Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Remaja

1. Definisi Remaja

Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescare

(kata bendanya, adolescentia yaitu remaja) yang berarti “tumbuh” atau

“tumbuh menjadi dewasa”(Bobak, 2004). Masa remaja merupakan masa

peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami

perkembangan semua aspek atau fungsi untuk memasuki masa dewasa

(Rumini & Sundari, 2004).

Masa remaja adalah ma sa transisi antara masa anak dan dewasa,

dimana terjadi pacu tumbuh ( growth spurt ), timbul ciri-ciri seks sekunder,

tercapai fertilitas dan terjadi perubahan-perubahan psikologik serta

kognitif (Soetjiningsih, 2004). WHO menetapkan batas usia remaja dalam

2 bagian yaitu remaja awal 10-12 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun.

Pedoman umum remaja di Indonesia menggunakan batasan usia 11-24

tahun dan belum menikah (Sarwono, 2001).

2. Perkembangan Pada Remaja

Perkembangan yang terjadi pada remaja meliputi : perkembangan

fisik, perubahan emosional, perubahan sosial, perubahan moral dan

perubahan kepribadian (Hurlock, 1999).

8
Masa remaja, pertumbuhan fisik berlangsung sangat pesat.

Perkembangan seksualitas remaja, ditandai dengan dua ciri yaitu ciri seks

primer dan ciri seks sekunder (Al-Mighwar, 2006).

Menurut Depkes RI (2002), ciri-ciri seksualitas primer pada remaja

dibedakan atas jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Remaja laki-

laki ditandai dengan telah berfungsinya organ reproduksi yakni dengan

adanya mimpi basah yang umumnya terjadi pada usia 10-15 tahun. Hal ini

terjadi akibat organ testis telah mulai memproduksi sperma. Sperma yang

telah dikeluarkan jika kantungnya telah penuh sementara pada remaja putri

ditandai dengan adanya peristiwa menstruasi (menarche). Menstruasi

pertama ini menandakan bahwa remaja putri sudah siap untuk hamil

(Depkes RI, 2002).

Menurut Al-Mighwar (2006), ciri-ciri seks sekunder pada remaja

dibedakan atas jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Remaja laki-

laki ditandai dengan berubahnya otot-otot tubuh, lengan, dada, paha dan

kaki tumbuh menjadi kuat. Di sekitar daerah alat kelamin tumbuh rambut

yang mulanya hanya sedikit dan halus berwarna terang lalu menjadi gelap

lebih kasar dan agak kering, juga tumbuh bulu pada betis dan dada. Terjadi
perubahan suara, kulit menjadi lebih kasar dan pori-pori meluas sedangkan

pada remaja putri ditandai dengan membesarnya pinggul, buah dada dan

putting susu semakin tampak menonjol. Tumbuh rambut dikemaluan,

ketiak, lengan dan kaki serta kulit wajah. Terjadinya perubahan suara dari

suara kanak-kanak menjadi lebih merdu (melodious). Kelenjar keringat

9
lebih aktif, kulit menjadi lebih kasar dan pori-pori bertambah besar (Al-

Mighwar, 2006).

Perkembangan pada remaja yang kedua adalah perubahan

emosional. Masa remaja dianggap sebagai periode badai dan tekanan,

yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi, sebagai akibat dari

perubahan fisik dan kelenjar. Emosi remaja yang sangat kuat, tidak

terkendali dan tampak irasional pada umumnya dari tahun ke tahun terjadi

perbaikan perilaku emosional. Menurut Gesell, remaja seringkali mudah

ramah, mudah dirangsang dan emosinya cenderung meledak tidak

berusaha mengendalikan perasaannya. Remaja tidak lagi mengungkapkan

amarahnya dengan cara gerakan amarah yang meledak-ledak, melainkan

dengan menggerutu, tidak mau berbicara atau dengan suara keras

mengkritik orang-orang yang menyebabkan amarah. Remaja juga iri hati

terhadap orang yang memiliki benda lebih banyak (Hurlock, 1999).

