Meredam Kemiskinan Petani Jabar - Yuhka Sundaya
Meredam Kemiskinan Petani Jabar - Yuhka Sundaya
JAWA BARAT
Y. Sundaya
Program Studi Ilmu Ekonomi Universitas Islam Bandung
Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan IA Unisba
Abstract. Although poverty rates declined in West Java, but these developments require a more
rapid decline in order to strengthening rural and urban economic interaction. This paper tried to
put forward ideas to reduce poverty in the farm households. The idea is derived from the
understanding of the household farm economy in West Java, and conduction with the economists
idea in a similar problem.
Key words : poverty, farm household.
1. Pendahuluan
Penurunan angka kemiskinan di Jawa Barat cukup berarti. Pada Tabel 1
ditampilkan bahwa pada tahun 2008 dan 2009 angka kemiskinan secara total
menurun masing-masing sebesar 2,6 dan 6 persen. Perkembangan tersebut
merupakan hasil dari penurunan angka kemiskinan di pedesaan dan perkotaan.
Pada tahun 2008 dan 2009, angka kemiskinan di perdesaan secara berurutan
menurun 3,2 dan 10 persen, sedangkan di perkotaan secara berurutan menurun 1
dan 3,4 persen. Meski demikian, bila dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa
Timur, penurunannya masih relatif lebih lambat.
Tabel 1. Jumlah Penduduk Miskin di Desa dan Kota, Indonesia 2007 – 2009,
Juta Orang
Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009
Provinsi Kota Des Total Kota Des Total Kota Desa Total
a a
Jawa Barat 2,65 2,8 5,46 2,62 2,7 5,3 2,5 2,45 4,98
0 1 2 3
Jawa Tengah 2,6 3,87 6,5 2,5 3,6 6,1 2,4 3,30 5,73
9 6 6 3 9 2
Jawa Timur 2,58 4,5 7,16 2,3 4,3 6,65 2,1 3,87 6,02
8 1 4 5
Provinsi Lain 5,6 12,3 18,0 5,2 11,5 16,8 4,8 10,99 15,80
4 6 0 8 2 0 1
Indonesia 13,5 23,6 37,1 12,7 22,1 34,9 11,9 20,62 32,53
6 1 7 7 9 6 1
Sumber : Statistik Ekonomi Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS)
sempurna atau terdapat kegagalan pasar pada pasar lahan tanaman pangan. Nilai
ekonomi lahan tidak diukur dari nilai faktor produksi usaha tani, tetapi dilihat dari
opportunity cost lahan dalam fungsi yang lebih luas. Oleh karena itu, harga lahan
tidak lagi mencerminkan harga faktor produksi. Pada kondisi seperti ini, rumah
tangga petani tidak mudah untuk memasuki pasar lahan, terutama rumah tangga
petani berlahan sempit. Kemudian, teknologi paska panen diduga tidak efisien,
sehingga bisa mengurangi hasil panen padi yang optimal. Penggunaan alat
tradisional pada paska panen dapat menimbulkan banyak gabah yang hilang.
Utang Piutang
Rasio jumlah petani – luas lahan yang tinggi merupakan implikasi dari
rendahnya kesempatan kerja. Kesempatan kerja yang rendah di perdesaan dan
perkotaan mengakibatkan usaha pertanian dipandang sebagai the last landing
resort atau tempat berlabuh terakhir bagi masyarakat desa. Pada uraian
sebelumnya ditunjukkan bahwa tenaga kerja buruh tani cukup besar populasinya,
dan di beberapa desa tingkat upahnya lebih rendah dari rata-rata upah di desa lain.
4
Dengan besarnya jumlah petani, sementara luas lahan tetap, dan secara umum
cenderung mengalami penyempitan menjadi faktor penyebab rendahnya
produktivitas petani. Jumlah produksi per orang petani menjadi lebih rendah.
Harga yang tidak fair timbul dari eksisnya pasar monopsoni pada
komoditi tanaman pangan. Berdasarkan hasil pengamatan, tampak bahwa
bargaining position petani pada pasar komoditi tanaman pangan lemah. Mereka
tidak dapat menentukan harga, dan harga ditentukan sepihak oleh pedagang
pengumpul atau tengkulak. Eksisnya pasar monopsoni komoditi tanaman pangan
timbul dari informasi harga yang assimetri, dan hubungan hutang piutang.
Tertutupnya informasi harga komoditi bagi petani mengakibatkan petani tidak
memiliki kemampuan kuat dalam transaksi komoditi tanaman pangan. Posisi
tawar juga bisa lemah karena petani memiliki hubungan hutang piutang dengan
tengkulak. Hubungan hutang piutang ini timbul dari karakteristik penganggaran
usaha tani. Pengeluaran dalam usaha tani tanaman pangan dikeluarkan pada saat
musim tanam, sedangkan penerimaannya diterima tiga atau empat bulan
kemudian setelah panen. Dalam interval masa tanam dan masa panen itulah petani
terdorong untuk mengajukan pinjaman kepada tengkulak. Proses ini sudah
berlangsung lama di beberapa desa pertanian di Jawa Barat. Dengan demikian,
peran tengkulak bagi petani juga memiliki arti penting dalam pemenuhan
kebutuhan ekonomi rumah tangga dalam interval masa tanam dengan masa panen.
