Anda di halaman 1dari 11

MEREDAM KEMISKINAN RUMAH TANGGA PETANI DI

JAWA BARAT

Y. Sundaya
Program Studi Ilmu Ekonomi Universitas Islam Bandung
Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan IA Unisba

Abstract. Although poverty rates declined in West Java, but these developments require a more
rapid decline in order to strengthening rural and urban economic interaction. This paper tried to
put forward ideas to reduce poverty in the farm households. The idea is derived from the
understanding of the household farm economy in West Java, and conduction with the economists
idea in a similar problem.
Key words : poverty, farm household.

1. Pendahuluan
Penurunan angka kemiskinan di Jawa Barat cukup berarti. Pada Tabel 1
ditampilkan bahwa pada tahun 2008 dan 2009 angka kemiskinan secara total
menurun masing-masing sebesar 2,6 dan 6 persen. Perkembangan tersebut
merupakan hasil dari penurunan angka kemiskinan di pedesaan dan perkotaan.
Pada tahun 2008 dan 2009, angka kemiskinan di perdesaan secara berurutan
menurun 3,2 dan 10 persen, sedangkan di perkotaan secara berurutan menurun 1
dan 3,4 persen. Meski demikian, bila dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa
Timur, penurunannya masih relatif lebih lambat.

Tabel 1. Jumlah Penduduk Miskin di Desa dan Kota, Indonesia 2007 – 2009,
Juta Orang
Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009
Provinsi Kota Des Total Kota Des Total Kota Desa Total
a a
Jawa Barat 2,65 2,8 5,46 2,62 2,7 5,3 2,5 2,45 4,98
0 1 2 3
Jawa Tengah 2,6 3,87 6,5 2,5 3,6 6,1 2,4 3,30 5,73
9 6 6 3 9 2
Jawa Timur 2,58 4,5 7,16 2,3 4,3 6,65 2,1 3,87 6,02
8 1 4 5
Provinsi Lain 5,6 12,3 18,0 5,2 11,5 16,8 4,8 10,99 15,80
4 6 0 8 2 0 1
Indonesia 13,5 23,6 37,1 12,7 22,1 34,9 11,9 20,62 32,53
6 1 7 7 9 6 1
Sumber : Statistik Ekonomi Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS)

Penduduk desa dan kota menampilkan sebuah entitas penting dalam


perekonomian. Penduduk desa, yang kental dengan sifat ekonomi pertanian,
menjadi sumber pasokan komoditi pertanian bagi masyarakat pedesaan sendiri
2

dan masyarakat perkotaan. Masyarakat perkotaan menampilkan segmen pasar


yang menyerap komoditi yang dihasilkan petani di pedesaan. Lebih dari itu, selain
sebagai sumber kebutuhan konsumsi, komoditi pertanian juga menjadi asupan
penting bagi beragam sektor manufaktor dan perdagangan. Oleh karena itu,
penurunan angka kemiskinan di pedesaan dan perkotaan akan secara kompak
memperbaiki perekonomian, karena dibelakangnya terdapat fenomena permintaan
dan penawaran komoditi pertanian yang akan memperkuat perekonomian daerah.
Tulisan ini coba mengupas gagasan pengentasan kemiskinan petani di
pedesaan. Gagasan tersebut coba dikembangkan dari pemahaman mengenai
permasalahan ekonomi usaha tani tanaman pangan di Jawa Barat, dan respon ahli
ekonomi terhadap isu kemiskinan. Secara berurutan, materi tersebut disajikan
pada bagian kedua dan ketiga, dan ringkasannya disajikan pada catatan penutup.