Perkembangan pada remaja yang ketiga adalah perubahan social.

Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah

berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri

dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada
dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa diluar lingkungan keluarga

dan sekolah. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja

juga harus membuat banyak penyesuaian baru yaitu penyesuaian diri

dengan pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial,

nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilai-nilai baru dalam

10
dukungan dan penolakan sosial serta nilai-nilai baru dalam seleksi

pemimpin (Hurlock, 1999).

Perkembangan yang terjadi pada remaja keempat adalah perubahan

moral. Salah satu tugas perkembangan penting yang harus dikuasai remaja

adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok dan kemudian

mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus

dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami

waktu anak-anak. Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral

yang berlaku khusus dimasa kanak-kanak dengan prinsip moral yang

berlaku umum dan merumuskannya ke dalam kode moral yang akan

berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya (Hurlock, 1999).

Perkembangan pada remaja yang terakhir adalah perubahan

kepribadian. Masa awal remaja, anak laki-laki dan perempuan sudah

menyadari sifat-sifat yang baik dan yang buruk mereka juga menilai sifat-

sifat ini sesuai dengan sifat teman-teman mereka. Remaja sadar akan peran

kepribadian dalam hubungan-hubungan sosial dan terdorong untuk

memperbaiki kepribadiannya dengan cara membaca buku-buku atau

tulisan-tulisan mengenai masalahnya dengan harapan meningkatkan


dukungan sosial (Hurlock, 1999).

3. Ciri-ciri Masa Remaja


Menurut Hurlock (1999), ciri-ciri remaja yaitu masa remaja

sebagai periode yang penting, masa remaja sebagai periode peralihan,

11
masa remaja sebagai usia bermasalah dan masa remaja sebagai masa

mencari identitas.

Masa remaja sebagai periode yang penting, dimana masa remaja

sebagai akibat fisik dan psikologis mempunyai persepsi yang sama

penting. Perkembangan fisik yang cepat disertai dengan cepatnya

perkembangan mental terutama pada awal masa remaja, dapat

menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk

sikap, nilai dan minat baru (Hurlock, 1999).

Masa remaja sebagai periode peralihan, peralihan tidak berarti

terputus atau berubah dari apa yang terjadi sebelumnya, tetapi peralihan

yang dimaksud adalah dari satu tahap perkembangan ke tahap berikutnya.

Artinya, apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekasnya

pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang. Anak beralih dari

masa kanak-kanak ke masa dewasa, harus meninggalkan segala sesuatu

yang bersifat kekanak-kanakan dan juga harus mempelajari pola perilaku

dan sikap baru untuk menggantikan perilaku dan sikap yang sudah

ditinggalkan (Hurlock, 1999).

Masa remaja sebagai usia bermasalah, dimana masalah pada masa


remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki

maupun anak perempuan. Terdapat dua alasan bagi kesulitan itu, yaitu :

1) sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian diselesaikan

oleh orang tua dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak

berpengalaman dalam mengatasi masalah; 2) para remaja merasa mandiri,

12
sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan

orang tua dan guru-guru. Ketidakmampuan remaja untuk mengatasi sendiri

masalahnya, maka memakai menurut cara yang mereka yakini. Banyak

remaja akhirnya menemukan bahwa penyelesaiannya tidak selalu sesuai

dengan harapan mereka. Banyak kegagalan yang seringkali disertai akibat

tragis, bukan karena ketidakmampuan individu tetapi kenyataan bahwa

tuntutan yang diajukan kepadanya, justru pada saat semua tenaganya telah

dihabiskan untuk mencoba mengatasi masalah pokok, yang disebabkan

oleh pertumbuhan dan perkembangan seksual yang normal (Hurlock,

1999).

