Anda di halaman 1dari 17

ABU HAMID MUHAMMAD AL-GHAZALI

DAN METODE IJTIHADNYA DALAM AL-MUSTASHFA


Oleh : H. Hadi Mutamam

Abstract: Al-Ghazali (1058 H/1111 M) is one of the


prominent Islamic scholars who lived during the golden age.
Due to his great contribution, al-Ghazali’s thoughts have
been studied for centuries and deemed to be an important
Islamic legacy. Al-Ghazali’s eminence in Islamic history can
be seen from the title given to him, i.e. hujjatul Islam (the
great defender of Islam) and the classical status of his work
‘al-Mustasyfa’, a book of Islamic juriprudence theory. He
based his thought on three major Islamic sources: al-Qur’an,
the Sunnah, and sound mind. This then have been employed
in his discussion on the argumentation of ijma’.

Kata kunci : Ijtidah, Metode Ijtihad, Hujjah al-Islam, Ijma’.


Pendahuluan
Ketika Nabi Saw., akan mengutus Mu’adz ibn Jabl (w. 18
H./629 M.) ke Yaman untuk bertindak sebagai hakim, beliau bertanya
kepada Mu’adz: “Apa yang akan kau lakukan jika kepadamu diajukan
suatu perkara yang harus diputuskan?, Mu’adz menjawab: “Aku akan
memutuskannya berdasarkan ketentuan yang - termaktub di dalam
Kitab Allah (Al-Qur’an) “Nabi bertanya lagi : Bagaimana jika di
dalam Kitab Allah tidak terdapat ketentuan tersebut?, “Mu’adz
menjawab: “Dengan berdasarkan Sunnah Rasulullah Saw.” Nabi
bertanya lagi: Bagaimana jika ketentuan tersebut tidak terdapat pula di
dalam Sunnah Rasulullah” Mu’adz menjawab “Aku akan berijtihad
dengan pikiranku, aku tidak akan membiarkan suatu perkara pun tanpa
putusan, lalu Mu’adz mengatakan: “Rasulullah kemudian menepuk
dadaku seraya mengatakan: “Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan taufiq kepada utusanku untuk hal yang melegakanku.1
Dari Hadis tersebut di atas, diperoleh kesimpulan,2 bahwa
sumber-sumber hukum Islam adalah al-Quran dan Sunnah, jika di

Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Dakwah STAIN Samarinda.


1
Lihat Hadis riwayat Abu Dawud, Sunan Abu Daud, Juz III t.tp.: Dâr al-Fikr,
t.th., h. 303. Yaitu hadis tentang diutusnya Muad Bin Jabal oleh Rasulullah ke
Yaman dan ketika ditanya oleh Rasulullah dengan apa ia memutuskan
permasalahan, Muad menjawab dan dibenarkan oleh Rasulullah, yaitu dengan
Kitabullah, Sunnatur Rasul dan Ra’yu.
2
Perlu penelitian lebih lanjut, apakah nash tersebut valid atau tidak valid,
relevan atau tidak relevan, hampir semua buku yang membahas ijtihad menyebut
hadis Mu’adz ibn Jabal -ketika Rasulullah Saw. memuji Mu’adz yang berijtihad
dengan ra’y, bila tidak ada keterangan dalam al-Kitab dan aI-Sunnah, mereka lupa
bahwa hadis ini sangat Iemah, karena tidak diriwayatkan kecuali lewat al-Harits ibn
10 , Vol. IV, No. 1, Juni 2007

dalam al-Quran dan Sunnah tidak terdapat ketentuan hukum sesuatu,


maka diusahakan hukumnya melalui ijtihad.
Karena itu dalam sejarah pemikiran Islam, ijtihad banyak
digunakan. Hakikat ajaran al-Quran dan hadis memang menghendaki
digunakannya ijtihad. Ayat-ayat al-Quran yang jumlahnya lebih 6300,
hanya lebih kurang 500 ayat, menurut perkiraan ulama, yang
berhubungan dengan aqidah, ibadah dan muamalah. Ayat-ayat
tersebut, pada umumnya berbentuk ajaran-ajaran dasar tanpa
penjelasan lebih Ianjut mengenai maksud, rincian, cara
pelaksanaannya dan sebagainya, untuk itu ayat- ayat tersebut perlu
dijelaskan oleh orang-orang yang mengetahui al-Quran dan hadits,
yaitu pada mulanya sahabat Nabi dan para Ulama. Penjelasan oleh
para sahabat Nabi dan para Ulama itu diberikan melalui ijtihad.3
Itulah Sebabnya, segera setelah perluasan kerajaan dimulai,
kaum Muslim menyadari bahwa al-Quran dan hadis tidak akan
mampu memecahkan semua persoalan-persoalan kontroversial,
khususnya persoalan hukum perundang-undangan dan peribadatan.
Karena dengan pemerintahan Islam yang terus-menerus meluaskan
wilayah, di mana masing-masing wilayah baru memiliki kebiasaan-
kebiasaan dan tradisi-tradisi yang sangat berbeda dengan orang-orang
Arab pedalaman dan orang-orang yang “menyaksikan pewahyuan,
maka konflik-konflik dengan mudah muncul antara perintah lama dan
yang baru.4
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa jika seseorang
(muslim) mampu memahami Islam secara .Jelas, benar dan
menyeluruh, maka Islam akan menjadi rahmat bagi seluruh umat
manusia dan alam semesta, Islam menjadi jalan penyelamatan,
pembebasan, perdamaian, ilmu dan kebahagiaan, baik di dunia
maupun di akhirat kelak.
Tentu saja untuk sampai kepada tujuan seperti yang baru saja
dikemukakan, tidak semudah membalik telapak tangan. Artinya
merancang-bangun atau merumuskan suatu hukum dari al-Quran dan
hadis, bukanlah pekerjaan mudah atau gampang. Tetapi ini tidak
berarti bahwa ada detimasi bagi golongan tertentu dalam
menginterpretasi sumber Islam, akan tetapi semua orang berhak untuk
melakukan ijtihad, selama yang bersangkutan memenuhi persyaratan
ketat dan kecakapan tertentu. Kecakapan yang dimaksud adalah

