Anda di halaman 1dari 6

MENCINTAI ALLAH

DAN MENCINTAI
MAKHLUK KARENA
ALLAH

Orang yang punya kalbu


pasti merasakan CINTA;
pasti ia men-CINTA-i
sesuatu. CINTA adalah
perasaan yang dimiliki oleh
semua pemilik hati yang
hidup. Mereka sama dalam
hal potensi CINTA, namun
berbeda tingkatan dan
derajat dalam CINTA.
CINTA memiliki derajat
dan tingkatan: seberapa
jauh orang mengenal sesuatu, maka sejauh itu pula kadar CINTA-nya kepada sesuatu itu.

Barangsiapa mengenal Allah, niscaya ia men-CINTA-i-Nya. Sejauh tingkat pengertian dan


pengenalannya, maka sejauh itu pula tingkat ke-CINTA-annya kepada Allah. Oleh karena itu,
Rasulullah SAW adalah orang yang paling CINTA kepada Allah, karena beliau paling mengerti
dan paling mengenal Allah. Beliau bersabda,

“Sesungguhnya orang yang paling mengenal Allah di antara kalian adalah aku.”

CINTA adalah buah makrifat. Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Barangsiapa mengenal Tuhannya,
maka ia akan men-CINTA-i-Nya; barangsiapa mengenal dunia, maka ia bersikap zuhud
(sederhana) terhadapnya. Bagaimana bisa dibayangkan orang men-CINTA-i dirinya sendiri,
namun tidak men-CINTA-i Tuhannya yang menciptakan wujud dirinya?”

Diriwayatkan dari orang arif yang penuh CINTA, dari orang-orang yang berilmu dan mengerti,
bahwa mereka men-CINTA-i dan memurnikan CINTA-nya kepada Tuhan mereka. Di dalam
bukunya, THARIIQUL HIJRATAIN, Ibnul Qayim mengatakan, “Mereka adalah kaum yang
hatinya telah dipenuhi dengan makrifat (pengenalan) kepada Allah dan disibukkan dengan men-
CINTAi-Nya, takut kepada-Nya, mengagungkan-Nya dan merasa selalu diperhatikan oleh-Nya.
Merambatlah CINTA itu ke seluruh organ tubuhnya, hingga setiap urat dan persendiannya
dirambah oleh CINTA. CINTA-nya kepada Allah telah membuat mereka lupa pada selain Ia."

“Mereka telah lebur men-CINTA-i Allah dan lupa akan yang lain; mereka hanyut dalam
mengingat Allah dan lupa dari yang lain. Mereka takut dan berharap kepada-Nya, tawakal dan
kembali kepada-Nya, rindu kepada-Nya dan merendahkan diri di hadapan-Nya, hingga mereka
tidak pernah menggantungkan dan menghubungkan diri dengan selain Allah”

“Apabila mereka meletakkan lambung di tempat tidur, jiwa mereka naik kepada Tuhan. Segala
angan-angannya menyatu dalam mengingat sifat-sifat-Nya Yang Maha Luhur. Dalam hati
mereka cahaya Allah begitu terang, hingga hati mereka penuh dengan makrifat dan CINTA
kepada Allah. Jasadnya terbaring di tempat tidur, tetapi hatinya membumbung tinggi menjumpai
Pelindung dan Kekasih-Nya, tunduk merendahkan diri dengan khusyu di hadapan-Nya.”

“Alangkah mulianya sujud mereka. Seolah-olah mereka tidak ingin mengangkat kepalanya dari
sujud, sampai datang hari Pertemuan. Alangkah tingginya tempat hati yang telah dekat di sisi
Tuhan, telah meninggalkan alam semesta dan merobek tabir dunia. Ia tidak berhenti di jalan yang
indah dan belum merasa tenang meskipun telah mendapat ilmu, sampai ia masuk ke haribaan
Tuhannya, lalu menyaksikan Kekuasaan, Keagungan, Kemuliaan dan Kesempurnaan.”

“Bila sifat-sifat dan nama-nama Tuhan telah hadir di hatinya, maka ia akan lupa pada selain Ia
dan lalai men-CINTA-i selain Ia. Ketika itu Tuhan Yang Maha Suci menjadi pendengarannya
dan penglihatannya. Hati mereka telah putus dari alam semesta dan bersujud di bawah Arasy
Allah Yang Maha Pengasih.”