Ciri masa remaja yang terakhir adalah masa remaja sebagai masa

mencari identitas. Sepanjang usia kelompok pada akhir masa kanak-kanak,

penyesuaian diri dengan standar kelompok adalah jauh lebih penting bagi

anak yang lebih besar daripada individualitas. Anak yang lebih besar ingin

cepat seperti teman-teman kelompoknya. Tiap penyimpangan dari standar

kelompok dapat mengancam keanggotaannya dalam kelompok (Hurlock,

1999).

B. Pengetahuan

1. Pengertian
Pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan

terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan,

13
pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan

manusia diperoleh melalui panca indera mata dan pendengaran

(Notoatmodjo, 2007).

Pengetahuan seksualitas menurut Wildan dalam Twendyasari

(2003), merupakan pengetahuan yang menyangkut cara seseorang bersikap

atau bertingkah laku yang sehat, bertanggung jawab serta tahu apa yang

dilakukannya dan apa akibat bagi dirinya, pasangannya dan masyarakat

sehingga dapat membahagiakan dirinya juga dapat memenuhi kehidupan

seksualnya.

2. Tingkatan Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan yang tercakup dalam

domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu tahu, memahami, aplikasi,

analisis, sintesis dan evaluasi.

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah

dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah

mengingat kembali ( recall ) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang

dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Tahu merupakan tingkat

pengetahuan yang paling rendah, ini berarti remaja dapat mengingat suatu
materi tentang hubungan seksual pranikah. Memahami merupakan

tingkatan yang kedua, diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat

menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Hal ini berarti remaja

14
dapat memahami suatu materi tentang hubungan seksual pranikah yang

diketahui secara benar (Notoatmodjo, 2007).

Aplikasi sebagai tingkat pengetahuan yang ketiga diartikan sebagai

kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi

atau kondisi riil (sebenarnya). Berarti remaja mampu untuk menggunakan

suatu materi tentang hubungan seksual pranikah yang telah dipelajari pada

situasi atau kondisi riil, sedangkan analisis adalah sutu kemampuan untuk

menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen,

tetapi masih didalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya

satu sama lain. Ini berarti remaja mampu untuk menganalisa materi

tentang hubungan seksual pranikah. (Notoatmodjo, 2007).

Sintesis yang merupakan tingkat kelima dari pengetahuan

menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang

baru, dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun

formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Hal ini berarti remaja

mampu untuk mensintesis tentang hubungan seksual pranikah. Ketika

seseorang telah memasuki tingkat pengetahuan yang terakhir, yaitu


evaluasi maka ini berarti bahwa remaja memiliki kemampuan untuk

melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi tentang

hubungan seksual pranikah (Notoatmodjo, 2007).

15
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan yaitu tingkat

pendidikan, jenis pendidikan, informasi, budaya, dan pengalaman

(Notoatmodjo, 2003). Tingkat Pendidikan yaitu kemampuan belajar yang

dimiliki manusia merupakan bekal yang sangat pokok. Jenis pendidikan

adalah macam jenjang pendidikan formal yang bertujuan untuk

meningkatkan kemampuan belajar siswa, sehingga tingkat pendidikan dan

jenis pendidikan dapat menghasilkan suatu perubahan dalam pengetahuan

siswa / remaja tentang hubungan seksual pranikah. Informasi juga

mempengaruhi pengetahuan yaitu dengan kurangnya informasi tentang

hubungan seksual pranikah dan cara menghindari penyakit menular

seksual menurunkan tingkat pengetahuan remaja (Notoatmodjo, 2003).

Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan remaja

tentang hubungan seksual pranikah, karena setiap budaya yang baru akan

disaring sesuai tidak dengan budaya yang ada dan agama yang dianut.

Faktor yang mempengaruhi pengetahuan yang lain adalah pengalaman.

Pengalaman disini berkaitan dengan umur, dengan tingkat pendidikan

seseorang, maksudnya pendidikan yang tinggi pengalaman akan lebih luas


sebagaimana dengan umur yang semakin bertambah (Notoatmodjo, 2003).

4. Pengukuran Tingkat Pengetahuan


Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau

angket yang menanyakan tingkat pengetahuan tentang hubungan seksual

pranikah yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden.