Amr yang majhul. Lihat Jalaluddin Rahmat” Ijtihad: Sulit Dilakukan, Tetapi Perlu”
Dalam Haidar Bagir dan Syafiq Basri (Ed.) ljtihad Dalam Sorotan , Cet. I; Bandung
Mizan, 1988, h. 179-180. Bahkan dalam versi Ibn Hazm sangat mencelah hadis ini,
lihat misalnya lbn Hazm aI-ahkam Fi Ush ul Ahkam, juz V ; (Kairo: Al-Ashiniah, t.
th.), h. 773-775
3
Harun Nasution, “ljtihad, Sumber Ketiga Ajaran Islam” dalam Ijtihad Dalam
Sorotan, Op. Cit, h. 108.
4
Annemarie Schimel, Introduction to Islam, diterjemahkan oleh M. Chafrul
Annam dengan judul “Islam Interpretatif’, Cet. I ; (t.tp. : Inisiasi Press, 2003), h. 73.
H. Hadi Mutamam, Al Ghazali dan Metode Ijtihadnya… 11

kemampuan untuk mengetahui seluk-beluk penetapan suatu nash


syar‘iy.
Dalam konteks ini, sebagai upaya memahami dan maksud
diturunkannya syari‘at (maqashid al-syari’ah), para ulama berbeda
pandangan tentang metode dan sistem yang dijadikan acuan ijtihad di
dalam menentukan suatu hukum. Ikhtilaf tersebut justru melahirkan
aliran fiqh dalam Islam yang tidak sedikit melahirkan fanatisme yang
pada gilirannya mengarah pada pengidologian mazhab.
Para ahli Ushul (UshuI al-Fiqh) secara umum, telah konsensus
bahwa tujuan pokok pensyari’atan hukum Islam, adalah untuk
kemaslahatan dan menghindarkan kerusakan atau mafsadah bagi
manusia5.
Kegiatan penelitian tujuan hukum (maqashid al-Syari’ah) telah
dilakukan oleh para ahli ushul fikih terdahulu. Al-Juwaini dapat
dikatakan sebagai ahli ushul fikih pertama yang menekankan
pentingnya memahami maqashid aI-Syari’ah dalam menetapkah
hukum. Ia secara tegas menyatakan bahwa seseorang tidak dikatakan
mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia dapat memahami
benar tujuan Allah menetapkan perintah-perintah dan larang-
laranganNya.6
Kerangka berpikir al-Juwaini di atas kelihatannya dikembangan
oleh muridnya al-Ghazâli7(450H./1058M.-505H./IIIIM.) dalam
kitabnya Syifâ al-Ghazâli ia menjelaskan maksud syari’at dalam
kaitannya dengan al-munasabat al-maslhahiyyat al-qiyas.8

5
Minhajuddin, Pengembangan Metode Ijtihad Dalam Perspektif Fikih Islam,
Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam ilmu Fikih/Ushul Fikih padi Fakultas
Syai’ah lAIN Alauddin, 31 Makassar, 2004., h. 43.
6
Lihat al-Juwaini, al-Nurhan Fi Ushul Al-Fiqh, Jilid. 1; (t.tp. :Dâr al-Anshâr,
1450 H.), h. 295.
7
Nama lengkapnya, Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Ibn Muhammad
al-Ghazâli, berkebangsaan Persia asli, lahir pada tahun 450 H./1058M. di Thus
(sekarang dekat Meshed)’ , sebuah kota kecil di Khurasan (sekarang Iran), di sini
pula al-Ghazâli wafat di Nazran pada tahun 505H./1111M. Tentang biografi al-
Ghazâli dapat dilihat antara lain: Sulaiman Dinya, Al-Haqiqah Fi Nazhr Al-Ghazâli,
Cet. III; Mesir: Dar al-Ma’arif , 1971. Abd. Karim Utsman, Sarah al-Ghazâli,
Demaskus : Dar al-Fikr, t. th. Victor Said Basil, Manhaj al-Bahts ‘an Ma’rifah ‘Ind
al-Ghazâli, Beirut Dar al-Kitab al-Lubnani, t.th.
8
Lihat Al-Ghazali, Syifa al-Ghazâli Fi Bayani Al Syibb Wa al-Mukhil Wa
Masalik Wa Masalik al-Ta’lu, Bagdad : Mathbaat al-Irsyad, 1971, h. 159. Dalam
konteks ini, kaurn Ushuliyyin menciptakan sendiri metodologi tersebut secara
orisinil bersumber dan prinsip-prinsip penggalian dalil (ijtihad), karena itu tidak
benar bahwa para Ulama di masa-masa awal mengaplikasikan logika Yunani di
dalam ilmu Ushul Fiqh, paling tidak pada masa awal tidak menerima secara mutlak
logika Yunani, tetapi mereka telah mengadakan perubahan terhadap logika Yunani
menjadi sebuah logika baru mencakup seluruh esensi. al-Ghazâli sendiri
rnemasukkan unsur logika di dalarn rnuqaddimah. bukunya aI-Masthasfâ sekalipun
pada akhirnya ia rneninggalkan logika, sebab dia tidak mampu mengantarkan
seseorang pada suatu keyakinan. Hal ini dapat dilihat Abd. Halim ‘Uways, aI-Fiqh
12 , Vol. IV, No. 1, Juni 2007

Dalam konteks .ini, penulis akan ketengahkan pemikiran-


penükiran al-Ghazâli dalam bidang ushul fiqh, khususnya dalam al-
Mustashfanya, tentu saja ia pada dasarnya menerima manhaj (metode)
Imam as-Syafi’i (150H/767M.) sebagai pelanjut dan Imam as-Syafi’i,
yakni kaedah-kaedah yang dipakainya dan membenarkan
periwayatan-peniwayatannya, karena yang menetapkan kaedah dan
yang meriwayatkan itu, adil dan siqah.