Al-Ghazali mengatakan, di dalam AL-IHYA’ ULUMIDDIN sebagai berikut,

“ORANG YANG TAK MENGENAL ALLAH DI DUNIA, MAKA IA TAK AKAN


MELIHAT-NYA DI AKHIRAT. ORANG YANG TIDAK MERASAKAN LEZATNYA
MAKRIFAT DI DUNIA, MAKA IA TIDAK AKAN MERASAKAN LEZATNYA
MEMANDANG ALLAH DI AKHIRAT. Orang akan hanya akan mengetam apa yang telah ia
tanam. Sesungguhnya kenikmatan surga diukur dengan kadar CINTA kepada Allah, dan CINTA
kepada Allah diukur dengan kadar makrifat kepada-Nya. Maka, pokok kebahagiaan adalah
makrifat yang dalam syariat diistilahkan dengan iman."

Tingkatan CINTA yang paling tinggi adalah tingkatan CINTA KHAWAASHUL KHAWAASH
(orang-orang super khusus) dan tingkatan ahli ibadah yang tulus, yang menurut istilah kaum sufi
disebut dengan FANA’(lebur) dalam Kekasih.

Kata FANA’ secara harfiah memiliki makna lebur atau lenyap secara material; leburnya yang
FANA’ (akan sirna) dengan yang BAQA’ (kekal). Makna harfiah ini dalam Islam adalah
mustahil, karena Allah adalah Nur yang tak dapat dicapai oleh pandangan mata. Sedangkan Ia
mengetahui batas kemampuan pandangan mata. Ia Maha Suci dari bentuk, batas, arah dan
ukuran.

Maka yang dimaksud dengan istilah FANA’ dalam Islam adalah FANA’ maknawi; FANA’
dalam kesaksian, bukan FANA’ inkarnasi. Ia adalah FANA’ imani yang tertinggi yang berangkat
dari makrifat (pengenalan) akan KAUN (alam semesta) dan AL-MUKAWWIN (Pencipta).
FANA’ adalah leburnya seorang bamba dalam men-CINTA-i Kekasihnya dan Pelindungnya.
Tujuannya hanya Tuhan dan ridha-Nya. Alam semesta dengan segala isinya menjadi kecil dalam
pandangan orang yang sedang memandang Kekasihnya. YANG IA LIHAT HANYA
KEKASIHNYA, TUHANNYA.

Jika Allah hendak memberinya sesuatu dari Arasy ke tempat tidurnya, ia akan berkata, “Bukan,
bukan itu yang aku maksud. Yang aku inginkan hanyalah Engkau.” Ia tidak menginginkan
pemberian dan nikmat. YANG IA INGINKAN ADALAH PEMBERI NIKMAT, ZAT YANG
MAHA MEMBERI.

Hilanglah segala keinginan orang yang memandang-Nya. YANG IA LIHAT HANYALAH


KEKASIHNYA YANG SANGAT DEKAT DENGANNYA. Pemberian-pemberian duniawi dan
kenikmatan-kenikmatan material tidak ada nilainya sama sekali dalarn logika orang yang mabuk
CINTA dan sedang FANA’ bersama CINTA-nya itu.

YANG IA RASAKAN HANYA KERELAAN (RIDHA). Ia merasa nikmat hanya dengan


mendekat kepada Kekasihnya. Kebahagiaannya adalah ketika ada kerinduan kepada-Nya.
YANG IA PILIH HANYA APA YANG DIPILIHKAN OLEH KEKASIHNYA. Ia tunduk
menerima QADHA’ (ketentuan). Ia rela menerima takdir Allah. Jadilah kerinduan dan
kegembiraannya sebagaimana yang dikatakan oleh Umar ibn Abdul Aziz dalam menerima
QADHA’ dan takdir, apapun bentuknya. Ia selalu bersama makhluk dan hidup seperti mereka,
tetapi ROH DAN PERASAAN HATINYA SELALU BERSAMA PENCIPTA. Yang ia lihat
hanya kemurahan dan wujud-Nya.

Penulis buku KASYFUL MAHJUB berkata, “Yang dimaksud dengan FANA’ (lebur) adalah
leburnya kehendak hamba dalam kehendak Allah, bahkan LEBURNYA WUJUD HAMBA
DALAM WUJUD ALLAH.”

Dalam dunia tasawuf kita temukan beberapa contoh orang yang masa lalunya bergelimang dalam
dosa dan kesalahan. Kemudian timbul rasa CINTA kepada Tuhannya. Maka, karena CINTA-nya
inilah ia berusaha membersihkan dosa-dosa hingga bersih. Ia berada dalam kondisi FANA’,
hingga yang ia lihat hanya Kekasihnya.

Dalam kehidupan manusia, kita temukan beberapa contoh orang yang dimabuk CINTA. Mereka
lebur dalam satu tujuan, yaitu men-CINTA-i kekasih. Qais ibn Al Maluh, ketika dinyalakan api
tepat di depannya, ia tidak merasakan panasnya api itu karena hatinya sedang tercurah kepada
kekasihnya, Laila yang membuat gila. Yang ia lihat di alam ini hanya Laila.

