Jika Kami Bersama
Jika Kami Bersama
Ditulis oleh: X4
Part One
SMAN 4 Medan, sebuah SMA dimana hanya anak-anak yang terbaik atau bisa dibilang
bibit unggul saja yang bisa menginjakkan kaki dan mencari ilmu di sekolah ini. Sebuah
kebanggaan besar apabila masuk SMAN 4 Medan. Tapi ada sebuah kelas di SMAN 4
yang banyak dipercaya sebagai kelas kutukan. Label ini diberikan karena setiap siswa
yang masuk ke kelas ini pastilah siswa-siswa yang ribut. Beberapa guru bilang kalau
kelas ini adalah kelas badai, sebutan lainnya yang lebih keren, kelas liberal. Namun di
tahun ajaran 2009/2010, mereka memberikan label yang salah. Karena di tahun ini, kelas
ini akan membuktikan diri sebagai kelas terbaik.
(Keadaan kelas ribut, semua siswa sibuk berbincang-bincang. Sisca tiba-tiba datang ke
depan kelas)
(Saat suasana sedang tegang-tegangnya, tiba-tiba muncul guru geografi yang paling
ditakuti. Sisca, Chindy, dan Aulia tok berlari kembali ke tempat duduknya, semua murid
lainnya pura-pura terlihat membaca buku. Hanya Acil yang tetrtinggal di depan, masih
berpose seperti binaragawan)
Guru: “Entah apa yang kalian isi dalam otak kalian itu! Lihat si idiot yang disana itu,
lihat sudah dihukum masih juga senyum-senyum! Apalah sebutannya itu kalau gak
idiot!” (Menunjuk kepada Acil)
“Sudah bodoh, ributnya minta ampun! Gak malu kalian ya! Semua guru di kantor itu
sudah bilang, sepuluh empat itu sudah bodoh ribut lagi! Sampah semua satu kelas ini!
Remedial ujian ini kalian kerjakan sebanyak sepuluh kali, biar lengket kedalam otak
kalian yang kosong itu!”
Setelah dua jam pelajaran geografi yang panjang, bel istirahat berbunyi. Murid-murid
melihat ke arah hasil ujian mereka dengan penuh kekecewaan. Walaupun sebagian
lainnya tampak tidak mau ambil peduli.
Wira: “Sudah berapa guru yang bilang begitu tentang kelas ini?”
Arifa: “Sudah gak bisa dihitung dengan jari, sudah semua guru kecuali Bu Napit.”
Adhe: “Terima saja kenyataan, kelas ini memang sudah hancur! Kita tinggal menunggu
waktu saja, satu orang sudah dikeluarkan, siapa berikutnya?”
Helen: “Kayak mana coba kelas ini mau maju, ketua kelasnya saja aneh, apa gak
semuanya ikutan aneh!” (Menunjuk ke arah Maulana yang sedang kejar-kejaran dengan
Chindy)
Wira: “Sial kali aku masuk kelas ini! Pening aku, kayak mana cara merubah kelas ini!”
Adhe: “Gak akan bisa dirubah Wira! Kelas liberal! Kelas liberal ini!”
Arifa: “Mungkin benar kata orang, kelas ini adalah kelas kutukan.”
Wira: “Rasa-rasanya aku mau pindah kelas saja la!”
Helen: “Jangalah Wir! Kau satu-satunya bintang di kelas ini! Kalau gak ada kau mau jadi
apa kelas ini?” (Helen menarik-narik baju Wira)
Arifa: “Iya Wir! Kau di sini aja lah”
Adhe: “Tapi apa yan bilang Wira ada benarnya juga. Kalau di suruh milih, aku
mendingan pindah kelas.”
Dina: “Kalau seperti itu namanya menyerah! Kita harus membuktikan pada guru-guru
kalau kita tidak seperti itu!” (Dina tiba-tiba datang)
Helen: “Itulah yang dari tadi kami omongin! Apa yang harus kita lakukan?” (Semua
tampak berpikir)
Dina: “Aku belum tahu, tapi pasti kesempatan untuk membuktikannya akan datang.”
Helen: “Nunggu sampai tahun 2012 juga gak bakal datang!” (Helen meninggalkan
mereka)
Di sepuluh empat juga ada tiga siswi yang kerjanya tiap hari, siang malam gosip aja!
Entah apa yang mereka bicarakan, gak penting kali. Tapi mereka sangat menikmati
pembicaraan mereka yang gak berbobot dan terkesan men-judge orang dari covernya.
Mereka disebut Trio Gossip in Action.
Bel sekolah berdering, satu per satu siswa masuk ke dalam kelas. Pelajaran yang paling
disukai anak-anak sepuluh empat sebentar lagi akan dimulai.
Febryn: “Pangeran Lepas headsetmu!” (Pangeran tak mendengar, masih sibuk memukul-
mukul meja, berkhayal menjadi drummer Blink)
Febryn: “Woi! Pangeran!” (Febryn berteriak lebih keras, tiba-tiba Fadhlan datang)
Fadhlan: “Gak bisa gitu caranya Bryn! Gini!” (Fadhlan memukul kepala Pangeran.
Pangeran membuka headsetnya dan melihat kepada Fadhlan)
“Manjurkan Bryn!”
Bu Napit: “Selamat pagi anak-anak!” (Bu Napit masuk kedalam kelas sambil menyapa
seluruh muridnya dengan senyuman)
Semua murid: “Selamat pagi bu!”
Bu Napit: “Ada Pr kita?”
Semua murid: “Gak ada bu!”
Bu Napit: “Ok! Apa itu Sastra? Coba Samuel!”
Samuel: “Eeee…” (Samuel melirik ke arah Ruth yang duduk dibelakangnya)
“Apa Ruth?” (Berbisik)
Bu Napit: “Masa’ sudah lupa? Baru kemarin padahal kita bahas. Makanya jangan
mengkhayal saja! Siapa yang masih ingat arti dari sastra?”
Semua murid: “Sastra adalah gambaran kehidupan manusia yang mengandung nilai
kejujuran, kebenaran, dan estetika.”
Bu Napit: “Bagus! Sekarang ibu akan mengajari kalian salah satu unsur sastra, puisi.
Kalian semua sudah pernah buat puisi bukan? Sekarang buat dulu sebuah puisi, nanti ibu
suruh beberapa orang, untuk maju membacakannya ke depan.”
(Semua murid mulai sibuk mengambil alat-alat tulis mereka dan mulai menulis puisi
dengan ekspresi wajah berkonsentrasi)
Bu Napit: “Salam dulu ibu nak!” (Ibu Napit menyodorkan tangannya kepada TM)
TM: “Iya bu! Terima kasih!”
Bu Napit: “Kenapa temanmu itu bisa meninggal?”
TM: Kecelakaan bu.”
Bu Napit: “Owh! Kamu menyukainya?”
TM: “Saya suka bu, tapi ya gitu la bu!”
Bu Napit: “Hehehe. Ya sudah silakan duduk nak! Beri tepuk tangan untuknya!” (Semua
murid bertepuk tangan)
TM: “Terima kasih bu!” (TM kembali ke tempat duduknya)
Bu Napit: “Sebelum kita melanjutkan membaca puisi, ibu dengar dari guru-guru kalau
kelas ini paling ribut.” (Semua murid diam sambil menundukkan kepala)
”Kenapa bisa seperti itu nak? Ibu tahu kalau berbicara itu menyenangkan, tapi kalian
harus tahu waktu dan tempat untuk menggunakan mulut kalian, jadi lain kali jangan ribut
lagi.”
Semua murid: “Iya bu!”
Bu Napit: “Satu lagi, ibu tahu kalau nilai geografi kalian merah semua. Tapi ibu yakin
kalian tidak bodoh, tetapi hanya malas. Ayo nak! Masa depan itu bukan untuk dinanti,
tapi untuk dikejar! Kejar! Kejar! Jadi bersemangatlah kalian untuk belajar! Mengerti?”
Semua murid: “Mengerti bu!”
Part Two
Di kelas ini terdapat juga murid-murid yang merasa dirinya adalah bintang, berbeda dari
yang lain.