AL-Ghazali dan Pemikirannya


Biografi Al-Ghazâli
Sebagai seorang pemikir Islam terbesar, A1-Ghazali,9 tidak
hanya dikenal di dunia Islam, tetapi juga di luar Islam, maka sangat
wajar jika banyak penulis tertarik untuk-menulis dan mengkaji
pemikiran-pemikiran Al-Ghazali, baik dari kalangan Muslim, maupun
dari kalangan Orientalis. Al-Ghazali (1058/1111M.) merupakan salah
seorang pemikir yang muncul pada masa pasca puncak kemajuan
Islam.10
Sebagai pemikir besar Islam, maka hasil pemikiran Al-Ghazâli
masih tetap menjadi warisan umat Islam, meskipun sepuluh abad
berlalu. Kebesaran pengaruh Al-Ghazâli tersebut dapat dilihat dan
gelar hujjah al-Islam yang disandangnya.11 Berbagai pujian
dilontarkan oleh penulis dan pemikir kepadanya, juga cercaan dan
orang-orang yang tidak senang kepadanya. Semua itu merupakan
bukti kebesaran nama seorang Al-Ghazali.

Kondisi Sosial Pada Fase Al-Ghazali


Dapat dikatakan bahwa kehidupan AI-Ghazali seperti layaknya
seorang pengembara yang berpindah dari suatu tempat ke tempat yang
lain. Dari usianya kira-kira 50 tahun lebih, ia menghabiskan waktunya
di beberapa tempat seperti : Khurasan, tempat ia dilahirkan dan
mendapat pendidikan pertama, dan Bagdad adalah tempat mencapai

al-Islami bayn ath-Tathwwur Wa ats-Tsabit, terjernahan A. Zarkasy Chumaidy


dengan judul, Fiqih Statis Dinamis, Cet. I; (Bandung : Pustaka Hidayah, 1998), h.
158.
9
Nama Iengkapnya Abu Hamid al-Ghazâli Muhammad ibn Muhammad al-
Ghazâli al-Thusi, dia berkebangsaan Persia asli, lahir pada tahun 450H./1058M. di
Thus (dekat Meshed) sebuah kota. kecil di Khurisan (sekarang Iran), di sini pula A1-
Ghazali wafat di Nazran tahun 505H./1111 M. Tentang biografinya, dapat dilihat
antara lain: Sulaiman Dunya, Al-Haqiqah Fi Nazhr al-Ghazâli, cet. III; Mesir Dar
al-Ma’arif, 1971. Abd. Kadri Utsrnan, Sirah Al-Ghazâli, Demaskus: Dar al-Fikr,
t.th. Victor Said Bisil, Manhajal-Bahts ‘an Ma’rifah “ind al-Ghazâli, (Beirut: Dar
al-Kitab al-Lubnâni, t.th.)
10
Harun Nasution, membagi puncak kemajuan Islam dalam modernisasi
Islam, berakhir pada tahun 1000 M., lihat Harun Nasution, Pembaharuan Dalam
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h.13.
11
Nurcholish Madjid, Khazanah lntelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1984), h. 34.
H. Hadi Mutamam, Al Ghazali dan Metode Ijtihadnya… 13

puncak karirnya di bidang intelektual. Sedangkan di Demaskus aI-


Quds, Mekkah, Madinah serta kota-kota lain merupakan tempat
persinggahan dan pengembangan mencari kepuasan batin yang selalu
menuntutnya.
Tiga tahun sebelum A1-Ghazali lahir, Dinasti Saljuk,12 berkuasa
di Bagdad (1055M.) dan mencapai puncak kejayaannya sejak
pemerintahan Sultan Al-Arslan (1063-1092M.) dan Sultan Malik Syah
(1072-1092M.) dengan perdana menterinya yang sangat terkenal yaitu
: Nizhám al-Muluk (1063-1092M.). Setelah fase ini Dinasti Saljuk
mengalami kemunduran-kemunduran akibat terjadinya perebutan
kekuasaan dan gangguan keamanan dalam negeri yang dilancarkan
oleh golongan Bithiniyah, pada fase tersebutlah A1-Ghazâli hidup dan
berprestasi, baru pada masa kejayaan maupun pada fase kemunduran
Dinasti Saljuk.13
Pada masa al-Ghazâli, tidak saja terjadi disintegrasi umat Islam
di bidang politik, melainkan juga di bidang sosial-keagamaan. Umat
Islam ketika itu terpilah-pilah dalam beberapa golongan mazhab fiqh
dan aliran kalam yang masing-masing tokoh ulamanya dengan sadar
menanamkan fanatisrne golongan kepada umat. Sebenarnya tindakan
serupa juga diperankan oleh pihak penguasa. Setiap penguasa
menanamkan pahamnya kepada rakyat dengan segala daya upaya,
bahkan dengan cara kekerasan. Sebagai contoh, apa yang dilakukan
oleh Al-Kundury, Perdana Menteri Dinasti Saljuk pertama yang
beraliran Mu’tazilah sehingga mazhab dan aliran lainnya (seperti
mazhab Syifi’i dan Asy’ari) menjadi tertekan, bahkan banyak korban
dan tokoh-tokolmya.14
Akibat dari fanatisme golongnan yang melibatkan pada masa itu,
sering timbul konflik antara golongan mazhab dan aliran, malah
meningkat sampai menjadi konflik fisik yang meminta korban jiwa.
Konflik tersebut terjadi antara berbagai mazhab dan aliran, masing-
rnasing mempunyai wilayah penganutnya- Khurasan, mayoritas
penduduknya bermazhab Syâfi’i, dan Transoxiana dan Balkah
bermazhab Hanafi dan Hanbali, sedangkan di Bagdad dan wilayah
Iraq, mazhab Hambali lebih dominan.15

12
SaIjuk merupakan salah satu Dinasti yang didirikan oleli Tughul Bek (1037-
1063M.) merupakan Dinasti dalam kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang sempat
mengambil alih kekuasaan dan menguasai beberapa daerah seperti Khurasan,Rey,
jabal, Iraq, al-Jazirah, Persia dan Ahwâz selatan kurang lebih 40 tahun. Lihat Philip
K Hitti, History of The Arabs, (London : The Macmilan Press Ltd, 1970), h. 474-476
13
Lihat Ibid., h. 25-26.
14
Mushtafa Jawwad, Ashr al-Ghazâli dalam Mahrajan al-Ghazâli bi Damsyiq
Abu Hamid al-Ghazâli bi Dzikra al-Mi’awwajah ai-Tasi.ah Li Miladih, (Kairo: Al-
Majlis al-A’la li Riyah al-Funun Wa al-Adab Wa al-Ulum al-Ijtimaiyyah, 1962), h.
495.
15
Terdapat korelasi umum yang telah terjadi antara aliran teologi dan mazhab
fiqh. Pengikut Asy’ariyah cenderung bermazhab Syafi’i, penganut Salafiyyah pada
14 , Vol. IV, No. 1, Juni 2007