Di beberapa desa yang disurvey, beberapa petani yang tidak bisa mengakses
pinjaman dari tengkulak terpaksa mengijonkan tanaman padinya. Sementara itu,
pihak perbankan termasuk Bank Perkreditan Rakyat pun sangat terbatas
memberikan pinjaman pada petani, karena mereka mengkhawatirkan adanya
resiko yang tinggi dari hasil panen yang berpotensi untuk menimbulkan non
performing loan.1 Karenanya, petani tidak memiliki pilihan lain untuk
mengajukan pinjaman kecuali kepada tengkulak.
Fenomena kontrak bagi hasil antara petani dengan penyedia modal
memperoleh perhatian serius dari Kaushik (2000). Menurutnya, kontrak bagi hasil
yang tidak fair, justru akan menjadi katup berkembangnya inovasi petani. Dengan
lamanya pengalaman kerja, petani sebetulnya memahami dengan cermat persoalan
1
Informasi dari seminar sehari mengenai peranan BPR bagi pertanian. KBI Bandung, 2007.
5
kemiskinan. FSR juga mereka pandang terlalu menitik beratkan pada sisi
produksi, dan relatif mengabaikan sisi konsumsi rumah tangga pertanian. Karena
itu mereka menekankan kembali bahwa kontribusi aktual ahli ekonomi untuk
menganalisis kemiskinan masih perlu dikembangkan. Kebutuhan analisis ini
mereka respon dengan membangun model yang mengkuantifikasi kemiskinan,
melakukan simulasi rumah tangga pertanian untuk mengatasi kerawanan pangan
dan untuk menangkap heterogenitas serta efek distribusional. Arah penelitian
tersebut mereka munculkan dengan mengaplikasikan novel methodology.
Schreinemachers dan Berger (2006) menggabungkan model pemrograman
matematik untuk rumah tangga pertanian, model disinvestment dan multy agent
system untuk merajut pemrograman matematik terhadap dunia riil rumah tangga
pertanian.
Kemudian, dalam merespon kritik Schreinemachers dan Berger (2006),
Muhardi dan Sundaya (2009) membangun studi perilaku ekonomi rumah tangga
miskin pertanian tanaman pangan di Jawa Barat. Mereka coba mereplika perilaku
rumah tangga tersebut dengan mengelaborasi pendekatan konseptual dan empiris.
Dalam dimensi kepentingan praktis, mereka telah mencoba untuk mengevaluasi
Program Gerakan Multiaktivitas Agribisnis (GEMAR) tipe A yang masih segar
diimplementasikan di Provinsi Jawa Barat. Dalam bentuk yang sederhana, mereka
menampilkan replika sebuah rumah tangga usaha tani miskin yang memproduksi
padi, ubi dan kacang-kacangan. Dimana padi dan kacang-kacang merupakan
tanaman komersiil bagi petani, sedangkan ubi merepresentasikan jenis tanaman
untuk memenuhi kebutuhan subsistensi rumah tangga petani. Hasil simulasi
terhadap model ekonomi rumah tangga petani miskin tersebut menyimpulkan
bahwa Program GEMAR dapat menciptakan internal and external food security
oriented. Introduksi Program GEMAR (yang pada dasarnya menjamin pasokan
sarana produksi, mendampingi dan mengendalikan proses produksi, dan
menjamin proses pemasaran) sangat berarti dalam mendorong kenaikan jumlah
produksi tanaman pangan, selain itu rumah tangga yang menjadi subyek dan
obyek program tersebut memiliki potensi besar untuk berpartisipasi pada pasar
produk pertanian (komersialisasi), sehingga selain bisa memenuhi kebutuhan
dasarnya, ketersediaan komoditi pertanian bagi masyarakat luas juga akan
9
semakin besar seiring dengan terdorongnya tingkat partisipasi petani pada pasar
komoditi pertanian (komersialisasi). Namun demikian, kajian tersebut mengalami
revisi setelah merespon kritik penelaah, yang sebagian besar berasal dari inisiator
dan implementator Program GEMAR di Provinsi Jawa Barat, pada saat seminar
yang digelar oleh LPPM Unisba 23 Juli 2010.
4. Catatan Penutup
Meskipun terdapat penurunan angka kemiskinan yang cukup berarti dari
tahun 2008 dan 2009, namun dengan mempertimbangkan kinerja provinsi
tetangga, tampaknya upaya Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk menekan angka
kemiskinan perlu semakin diperbesar. Penurunan angka kemiskinan, tidak secara
linear terlihat pada angka kemiskinan itu sendiri, tapi dibalik penurunan tersebut
akan tercipta interaksi ekonomi yang kuat antara pedesaan dan perkotaan.
