apakah kamu mempunyai (hapalan) al-
Qur`an ?. Ia menjawab: ”Ia, surat ini dan surat itu.” Nabi
Hadis Tematik Tarbawi
35
bersabda kepadanya: ” Aku nikahkan kamu dengan mahar apa
yang engaku hafal dari al-Qur’an”.38
Ketiga, memperhatikan asal usul dan lingkungan keluarga.
Memiliki keturunan merupakan fitrah yang diinginkan oleh
setiap orang. Secara genetik, keturunan yang baik akan
melahirkan generasi keturunan yang baik. Atas dasar inilah,
Nabi SAW dalam hadisnya menyebut agar memilih calon
pasangannya dengan memperhatikan ketu-runan (nasab)nya.
Termasuk dalam prinsip ini adalah, sebaiknya tidak menikah
dengan calon pasangan yang mempunyai hubungan
kekerabatan yang dekat. Tapi usahakan dengan calon pasangan
yang jauh hubungannya atau tidak mempunyai hubungan
kekerabatan. Sebagaimana Rasulullah memperingatkan dalam
hadisnya: ”Menikahlah dengan wanita yang jauh
kekerabatannya agar kamu tidak lemah.”. Hal ini penting
karena, secara genetis, semakin dekat hubungan kekerabatan
antar suami dan istri, akan menimbulkan semacam penimbunan
sifat-sifat yang tidak dikehendaki pada keturunan, seperti
kekerdilan, idiot dan penyakit penyakit lainnya.39
Keempat, memperhatikan sifat dan ibadahnya; Seseorang
yang bermaksud menikah harus menyadari bahwa hubungan
perni-kahan tidak hanya pada sebatas penghalalan pemenuhan
kebutuhan seksual belaka. Pernikahan memiliki tujuan lebih
tinggi dan mulia, karena ia juga mencakup tujuan pemenuhan
kebutuhan rohani, berupa tumbuhnya rasa cinta, keamanan dan
kedamaian. Semua itu tidak terpenuhi kecuali dalm jiwa orang
yang memiki agama yang kat, beriman kepada Allah dan
percaya pada janji-Nya yang berusaha sekuat tenaga untuk
mencapai ridha-Nya. Karena itulah diujung sabdanya memberi
penegasan dan penekanan dengan kalimat ”fazhfar bi dzati al-
din” (utamakanlah pilih yang memiliki agama), karena dengan
38
Abd al-Hakam Ash-Sha’idi, Op. Cit, 67-68
39
Ibid., h. 54-55
36 Hadis Tematik
Tarbawi

agamalah kedamaian, kerukunan, dan kebahagian yang hakiki


akan dirasakan.
Cukup banyak dalil (Nash) lainnya yang memperkuat sabda
Nabi SAW yang memberi penekanan pada ”fazhfar bi dzati al-
din”. Dalil al-Qur`an misalnya:

       


      
     

”Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak


cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi
beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari
budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui
keimananmu.” (Q.S al-Nisa`/4:25)

      


       
     
      

”Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,


sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik
hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun Dia menarik hatimu”. .(Q.S al-Baqarah/2:
221)

Dari hadis yang lain Nabi SAW bersabda:


Hadis Tematik Tarbawi
37
‫علَيْ هِ وَسَ لَّمَ لَا‬
َ ُ‫عبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَ لَّى اللَّه‬
َ ْ‫عن‬
َ
َّ‫تَزَوَّجُوا النِّسَاءَ لِحُسْنِهِنَّ فَعَسَى حُسْ نُهُنَّ أَنْ يُ رْدِيَهُنَّ وَلَا تَزَوَّجُ وهُن‬
ٌ‫لِأَمْوَالِهِنَّ فَعَسَى أَمْوَالُهُنَّ أَنْ تُطْغِيَهُنَّ وَلَكِنْ تَزَوَّجُوهُنَّ عَلَى الدِّينِ وَلَأَمَ ة‬
‫ رواه ابن ماجه‬.ُ‫خَرْمَاءُ سَوْدَاءُ ذَاتُ دِينٍ أَفْضَل‬

“Dari Abd Allah bin ’Amr, Rasulullah SAW bersabda:


Janganlah menikahi wanita karena kecantikannya, karena bisa
jadi kecantikannya itu membuatnya lupa diri. Janganlah
menikahi wanita karena hartnya, karena bisa jadi hartnya itu
membuatnya sombong. Akan tetapi, nikahilah wanita karena
agamanya. Sungguh budak wanita yang hitam tapi beragama
adalah lebih baik.” (H.R Ibn Majah)40

‫عبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الدُّنْيَا‬
َ ْ‫عن‬
َ
‫ رواه مسلم‬.ُ‫مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَة‬

“Dari Abd Allah bin ’Amr, Rasulullah SAW bersabda:Dunia


adalah perhiasan. Sebaik-baik perhiasan adalah wanita (istri)
yang sholehah”. (H.R Muslim)41

Kriteria atau prinsip ini tidak hanya terbatas pada wanita


yang dilamar, tapi juga pada laki-laki yang melamar. Bahkan ia
harus lebih memiki kriteria ini, karena ia yang kan menjadi

Ibn Mājah, Juz I, Op. Cit, h. 583-584.


40

Al-Nawawiy, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawiy, Juz


41

V.,Kairo: Dar al-Hadits, 2001, 315


38 Hadis Tematik
Tarbawi

pemimpin dalam rumah tangganya, menjadi contoh istri dan


anaknya. Wallahu a’lam

Anda mungkin juga menyukai