(Mauliza, Babny, dan Nafaliza maju ke depan dengan gaya jalan layaknya tiga diva, KD,
Titi DJ, dan Ruth Sahanaya. Mereka menyanyikan lagu As Long As you Love Me pada
awalnya dengan baik. Semangat Mauliza menjadi bintang membara, hingga ia
melenggak-lenggok bagai model di catwalk, namun pada saat gilirannya untuk bernyanyi
dia tercengang.)
Babny: “Mauliza! Psst! Mauliza! Jangan asyik lenggak-lenggok saja! Sekarang nyanyi!”
(Berbisik)
Mauliza: “Oh ya! Eee…” (Raut wajah bingung)
Nafaliza: “Don’t say that you forgot the lyrics!”
Mauliza: Hehehehe…! Maaf teman-teman, Mauliza lupa liriknya!” (Wajah memerah)
Semua: “Huuuuuuu!”
Mam Sinur: “Ada-ada saja! Ya sudah, next!”
Mam Sinur: “Siapa?” (Seorang masuk ke dalam kelas, orang itu tidak lain adalah Aulia
Fachri Rozi, Si Raja Telat)
Ozi: “Maaf Bu, saya terlambat!”
Mam Sinur: “Kamu ini selalu terlambat! Gak cuma di pelajaran saya terlambat, dengan
semua guru lain-pun kamu selalu datang terlambat! Bukannya rumahmu jauh kali, di
dekat Carefour itunya!”
Ozi: “Maaf bu!”
Mam Sinur: “Kali ini saya maafkan! Tapi lain kali, kamu tidak saya kasih masuk!”
Ozi: Baik! Terima kasih bu!”(Berjalan ke tempat duduknya)
(Bel istirahat berbunyi, Ozi berjalan keluar dari kelas untuk memenuhi panggilan guru
BP)
Guru BP: “Silakan duduk!”(Ozi duduk berhadapan dengan guru BP)
“Lihat ini, laporan nila-nilaimu! Semuanya remedial!” (Ozi terdiam sambil menundukkan
kepala)
“Kalau nilaimu seperti ini semua, kamu akan tinggal kelas. Coba beritahu saya apa
sebenarnya masalahmu?”
Ozi: “Tidak ada bu!” (Sambil menggeleng-geleng kepala)
Guru BP: “Kalau tidak ada mengapa nilamu bisa remedial semua? Nak! Dengarkan ibu,
kami di sini untuk membantumu! Kami tidak ingin tinggal kelas, tapi jika seperti ini
kamu terpaksa tidak dapat dinaikkan ke kelas dua. Ini…!” (Guru BP menyodorkan
sepucuk surat kepada Ozi)
Ozi: “Surat apa ini bu?”
Guru BP: “Itu surat pemanggilan orang tua. Isi surtanya adalah masalah seputar nilai-
nilai mu. Kalau kamu dalam ujian semester genap gagal lagi, maka kamu dipastikan
tinggal kelas. Baik! Silahkan kembali ke kelas!”
Ozi: “Iya bu!”
(Ozi berjalan menuju ke kamar mandi, tempat biasa ia berkumpul bersama teman-
temannya)
(Usai makan Wira, Donny, dan Rezeki begegas kembali ke kelas. Wira memungut kertas
yang dibuang Ozi di tempat sampah)
Wira: “Surat pemanggilan orang tua. Betul kata Zeki, dia dapat ancaman tinggal kelas.”
Donny: “kasihan kali dia Wir!”
Wira: “Ayo kita jumpai dia Don!” (Wira dan Donny menjumpai Ozi)
Ozi: “Kenapa Wir!”
Wira: “Pulang sekolah kita ke kantin Abah ya! Aku mau bicara!”
Ozi: “Kenapa?”
Wira: “Sudah nanti saja kita bicara! Ok?”
Ozi: “Ok-la!”
(Bel Pulang sekolah berbunyi, Ozi dan Wira bertemu di kantin Abah)
Ozi: “Ada apa Wir, tumben kau mau ketemu kayak gini sama aku?”
Wira: “Gini Zi, aku tahu apa masalahmu, kamu terancam tinggal kelas kan?”
Ozi: “Kamu tahu darimana?”
Wira: “Aku tahu dari surat pemanggilan orang tua yang kau buang.”
Ozi: “Ohh…”
Wira: “Aku bisa bantu kamu kok Zi!”
Ozi: “Bantu bagaimana Wir?”
Wira: “Aku bisa bantuin kamu dalam belajar!”
Ozi: “Hahahaha! Ngelawak kau Wir!”(Menggeleng-gelengkan kepala)
Wira: “Tidak! Aku serius! Aku bakal bantuin kamu!”(Menggenggam tangan Ozi)
Ozi: “Tidak mungkin Wir! Aku ditakdirkan untuk bodoh, sedang dirimu memang pada
dasarnya sudah pintar.”
Wira: “Kamu pasti masih ingat kata-kata Bu Napit kemarin kan?”
Ozi: “Ya! Aku ingat! Kita tidak bodoh tapi kita hanya malas.”
Wira: “Nah! Itu kau mengerti! Sekarang lihat tanganku!”(Wira menunjukkan kedua
tangannya)
“Berapa jumlah jari-jari tanganku?”
Ozi: “Sepuluh.”
Wira: “Sekarang tunjukkan tanganmu, dan hitung ada berapa jari yang kau miliki!”
Ozi: “Sepuluh!”
Wira: “Sama kan? Makanya kau pasti bisa Zi asal kau mau berusaha.”
Ozi: “Tapi sekarang sudah telat Wir! Percuma kalau aku mulai usaha sekarang, sudah
dekat ujian semester.”
Wira: “Tidak ada kata terlambat untuk berusaha Zi! Yang pertama sekali yang harus kau
katakan dalam hatimu adalah aku mau! Aku mau, itu yang pertama!”
Ozi: “Baik! Aku mau!”
Wira: “Lebih keras!”
Ozi: “AKU MAU!”
Wira: “Bagus! Sekarang jabat tanganku, dan berjanjilah!”(Menyodorkan tangannya pada
Ozi)
Ozi: “Tapi Wir...”
Wira: “Katakan, aku naik kelas!”
Ozi: “Aku naik kelas!”(Menjabat tangan Wira)
Wira: “Kurang Keras!”
Ozi: “AKU NAIK KELAS!”
Wira: “Bagus, nanti sore kalau ada waktu main ke rumahk, oke?”
Ozi: “Ok Wir! Aku datang!”
Wira: “Kau tenang saja Zi! Aku yakin kalau kau akan naik kelas, asal kau juga
meyakininya.”
Ozi: “Terimakasih Wir! Aku akan berusaha!
Wira: “Baiklah! Aku pulang dulu!”
Acil: “Hari ini semua kutraktir makan nasi goreng di kantin Bang Jack! Soalnya hari ini
aku ulang tahun!”
Semua: “HORE!”
Helen: “Tumben kau baik Cil!”
Acil: “Oh ya iyes! Acil kan selalu baik, emang selama ini enggak?”
Helen: “Enggak!”
Acil: “Belum tahu dia siapa, MAS ACIL!”
Sisca: “Oh iya ya, MAS ACIL!”(Menjewer telinga Acil)
Acil: “Ampun Dek! Ampun!”
Raut wajah para siswa langsung serius berusaha berkonsentrasi untuk memecahkan soal-
soal yang dihadapkan. Sebagian ada yang melirik-lirik ke sana kemari karena tak tahu
bagaimana cara menjawabnya.
Ozi: “Semua soalnya bisa aku kerjakan! Yes! Untung semalam aku ke rumah Wira!
Terima kasih Wir, kau memang sahabat yang baik!” (Berbicara dalam hati)
Part Three
(Murid-murid ribut)
(Trio Gossip)
Ibu Komputer: “Hari ini kita ujian! Ibu acak nama kalian, dengarkan baik-baik! Helen
Pascalia Sitompul sama Chandra Satya, Muhammad Adhe Putra sama Rezeky
Pakpahan, ...”(Dst)
Helen dan Chandra lama bertatapan, kira-kira dua menit. Bagai terkena dorongan apa,
mereka saling melihat satu sama lain.
Helen: “Ma...maaf!”(Terbata-bata)
Chandra: “Ti...tidak apa-apa!”(keringat mengucur)
Helen: “Maksudku tadi bukan untuk menggenggam tanganmu!”
Chandra: “Ya aku tahu! Kau punya mata yang indah...”