2. Permasalahan Ekonomi Usaha Tani Tanaman Pangan di Jawa Barat


Pemikiran untuk mengantisipasi kemiskinan petani sudah lama dibangun
oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Misalnya, pada tahun 2007 BAPEDA
Provinsi Jawa Barat telah membuat kajian tentang penyusunan rencana
peningkatan daya beli masyarakat berbasis pembangunan desa (Dariah et al,
2007). Sederhananya, setelah melampaui tahap diskusi dari hasil survey, mereka
mengidentifikasi terdapat dua faktor utama yang mengakibatkan rendahnya
pendapatan petani. Ilustrasinya disajikan pada Gambar 1. Faktor tersebut adalah
jumlah produksi yang rendah serta penentuan harga yang tidak fair. Jumlah
produksi yang rendah timbul dari karakteristik produksinya, sedangkan harga
komoditi tanaman pangan yang tidak fair timbul dari struktur pasar komoditi
tanaman pangan.
Jumlah produksi yang rendah muncul dari beberapa faktor. Rasio jumlah
petani – luas lahan besar yang kurang profitable, menurunnya kesuburan lahan,
dan teknologi paska panen diduga menjadi sumber penyebab rendahnya jumlah
produksi. Secara umum banyak petani pemilik memiliki lahan kurang dari 1
hektar, dan secara ekonomis luasan kepemilikan lahan tersebut sangat sulit untuk
mencapai keuntungan yang tinggi. Temuan ini dipertegas juga oleh temuan
Muhardi dan Sundaya (2009). Lahan pertanian menghadapi ancaman dari luar
berupa tekanan alih fungsi lahan dan karakteristik pasar lahan yang tidak
3

sempurna atau terdapat kegagalan pasar pada pasar lahan tanaman pangan. Nilai
ekonomi lahan tidak diukur dari nilai faktor produksi usaha tani, tetapi dilihat dari
opportunity cost lahan dalam fungsi yang lebih luas. Oleh karena itu, harga lahan
tidak lagi mencerminkan harga faktor produksi. Pada kondisi seperti ini, rumah
tangga petani tidak mudah untuk memasuki pasar lahan, terutama rumah tangga
petani berlahan sempit. Kemudian, teknologi paska panen diduga tidak efisien,
sehingga bisa mengurangi hasil panen padi yang optimal. Penggunaan alat
tradisional pada paska panen dapat menimbulkan banyak gabah yang hilang.

Pasar Lahan Tidak Sempurna


Pendapatan Rendah

Mahalnya harga pupuk


Luas lahan unprofitableKondisi Produksi Petani
Rendahnya Jml Produksi
Besarnya rasio jumlah
petani - lahan
Penentuan Harga unfair
Inefisiensi Tech Paska Panen
Monopsoni komoditi tanaman pangan

Kesuburan lahan cenderung turun

Utang Piutang

Rumah Tangga Petani

Daya Beli Rendah

Rendahnya kesempatan kerja off-farming

Sumber : Dariah et al,(2007)


Gambar 21. Simplifikasi Permasalahan Ekonomi Usaha Tani Tanaman Pangan,
Provinsi Jawa Barat

Rasio jumlah petani – luas lahan yang tinggi merupakan implikasi dari
rendahnya kesempatan kerja. Kesempatan kerja yang rendah di perdesaan dan
perkotaan mengakibatkan usaha pertanian dipandang sebagai the last landing
resort atau tempat berlabuh terakhir bagi masyarakat desa. Pada uraian
sebelumnya ditunjukkan bahwa tenaga kerja buruh tani cukup besar populasinya,
dan di beberapa desa tingkat upahnya lebih rendah dari rata-rata upah di desa lain.
4

Dengan besarnya jumlah petani, sementara luas lahan tetap, dan secara umum
cenderung mengalami penyempitan menjadi faktor penyebab rendahnya
produktivitas petani. Jumlah produksi per orang petani menjadi lebih rendah.
Harga yang tidak fair timbul dari eksisnya pasar monopsoni pada
komoditi tanaman pangan. Berdasarkan hasil pengamatan, tampak bahwa
bargaining position petani pada pasar komoditi tanaman pangan lemah. Mereka
tidak dapat menentukan harga, dan harga ditentukan sepihak oleh pedagang
pengumpul atau tengkulak. Eksisnya pasar monopsoni komoditi tanaman pangan
timbul dari informasi harga yang assimetri, dan hubungan hutang piutang.
Tertutupnya informasi harga komoditi bagi petani mengakibatkan petani tidak
memiliki kemampuan kuat dalam transaksi komoditi tanaman pangan. Posisi
tawar juga bisa lemah karena petani memiliki hubungan hutang piutang dengan
tengkulak. Hubungan hutang piutang ini timbul dari karakteristik penganggaran
usaha tani. Pengeluaran dalam usaha tani tanaman pangan dikeluarkan pada saat
musim tanam, sedangkan penerimaannya diterima tiga atau empat bulan
kemudian setelah panen. Dalam interval masa tanam dan masa panen itulah petani
terdorong untuk mengajukan pinjaman kepada tengkulak. Proses ini sudah
berlangsung lama di beberapa desa pertanian di Jawa Barat. Dengan demikian,
peran tengkulak bagi petani juga memiliki arti penting dalam pemenuhan
kebutuhan ekonomi rumah tangga dalam interval masa tanam dengan masa panen.
Di beberapa desa yang disurvey, beberapa petani yang tidak bisa mengakses
pinjaman dari tengkulak terpaksa mengijonkan tanaman padinya. Sementara itu,
pihak perbankan termasuk Bank Perkreditan Rakyat pun sangat terbatas
memberikan pinjaman pada petani, karena mereka mengkhawatirkan adanya
resiko yang tinggi dari hasil panen yang berpotensi untuk menimbulkan non
performing loan.1 Karenanya, petani tidak memiliki pilihan lain untuk
mengajukan pinjaman kecuali kepada tengkulak.
Fenomena kontrak bagi hasil antara petani dengan penyedia modal
memperoleh perhatian serius dari Kaushik (2000). Menurutnya, kontrak bagi hasil
yang tidak fair, justru akan menjadi katup berkembangnya inovasi petani. Dengan
lamanya pengalaman kerja, petani sebetulnya memahami dengan cermat persoalan

