Anda di halaman 1dari 3

Naif, Menghukum yang Tidak Pakai Kondom

Oleh Syaiful W. Harahap*

Pembuatan peraturan daerah (Perda) penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS dan


IMS di Indonesia diilhami oleh keberhasilan Thailand dalam menurunkan kasus infeksi
HIV baru di kalangan dewasa melalui hubungan seks. Program yang dijalankan Negeri
Gajah Putih itu dikenal sebagai ’wajib kondom 100 persen’ pada hubungan seks di
lokalisasi pelacuran dan rumah bordir.

’Angin sorga’ itu pun bertiup kencang ke Indonesia ketika kasus HIV/AIDS merebak.
Program itu pun kemudian dijabarkan di negeri ini melalui materi di dalam Perda. Sudah
ada 37 daerah mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota yang menerbitkan Perda
penanggulangan AIDS. Berbagai bentuk penjabaran dalam Perda mengesankan
eufemisme dan menghindari benturan dengan norma, moral dan agama. Bahkan, ada
Perda yang sama sekali tidak mencantumkan kata kondom yang diganti dengan alat
pengaman, alat pelindung, dll. Akibatnya, terjadi bias sehingga program pun tidak lagi
akurat seperti yang dijalankan di Thailand.

Implikasi program itu di Thailand adalah sanksi yang berat bagi germo/mucikari atau
pengusaha rumah bordir jika ada pekerja seks yang terdeteksi mengidap IMS (infeksi
menular seksual, seperti GO, sifilis, hepatitis B, dll.). Kasus IMS yang terdeteksi pada
pekerja seks membuktikan ada pekerja seks yang melayani laki-laki tanpa memakai
kondom ketika sanggama. Sanksi diberikan terhadap germo dan pengusaha rumah bordir
secara bertahap mulai dari peringatan sampai mencabut izin usaha.

Penerapan program di Thailand realistis: (a) cara untuk memantau program jelas yaitu tes
IMS rutin terhadap pekerja seks, (b) ada izin usaha bagi pengelola lokalisasi pelacuran
dan rumah bordir, (c) sanksi bisa diterapkan yaitu mencabut izin usaha.

Sedangkan di Indonesia penerapan program itu irasional karena: (a) tidak ada mekanisme
yang realitis dalam memantau program, (b) tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah
bordir yang memegang izin usaha, (c) sanksi tidak bisa diterapkan secara objektif. Yang
ada dalam Perda hanya ancaman terhadap pekerja seks dan laki-laki ‘hidung belang’
tanpa ada mekanisme pembuktian yang realistis. Maka, Perda-perda itu pun hanya
’macan kertas’ karena sanksi atas pelanggaran program tidak bisa diterapkan.

Dalam semua Perda ada pasal yang mewajibkan pemakaian kondom pada hubungan seks
berisiko. Tapi, dengan bahasa-bahasa yang moralistis melalui kata-kata yang konotatif.
Misalnya, tidak memakai alat pengaman, dll. Alat pengaman bermakna macam-macam
sehingga tidak otomatis merujuk ke kondom. Bahkan, kata kondom pun ’diharamkan’
sehingga muncul kata ’alat pengaman’.

Padahal, pencegahan yang terkait dengan hubungan seks yang berisiko adalah kondom.
Penanggulangan epidemi HIV di Indonesia dilakukan dengan setengah hati yaitu melalui
program-program yang dibalut dengan moralitas.

1
Dalam Perda-perda sanksi justru ditujukan kepada laki-laki dan pekerja seks. Tentu saja
timbul serentetan pertanyaan yang sangat mendasar. Pertama, bagaimana mekanisme
untuk menangkap laki-laki yang tidak memakai kondom ketika sanggama dengan pekerja
seks? Kedua, bagaimana pula cara untuk mengetahui kalau pekerja seks tidak memaksa
laki-laki memakai kondom?

Salah satu langkah yang diandalkan pemerintah dalam menanggulangi penyebaran HIV
melalui Perda-perda itu adalah kewajiban memakai kondom. Tapi, cara yang diterapkan
tidak benar sehingga tidak efektif.

Penolakan terhadap kondom yang datang dari berbagai kalangan pun sangat kuat. Cari-
maki terhadap sosialisasi kondom bagaikan ’auman’ (harimau), sementara pemerintah
melalui instansi dan institusi terkait hanya mengeluarkan ’gonggongan’ yang tidak
menggoyahkan ’auman’ yang kontra.

Jika dicermati lebih jauh ternyata penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dengan


penerapan program ’wajib kondom 100 persen’ melalui Perda-perda AIDS itu hanyalah
mengekor ke program penanggulangan secara nasional di Thailand.

Di Thailand program penanggulangan HIV/AIDS dijalankan serempak mulai dari


penyebarluasan informasi melalui media massa, penyuluhan di kalangan remaja,
penanggulangan di tempat kerja, dan terakhir program ’wajib kondom’. Nah, di Thailand
penolakan terhadap kondom relatif sepi karena masyarakat sudah melek informasi
HIV/AIDS.

Di Indonesia yang terjadi sebaliknya. Masyarakat belum memahami cara-cara penularan


dan pencegahan HIV yang akurat sudah dicekoki dengan sosialisasi kondom. Celakanya
lagi informasi HIV/AIDS yang disebarluaskan di Indonesia ternyata tidak akurat karena
dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga menyuburkan mitos (anggapan yang
salah) tentang HIV/AIDS. Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina,
pelacuran, seks pranikah, ‘jajan’, selingkuh, dan homoseksual.

Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah
kalau salah satu atau dua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap
kali sanggama. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada
risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan dengan zina, pelacuran, seks
pranikah, ‘jajan’, selingkuh, dan homoseksual.

Fakta di atas tidak pernah sampai ke masyarakat karena kita selalu berpijak pada norma
sehingga informasi HIV/AIDS yang merupakan fakta medis justru dibalut dengan moral.

Agaknya, kita baru akan ‘kebakaran jenggot’ kalau sudah terjadi ledakan AIDS. Soalnya,
biar pun fakta berupa kasus HIV dan AIDS sudah ada di semua daerah tapi tetap saja ada
yang menampiknya dengan berbagai alasan, seperti budaya, agama dan Pancasila.

2
Kalau kita tetap menyangkal dengan mengedepankan alasan normatif itu maka kelak kita
akan menghadapi persoalan AIDS yang besar seperti Thailand. Di awal 1990-an ahli-ahli
epidemiologi sudah mempringatkan Thailand terkait dengan penyebaran HIV yang
sangat cepat di negeri itu. Tapi, pemerintah negeri itu menampiknya dengan alasan rakyat
mereka berbudaya dan bergama.

Tapi, apa yang terjadi satu dekade kemudian? Di awal 2000-an kasus HIV/AIDS di
Thailand mendekati angka 1.000.000. Namun, pemerintah Thailand lega karena vihara
menampung penduduk yang sakit terkait AIDS.

Semua terpulang kepada kita karena kasus-kasus HIV baru di kalangan dewasa dan
remaja terus terdeteksi. Bahkan, Indonesia merupakan negara ketiga di Asia yang
pertambahan kasus infeksi HIV tercepat setelah India dan Cina.

Apakah kalangan agamawan di Indonesia mau meniru langkah vihara di Thailand jira
kelak terjadi ledakan AIDS?

Apakah kita harus menunggu pengalaman pahit Thailand terjadi dulu di negeri ini baru
kita bertindak realistis dalam menanggulangi epidemi HIV? ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro”


Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Anda mungkin juga menyukai