Imam al-Qusyairi berkata di dalam kitabnya RISAALATUL QUSYARIYAH, “Kadang-kadang


engkau lihat seseorang yang menghadap raja, lantas ia lupa akan dirinya sendiri dan anggota
majlis, karena kekaguman hatinya. Ketika ia keluar dari sisi raja, ia tidak dapat menjelaskan apa-
apa ketika ditanya. Ia tidak dapat menjelaskan kondisi majlis itu dan kondisi sang raja. Bahkan ia
tidak dapat menjelaskan keadaan dirinya sendiri ...”

Selanjutnya Imam Al-Qusyairi mengatakan, ‘Allah telah berfirman, “Ketika wanita-wanita itu
melihat Yusuf mereka pun kagum kepadanya dan mereka melukai tangan mereka sendiri.”
(Yusuf 31)

Ketika mereka bertemu Yusuf, mereka tidak merasakan sakitnya tangan yang terluka, padahal
mereka (wanita itu) adalah manusia yang paling lemah. Mereka bahkan berkata, “Ini tidak lain
adalah malaikat yang mulia,” padahal Yusuf bukan malaikat.’

Begitulah, makhluk lupa akan kondisi dirinya sendiri ketika bertemu dengan sesama makhluk.
Nah, bagaimana lagi dengan orang yang hatinya begitu jernih hingga dapat menyaksikan
kehadiran Allah Yang Maha Suci?

CINTA KARENA ALLAH

Sebagaimana ada CINTA kepada Allah, maka di antara macam CINTA terdapat CINTA karena
Allah, seperti CINTA seseorang kepada orang lain bukan karena keuntungan duniawi, bukan
karena maksud tertentu, bukan untuk memperoleh kekayaan yang akan lenyap, tetapi semata-
mata karena Allah. Yaitu karena didorong oleh rasa ikhlas dan hati yang bersih, dengan tujuan
melakukan amal kebajikan dan persaudaraan karena Allah dan demi kepentingan agama.

Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki baik, maka Dia akan
memberinya teman yang saleh; yang jika lupa, mengingatkannya dan jika ingat, membantunya
(melakukan kebaikan).” (HR Aisyah)

Dalam hadis lain beliau bersabda, “Setiap dua orang yang saling men-CINTA karena Allah,
maka orang yang lebih di-CINTA-i Allah adalah orang lebih CINTA kepada sahabatnya.”

Dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah SAW meriwayatkan dari Tuhannya, bahwa Ia berfirman,
“Aku pasti men-CINTA-i orang-orang yang saling men-CINTA-i karena Aku. Dan Aku pasti
men-CINTA-i orang-orang yang saling bermurah hati karena Aku.”

Hasil dari CINTA ini adalah kepercayaan, keamanan, kesejahteraan dan kebahagiaan di dunia
serta keselamatan dan keberuntungan di akhirat.

Rasulullah SAW bersabda, “Ada tujuh golongan manusia yang akan dinaungi Allah pada hari
yang tidak ada naungan selain naunganNya, yaitu:

(1) pemimpin yang adil,


(2) pemuda yang tekun menaati Allah,
(3) orang yang hatinya bergantung menCINTAi masjid,
(4) DUA ORANG YANG SALING MENCINTAI KARENA ALLAH, MEREKA
BERKUMPUL KARENA ALLAH DAN BERPISAH KARENA ALLAH,
(5) orang yang diajak (berbuat zina) oleh seorang wanita yang punya kedudukan dan cantik
parasnya, lalu ia menjawab, “Sungguh, aku takut kepada Allah, Tuhan sekalian alam!”
(6) orang yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi, hingga (seolah-olah) tangan kirinya tidak
mengetahui apa yang didermakan oleh tangan kanannya, dan
(7) orang yang mengingat Allah ketika sedang sendirian, lalu meneteskan air matanya
(menangis).”

