Anda di halaman 1dari 2

Sang Pemimpi | Berlari-lari Mengejar

Mimpi
By rusabawean on Dec 19, 2009 in Berita, Film

11Share

Sang Pemimpi, ini adalah film yang bercerita tentang


mimpi. Mimpi 3 remaja yang memang tak mudah untuk mewujudkannya.

Lain dengan Laskar Pelangi, Sang Pemimpi adalah film yang lebih remaja, porsi masa
remaja pada tokoh utama sangat banyak. Mulai dari hubungan anak SMA dengan sang
ayahnya, kenakalan-kenakalan remaja serta sampai pada cerita pencarian cinta. Lihat saja
bagaimana diceritakan tokoh Jimbron (Azwir Fitrianto) yang naksir berat sama Laksmi
atau bagimana cara tokoh Arai (Ahmad Syaifullah) menggoda pujaan hatinya Zakiah
Nurmala (Maudy Ayunda), dengan menyanyikan lagu melayu.

Hmmm, memang film ini sangat kental nuansa melayunya. Lebih kental lagi dari seri
seblumnya, Laskar Pelangi. Lagu melayu dalam film ini, beberapa kali diulang-ulang.

Yang patut ditiru oleh pembuat film negeri ini adalah bagaimana membuat orang tertawa
dalam film ini. Adegan lucu dalam film ini tak harus memasang banci-bancian atau hal-
hal yang jorok serta membuat kecacatan orang lain jadi bahan tertawaan. Adegan lucu
dalam film ini, sungguh sangat natural. Walau kadang adegan yang akan muncul
beberapa kali bisa ditebak. Seperti pada adegan Jimbron jadi kuda, atau adegan
memekakan petikan kata insiprasi, pada saat giliran Jimbron, saya sudah tahu Jimbron
akan mengulangi kelucuan seperti pada tokoh Ikal (Vikri Setiawan) yang memetik kata-
kata inspirasi dari Bang Haji Roma Irama.
Ilustrasi musik dalam film ini sama sekali tidak masuk, padahal yang saya tahu, film ini
soundtracknya banyak diisi oleh musisi-musisi papan atas, sebut saja GIGI, Ungu,
Bonita, Ipang dan NineBall.

Kurang Seru dan Mengharukan


Saya tidak tahu, apa yang seru dalam film ini? Mungkin memang benar kalo cerita
tetralogi dari novel Andrea Hirata sangat menarik dan menginspirasi. Tapi untuk film ini,
saya tidak melihat gregetnya.

Sebenarnya banyak adegan yang bisa dibuat lebih seru, bagaimana tokoh Ikal (Lukman
Sardi) dan Arai (Nazriel Ilham) diterima di Universitas Indonesia, atau bagaimana saat
keduanya kembali bertemu, atau pada saat keduanya mendapatkan beasiswa untuk kuliah
di luar negeri. Adegan-adegan itu tampak sangat datar dan sama sekali tak mengejutkan.

Begitu juga pada adegan sedih dan mengharukan. Sungguh kurang menyayat. Alhasil
saya sama sekali tidak merasa sedih. Lihat saja pada adegan hilangnya keluarga Arai
kecil (Sandy Pranatha), atau pada adegan perpisahan saat Arai dan Ikal mau berangkat ke
Jakarta, atau pada adegan rasa haru pada saat orang tau Ikal menerima surat bahwa Ikal
dan Arai diterima untuk mendapatkan beasiswa kuliah di Luar Negeri. Bukannya terharu,
yang ada saya malah tertawa melihat Rieke Diah Pitaloka dan Matthias Muchus berakting
layaknya kakek nenek.

Yang saya heran lagi, di film diceritakan bangaimana Arai berpisah dan menghilang lama
dari sahabatnya Ikal. Tapi rasa perpisahan dan kesedihan Ikal tak terlalu tampak, bahkan
yang katanya berpisah lama, kesannya sangat sebentar sekali.

Apakah mungkin semua itu dikarenakan film ini menggunakan gaya bercerita? Saya
seakan-akan hanya mendengar orang menceritakan masa lalunya.

Tapi di luar itu semua, Riri Riza berhasil membangun seting tahun 80-an dalam film ini.
Visualisai jadul (jaman dulu) tahun 80-an sangat sempurna.

Bagaimana Peran Ariel Peterpan?


Tak banyak yang dilakukan Nazriel Ilham atau Ariel Peterpan dalam film ini. Hanya
muncul beberapa kali di akhir cerita ketika tokoh Arai dewasa. Mungkin Riri Riza tidak
mau nerima resiko ya? Ariel di sini sangat minim dialog, beberapa kali muncul dengan
berlari-lari dan melakukan adegan solo, sama halnya seperti pada setiap video klipnya di
Peterpan yang tak pernah berdialog.

Kesimpulan
Tak ada himbauan nonton atau tidak untuk film ini. Jika ingin nonton silahkan, tapi
setelah nonton tolong beritahu saya berapa kali adegan lari dalam film ini?! Saya lupa
menghitungnya.

Anda mungkin juga menyukai