Helen: “Apa?”
Chandra: “Kau punya mata yang indah.”
Helen: “Terima kasih! Kau juga punya alis mata yang cantik!”
Chandra: “Terima kasih! Emm...”
Helen: “Ada apa?”
Chandra: “Besok malam ada waktu gak?”
Helen: “Ada, kenapa?”
Chandra: “Aku mau undang kamu, ikut ulang tahun temanku. Fahera gak bisa ikut karena
nemanin neneknya yang sakit di rumah.”
Helen: “Tentu.”
Chandra: “Kujemput besok jam tujuh ya?”
Helen: “Ok!”
Chandra: “Sip!”
(Pulang sekolah)
Ibu Napit: “Anak-anak, masih ingat kalian sama puisi Aku karangan Chairil Anwar?”
Semua: “Masih bu!”
Ibu Napit: (Membaca puisi aku) “Apa kira-kira maknanya?”
Dina: “Dia dikecewakan oleh seseorang, bu!”(Mengacungkan tangan)
Ibu Napit: “Jawaban bagus, Dina! Ada pendapat lain!”
Arifa: “Dia ingin keluar dari segala kesusahan hidupnya, bu!”(Mengacungkan tangan)
Ibu Napit: “Ingin keluar dari kesusahan hidupnya, bagus! Ada lagi yang bisa
menambahkan?”
Wira: “Saya sedikit setuju dengan pendapat Arifa bu! Dia ingin keluar dari masalah
hidupnya, dan berupaya untuk menyelesaikannya.”(Mengacungkan tangan)
Ibu Napit: “Ok! Jawaban kalian semua benar! Simak sekali lagi puisinya!” (Membaca
puisi perlahan-lahan)
“Biar ibu berkisah sebentar, Dahulu itu Chairil Anwar adalah seorang penyair pendukung
penjajah. Ia akhirnya sadar, dan berusaha untuk masuk ke dalam angkatan 45’. Akan
tetapi, STA menolaknya dengan alasan latar belakang masa lalunya. Berkali-kali ia
mencoba memberikan puisinya, namun selalu ditolak oleh STA dan dibuang ke tempat
sampah. Kemudian datanglah Tengku Amir Hamzah yang merasa kasihan padanya.
Chairil Anwar lalu diberi kesempatan untuk membaca puisi di depan semua penyair. Dia
lalu mengarang puisi Aku. Ia melimpahkan kekesalannya semua pada STA. STA tahu ia
disindir melalui puisi Aku, tapi ia tak bisa marah karena itu adalah sebuah keindahan
sastra.”
Semua: “Ohh! Begitu!”
Ibu Napit: “Kalian tahu anak-anak? Apa yang membuat orang sukses?”
Adhe: “Dia punya tingkat intelejensi tinggi bu!”(Mengacungkan tangan)
Ibu Napit: “Benar! Tapi ada yang lain.”
Semua: “Apa bu?”
Ibu Napit: “Cinta!”(Semua menyimak)
“Jangan di salah artikan cinta itu adalah rasa suka dengan lawan jenis, cinta lebih dari itu.
Cinta yang membuat bapak-ibu gurumu datang pagi-pagi ke sekolah, cinta yang membuat
negeri ini merdeka, karena cinta juga kamu terlahir di dunia ini. Kalian tahu kenapa?
Karena cinta itu sangat kuat!”(Semua murid tersenyum mendengrnya)
“Hargailah cinta, jangan disia-siakan, sekecil apapun karena cinta bisa menjadi sebuah
kekuatan untuk maju.”
(Bel Berbunyi)
(Beberapa murid keluar dari kelas, sebagian lain tetap di dalam sambil berbincang-
bincang)
(Malam jam 7)
Chandra: “Sudah nunggu lama?”
Helen: “Nggak kok, baru saja siap!”
Chandra: “Yuk! Kita pergi!”
Helen: “Yuk!”(Naik ke sepeda motor)
Helen dan Chandra tiba di pesta teman Chandra. Pesta yang menyenangkan, di akhir
pesta, Chandra berdansa dengan Helen. Setelah pesta berakhir Chandra bersiap
mengantar Helen, tapi sebelum itu mereka mampir ke warung jagung bakar.
Fahera, Nurul, dan Putri mendekati Helen yang sedang sibuk berbicara dengan Ruth.
Chandra: “Ada apa ini?” (Segera membantu Dhevie, Baby, dan Ruth)
Fahera: “Kenapa? Kenapa? Kau masih nanya lagi? Kau sudah nyakitin perasaan aku
tahu! Jalan sama tukang rebut pacar orang ini”
Helen: “Kamu jangan asal bilang ya! Aku bukan tukang rebut pacar orang!”
Chandra: “Aku yang ngajakin dia jalan keluar!”(Semua terdiam)
Fahera: “Kamu tega Chan! Kamu tega!” TEGA!”(Berlari keluar ruangan keras)
Putri: “Dasar Cowok buaya darat!”
Nurul: “Tahunya nyakitin perasaan wanita!”(Putri dan Nurul lalu mengikuti Fahera)
(Kantin abah)
Zuhri: “Woi aku dah pantas gak jadi Christian Bautista? Denger ya! There’s something
in the way you look at me...”
Fahdlan: “Cukup-cukup! Kau sudah pantas Zur! Pantas kalipun jadi Christian Bautinja!”
Dina dan Sisca: “Hahahaha!”
(Chandra datang)
Sisca: “Oop! Pas kali masuk dia bintang kelasnya!”
Zuhri: “Duduk Chan! Duduk!”
Dina: “Kau kenapa Chan?”
Chandra: “Aku bingung Din. Aku masih cinta sama Fahera, tapi aku juga jatuh cinta
sama Helen.”
Fadhlan: “Payah jadi orang ganteng! Hahahaha!”
Dina: “Kamu harus memilih salah satu Chan!”
Chandra: “Aku bingung Din! Aku gak mau nyakitin perasaanku dan perasaan orang
lain.”
Dina: “Itu sudah resiko Chan! Kalau kau gak mau begitu, gak usah jatuh cinta!”
Chandra: “Kepalaku pusing! Pusing! Pusing!”(Memegang kepalanya)
(Kantin abah)
Chandra: “Hai...”
Helen: “Ya...”
Chandra: “Mmm..., aku minta maaf soal yang waktu itu.”
Helen: “Gak apa-apa, aku juga minta maaf...”
Chandra: “Iya! Kita masih teman kan?”(Menyodorkan tangannya)
Helen: “Ya!”(Menjabat tangan Chandra)
Chandra: “Terimakasih.(Helen dan Chandra saling tersenyum)
Perasaan Chandra lega, ia sekarang sudah merasa lebih baik dari sebelumnya. Ada
banyak kisah cinta yang mewarnai kelas sepuluh empat, kisah ini hanyalah sebuah kisah
untuk menggambarkannya saja. Cinta iu memang tidak bisa ditebak, kapan datangnya,
tapi saat ia datang kita harus siap untuk kehilangannya.
Part Four
Malam hari yang sunyi di rumah kediaman TM. TM membuka buku di dalam kamar, ia
belum selesai membaca bukunya kemarin.
TM: “Senyuman sejati adalah ketika ketika tersenyum melihat orang lain tersenyum. Apa
maksudnya?”(TM kemudian menutup bukunya lalu tidur)
(Semua anak kelas sepuluh empat duduk di tepi lapangan menunggu giliran untuk
memukul bola)
(TM baru sampai di rumah, kedua orang tuanya duduk di ruang tamu)
TM: “Semester dua ini aku pindah, aku tak mau, tapi aku terpaksa ikut. Kenangan apa
yang bsa kuberikan pada merka?”(Bicara dalam hati)
“Kalau kau dalam posisiku, apakah kau akan meninggalkanku, Fitrah?”
(Tiba-tiba terdengar suara klakson sepeda motor)
Adhe: “TM! TM!”(TM keluar dari rumah)
TM: “Kaunya Dhe!(Membuka pintu pagar)
“Kok gak datang tadi kau sekolah?”
Adhe: “Down kali aku, tahu kau? Sudah kubilang semua sama anak sepuluh empat kalau
aku bakal memenangkan SMAN 4. Gak tahunya kalah!”
TM: “Oooh...”