1
Informasi dari seminar sehari mengenai peranan BPR bagi pertanian. KBI Bandung, 2007.
5

teknis usahatani mereka, sehingga gagasan untuk memecahkan masalah teknisnya


dapat mereka pahami dengan baik. Namun, mereka akan enggan meningkatkan
produksi melalui inovasinya, karena tambahan produksi tersebut akan dinikmati
oleh penyedia modal apabila proporsi bagi hasilnya condong pada pihak tersebut.

3. Pemikiran Ekonomi dan Isu Kemiskinan


Dari sudut pandang praktis, terdapat beberapa gagasan kebijakan untuk
meredam kemiskinan rumah tangga pertanian. Rekomendasi kebijakannya adalah
komersialisasi pertanian (Eskola, 2004), program transfer kekayaan (de Janvry
dan Sadoulet, 1996), pengembangan kesempatan kerja off-farming di pedesaan (de
Janvry et al., 2005), dan meningkatkan pendidikan orang tua (Datt dan Joliffe,
2005). Pemikiran tersebut kemudian memperoleh kritik dari Schreinemachers dan
Berger (2006).
Eskola (2004) berpendapat bahwa pembangunan fasilitas pasar yang dekat
dengan kegiatan pertanian serta kemudahan petani untuk mengakses informasi
pasar dapat meningkatkan derajat komersialisasi rumah tangga pertanian.
Partisipasi pasar akan terbuka lebar bagi petani, dan dengan cara demikian
hambatan penjualan mengecil yang pada akhirnya dapat meningkatkan
pendapatan rumah tangga petani. Argumentasi mereka mengacu pada analisa
empiris dengan basis kerangka kerja ekonomi rumah tangga pertanian. Kerangka
kerja tersebut telah menjadi benchmark atau model dasar dalam menganalisis
ekonomi rumah tangga (Singh et al., (1986), Taylor dan Adelman (2002)).
de Janvry dan Sadoulet (1996) merekomendasikan implementasi program
transfer kekayaan untuk memecahkan masalah kemiskinan. Program ini mesti
didukung oleh fleksibilitas dalam merealokasi sumber daya. Mereka memandang
bahwa terbatasnya akses terhadap kekayaan (asset) merupakan determinan utama
masalah kemiskinan. Mereka menganalisis peranan kekayaan dalam menjelaskan
strategi alokasi tenaga kerja rumah tangga, sumber pendapatan, tingkat
pendapatan yang dicapai dan kemiskinan per kapita diantara kelas rumah tangga
pertanian di Meksiko. Mereka menggunakan model ekonomi rumah tangga non
separable untuk menjelaskan redistribusi kekayaan melalui efek pendapatan
langsung dan efek keseimbangan umum. Hasilnya menunjukkan bahwa
redistribusi lahan memberikan manfaat pemerataan dan efisiensi. Mereka
6