Pendidikan dan Landasan Pemikiran Al-Ghazâli


Pendidikan formal Al-Ghazâli diperolehnya di Madrasah setelah
dianjurkan oleh sufi-sufi yang mengasuhnya, karena ia tidak mampu
lagi memenuhi kebutuhannya, ia belajar fiqh dari Ahmad Ibnu
Muhammad ar-Razkan at-Thusi di Thus dan tasawwuf dari Yusuf an-
Nasaj, kemudian hinggà 470 H. Al-Ghazali, belajar ilmu-ilmu dasar
yang lain, termasuk bahasa Persia dan Arab pada Nasr al-Ismâil di
Jurjin.16
Pada usia 20 tahun telah menguasai beberapa ilmu-ilmu dasar
dan dua bahasa pokok yang lazim dipergunakan oleh masyarakat
ilmiah ketika itu, sehingga dua bahasa ini mengantarkan dalam
memahami buku-buku ilmiah secara otodidak. Tahun 473 H. Al-
Ghazâli pergi ke Naizabur untuk belajar di Madrasah an-Nizamiah,
ketika itu Imam al-Haramain Diya ad-Din al-Juwaini (478 H.)
bertindak sebagai kepala dan tenaga pengajar di sana.17
Kesungguhan dan keinginan Al-Ghazâli dalam menuntut ilmu
dan menggali ilmu pengetahuan secara mendalam dimulai di
Madrasah ini. Di sinilah ia memperoleh dan mendalami fiqh dan ushul
al-fiqh, mantiq (logika) dan ilmu Kalam dari aliran Asy’ariyah
maupun selainnya yang berkembang pada waktu itu.
Pada tahun 478 H. A1-Ghazali meninggalkan Naizabur menuju
kota al-Ma’askar. Latar belakang kepergiannya dari Naizabur ini
diperselisilikan oleh penulis, kelihatannya kepergian ini ada
hubungannya karena telah meninggalnya al-Juwaini pada tahun 478
H.18
Di Bagdad Al-Ghazâli mulai menekuni kehidupan formal
sebagai seorang tenaga pengajar di Universitas an-Nizdamiah,,
Bagdad ketika itu merupakan pusat perkembangan ilmu pengetahuan
sejak Dinasti Abbasiyah masih jaya, sehingga perkembangan dan
budaya, serta aliran yang beraneka ragam, sangat pesat, sebagaimana
yang digambarkan oleh Al-Ghazali sendiri.19
Adapun landasan pemikiran Al-Ghazâli, bahwa sebagai seorang
muslim tetap mendasari pemikiran-pemikirannya kepada pokok ajaran
Islam, yaitu al-Quran dan Hadis. Di samping itu juga ia
mempergunakan akal (al-ma’quI) sebagai landasan berpikirnya. Di
dalam kitabnya Qanun al-Ta’wil, Al-Ghazâli mengungkapkan

umumnya pengikuti mazhab Hambali, penganut Maturidisme bermazhab Hanafi dan


orang-orang Syi’ah berteologi Mu’tazilah.
16
Sulaiman Dunya, al-Haqiqah Fá Nazhr Al-Ghazali, (Kairo: Dâr al-Ma,arif,
1971),h. 19
17
Lihat Abd. Kazim Utsman, Op. Cit, h. 20.
18
Sulaiman Dunya, Op. Cit, h. 22.
19
Ibid, h. 31
H. Hadi Mutamam, Al Ghazali dan Metode Ijtihadnya… 15

kesetujuannya terhadap golongan yang menggabungkan antara wahyu


dengnan akal sebagai dasar penting dalam membahas sesuatu.20
Ketika Al-Ghazâli membahas dalil-dalil pokok (yang utama)
untuk ijma’ ia menempuh 3 (tiga) jalan, sebagai berikut:
1. Berpegang pada Al-Qur’an
2. Berpegang pada pendapat Rasulullah Saw., bahwa umat tidak
akan bersepakat pada kesalahan (kesesatan),
3. Berpegang teguh pada metode ma’nawy.21

Karya-Karya A1-Ghazâli
Menelusuri tentang karya-karya Al-Ghazâli, maka dia
digolongkan cukup produktif dalam hal penulisan karya ilmiah,
karena ia memiliki kecenderungan intelektual yang sangat luas (gemar
akan ilmu pengetahuan), dia juga memiliki kemampuan menulis yang
sangat tinggi, hal ini dibuktikan oleh al-Ghazâli, menulis sejak umur
20 tahun.22
Dan keterangan yang diperoleh, nampaknya memang wajar, jika
dikatakan bahwa al-Ghazâli merupakan salah seorang pemikir Islam
yang memiliki kecenderungan intelektualitas yang tinggi, sebab ia
masih relatif muda, dan tulisan pertamanya mendapat pujian dari
gurunya al-Juwaini.23
Tentang jumlah karangan al-Ghazâli, sampai saat ini belum
terdapat kata pasti. Besar kemungkinan disebabkan karena masih
adanya karya-karya al-Ghazâli yang belum diterbitkan dan masih
dalam bentuk naskah yang tersimpan di perpustakaan, baik di negeri
Arab maupun di Eropa.
Sebab lain, karena sebahagian di antara karya-karyanya telah
lenyap dibakar pada saat tentara Monggol berkuasa, juga sebahagian
dibuang penguasa Spanyol atas perintah Qadhi Abdullah Muhammad
ibn Hamdi.24
Kategori ini terdiri dan sejumlah 72 buku, 22 buku yang
diragukan sebagai karya al-Ghazâli, karya-karya yang mengatakan
secara pasti buku al-Ghazâli, sebanyak 31 buah.25