Adhe: “Sudah daftar masuk klub basket Medan Jaya, bayar lima puluh ribu, itupun gak
masuk.”
TM: “Nyerah?”
Adhe: “Hah! Rasa-rasanya, aku mau berhenti main basket saja. Aku baru sadar kalau aku
ini gak ada apa-apanya. Aaku hanya besar mulut, mulai besok aku akan berhenti main
basket.”
TM: “Kau tahu Thomas Alva Edison?”
Adhe: “Ya, kenapa?”
TM: “Sebelum ia menemukan bola lampu, ia telah melakukan percobaannya selama
sembilan ratus sembilan puluh sembilan kali. Andaikan saja ia tak mau melakukan
percobaan ke seriu, mungkin takkan pernah ada lampu, televisi, kulkas, PS, komputer.”
Adhe: “Maksudmu?”
TM: “Jangan menyerah! Biarkan orang memandang remeh kepada dirimu, berlatih keras,
setelah itu buat mereka yang remeh kepadamu tercengang.”
Adhe: “Aku tak tahu apakah aku bisa.”
TM: “Kau tahu satu hal yang aku benci dari dirimu adalah kau orang yang pesimistis.”
Adhe: “Aku bukannya pesimistis, aku mencoba berusaha realistis.”
TM: “Realistis yang kau timbulkan dari rasa pesimismu, coba kau berpikiran optimis dan
lihat realitanya!”
Adhe: “Pembicaraanmu tinggi sekali kutu buku!”
TM: “Kau salah, aku tidak mendapatkannya dari buku. Tapi dari seseorang yang sangat
berarti!”
Adhe: “Siapa? Pacarmu?”
TM: “Bukan, temanku!”
Adhe: “Dimana dia tinggal?”
TM: “Jauh, sangat jauh! Jika bukan karena dia, mungkin aku tidak bisa bertemu
denganmu hari ini. Dia sudah meninggal, jadi tak perlu dibicarakan lagi.”
Adhe: “Oh! Sorry!”
TM: “Baiklah! Aku ingin melihatmu tampil di pertandingan berikutnya!”
Adhe: “Ok!”(Tersenyum pada TM)
“Oh ya! Aku hampir lupa!”
TM: “Apa?”
Adhe: “Aku mau pinjam catatan Jerman-mu!”
TM: “Owh! Masuk la!”
Adhe: “gak usah aku nunggu di luar saja!”
TM: “Ya sudah.(Bergegas mengambil catatan bahasa Jerman, dan memberikannya pada
Adhe)
Adhe: “Thanks ya!”(Menyalakan sepeda motornya)
TM: “Yap!”
Semenjak hari itu, Adhe terus berusaha untuk menjadi yang terbaik. Ia berlatih keras agar
terpilih menjadi anggota tim inti yang akan bermain dalam menghadapi sekolah Prabu
Medan. Ia pulang yang paling sore diantara anggota tim lainnya. Pelatih basket, terkesan
melihat latihannya, dan memasukkan Adhe dalam squad yang akan bermain menghadapi
Prabu Medan.
(Hari pertangingan)
TM: “Senyuman sejati adalah tersenyum ketika melihat orang lain tersenyum, aku
mengerti sekarang...”(Tersenyum dan membalas lambaian Adhe)
Part Five
Guru: “Kelas kalian ini apa tidak bisa diam? Ribut sekali! Pusing saya mendengar
keributan kalian! Memang betul apa yang dibilang di kantor, sudah kelas paling bodoh,
paling ribut pula lagi. Lihat itu, siapa namanya yang duduk paling belakang itu? Ketawa-
ketawa dia di situ! Kamu pikir yang duduk di depan ini siapa? Dasar tak tahu aturan!
SAMPAH!”(Bel berbunyi)
“Setelah istirahat semua buku latihan harus segera dikumpul di atas meja! Saya tidak
peduli kalian siap atau tidak!”(Lalu melangkah keluar dari kelas sepuluh empat)
Zuhri: “Iya, betul kata Samuel, di kantin bang Jack saja kita!”
Samuel: “Iya Maul!”
Maulana: “Oke! Ayolah woi! Kita let’s go!”
(Ibu guru masuk ke dalam ruangan kelas, sambil terbingung-bingung karena cuma ada
Irma yang juga sedang terheran-heran di dalam kelas)
(Ibu guru terus pergi ke kanto BP untuk meminta bantuan BP mencari anak didiknya
yang menghilang)
Guru BP2: “Ngapai kalian semua di sini? Cepat masuk kelas!”(Semua murid berbodong-
bondong masuk ke kelas)
Guru: “Apa sih yang kalian mau? Apa kalian tidak suka dengan pelajaran saya? Iya?”
Maulana: “Bu! Bukannya kami tidak suka dengan pelajaran ibu, tapi cara ibu
membawakan pelajaran ibu yang kami tidak suka. Asal ngajar ibu suka marah-marah.”
Guru: “Marah-marah seperti apa? Hah? Kalian periksa dulu diri kalian! Apa kalian ini
sudah benar sebagai murid? Saya tanya dulu? Apa yang kalian bisa? Yang kalian mampu
itu cuma ribut! Sudah bodoh, ribut!”(Semua diam)
“Lihat Pr-pr dan tugas-tugas kalian, apakah kalian kumpulkan? Ngaca dulu kalian!
Ngaca!”
Arifa: “Bagaimana kami tidak ribut bu, apa yang ibu ajarkan kepada kami itu tidak
pernah kami mengerti.”
Maulana: “Karena itu juga kami banyak yang tidak mengerjakan pr, kami tidak tahu cara
menjawabnya.”
Guru: “Alasan saja kalian! Memang dasar kalian saja yang bodoh!”
(Bel pergantian les berbunyi)
Guru: “Selama dua minggu ke depan, ibu tidak akan memberi kalian materi pelajaran!
Itulah hukuman yang ibu berikan pada kalian.”(Pergi meninggalkan kelas)
(Kelas kembali ribut, semua murid sibuk membicarakan hal yang baru terjadi)
Maulana: “Kelas yang hanya bisa ribut katanya! Aku mulai muak dengan sebutan itu
pada kelas kita.”
Arifa: “Kita harus melakukan sesuatu, yang membuat ia tahu kalau kelas kita ini
bukanlah seperti kelas yang ia pikirkan!”
Dina: “Tapi apa yang harus kita lakukan?”(Tiba-tiba Gabriel datang)
Gabriel: “Woi ada pengumuman penting! Kitakan sekolah tinggal sebulan lagi, bulan juni
sudah ujian. Jadi sekolah mengadakan acara Pensi setelah ujian selesai, setiap kelas
berhak untuk membuat acara untuk ditampilkan.”
Maulana: “Itu dia yang kita butuhkan! Di sana akan kita buktikan bahwa sebenarnya
kelas kita bukanlah kelas yang hanya bisa ribut.”
Arifa: “Tapi apa yang akan kita tampilkan?”
Maulana: “Yang jelas bukanlah sekedar menampilkan band, atau menari, kita harus
menampilkan hal yang berbeda. Aha! Kita nampilin drama musikal saja!”
Arifa: “Ide bagus tuh! Tapi kita butuh beberapa orang yang pandai main musik!”
Gabriel: “Kalau masalah main musik, aku sudah ada kok!”
Maulana: “Oke! Kita nanti minta bantuan sama Bu Napit saja untuk membuat
dramanya.”(Tersenyum riang)
“Kita cari dulu apa temanya, baru besok kita umumkan sama orang ini, oke?”
Arifa, Dina, dan Gabriel: “Oke!”
Di rumah Maulana sibuk mencari-cari tema yang tepat untuk drama musikal yang akan
mereka buat. Dia membaca novel-novel untuk mencari inspirasi.
Maulana: “Apa yang kubuat ya? Oh! Ini saja, tentang kejadian di kelas sepuluh empat
selama setahun ini!”(Maulana lalu menulis ide-ide-nya di dalam kertas)
(Keesokan paginya)
Maulana: “Woi! Aku mau ngumumin sesuatu! Bentar saja, kalian dengarkan ya!”
Semua: “Oke Maul!”
Maulana: “Nanti-kan ada pensi sekolah, gimana kalau kita nampilin sebuah drama
musikal?”