berpendapat bahwa terdapat skala ekonomi dalam penggunaan tenaga kerja


sendiri (self-employment) dalam usaha kecil, modal manusia untuk partisipasi
pasar tenaga kerja, dan modal sosial untuk migrasi internasional yang
menimbulkan konflik antara pemerataan dan efisiensi sosial dalam meredistribusi
kekayaan. Mereka mempertimbangkan bahwa pembuat kebijakan harus
memahami derajat heterogenitas yang menjadi ciri penduduk desa.
de Janvry et al., (2005) menganalisis kemiskinan rumah tangga pertanian
di China. Menurut mereka, dalam kaitannya dengan pengentasan kemiskinan,
negara ini dapat dijadikan pembelajaran bagi negara lain. Kesempatan kerja di
luar pertanian dapat menjadi penyumbang utama pendapatan rumah tangga
pertanian. Dengan menggunakan data hasil survey dari Provinsi Hubei, mereka
melakukan simulasi yang sifatnya counterfactual terhadap rumah tangga pertanian
yang tidak mengakses sumber pendapatan dari kegiatan off-farm. Simulasi mereka
lakukan dengan menggunakan model ekonometrika probit. Persamaannya
menjelaskan bahwa perubahan pendapatan dua jenis petani : petani yang tidak
memiliki pekerjaan lain di luar pertanian dan petani yang terlibat dalam kegiatan
off-farm. Pendapatan tersebut dijelaskan oleh alokasi input tenaga kerja, lahan,
jarak rumah tangga terhadap daerah kabupaten, dan lamanya pendidikan. Variabel
eksogen ini mereka sebut dengan karakteristik rumah tangga. Hasil simulasinya
menunjukkan bahwa tanpa ada kesempatan kerja off-farm kemiskinan pedesaan
akan lebih tinggi dan mendalam, dan hasilnya kesenjangan pendapatan akan
makin tinggi. Mereka menemukan bahwa pendidikan, kedekatan lokasi terhadap
kota, efek tetangga dan efek desa terlihat krusial dalam menolong rumah tangga
tertentu untuk memperoleh akses terhadap kesempatan itu. Lebih lanjut mereka
menyimpulkan bahwa partisipasi dalam kegiatan off-farm dapat memberikan efek
limpahan yang positif terhadap produksi rumah tangga pertanian.
Datt dan Joliffe (2005) membangun model empiris kemiskinan di Mesir.
Mereka memusatkan perhatian untuk menggali determinan kemiskinan disana.
Dengan menggunakan metodologi ekonometrika, mereka merepresentasikan
kemiskinan dengan konsumsi per kapita. Model ekonominya menjelaskan
perubahan konsumsi per kapita yang dideterminasi oleh karakteristik rumah
tangga. Hasil estimasi menunjukkan bahwa karakteristik rumah tangga yang
7

menjelaskan perubahan pengeluaran per kapita tersebut mencakup ukuran rumah


tangga, lama pendidikan primer yang ditempuh oleh suami dan istri, luas lahan
olahan yang dimiliki, jarak sekolah dari rumah, dan jarak rumah sakit dari rumah.
Hasil estimasi dan hasil validasi variabel tersebut menjelaskan perubahan
konsumsi per kapita rumah tangga di pedesaan dan perkotaan. Dikombinasikan
dengan hasil simulasi terhadap model empiris tersebut, mereka menekankan
pentingnya peningkatan pendidikan orang tua di dalam meredam masalah
kemiskinan.
Rangkain studi ekonomi kemiskinan tersebut, kemudian memperoleh
kritik dari Schreinemachers dan Berger (2006). Mereka berpendapat bahwa
kebanyakan analisis kemiskinan fokus dengan pertanyaan seputar determinan atau
faktor penentu kemiskinan dengan mengestimasi sejumlah besar variabel eksogen
(pendidikan, umur, ukuran rumah tangga dan kepemilikan lahan) yang semata-
mata fokus pada pengukuran tingkat kemiskinan. Pendekatan ini memang
direkomendasikan dalam World Bank’s Sourcebook for Poverty Reduction
Strategies. Mengutip dari Pyatt (2003), mereka memandang juga bahwa
pendekatan tersebut merupakan pendekatan statistik (statistical approach) yang
bergantung pada kesimpulan statistik (statistic inferential). Pendekatan statistik
memang berguna untuk mengindentifikasi variabel penting dalam meredam
kemiskinan. Akan tetapi, hasil evaluasi mereka menunjukkan bahwa pendekatan
tersebut memiliki dua kelemahan. Pertama, pendekatan statistik tidak membuka
penjelasan detail mengenai peluang dan kendala orang miskin untuk
mengembangkan lahan miliknya, dan karena itu menghasilkan informasi yang
terbatas untuk implementasi kebijakan. Kedua, simulasi kebijakan berbasis
pendekatan statistik seolah memperlakukan rumah tangga miskin sebagai korban
yang pasif (passive victims) dan tidak menunjukkan pelaku yang adaptif. Contoh
penelitian kemiskinan dengan pendekatan statistik dilakukan oleh Datt dan Joliffe
(2005) dan de Janvry et al., (2005), Martin & Taylor (2007).
Penelitian sistem pertanian (farming system research, FSR) sebagai
pelengkap pendekatan statistik juga mereka pandang kurang memenuhi. FSR
kurang merepresentasikan heterogenitas dan interaksi yang mendasar untuk
memahami kemiskinan dan efek distribusional dari kebijakan untuk meredam
8