20
A1-Ghazâli, Qanun al-Ta’wil, (dihimpun bersama buku-buku lainnya oleh
Ahmad Syamsuddin dalam Majmuah Rasail Al-Ghazâli, selanjutnya disebut AI-
Qanun, (Beirut Dar al-Kutub llmiyah, 1994), h. 126.
21
Lihat selengkapnya Al-Ghazâli, al-Mustasfa Min ‘Ilmi al UshuI Juz. 1; Dar
al-Fikr Lithibâati Wa an-Nashr Wa Tausi’, t.th. h. 174-179.
22
Abd.Ghani ‘Abud, Al-Fikr al-Tarbawi ‘Ind AI-Ghazali, Cet. 1; (Dar al-
Fikr al-‘ArabI, 1962), h. 29
23
Sulaiman Dunyâ, Op. Cit., 20.
24
Ahmad Syafi Ma’arif, Peta Buni intelektuat Islam Indonesia, (Bandung:
Mizan, 1993), h. 57
25
Ahmad Daudi, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h.
99.
16 , Vol. IV, No. 1, Juni 2007

Karya-karya yang dikemukakan pada bagian ini, diklasifikasikan


ke dalam bidang-bidang ilmu yang digeluti al-Ghazâli, meliputi
filsafat, akhlak, tasawuf, keagamaan, metafisika dan fiqh,26 karya-
karya yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Al-Ma’arif al Aqliyyah Wa al-Hikmah al-Ilahiyyah, karya al-
Ghazâli ini hanya berupa naskah yang terdapat di dua
perpustakaan yaitu Paris dan Oxpord.27
2. Maqashid al-Falsafah, buku ini dikarang oleh al-Ghazâli
sebagai pendahuluan buku al-Tahafut.28
3. Taháfut al-Falasifah,
4. Al-Munqidz min al-Dhalal, karya tulis al-Ghazâli ditulis pada
tahun 501-502 H.29 ketika dia menetap kedua kalinya di
Naisabür.
5. Al-Madhnun bih ‘ala Ghair Ahli,
6. Fátihah al-Ulum, karya ini berupa naskah tulisan tangan
(naskhah khaththiyya). tersimpan di perpustakaan Paris.30
7. Haqaiq al-‘Ulum, karya dalam bentuk naskah yang juga
tersimpan di perpustakaan paris.31
8. Maqásyifah al-Qulub al- Matrahbah ila ‘Allam Ghuyub.
9. Mi’yár al- ‘Ilm,
10. Minhaj aI-Nazhr,
11. Ma’árij al-Quds fi Madárij Ma’rifah al-Nafs.
12. Jam al-Haqaiq fi Tajrad al-‘a’laiq,
13. Ihyá ‘Ulumu al-Din, karya terbesar al-Ghazâli yang ditulis
pada tahun 489 dan 495 H., buku ini memuat ide sentral A1-
Ghazili menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama - Islam,
seperti logika, akhlak, tasawuf, dan sebagainya. Buku ini
mempunyai syarah yang banyak antara lain : Ittahaf al-Sadat
al-Muttawin (13 Jilid), Taj al-Qashidin (Ibn al-Jauzih) Ruj al-
Ihya’ (Jbn. Yunus).32
14. Bidayah al-Hidayah,
15. Kitab Mizan al-’Amal, karangan al-Ghazâli ditulis di Bagdad,
sebelum memasuki dunia tasawuf, buku itu merupakan

26
Klasifikasi ini menuruti klasifikasi yang ditawarkan oleh Muhammad
Ghallab’ sebagaimana bidang-bidang ilmu pengetahuan tersebut di atas, dan
disempurnakan seadanya (ditambah) berdasarkan keterangan-keterangan data yang
diperoleh dari literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah tersebut.
27
Muhammad Ghallab, Op-Cit, h. 79.
28
Victor, Op-Cit., h. 79.
29
H.M. Zurkani Jahya, Teologi al-Ghazâli, Pendekatan Metodologi, Cet. 1;
(jakata: CV. Rajawali, 1998), h. 12.
30
Muhammad Ghallab, Op-Cit., h. 85.
31
Ibid
32
Muhammad Ghallâb, Op-Cit., h. 85.
H. Hadi Mutamam, Al Ghazali dan Metode Ijtihadnya… 17

pelengkap untuk menjelaskan pengertian yang ada di dalam


Ihya’ kurang jelas.33
16. A1-Qisthas al-Mustaqim,
17. Kitab al-Sa’adah,
18. Kitan Ayyuha al- Walad,
19. Kitab al-Madkhul Fi iImi Ushul, (kitab pilihan tentang Ushul
Fiqh),
20. Kitab al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul (tempat pembersihan
dan Ilmu Ushul Fiqh), merupakan kibab ushul A1-Ghazâli
yang pendahuluannya memuat tentang pembahasan logika, dia
menegaskan bahwa barang siapa yang tidak menguasai logika,
maka pengetahuannya belum terpercaya.34

Metode Ijtihad Al-Ghazali Dalam Kitab Al-Mustashfa


Pengertian Ijtihad
Secara etimologis, ijtihad berakar pada kata : “ja ha da” yang
berarti: kesulitan atau “kesusahan” Kata ijtihad berasal dari kata “al
juhdu” (dengan dhammah atau fathah huruf jiim berarti kemauan dan
kesulitan “masyaqqah”; kata ini sepola dengan naf’ah. Misalnya
ungkapan “wajtahid fil amri” yang berarti mencurahkan kemampuan
dan daya mencapai sesuatu guna mencapai apa yang diinginkan yang
berupa tujuan akhir.
Kata ”al-Juhdu” tersebut tidak dapat digunakan kecuali dalam
hal-hal yang mengandung unsur-unsur yang memberatkan atau
menyulitkan. Misalnya kalimat ”ia berusaha keras untuk membawa
batu besar”, dan tidak tepat juga kata itu dipakai dalam kalimat ”ia
berusaha keras untuk membawa biji-bijian”.35
Secara terminologis, oleh ahli ushul, didefinisikan dengan
beberapa definisi sebagai berikut:
Defenisi yang dikemukakan oleh Baidhawi,36

Ijtihad itu adalah menggarahkan segala kemampuan dalam


menggali hukum-hukum syari’at.
Kata, dalam kata definisi ini berarti mencurahkan
kemampuannya dan daya sampai batas dimana orang mencurahkan
kemampuannya tersebut merasa tak mampu lagi berbuat dari itu.
Dengan demikian maka orang tak sepenuhnya mengarahkan
kemampuannya dalam berijtihad dengan sendirinya tidak termasuk