Wira: “Aku setuju Maulana! Kita buat sebuah drama musikal yang bagus untuk
memperbaiki citra kelas kita.”
Maulana: “Betul apa yang dibilang Wira, kita buat drama musikal untuk memperbaiki
citra kelas kita. Semua harus tampil agar drama musikal ini sukses, aku sudah membuat
timnya untuk membuat drama ini.”
(Putri berdiri)
Putri: “Buat apa kita bikin drama musikal? Kayak anak TK saja!”
Maulana: “Bukan begitu Put, ini demi memperbaiki citra kelas kita.”
Putri: “Alah! Citra kelas kita sudah buruk! Gak bakal bisa kita perbaiki!”
Maulana: “Aku yakin masih bisa, asal kita mau serius.”
Rezeki: “Aku setuju sama pendapat Putri! Sudahlah kita belajar baik-baik saja! Yang
begituan gak penting!”
Yohanes: “Ngabisi waktu lagi!”
Nurul dan Fahera: “Iya! Bagus waktunya dipakai buat ke salon sama jalan-jalan!”
Maulana: “Ini demi kebaikan kelas kita woi!”
Putri: “Kebaikan kelas apanya? Ngapai kita mikiri kelas, kalau diri sendir saja belum
beres!”
Maulana: “Ini demi citra! Citra!”
TM: “Usul!”
Maulana: “Silahkan TM!”
TM: “Ini bukan hanya untuk citra kelas kita, ada yang jauh lebih besar dari itu!
Kebersamaan dan rasa solidaritas yang belakangan ini kita abaikan. Aku setuju, kita
harus menggunakan momen Pensi ini untuk mempersatukan kita. Karena kita lebih dari
sekedar teman kelas, kita adalah saudara. Terimakasih!”(Duduk kembali)
(Siswa-siswa berbicara satu sama lain membenarkan apa yang TM katakan)
Maulana: “Ada lagi yang bisa menambahkan?”
Adelia: “Aku Maul! Aku setuju dengan pendapat TM, kita di sini lebih dari sekedar
teman sekelas, kita adalah saudara! Kita sudah melewati hampir setahun, susah dan
senang bersama, berbagi canda dan tawa, berbagi cerita dan pengalaman. Belum tentu di
kelas dua nanti kita satu kelas.”
Maulana: “Sekarang kita ambil saja keputusan bersama, yang setuju angkat tangannya.”
Semua anak sepuluh empat setuju untuk melakukan acara pensi kecuali Fahera, Putri,
Nurul, Yohanes, Rezeki, dan Donny.
Maulana: “Oke! Jadi kita putuskan, kalau acara pensi nanti kita akan menggebrak dengan
aksi panggung kita! SETUJU?”
Semua: “SETUJU!”
Putri: “Aku tetap gak setuju kalau kita mengadakan acara pensi ini!”
Fahera: “Sama! Aku juga!”
Nurul: “Aku-pun!”
(Donny, Yohanes, dan Rezeki mendekati Putri, Fahera, dan Nurul)
Rezeki: “Kelen tetap gak setuju sama acara ini-kan?”
Putri, Fahera, Nurul: “Ya!”
Rezeki: “Kita harus tentang terus! Kalau perlu kita gagalkan acara mereka.”
Donny: Aku setuju! Aku gak mau kita bikin acara begini, gengsi boy! Gengsi!
Yohanes: “Kurang kerjaan orang ini!”
Putri: “Sekarang kita satu tim! Tujuan kita Cuma satu, menggagalkan acara ini! Ok!”
Fahera, Nurul, Rezeki, Yohanes, dan Donny: “OKE!”
Maulana: “Sial!”
Fadhlan Ryan: “Kenapa Maul?”
Maulana: “Ban keretaku bocor!”
Fadhlan Ryan: “Gimana ini?”
Maulana: “Waduh! Padahal hari ini kita mau ke rumahku!”
Fadhlan Ryan: “Siapa sih, kurang kerjaan kali ngempesin ban sepeda motor orang lain.”
Maulana: “Malah jauh lagi tempat tambal ban. Kau kasih tahu-lah Lan sama orang itu,
cari dulu tempat alternatif.”
Fadhlan Ryan: “Ok-lah Maul!”
Fadhlan Ryan: “Woi! Ban Maulana kempes, gak bisa kayaknya kita ke rumah dia.”
Arifa: “Jadi?”
Fadhlan Ryan: “Kita cari saja tempat lain untuk ngumpul!”
Helen: “Ke rumah Cornelia saja, dekatnya dari sini!”
Arifa: “Yok la woi!”
Mereka lalu menyusun drama musikal yang akan mereka tampilkan di rumah Cornelia.
Maulana pergi mencari tempat tambal ban, sementara Rezeki, Yohanes, dan Donnya
tertawa senang karena rencana mereka berhasil. Walaupun begitu, akhirnya mereka bisa
menyusun drama musikal itu sampai selesai.
Maulana dan Wira pergi menemui ibu Napit untuk membantu mereka membuat drama
musikal yang telah direncanakan.
Maulana: “Maksud kedatangan kami ke sini bu, kami mau minta bantuan ibu untuk
membuat drama musikal.”
Wira: “Iya bu! Kami sudah buat konsepnya.”
Bu Napit: “Bagus! Ibu pasti akan bantu kalian! Berikan pada ibu naskah beserta
konsepnya!”
Maulana: “Ini bu!”(Menyerahkan konsep dan naskah drama kepada ibu Napit)
Bu Napit: “Kalau saya lihat tema yang kalian angkat sangat menarik.”(Setelah membaca
sekilas konsep drama musikal)
“Ibu pinjam dulu naskahnya, akan ibu edit, lalu kita ketemu besok di kelas untuk mulai
latihan drama ini!”
Maulana&Wira: “Terimakasih banyak bu!”
Ibu Napit: “Ibu sangat senang karena kalian akan membuat sebuah drama musikal untuk
ditampilkan pada saat pensi!”(Murid-murid betepuk tangan)
“Ibu sudah baca naskah buatan kalian, isinya sangat bagus walau ada beberapa yang ibu
perbaiki. Jadi hari ini, ibu akan melihat kalian latihan untuk pensi. Tenang saja, naskah
yang ibu perbaiki ini hanya sedikit saja yang berubah. Kalian sudah pernah latihan-kan,
Maulana?”
Maulana: “Sudah bu!”
Ibu Napit: Oke kita mulai!”
(Latihan drama musikal di depan kelas)
Putri: “Sial! Bahkan mereka sekarang juga dibantu oleh ibu Napit!”
Fahera: “Bagaimana ini Put? Semakin sulit saja kita mengacaukan drama musikal
mereka.”
Putri: “Zek! Zek! Kayak mana ini?”
Rezeki: “Ackory..., Ackory...”(Sibuk melihat Ackory di depan)
Putri: “Si kawan ini gila Ackory-pun!”
(Ackory kemudian melambai ke arah Rezeky)
Rezeky: “Woi! Lihat, dia ngelambai ke aku! Ngelambai ke aku dia!”
Donny&Yohanes: “Betul Put! Gila!”
Maulana: “Kita sudah hampir selesai mengerjakan drama musikal ini. Ini semua berkat
bantuan ibu Napit!”
Ibu Napit: “Tidak ini semua karena kalian mau melakukannya.”
Adelia: “Tapi ada yang kurang!”
Arifa: “Apa?”
Adelia: “Kita gak ngajak orang Fahera sama Rezeki.”
Maulana: “Ahh! Ngapai kita ngajak orang itu! Orang itu yang gak mau kok!”
Ibu Napit: “Ada apa rupanya nak?”
Adelia: “Jadi-kan gini bu, pas Maulana nyampain ke teman-teman soal drama musikal
ini, mereka gak setuju bu.”
Ibu Napit: “Oh! Ajak saja mereka, itu yang terbaik. Kalau mereka tidak diajak, nanti
mereka merasa kalu mereka tidak dibutuhkan di sepuluh empat.”
Maulana: “Tapi kalau ngajak mereka, kita terpaksa merubah lagi drama musikal yang
sudah mantap ini la bu!”
Ibu Napit: “Ibu yakin, kalau mereka ikut, drama ini pasti akan jauh lebih baik lagi.
Ajaklah mereka!”
Maulana: “Terserah la, bu!”