Dalam hadis lain beliau bersabda, “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada orang-orang
yang bukan nabi dan bukan pula syuhada, tetapi para nabi dan syuhada ingin seperti mereka.”
Lalu ada seorang laki-laki bertanya, “Siapakah mereka dan apa pula yang telah mereka
kerjakan?” Beliau menjawab, “Yaitu ORANG-ORANG YANG SALING MENCINTAI
DENGAN RAHMAT ALLAH, PADAHAL MEREKA TAK PUNYA HUBUNGAN
KELUARGA DAN TIDAKMEMPEROLEH KEUNTUNGAN HARTA BENDA. Demi Allah,
wajah mereka bercahaya dan mereka berada di atas mimbar-mimbar cahaya. Mereka tidak
mempunyai rasa takut ketika orang-orang sedang ketakutan, dan tidak punya rasa sedih ketika
orang-orang lain bersedih.” (HR At-Tirmidzi)

Hubungan CINTA yang tulus ini tampak jelas pada masa sahabat Rasulullah SAW. Setelah
hijrah, beliau mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Maka Sa'ad ibn
Rabi' Al-Anshari berkata kepada saudaranya dari Muhajirin, yaitu Abdurrahman ibn Auf,
demikian, “Ini hartaku dan kebun kurmaku, kubagi dua: separuh untukku dan separuhnya
untukmu. Ini rumahku: separuh untukku dan separuhnya lagi untukmu” Abdurrahman
menjawab, “Mudah-mudahan Allah memberi berkah pada hartamu. Tunjukkanlah aku ke pasar
Madinah.” Lalu ditunjukkannya, lantas ia berdagang, dan akhirnya menjadi kaya raya.

Allah memuji orang-orang Anshar dan mencatat persaudaraan mereka yang luhur itu dalam
Kitab Suci-Nya, “Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah
beriman sebelum kedatangan kaum Muhajirin. Mereka men-CINTA-i orang-orang Muhajirin
yang berhijrah ke kota mereka itu, dan tidak ada minat dalam hatinya untuk mendapatkan jatah
rampasan, sebagaimana yang diberikan kepada orang-orang Muhajirin. Mereka lebih
mengutamakan keperluan (kaum Muhajirin) daripada kepentingan mereka sendiri, sekalipun
mereka sangat membutuhkan.” (Al-Hasyr 9)

Tidak ada faktor yang menyebabkan mereka memperoleh pertolongan dan kemenangan dalam
perang Badar, meskipun jumlah musuh lebih banyak, melainkan karena ukhuwah islamiyah dan
CINTA kasih yang tulus antara sesama mereka.

Ketika sebagian orang kafir ditanya mengenai rahasia kemenangan kaum muslimin padahal
persiapan dan jumlah mereka sangat sedikit, mereka menjawab, “Setiap orang Muslim rela
dirinya dibunuh untuk menggantikan saudaranya.”

Hudzaifah A-Adawi menceritakan, “Pada perang Yarnuk, untuk mencari anak pamanku, aku
membawa air dan aku berkata dalam hati, ‘Jika ia terkena lembing, akan aku beri minum dan aku
cuci mukanya ...’ Dan aku pun bertemu dengannya, lalu aku bertanya dengan isyarat apakah ia
minta minum. Ia menjawab dengan isyarat pula, ‘Ya.’ Tiba-tiba di sebelahnya ada seorang laki-
laki yang merintih kesakitan. Kata sepupuku itu, ‘Bawalah air itu kepadanya!’ Dan aku patuhi
kata-katanya, ternyata orang itu adalah Hisyam ibn Al-Ash. Kemuian aku bertanya kepadanya,
‘Apakah engkau butuh minum?’ Tiba-tiba Hisyam mendengar orang lain yang sedang merintih,
lantas ia berkata kepadaku, ‘Pergilah kepadanya!’ Ketika aku mendatanginya, ternyata ia sudah
meninggal dunia. Kemuian aku, kembali kepada Hisyam, dan ternyata ia juga telah meninggal
dunia. Akhirnya aku mendatangi anak paman, namun ternyata ia juga telah menyusul keduanya.”

CINTA karena Allah membuat yang bersangkutan di-CINTA-i oleh Allah. Rasulullah SAW
meriwayatkan bahwa Allah berfirman, “Orang-orang yang saling men-CINTA-i karena Aku,
pasti mendapatkan CINTA-Ku”.

Nawawi berkata, “Ini adalah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Malik di dalam buku Al-
Muwaththa”.
Selanjutnya, Rasulullah SAW bersabda, “Allah berfirman, ‘CINTA-Ku pasti Kuperuntukkan
buat orang-orang yang saling mengunjungi karena Aku. CINTA-Ku pasti Kuperuntukkan buat
orang-orang yang saling men-CINTA-i karenaAku.”

Anas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Setiap orang yang mengunjungi orang
lain karena Allah, karena rindu kepada-Nya ingin bertemu dengan-Nya, pasti di belakangnya ada
malaikat yang menyeru, ‘Bagus engkau, bagus perjalananmu dan bagus pula surga untukmu.’”

(Dr. Mahmud bin Asy-Syarif: Al-Hubb fil Qur-an)

Anda mungkin juga menyukai