kemiskinan. FSR juga mereka pandang terlalu menitik beratkan pada sisi
produksi, dan relatif mengabaikan sisi konsumsi rumah tangga pertanian. Karena
itu mereka menekankan kembali bahwa kontribusi aktual ahli ekonomi untuk
menganalisis kemiskinan masih perlu dikembangkan. Kebutuhan analisis ini
mereka respon dengan membangun model yang mengkuantifikasi kemiskinan,
melakukan simulasi rumah tangga pertanian untuk mengatasi kerawanan pangan
dan untuk menangkap heterogenitas serta efek distribusional. Arah penelitian
tersebut mereka munculkan dengan mengaplikasikan novel methodology.
Schreinemachers dan Berger (2006) menggabungkan model pemrograman
matematik untuk rumah tangga pertanian, model disinvestment dan multy agent
system untuk merajut pemrograman matematik terhadap dunia riil rumah tangga
pertanian.
Kemudian, dalam merespon kritik Schreinemachers dan Berger (2006),
Muhardi dan Sundaya (2009) membangun studi perilaku ekonomi rumah tangga
miskin pertanian tanaman pangan di Jawa Barat. Mereka coba mereplika perilaku
rumah tangga tersebut dengan mengelaborasi pendekatan konseptual dan empiris.
Dalam dimensi kepentingan praktis, mereka telah mencoba untuk mengevaluasi
Program Gerakan Multiaktivitas Agribisnis (GEMAR) tipe A yang masih segar
diimplementasikan di Provinsi Jawa Barat. Dalam bentuk yang sederhana, mereka
menampilkan replika sebuah rumah tangga usaha tani miskin yang memproduksi
padi, ubi dan kacang-kacangan. Dimana padi dan kacang-kacang merupakan
tanaman komersiil bagi petani, sedangkan ubi merepresentasikan jenis tanaman
untuk memenuhi kebutuhan subsistensi rumah tangga petani. Hasil simulasi
terhadap model ekonomi rumah tangga petani miskin tersebut menyimpulkan
bahwa Program GEMAR dapat menciptakan internal and external food security
oriented. Introduksi Program GEMAR (yang pada dasarnya menjamin pasokan
sarana produksi, mendampingi dan mengendalikan proses produksi, dan
menjamin proses pemasaran) sangat berarti dalam mendorong kenaikan jumlah
produksi tanaman pangan, selain itu rumah tangga yang menjadi subyek dan
obyek program tersebut memiliki potensi besar untuk berpartisipasi pada pasar
produk pertanian (komersialisasi), sehingga selain bisa memenuhi kebutuhan
dasarnya, ketersediaan komoditi pertanian bagi masyarakat luas juga akan
9

semakin besar seiring dengan terdorongnya tingkat partisipasi petani pada pasar
komoditi pertanian (komersialisasi). Namun demikian, kajian tersebut mengalami
revisi setelah merespon kritik penelaah, yang sebagian besar berasal dari inisiator
dan implementator Program GEMAR di Provinsi Jawa Barat, pada saat seminar
yang digelar oleh LPPM Unisba 23 Juli 2010.