Adelia: “Ya sudah, kalau begitu besok kita bertemu sama mereka untuk ngajak mereka
ikutan drama musikal ini.”
Arifa: “Oke!”
Esok harinya di sekolah, Adelia, Helen, Ackory, Dina, Arifa, Maulana, Fadhlan Ryan,
dan Wira menemui mereka yang sedang duduk asyik sambil ngorol.
Suasana kelas secepat kilat hening ketika Fahera, Nurul, Putri, Rezeki, Yohanes, dan
Donny masuk ke dalam kelas. Semua mata tertuju pada mereka.”
Sisca : “Kelas kita ini makin aneh saja! Tapi kalau yayang Acil sudah perfect! Gak ada
kurangnya, ya kan Sis?”
Sugiarti : “Iya Sis! Sampai-sampai semuanya serba kekurangan!”
Chindy : “betul du Gik! Yayang Uun baru perfect!”
Sugiarti : “Kalian dua sama saja! Sama-sama katarak mata kalian! Aulia tok sama Acil
dibilang perfect! Memang katarak kalian!”
Chindy dan Sisca : “Namanya juga cinta!”
Sugiarti: “Cinta! Cinta! Makan kalian dua-lah cinta itu!”
Di saat semua siswa sibuk mondar-mandir di dalam kelas, menanti apa yang akan terjadi,
ada dua orang sahabat sejoli yang tetap bertahan di sekolah.
Irma : “Sudahlah Ngok! Gak suga aku digangguin kayak gini!”
Fadhlan: “Apa kau! Berani kau sama aku?”
Vona: “Kau kira kau siapa? Macam sudah hebat kali kau di sini!”
Acil: “Seeeh! Vonarisweet marah!”
Vona: “Kau lagi Cil! Kau kira sudah perfect kali kau! Ngejek-ngejek orang!
Fadhlan: “Maju kali kalian sekarang ya! Ngajak berantam pula itu! Hajar Cil!”
Irma : “Kau yang cri gara-gara di sini ya!”
Vona: “Sudah kecil, muka bopeng, kurus kerempeng kayak setahun gak dikasih makan,
sialnya hidup pula lagi tuh!”
Acil: “Sudahlah Ngok! Ngapai kita urus sahabat sejoli ini! Cabut yok!”
Fadhlan: “Let’s go friend!
Acil: “Seeh! Sudah pakai bahasa Inggris dia sekarang ya!”
Regar: “Eh idiot! Bahasa Perancis itu!”
Acil: “@$%#*^!”
Di dalam kamar Dira
Fahera: “Sakit kali hatiku Woi! Digituin sama si Helen kampung itu! Masa aku kalah
sama si Helen kampung itu? Emang secantik apa sih dia dibanding aku?”
Putri: “Kau dibandingin dia? Jauh-lah kau Dir! Ya-kan Pin?”
Nurul: “Iya! Lagian gak ada gunanya kau bandingin diri kau sama cewek kampung plus
norak itu! Ihh jijik kali aku nengok dia!”
Yohanes: “Helen dibandingin sama kau? Jauh kali la! Memang si Chandra saja yang buta
gak bisa lihat yang cantik sama yang kampung!”
Putri: “Chandra idiot! Tenang saja Dir! Aku yakin Chandra itu bakal balik lagi ke kau!
Buktinya dia juga gak milih si kampung, tampang baik, tapi punya hasrat merebut pacar
orang!”
Nurul: “Dari tampang saja baik! Tapi dalam hatinya tersembunyi kebusukan-kebusukan!
Amit-amit aku bekawan sama dia!”
Fahera: “Rasanya aku belum puas tentang yang waktu itu! Api masih membara dalam
hati, walau Chandra gak milih dia juga!”
Nurul: “Sudah Dir! Besok kita pijakkan saja dia lagi! Biar tahu diri tuh anak! Berani-
beraninya waktu itu dekatin si Chandra!”
Putri: “Iya kita labrak saja lagi dia sampai mampus!”
Rezeki: “Kalian bicarain apa sih? Mendingan bicarain bidadari aku saja, si Cory!”
Putri: “Ehh! Kau dari tadi gila Ackory sajalah!”
Donny: “Bukannya dulu kau gak suka lihat dia! Sekarang kok jadi begini sih?”
Nurul : “Kesambet apa sih kau!
Rezeki: “Namanya terjerat cinta, yang gak suka bisa jadi suka! Sayang aku malu mau
bilang tentang perasaan aku padanya!”
Yohanes: “Bilang Cory aku suka kamu saja payah!”
Putri: “Entah! Palingan gak bakal mikir lama Cory untuk bilang, enggak!”
Rezeki: “Sok tahu kalian! Mana mungkin Cory nolak seorang Zeki!”
Nurul: “Banyak gaya kau Zek! Sok mantap!”
Yohanes: “Mana mau dia sama kau Zek! Zek!”
Putri: “Mana mau dia sama kau! Dia itu-kan baik, kau bejat!”
Dira: “Kalian kok jadi bahas Ackory sih?”
Putri: “Entah! Akupun gak sadar!”
Nurul: “Si Zeki yang buka calak tadi!”
Anes: “Balik aku ya woi! Sudah malam nih!”
Putri dan nurul: “Aku jugalah! Capek kali!”
Rezeki: “Aku jugalah! Nes nebeng aku la!”
Anes: “Mau makan apalah Cory hidup sama kau! Zaman kayak gini nebeng-nebeng!
Setelah mereka semua pulang, Fahera langsung membuat siasat untuk hari esok. Di
dalam hatinya dendam dan amarah bersatu untuk menghancurkan Helen.
(Keesokan hari di sekolah)
Fahera mencari-cari si Helen.
Putri: “Biarin saja Ti! Biar tuh cewek kampung jangan kegatelan lagi!”
Nurul: “Kayak gak ada cowok lai di dunia ini!”
Putri: “Kita labrak saja dia pas istirahat pertama!”
Nurul: “Iya Dir!”
Fahera: “Ide bagus!”
Chandra: “Dira!”(Fahera berbalik)
“Maumu apa sih? Aku kira semuanya sudah berakhir!”
Fahera: “Kau gak ngerti Chan! Gara-gara dia kita jadi kayak begini!”
Chandra: “Kau yang gak ngerti Dir! Kita lebih baik seperti ini, jika kau terus bersikap
seperti itu, mungkin aku akan membencimu!”
Fahera: “Chandra...”
Chandra: “Cukup Dir! Cukup! Aku masih mencintaimu, namun aku tidak siap untuk
seperti dulu! Jika kau ingin marah lampiaskan padaku! Jangan padanya!”
Fahera: “Aku cinta kamu juga Chan!”
Chandra: “Jika kau mencintaiku, seharusnya kita bisa saling mengerti. Bukan terjebak
dalam kemarahan dan keputus asaan tak berujung.”
Fahera: “Baiklah jika kau mau begitu!”
(Sementara Helen mendengar percakapan mereka dari luar kelas)
TM: “Menunggu?”
Helen: “Apaan sih!”
TM: “Kau merasa nikmat ditelan gengsi?”
Helen: “Maksudmu?”
TM: “Aku tahu kau ingin mengakhiri ini semua, tapi jika kau terus menunggu tidak akan
ada artinya!”
Helen: “Jadi aku harus gimana?”
TM: “Tanya pada hati kecilmu yang tidak kenal gengsi!”(Sambil melangkah masuk)
Setelah TM masuk ke dalam kelas, Helen memikirkan kata-kata TM.Dia akhirnya
memutuskan untuk menjumpai Fahera, ia memutuskan untuk segera megnakhiri
permusuhan ini. Secepat dan sesegera mungkin.
(Helen mendekati Fahera)
Helen: “Bisa kita ke kantin bang Jack sebentar, Dir?”(Fahera hanya diam tidak
menjawab)
“Dir, bisa gak? Aku mau bicara, ini soal Chandra.”
Fahera: “Kau mau bicara apa? Bilang saja di sini!”
Helen: “Aku maunya kita bicara di kantin bang Jack!”
Fahera: “Ok! Tapi kuharap ini pembicaraan penting.”
Helen: “Ok!”
(Mereka berdua duduk di kursi di kantin bang Jack)
Helen: “Aku mau kita mengakhiri ini semua. Kau tahu, aku dan Chandra cuma teman
biasa.”