33
Abd. Karim Utsman, Op-Cit., h. 203.
34
A1-Ghazâli, Al-Mustashfa, Juz. 1; Op-Cit., h. 10.
35
Lihat Al-Ghazâli, Op. Cit , h. 350. Hal yang sama lihat Wahbah al-Zuhaily,
Ushul al-Fiqh al-Islami Juz II (t.tp. : Dâr al-Fikr, t. th. ), h. 1037.
36
Al-Baidhâwi, Minhaj al-Wushul, (td.), h. 27.
18 , Vol. IV, No. 1, Juni 2007

dalam cakupan definisi ini. Ijtihad dalam pengertian istilah, tidak


dipandang sebàgai ijtihad yang sah.
Sementara itu oleh Imam Al-Ghazâli mendefinisikan ijtihad,
sebagai berikut :

Ijtihad adalah mengarahkan segala kemampuan Mujtahid


keluasan (kedalaman) dalam mencapai ilmu dengan hukum
syari’at.”37
Pendapat sebahagian Fuqaha , bahwa Ijtihad adalah Qiyas.38
Dari definisi tersebut di atas, maka dapat difahami bahwa esensi
ijtihad adalah mengarahkan daya nalar secara maksimal, di dalam
dugaan yang kuat tentang hukum agama yang bersifat amaliyah
dengan ditempuh dengan cara-cara istinbhath. Lebih jelas lagi bahwa
Ijtihad merupakan upaya menafsirkan dalam memahami Al-Quran
dan Hadis dengan mempertimbangkan seluruh makna serta nilai-nilai
yang terkandung di da1amnya.39

Rukun Ijtihad
Dalam kitab al-Mustashfa, Al-Ghazali menyebutkan bahwa
rukun Ijtihad ada tiga; Fi Nafs al-Ijtihadi, Al-Mujtahad, Al-Mujtahidu
Fihi.
Menurut al-Ghazâli bahwa Ijtihad ialah menggambarkan sesuatu
yang diperjuangkan dan menghabiskan usaha dalam sebuah aktifitas
dan tidak bekerja kecuali pada hal-hal berupa beban (kesulitan) secara
menyeluruh.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa Ijtihad
merupakan suatu usaha yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh
dalam memperoleh suatu ketetapan terhadap adanya ketetapan
syari’at, sebagai contoh: tidak disebutkan sesorang berijtihad
memutarkan batu penggiling dan tidak dikatakan ber Ijtihad kalau
seseorang memindahkan batu-batu kecil. Karena itu ulama memahami
secara khusus bahwa Ijtihad mengerahkan seorang mujtahid secara
luas dalam mencari ilmu yang terkait dengan hukum-hukum syari’at.40
Orang yang berijtihad, mempunyai dua syarat, Pertama :
mengetahui seluk-beluk syari’at, mana yang didahulukan dan mana

37
Wahbah Zuhaili, Op. Cit., h. 1038. Bandingkan dengan Abd. Wahhab
Khallaf, Mashadiru at-Tasyri’i al-Islam, Cet. III (Kuwait: Dar al-Qalami, 1972), h.
7.
38
Dalam praktek Ushu fiqh, qiyâs dapat dirumuskan sebagai cara untuk
rnenetapkan hukum yang kasusunya üdak terdapat dalam nash dengan cara
menyamakan dengan kasus hukum yang ada pada nash, disebabkan adanya
persamaan illat hukum, Lihat Abd. Wahhab Khallaf, Masâdiru al-Tasyri’i al-Islama
Fima Ia Nassah Fih, (Kuwait, Dar al-Qalam, 1972), h. 19.
39
Minhajuddin, Pengembangan Metode Ijtihád, Op. Cit., h. 3.
40
Lihat al-Ghazâli, Al-Mustashfa, Op.Cit, h. 350.
H. Hadi Mutamam, Al Ghazali dan Metode Ijtihadnya… 19

yang wajib dikemudiankan.. Kedua : seseorang mujtahid harus adil


dan menjauhi dosa, persyaratan inilah sebagai landasan dalam
berfatwa, jika tidak adil, maka sama sekali tidak diterima fatwanya.
Jadi keadilan seseorang mujtahid sebagai syarat sahnya ijtihad, juga
selalu memperhatikan Al-Quran dan As-Sunnah. Di samping itu tidak
dijadikan syarat seorang mujtahid bahwa dia harus mengetahui semua
kitab yang berhubungan dengan hukum-hukum, tetapi mengetahui
sekitar 500 ayat, juga tidak disyaratkan menghafalnya; tetapi
mengetahui tempat ayat ketika dibutuhkan.
Adapun tentang hadis, harus mengetahui hadis-hadis yang
terkait dengan hukum. Tidak diharuskan untuk menghafalnya, seperti
Sunan Abu Daud, Sunan Ahmad dan Al-Baihaqy. Adapun ijma’
diharuskan menghafal semua kejadian ijma’ dan perbedaan-
perbedaannya, tetapi sebaliknya mengetahui fatwa-fatwa yang mana
tidak bertentangan dengan ijma’.41
Al-Mujtahidu Fihi, atau persoalan Ijtihad ini sendiri, di sini
dijelaskan bahwa semua hukum agama yang tidak mempunyai dalil-
dalil qathy, bahkan ada pendapat (secara dzanni) bahwa syarat
mujtahid bukan Nabi, maka tidak diharuskan berijtihad bagi Nabi dan
juga sebagai syarat Ijtihad tidak terjadi pada zaman Nabi; maka timbul
dua masalah: terjadi perbedaan pendapat dalam kebolehan taabud
dengnan qiyas dan ber Ijtihad pada zaman Rasulullah Saw. dalam hal
ini terjadi dua versi: Sekelompok yang melarangnya, dan sekelompok
yang membolehkannya.
Pendapat pertama : boleh dalam hal memutuskan perkara dan hal
pemerintahan dalam keadaan Raasulullah tidak ada. Pendapat kedua:
yang membolehkan dengan mengatakan dengan izin Rasulullah cukup
dengan diamnya Rasulullah Saw.42