4. Catatan Penutup
Meskipun terdapat penurunan angka kemiskinan yang cukup berarti dari
tahun 2008 dan 2009, namun dengan mempertimbangkan kinerja provinsi
tetangga, tampaknya upaya Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk menekan angka
kemiskinan perlu semakin diperbesar. Penurunan angka kemiskinan, tidak secara
linear terlihat pada angka kemiskinan itu sendiri, tapi dibalik penurunan tersebut
akan tercipta interaksi ekonomi yang kuat antara pedesaan dan perkotaan.
Ketersediaan komoditi pertanian bagi kebutuhan konsumsi, dan interaksi saling
pasok sektor pertanian di desa dan industri manufaktur di kota pun akan turut
menguat dan membesar.
Mencermati hasil kajian Dariah et al,(2007), untuk mendongkrak
pendapatan petani, kebijakan ekonominya akan melibatkan pendekatan teknologis
dan kelembagaan. Pendekatan teknologis diarahkan untuk memperbesar ukuran
usaha tani, menciptakan efisiensi usahanya, serta well-anticipated terhadap unsur
ketidakpasitan usahatani. Pendekatan kelembagaan mencakup penciptaan aturan
main yang fair, baik pada pasar komoditi usaha tani maupun pada pasar input
usaha tani. Pendekatan teknologis akan berdampak pada meningkatnya jumlah
produksi, dan pendekatan kelembagaan bersinggungan dengan aspek harga
komoditi usaha tani, dan mobilitas sumber daya lahan. Hasil akhirnya, kombinasi
kenaikan produksi dan harga yang fair dapat mendongkrak pendapatan petani.
Gagasan ini dapat dipandang sebagai kondisi perlu untuk menekan angka
kemiskinan petani di pedesaan, sedangkan syarat kecukupannya adalah tertatanya
skema kontrak bagi hasil yang dapat memberikan spirit produktivitas bagi petani.
Berdasarkan studi Muhardi dan Sundaya (2010), kondisi perlu tersebut
dapat ditopang oleh implementasi Program GEMAR yang semakin luas
jangkauan khalayak sasarannya. Ditempatkan pada rangkaian pemikiran mengenai
kemiskinan pertanian, tampaknya Program GEMAR mengait pada gagasan
10

komersialisasi sektor pertanian, dan perluasan ukuran usaha tani, sehingga hasil
simulasi Muhardi dan Sundaya (2010) menyimpulkan bahwa program tersebut
menampilkan bentuk internal and external food security oriented. Sementara itu,
untuk syarat kecukupannya, penulis belum menemukan regulasi yang
membingkai skema kontrak bagi hasil agar tercipta insentif kerja yang
proporsional antara petani penggarap dengan penyedia modal yang kemudian bisa
mendorong tumbuhnya inovasi di sektor pertanian.

5. Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. Statistik Ekonomi Indonesia. www.bps.go.id
Datt, G. and D. Jolliffe. 2005. Poverty in Egypt : Modeling and Policy
Simulations. Economic Development and Cultural Change.
TheUniversityofChicago. Chicago.
Dariah A., Sundaya Y., Prawoto I., Syam M.H., dan Robana R. 2007. Penyusunan
Rencana Peningkatan Daya Beli Masyarakat Berbasis Pembangunan Desa
Di Jawa Barat. Laporan Penelitian di BAPEDA Provinsi Jawa Barat.
Bandung.
de Janvry, A and Sadoulet, E. 1996. Household Modelling for The Design of
Poverty Alleviation Strategies. California Agricultural Experiment Stasion
Giannini Foundation of Agricultural Economics January. California.
de Janvry, A. Sadoulet, E and Zhu, N. 2005. The Role of Non-Farm Incomes in
Reducing Rural Poverty and Inequality in China. CUDARE Working
Papers. Department of Agricultural and Resource Economics. California.
Eskola, E. 2005. Commercialisation and Poverty in Tanzania: Household-level
Analysis. Discusion Paper DepaRTPMent of Economics. University of
Copenhagen. Denmark.
Kaushik B. 2000. Analytical Development Economics : The Less Developed
Economy. The MIT Press. England
Muhardi dan Sundaya Y. 2010. Perilaku Ekonomi Rumah Tangga Miskin
Pertanian Tanaman Pangan di Jawa Barat : Analisis dan Simulasi
Kebijakan. Drfat Laporan Akhir Penelitian Unggulan. Dibiayai oleh
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM).
Universitas Islam Bandung. Bandung.
Pyatt, G. 2003. An Alternative Approach to Poverty Analysis. Economic Systems
Reasearch.
Singh, I, Squire, L, Strauss, J. 1986. Agricultural Household Models:
Extensions,Applications, and Policy, The John Hopkins University Press,
Baltimore.
Schreinemachers, P and Berger, T. 2006. Simulating farm household poverty:
from passive victims to adaptive agents. Contributed paper prepared for
presentation at the International Association of Agricultural Economists
Conference, Gold Coast, Australia, August 12-18, 2006 . Australia.
Taylor, J.E, and Adelman, I. 2003. Agricultural Household Model : Genesis,
Evolution and Extension. Kluwer Academic Publisher. Netherlands.
11

Anda mungkin juga menyukai