Fahera: “Teman! Teman apa? Sampai rangkul-rangkulan gitu, sambil pegangan gitu?”
Helen: “Dir! Dengar dulu! Aku tahu aku memang salah, aku nyesal! Tapi kau harus tahu
satu hal, Chandra masih cinta sama kau Dir! Itu yang harus kau yakini!”
Fahera: “Aku gak peduli!”(Meninggalkan Helen, kembali ke kelas)
(Lonceng istirahat berbunyi)
Adelia: “Jadi kita bilang sama mereka?”
Maulana: “Ya sudah ayolah kita bilang!”
Arifa: “Qistinya mana?’
Qisti: “Di sini aku Rifah!”
Wira: “Oke semua pemerannya sudah lengkap!”
Mereka berlima kemudian pergi mendekati orang Fahera yang kebetulan sekali sedang
berkumpul pada saat itu. Semua siswa di kelas pura-pura mencari kesibukan masing-
masing, padahal mereka berupayan untuk mendengar percakapan antara orang Maulana
dan orang Fahera.
Putri: “Ngapai kalian ke sini? Qisti ini lagi ikut-ikutan!”
Nurul: “Iya! Entah apa saja kalian!”
Qisti: “Teman-teman ayolah kita ikutan gabung acara Pensi ini! Ini demi kebaikan kelas
kita.”
Putri: “Mau kebaikan kelas kek! Mau apa kek! Mau itu kek! Aku gak peduli! Aku tetap
gak mau titik.”
Arifa: “Putri gak boleh gitu la! Kau gak boleh mentingin diri sendiri! Kau juga bagian
dari kelas kami.”
Fahera: “Apa kami dapat keuntungan dengan menjadi bagian dari kelas ini? Gak ada
kan?”
Rezeki: “Ngapai kita bikin acara kayak gini! Pikiran kalian gak rasional semua! Kau Wir
pintar tapi mau diperalat sama mereka, idiot!”
Maulana: “Kau kalau ngomong hati-hati ya! Jaga mulutmu!”
Rezeki: “Jadi maumu apa?”
Maulana: “Apa main? Kita selesaikan saja semua di sini!”
Rezeki: “Kau kira aku takut?”(Mendorong pelan Maulana)
Maulana: “Anjritnya ini!”(Ingin memukul Rezeki tapi ditahan oleh Wira, Qisti, Adelia,
Arifa, dan Dina)
Wira: “Sudah Maul! Sudah Maul!”
Clara: “Woi apa yang dikatakan mereka itu benar! Kalian itu juga bagian dari sepuluh
empat!”(Clara tiba-tiba memasuki pembicaraan)
Babny: “Iya! Babny setuju! Kalian-kan bagian dari sepuluh empat juga!”
Putri: “Sudah kubilang aku gak peduli!”
Qisti: “Berarti selama ini, rasa solidaritas dan kesetiakawanan kita cuma segini!
(Menunjukkan ujung jarinya)
“Aku gak nyangka!”
Fahera: “Biarin saja! Apa untungnya rasa solidaritas sama aku! Gak ada!”
Babny: “Dira!”
Helen: “Pantas Chandra mutusin kau!”
Fahera: “Heh! Kampung gak usah asal ngomong ya!”
Chandra: “Aku baru tau Dir! Ternyata kau kayak begini sebenarnya!”(Chandra tiba-tiba
datang)
Fahera: “Seharusnya aku yang bilang kayak gitu sama kau Chan! Kau sudah nyakitin
aku!”
Chandra: “Aku minta maaf Dir! Tapi kalau kau gak puas, kau pukul aku, sampai semua
rasa sakitmu pindah ke aku!”
Fahera: “Kau gak bakal ngerti rasa sakit aku! Sampai kapanpun!”
Rezeki: “Pokoknya walau bagaimanapun, kami gak bakal ikutan!”
Ackory: “Zeki! Zeki kok kayak gitu sih!”
Rezeki: “Aku...aku...aku...”(Terbata-bata)
Ackory: “Padahal selama ini aku mengagumi Zeki! Ternyata Zeki seperti ini!”
Semua: “Seeeh!”
Rezeki: “Me...me...mengaggumi?”
Ackory: “Zeki jahat!”(Pergi meninggalkan kelas)
Maulana: “Puas kau Zek! Sekarang sudah makin banyak orang yang kenal kau
sebenarnya!
Rezeki: Hah! Diam kau! Aku tetap gak mau!”
Putri: “Aku juga!”
Fahera, Yohanes, Donny, Nurul: “Kami juga!”
Babny: “Kalian ini memang...”
Gabriel: “Acara Pensi kita dibatalkan!”
Maulana: “Kenapa Byel?”
Gabriel: “Kita gak memenuhi persyaratannya!”
Maulana: “Persyaratan yang mana?”
TM: “Kita bukanlah sepuluh empat! Tanpa mereka kita bukanlah sepuluh empat!”(Semua
ribut)
Febryn: “Iya! Tanpa mereka kita bukanlah sepuluh empat! Sia-sia kita latihan selama
ini!”(Berteriak dari belakang)
Clara: “Dasar kalian egois!”
Maulana: “PERCUMA! PERCUMA!”(Memukul meja lalu pergi meninggalkan kelas)
Adelia: “Ini yang kalian inginkan bukan? Sudah puas kalian?”
Fadhlan Ryan: “Puas kalian? Jawab! Puas? Semua yang kami susun sudah berakhir!”
Putri: “Aku Setuju! Aku sudah setuju dan aku mau ikut partisipasi untuk acara pensi
kelas X-4. Maafin aku ya teman-teman,aku baru sadar betapa pentingnya kelas ini dan
kalian semua untuk aku. Kita harus bersatu dan tak ada satu pun yang memisahkan kita
semua sekalipun waktu.”
Fahera: “Put, kau kok setuju? Kau kan yang bilang sama aku kalau acara ini sama sekali
gak ada gunanya?”
Putri: “Aku tarik semua ucapanku itu, aku baru sadar sekarang, kalau kelas ini sangatlah
tegar dan kuat karena kita selalu bisa menghadapi semua masalah, sesulit dan semudah
apapun masalah itu jadi kenapa pada sesuatu yang akan membuat kelas kita lebih baik
kita tak sejalan?”
Rezeki: “Setelah aku pikir-piki! Aku setuju dengan ucapan Putri! Aku ikut!”
Yohanes: “Aku juga”
Nurul dan Donny: “Aku juga!”
Babny: “Nah gitu dong!”
Adelia: “Kau Dir?”
Fahera: “Aku tetap enggak!”
Putri: “Dir! Kenapa sih kau masih berisi keras?”
Nurul: “Iya Dir! Sudahlah kita setuju saja!”
Fahera: “Aku enggak mau, Putri, Nurul!”
Adelia: “Fahera, kau ngertiin kami kenapa sih?”
Fahera: “Kalian juga harus ngertiin aku!”
Chandra: “Dir! Sadar Dir! Kau sudah terlampau egois!”
Fahera: “Diam!”
Dina: “Drama musikal kita tetap batal!”
Fahera: “Aku gak peduli!”
(Di Kamar Fahera)
Fahera: “Aku gak mengerti mengapa ku seperti ini. Sepertinya benar kata mereka, aku
sudah terlampau egois. Aku terlalu mementingkan diri sendiri, sekarang bahkan teman-
teman dekatku meninggalkanku.aku harus segera berubah. Aku gak mau terus-terusan
seperti ini. Pertama-tama aku akan menyetujui acara pensi itu.”(Berbicara dalam hati)
(Keesokan harinya)
Fahera: “Selamat pagi semua!”(Tak ada yang menjawab sapaan)
“Loh kok pada diam sih? Jawab dong sapaan aku!”
Nessia: “Ngapai kita jawab sapaan dia! Gak penting banget!”
Sugiarti: “Iya!”
Fahera: “Kalian semua kok pada gak jawab sapaan aku.”(Semua masih diam)
“Ohh! Karena kemarin ya? Aku sudah memutuskan kok, aku setuju!”
Dina: “Beneran Dir!”
Fahera: “Benar! Setelah aku pikir-pikir, aku setuju!”