Sumber-Sumber Hukum Islam


Al-Qur’an
Dalam mendapatkan hukum ada tiga cara: Secara ijmali (global)
menurutnya ada ke-ijmalan, sebagai contoh pada Firman Allah Swt;
dalam hal ini Imam Malik dan Abu Bakr dan Ibnu
Jany, (dari Nahat) meniadakan al-Urf, mewajibkan membasuh seluruh
rambut pada setiap berwudhu, sementara itu Imam Syafi’i dan Abd.
Jabbar dan Abu al-Huzain keduanya dari Mu’tazilah menetapkan
membasuh tangan degan saputangan, itu berarti membasuh tangan
dari sebahagian saputangan, maka wajib membasuh sebahagian
rambut. Karena itu Imam Syafi’i dan pendapat-pendapat yang lain:

41
Ibid., h. 351.
42
Ibid., h. 354.
20 , Vol. IV, No. 1, Juni 2007

bahwa membasuh dari segi bahasa adalah sebahagian seperti halnya


mandi yang berarti keseluruhan.43
Secara Al-Bayan, dengan mengambil contoh sah keterangan
dengan perbuatan sama kalau memakai dengan perbuatan.44 Contoh
yang lain, Rasulullah Saw., menjelaskan shalat dan haji dengan
perbuatannya (dengan contohnya), pada kebanyakan orang mukallaf
sebagaimana sabda Rasulullah saw., dalam riwayat Bukhary:

Dari sini menunjukkan bahwasanya Rasulullah saw., menjelaskan


melalui perbuatan.45

Assunnah
Dalam hal mengambil suatu hukum, Al-Ghazâli mengandalkan
hadis-hadis mutawatir, dengan syarat antara lain sebagai berikut:
harus mendahulukan ilmu pada hadis itu, harus mendahulukan
sanadnya yang banyak dan tidak berbohong.46 Kalau bertentangan al-
Jarhu wa Ta‘dil, maka yang didahulukan adalah naqd al-sanad (kritik
sanad); hadis yang diriwayatkan satu jalur tetapi dengan syarat harus
adil maka itu dapat diterima.47

Ijma’
Terkait dengan hal ini, maka dia mensyaratkan keadilan di
dalam ber-Ijma’ menggantungkan diri, tetapi tetap melegitimasi yang
tidak adil seperti di dalam kitab Al-Amidi dan Al-Ghazâli menjelaskan
bahwa adil yang menunjukkan kehujjahan Ijma’ itu bersifat umum,
mutlak, lepas, beda dengan Abu Hanifah, bahwa orang fasiq tidak
boleh dijadikan hujjah.48
Untuk memperjelas masalah ini, oleh Imam al-Ghazâli memberi
definisi Ijma’ 49 sebagai berikut:

Ijma’ adalah kesepakatan umat Muhammad dan Sababat-Sahabatnya


atas sesuatu urusam agama.
Meskipun dalam istilah ini kepada Nabi Muhammad Saw.,
namun mencakup jumlah yang luas yaitu seluruh umat Nabi
Muhammad Saw., atau umat Islam. Pandangan Imam al-Ghazâli ini
mengikuti pandangan kaum Syafi’i , yang menetapknn ijma’ sebagai
kesepakatan umat. Hal mi tampaknya di dasarkan pada keyakinan

43
Ibid, h. 36.
44
Ibid, h. 46.
45
Ibid, h. 45.
46
Ibid, h. 115.
47
Ibid, h. 130.
48
Ibid, h. 218.
49
Ibid, h. 211.
H. Hadi Mutamam, Al Ghazali dan Metode Ijtihadnya… 21

bahwa yang terhindar dan kesalahan hanyalah umat secara


keseluruhan, bukan perorangan. Namun pendapat Imam Syafi’i
mengalami perubahan dan perkembangan terus berlanjut dikemudian
hati.

Qiyas
Al-Ghazâli secara etimologi memberi penjelasan bahwa kata
qiyas berarti mengukur, membanding sesuatu dengan yang
semisalnya.50 Dalam Al-Mustashfa, ia membari definisi qiyas, sebagai
berikut :
“Menanggungkan sesuatu yang di ketahui kepada sesuatu yang
diketahui dalam hal menetapakan hukum pada keduanya atau
meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang
sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan
hukum”

Dari definisi yang diberikan oleh Al-Ghazâli, secara panjang dan


rumit, demikian juga penggunaan kata: hamala (menanggungkan), ada
juga pakai isbath (menetapkan), ilhaq (menghubungkan) dan
sebagainya. tersebut mengandung arti bahwa qiyas itu merupakan
usaha atau mujtahid.
Penggunaan kata ma’lum, oleh Al-Ghazâli adalah dimaksudkan
untuk menjangkau kepada sesutu yang belum diketahui (ma’düm),
karena kalau dikatakan kata “sesuatu” menurut mereka, hanya berlaku
yang diketahui (maujud). Terlihat lagi Al-Ghazâli difinisinya
menghubungkan antara ashal dan furu’ dengan kata
(dalam menetapkan hukum atau peniadaan hukum), maksuänya
supaya qiyas itu dapat mencapai qiyas ‘aks’ yaitu menghasilkan lawan
hukum dari sesautu yang diketahui pada tempat lain karena keduanya
berbeda dalam illat, hukum.
Dalam praktek Usul Fiqh, qiyas dapat dirumuskan sebagai cara
untuk menetapkan hukum yang kasusnya tidak terdapat dalam nash
dengan cara menyamakannya (menganologikan ) dengan kasus hukum
yang ada pada nash, disebabkan adanya persamaan illat hukum.51
Meskipun suätu hukum dapat berubah karena perubahan illat,
kondisi dan situasi, sejalan dengan qaidah:

Salah sstu contoh qiyas, “Ballo” Beer, Brandy, Wisky, Vodka”


dan sebagainya yang termasuk minuman yang beralkohol, di-qiaskan
dengan khamer yang disebut dalam QS. al-Maidah: 90:

50
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid; t.tp. : Logos t.th h. 144
51
Lihat Abd. Wahhad Khallaf, Op. Cit., h. 19
22 , Vol. IV, No. 1, Juni 2007

“Hai orang-orang yang beriman, sesunguhnya minuman,


berjudi (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan, maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan
keberuntungan”