Ketersediaan komoditi pertanian bagi kebutuhan konsumsi, dan interaksi saling
pasok sektor pertanian di desa dan industri manufaktur di kota pun akan turut
menguat dan membesar.
Mencermati hasil kajian Dariah et al,(2007), untuk mendongkrak
pendapatan petani, kebijakan ekonominya akan melibatkan pendekatan teknologis
dan kelembagaan. Pendekatan teknologis diarahkan untuk memperbesar ukuran
usaha tani, menciptakan efisiensi usahanya, serta well-anticipated terhadap unsur
ketidakpasitan usahatani. Pendekatan kelembagaan mencakup penciptaan aturan
main yang fair, baik pada pasar komoditi usaha tani maupun pada pasar input
usaha tani. Pendekatan teknologis akan berdampak pada meningkatnya jumlah
produksi, dan pendekatan kelembagaan bersinggungan dengan aspek harga
komoditi usaha tani, dan mobilitas sumber daya lahan. Hasil akhirnya, kombinasi
kenaikan produksi dan harga yang fair dapat mendongkrak pendapatan petani.
Gagasan ini dapat dipandang sebagai kondisi perlu untuk menekan angka
kemiskinan petani di pedesaan, sedangkan syarat kecukupannya adalah tertatanya
skema kontrak bagi hasil yang dapat memberikan spirit produktivitas bagi petani.
Berdasarkan studi Muhardi dan Sundaya (2010), kondisi perlu tersebut
dapat ditopang oleh implementasi Program GEMAR yang semakin luas
jangkauan khalayak sasarannya. Ditempatkan pada rangkaian pemikiran mengenai
kemiskinan pertanian, tampaknya Program GEMAR mengait pada gagasan
10
komersialisasi sektor pertanian, dan perluasan ukuran usaha tani, sehingga hasil
simulasi Muhardi dan Sundaya (2010) menyimpulkan bahwa program tersebut
menampilkan bentuk internal and external food security oriented. Sementara itu,
untuk syarat kecukupannya, penulis belum menemukan regulasi yang
membingkai skema kontrak bagi hasil agar tercipta insentif kerja yang
proporsional antara petani penggarap dengan penyedia modal yang kemudian bisa
mendorong tumbuhnya inovasi di sektor pertanian.
5. Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. Statistik Ekonomi Indonesia. www.bps.go.id
Datt, G. and D. Jolliffe. 2005. Poverty in Egypt : Modeling and Policy
Simulations. Economic Development and Cultural Change.
TheUniversityofChicago. Chicago.
Dariah A., Sundaya Y., Prawoto I., Syam M.H., dan Robana R. 2007. Penyusunan
Rencana Peningkatan Daya Beli Masyarakat Berbasis Pembangunan Desa
Di Jawa Barat. Laporan Penelitian di BAPEDA Provinsi Jawa Barat.
Bandung.
de Janvry, A and Sadoulet, E. 1996. Household Modelling for The Design of
Poverty Alleviation Strategies. California Agricultural Experiment Stasion
Giannini Foundation of Agricultural Economics January. California.
de Janvry, A. Sadoulet, E and Zhu, N. 2005. The Role of Non-Farm Incomes in
Reducing Rural Poverty and Inequality in China. CUDARE Working
Papers. Department of Agricultural and Resource Economics. California.
Eskola, E. 2005. Commercialisation and Poverty in Tanzania: Household-level
Analysis. Discusion Paper DepaRTPMent of Economics. University of
Copenhagen. Denmark.
Kaushik B. 2000. Analytical Development Economics : The Less Developed
Economy. The MIT Press. England
Muhardi dan Sundaya Y. 2010. Perilaku Ekonomi Rumah Tangga Miskin
Pertanian Tanaman Pangan di Jawa Barat : Analisis dan Simulasi
Kebijakan. Drfat Laporan Akhir Penelitian Unggulan. Dibiayai oleh
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM).
Universitas Islam Bandung. Bandung.
Pyatt, G. 2003. An Alternative Approach to Poverty Analysis. Economic Systems
Reasearch.
Singh, I, Squire, L, Strauss, J. 1986. Agricultural Household Models:
Extensions,Applications, and Policy, The John Hopkins University Press,
Baltimore.
Schreinemachers, P and Berger, T. 2006. Simulating farm household poverty:
from passive victims to adaptive agents. Contributed paper prepared for
presentation at the International Association of Agricultural Economists
Conference, Gold Coast, Australia, August 12-18, 2006 . Australia.
Taylor, J.E, and Adelman, I. 2003. Agricultural Household Model : Genesis,
Evolution and Extension. Kluwer Academic Publisher. Netherlands.
11