Semua: “HORE!”(Bersorak)
Putri: “Gitu la Dir! Ayo woi kita segera latihan!”
(Fahera mendekati Helen)
Fahera: “Aku mau minta maaf soal yang kemarin!”
Helen: “Aku juga! Aku sebenarnya gak bermaksud untuk menghancurkan hubungan
kalian.”
Fahera: “Sudah gak apa-apa, ternyata betul yang dibilang Chandra, aku jadi merasa lebih
baik.”(Fahera dan Helen berpelukan)
Semua: “Seeeh!”
Fahera: “Apaan sih!”
Nurul: “Maafin aku juga yaa teman-teman. Aku terlalu mementingkan diri aku sendiri.”
Anes: “Maafin aku juga ya, aku cuma ikut-ikutan saja.”
Donny: “Aku jugawei, aku selama ini sudah banyak salah.”
Rezeki: “Aku juga minta maaf, karena sudah bikin susah kalian semua.”
Semua: “Iya kami maafin!”
Maulana: “Zek! Sory ya soal kemarin!”
Rezeki: “Ok! Bukan masalah!”
Dina: “Alhamdulillah kalian semua sudah sadar betapa pentingnya kelas kita ini.”
Adelia: “Akhirnya kita dapat bersatu juga.”
Babny: “Sekarang ayo kita latihan!”
Keesokan harinya kami pun mulai sibuk dengan urusan kami masing-masing..ada yang
latihan menari,menyanyi dan banyak lainnya..
Mauliza: “Jangan memilih aku bila kau tak sanggup setia.”
Acil: “Cieleh! KD nyanyi ni yee!”
Mauliza: “Acil bisa saja! Suara aku bagus gak!
Acil: “Luar biasa! Menggugah hati!”
Fadhlan: “Hidup KD! Hidup KD!”
Dina: “Tapi sekarang Anang sudah sama Syahrini!”
Mauliza: “Itu gak usah di sebut-sebut! Gak senang?”
Dina: “Kalau KD senang akupun senang!”
Nurul: “Seeh! KD nyanyi ni yee!”
Mauliza: “Apa kau KD! KD!”
Maulana: “Ayo teman-teman! Kita harus memeberikan yang terbaik untuk acara pensi
nanti!”
Adhe: “Macam mau perang saja kau buat!”
Babny : Ih Mauliza genit deh ,udah cepetan dong geser mejanya Biar babny ajarin nari
samannya.”
Mauliza : Sabar lah Babny! Ini kan sudah mau digeser!”
Nafaliza: “Excuse me KD! Move a little dong!”
Mauliza: “Eh kau bantuin aku geser mejanya lah berat niihh. Eh kau lagi Sisca gilak
pacaran ajalah sama Acil!”
Acil: “Kalau gak soor! Bilanglah!”
Chindy dan Aulia tok: “Awas la KD! Cari sensasi saja-pun!”
Dale: “Iya si KD ini pantang tak top la! Di infoteimen banyak kali berita kau!”
Pangeran : KD sama aku mah, masih ngetopan RAYI RAN cuy!”
Sugiarti : “Apa kau bilang? Tampang kayak kau rayi ran? Dilihat dari lubang pipet pun
gak ada mirip-miripnya.”
Dhevi: “Kalau kau ngayal saja lah Pangeran!”
Akhirnya berakhir juga persiapan untuk pensi. Dan mereka semua pun pulang dengan
wajah yang lelah,tapi lelah karena senang dan mereka pun yakin kalau mereka pasti
menang dan harus menjadi pemenang.
Dikamar TM
Tm pun hanya bisa terdiam mengingat kalau dia harus pindah dari kota medan ini. Dan
yang membuatnya lebih sedih adalah ketika dia harus berpisah dari teman-temannya.
“apakah aku bisa mendapatkan teman seperti mereka??”. Aku yakin mereka tak kan
terganti oleh siapa pun..apalagi dia teringat oleh sosok wajah wanita yang tersenyum dan
tersipu malu ketika dia memberikan bunga kepada cewek itu. Wajahnya yang ayu
bagaikan bidadari yang turun dari khayangan. Senyumanya yang manis dan hatinya yang
tulus membuatnya malu untuk mendekati wanita ini..
Ibu Napit: “Ibu senang sekaligus bangga kepada kalian, kalian semua sudah bersatu.”
Semua: “Jelas! Sepuluh empat!”
Ibu Napit: “Naskah drama barunya sudah siap, Putri, Arifah, Helen?”
Putri: “Sudah bu!”
Arifa: “Yap! Kami jamin, penonton bakal terkesan dengan penampilan dari kelas kami.”
Ibu Napit: “Kalau begitu ayo kita mulai latihannya!”
Akhirnya semester dua dinyatakan telah selesai. Ujian semester genap yang
diselenggarakan telah usai. Ozi merasa puas karena ia bisa melewati ujian semester genap
dengan baik, karena setelah melihat hasil ujiannya tidak satupun ada yang remedial.
Ozi: “Thanks ya Wir! Kalau gak ada kau, mungkin aku akan tinggal kelas!”
Wira: “Ahh! Sudah semestinya aku membantu kamu! Gak usah bilang terimakasih, itu
kewajibanku”
Ozi: “Kau memang sahabat yang baik!”
Wira: “Kau juga!”
Ozi: “Yuk Kuantar pulang!”
Wira: “Oke!”
MC: “Terimakasih band dari kelas sepuluh tiga yang sudah tampil tadi, beri tepuk tangan
yang meriha dong!”(Orang-orang bertepuk tangan)
“Oke! Sekarang kita tampilkan sebuah drama musikal dari kelas sepuluh empat yang
judulnya, JIKA KAMI BERSAMA! Selamat menyaksikan!”
Penampilan sepuluh empat dimulai dari dance oleh Riski Pratenta, Yohanes, Chandra,
Aulia Zuhri, dan Pangeran. Setelah itu menampilkan suasana belajar di kelas sepuluh
empat, drama ini diiringi oleh musik merdu oleh grup vokal sepuluh empat. Pada
akhirnya dua kubu yang saling bermusuhan dapat bersatu kembali, lalu semua siswa
sepuluh amput naik ke panggung untuk menyanyikan lagu. Penampilan ini langsung
mendapat standing applause oleh para penonton.
Part Six
Acil: “Hari ini adalah hari yang sangat menggembirakan, semua anak sepuluh empat naik
kelas!”
Semua: “HORE!!!”
Acil: “Semua kutraktir makan nasi goreng!”
Semua: “Huuuuu!”
Acil: “Kenapa?”
Sisca: “Bang Jack tutup! Bikin malu saja!”(Menjewer telinga Acil)
Acil: “Aduh Sakit Sis! Sakit!”
TM: “Aku ingin bilang sesuatu kepada kalian semua.”(Raut muka serius)
“Terima kasih, selama setahun ini kalian sudah memberikan arti kehidupan yang sangat
luar biasa kepadaku. Di sini kita berbagi suka dan duka, di kelas sepuluh empat. Aku
sangat ingin kembali bersekolah di sini, tapi seminggu lagi aku akan pindah. Orang tuaku
memutuskan untuk pindah ke Depok!”
Dina: “TM! TM gak serius kan?”
TM: “Aku serius! Ini adalah tahun pertama dan terakhirku di sepuluh empat. Tapi bagiku
rasanya sudah seribu tahun di sepuluh empat, aku berharap suatu saat kita bisa bertemu
dan berkumpul kembali seperti ini. Walau mungkin dalam jangka waktu yang sangat
lama dari sekarang.”(Semua diam)
“Setiap hari aku selalu membaca buku filsafat untuk mencari kebahagian. Ternyata
kebahagian itu dekat denganku, aku bahagia bisa berada di tengah-tengah kalian. Sekali
lagi aku ucapkan terima kasih!”(Berusaha tersenyum, tapi air mata menetes juga)
Adhe: “Ini bukan waktunya untuk menangis Bitchboy!”(Memeluk TM)
Semua kemudian saling berkumpul untuk memeluk.
Itulah kisah dari sepuluh empat, kelas badai atau kelas liberal, atau apalah tergantung
kalia menilainya. Rasa persahabatan mereka yang kuat sudah mengubah segalanya, dari
sebuah kelas yang terpuruk menjadi sebuah kelas yang patut dibanggakan.
THE END