Khamar dalam ayat di atas adalah nama semua minuman keras


yang memabukkan, dibuat dari bahan apapun,52 sebab atau illat
keharamannya. Sementara minuman alkohol yang dibuat fermentasi
dan berbagai jenis bahan baku yang mengandung karbohidrat,
misalnya biji-bijian, buah-buahan dan sebagainya.53 Karena itu
minuman beralkohol jangan diminum yang memabukkan sama
dengan khamar, minuman khamar, sedikit atau banyak adalah haram,
dalam hadis54 disebutkan:
Penutup
Ijtihad pasca imam mazhab, secara langsung melàlui tangan
para muridnya, para imam mazhab telah berhasil menyusun hasil
Ijtihadnya dalam bentuk kitab fiqh sebagai panduan beramal dari
pengikutnya.
Salah satu syarat menjadi mujtahid dalam literatur Ushul al-Fiqh
terlihat bahwa para ahli ushul memberikan rumusan tentang syarat-
syarat mujtahid. Perbedaan rumusan itu banyak ditentukan oleh titik
pandang yang berbeda tentang mujtahid. Kalau Al-Ghazâli dalam Al-
Mustashfanya sangat ditekankan dengan keadilannya. Dan rumusan
yang berbeda itu terlihat ada kesamaan di antara mereka dalam
memandang dua titik pada seorang mujtahid, yaitu tentang
kepribadiannya dan kemampuannya sebagai kreteria tertentu yang
tanpa syarat dan kriteria itu seorang tidak akan dapat melakukan
Ijtihad.
Sesungguhnya Ijtihad merupakan kunci untuk menyelesaikan
problema yang dihadapi oleh umat Islam sekarang dan yang akan
datang, ia merupakan sumber ketiga ajaran Islam setelah Al-,Quran
dan Hadis, inilah yang membuat Islam sesuai dengan tempat dan
zaman (shalihun likulli zaman wa makan). Hal inilah yang dibuktikan
oleh para Ulama dari berbagai bidang keilmuan pada zaman keemasan
Islam; termasuk di dalamnya Imam Al-Ghazâli dengan Al-
Mustashfanya.

52
Muhammad Ali As-Shabuni, Rawai’ul Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-
Qur’an, Jilid 1; Suryah: Maktabah Al-Ghazâli , 1980, h. 277
53
Lihat selengkapnya Minhajuddin, Op. Cit, h. 39.
54
Lihat AIi A1-As-Shabuni, Op Cit, h. 278.
H. Hadi Mutamam, Al Ghazali dan Metode Ijtihadnya… 23

DAFTAR PUSTAKA
Abud, Abd. Ghani. Al-Fikr al-Tarbawi ‘Ind Al-Ghazâli, Cet. I; Dâr
aI-Fikr al-‘Arabi, 1982.
Abü Dawud, Sunan Abu Dawud, Juz III t.tp.: Dr al-Fikr, t.th.
Basil, Victor Said. Manhaj al-Bahts ‘an Ma’rifah ‘ind Al-Ghazâli,
Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnari, t.th.
Daudi, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Dunya, Sulaiman. Al-Haqiqah Fi Nazhr Al-Ghazâli, Cet. III Mesir:
Dâr al-Ma’ârif, 1971.
Al-Ghazâli, al-Mustashfa Min ‘Ilmi al-Ushul, Juz. I; t.tp. : Dar al-Fikr
Lithibâati Wa an-Nashr Wa Tausi’, t.th.
--------, Qanun al-Ta‘wil (dikumpul bersama-sama buku-buku lainnya
oleh Ahmad Syamsuddin dalam Majmuah Rasáil Al-Ghazâli,
selanjutnya disebut AlQanun, Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah,
1994.
--------,Syjfa al-Ghazâli Fi Bayáni Al Syibb Wa al-Mukhil Wa
Masalik al-Ta‘lil, Bagdad : Mathbaat al-Irsyad, 1971.
Hitti, Philip K. Histoly of The Arabs, London: The Macmilan Press
Ltd, 1970.
Ibn Hazm, al-Ahkam Fi Ushul al-Akhkam, juz V; Kairo: A1-Ashimah;
t. th.
Jahya, H.M. Zurkani. Teologi Al-Ghazâli , Pendekatan Metodologi,
Cet. I; Jakata: CV. Rajawali, 1998.
Jawwad, Mushtafa. Ashr Al-Ghazâli dalam Mahraján Al-Ghazâli bi
Damsyiq Abu Hámid Al-Ghazâli bi al-Dzikra al-
Mi’awwalah al-Tasi.ah li Miládih, Kairo: A1-Majlis al-A’la
Li Riayah al-Funun Wa al-Adab Wa al-Ulum al-Ijtimaiyyah,
1962.
Juwaini, al-Burhfin Fi Ushu1 al-Fiqh, Jilid. I; t.tp. :Dar al-Anshâr,
1450 H.
Khallaf, Abd. Wahhab.. Masâdiru al-Tasyri’i al-Islama Fima la
Nassah Fih, Kuwait: Dar al-Qalam, 1972.
A1-Khudari Bek, Muhammad. Ushul al-Fiqh, Mesir : Dar al-Fikr,
1969.
Ma’arif, Ahmad Syafi. Peta Bumi intelektual Islam Indonesia,
Bandung: Mizan, 1993.
Madjid, Nurcholish. Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1984.
24 , Vol. IV, No. 1, Juni 2007

Minhajuddin, Pengembangan Metode Ijtihad Dalam Perspektif Fikili


Islam, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Jirnu
Fikih/Ushül Fikih pada Fakultas Syai’ah lAIN Alauddin, 31
Makassar, 2004.
Muhammad Ali As-Shabuni, Rawai’ul Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam
min al-Qur’an, Jilid 1; Suryah: Maktabah al-Ghazali, 1980.
Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1982.
Schimel, Annemarie. Introduction to Islam, diterjemailkan oleh M.
Chairul Annam dengan judul “Islam Interpretatif’ , Cet. I;
t.tp. : Inisiasi Press, 2003.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jilid I; t.tp.: Logos, t. th.
Utsman, Abd. Karim. Sirah Al-Ghazâli, Demaskus: Dar al-Fikr, t.th.
‘Uways, Abd. Halim. al-Fiqh al-Islami bayn ath Tathwwur Wa ats-
Tsabit, terjemahan A. Zarkasy Chumaidy dengan judul.
“Fiqih Statis Dinamis, Cet. I; Bandung. Pustaka Hidayah,
1998, h. 158.
Zuhaily, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz II t.tp: Dar al-Fikr, t.
th..
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com.
The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.

Anda mungkin juga menyukai