16
Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita

sesuaikan dengan tingkatan pengetahuan dalam domain kognitif

(Notoatmodjo, 2007).

C. Hubungan Seksual Pranikah

1. Definisi Hubungan Seksual Pranikah

Hubungan seksual adalah persenggamaan atau bersatunya alat

kelamin antara manusia yang berlainan jenis (Gunarsa, 1995). Hubungan

seks juga dapat merupakan ekspresi akan perasaan cinta, cara

berkomunikasi intim, dan cara mencapai kedekatan emosional. Hubungan

seks diluar pernikahan adalah hubungan seks yang dilakukan oleh dua

orang yang tidak ingin hidup bersama dalam perkawinan atau keluarga

(Tukan,1990).

Perilaku seksual pranikah merupakan perilaku seks yang dilakukan

tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun

menurut agama dan kepercayaan masing-masing individu (Mu,tadin,

2002). Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa perilaku seksual remaja

adalah tindakan yang dilakukan oleh remaja berhubungan dengan


dorongan seksual yang datang baik dalam dirinya maupun dari luar

dirinya. Perilaku seksual merupakan perilaku yang didasari oleh dorongan

seksual melalui berbagai perilaku, contohnya adalah berpegangan tangan,

berpelukan, cium kering, cium basah, meraba bagian tubuh, petting , oral

seksual dan bersenggama (sexual intercourse) (Irawati, 1999).

17
2. Bentuk-bentuk Perilaku Seksual Pranikah

Menurut Hurlock (1999), terdapat bentuk-bentuk perilaku seksual

yang biasa terjadi pada usia tertentu, yaitu eksplorasi, masturbasi,

homoseksual, dan heteroseksual.

Eksplorasi merupakan salah satu bentuk perilaku seksual yang

pertama-tama muncul dalam diri individu, yang didahului oleh

keingintahuan individu terhadap masalah seksual dan dapat terjadi dalam

beberapa bentuk. Ada yang berbentuk murni intelektual, yang menggiring

remaja bertanya atau membaca buku bila terdapat pertanyaan- pertanyaan

yang takut ia utarakan atau juga dapat berbentuk manipulatif, dimana

remaja menjelajahi organ-organ seksualnya sendiri atau orang lain

(Hurlock, 1999).

Masturbasi adalah bentuk perilaku seksual dengan melakukan

perangsangan organ kelamin untuk mendapatkan kepuasan seksual.

Perilaku ini biasanya memuncak pada saat individu mulai memasuki usia

pubertas dan remaja, dimana terjadi perubahan pada tubuh individu.

Masturbasi ini dilakukan sendiri-sendiri dan juga dilakukan secara mutual

dengan teman sebaya sejenis kelamin, tetapi sebagian dari mereka juga
melakukan masturbasi secara mutual dengan pacarnya (Hurlock, 1999).

Homoseksual merupakan bentuk perilaku seksual yang dilakukan

individu dengan orang lain yang berjenis kelamin sama dengannya.

Bentuk seksual ini mendahului munculnya perasaan erotis terhadap lawan

jenis (Hurlock, 1999).

18
Bentuk perilaku seksual yang terakhir adalah heteroseksual,

dimana bentuk perilaku seksual ini meningkat pada saat anak perempuan

dan laki-laki telah mencapai kematangan seksual, yaitu dorongan seksual

yang muncul pada individu serta mulai diarahkan pada lawan jenisnya.

Heteroseksual biasanya terjadi ketika remaja berpacaran (Hurlock, 1999).

3. Tahap-tahap Perilaku Seksual Pranikah

Menurut Irawati (1999), perilaku seksual pranikah yang dilakukan

remaja ketika berpacaran terdiri dari beberapa tahap yaitu berpegangan

tangan, berpelukan, cium kering, cium basah, meraba bagian tubuh,

petting, oral seksual dan bersenggama (sexual intercourse).

Berpegangan tangan yaitu perilaku seksual yang biasanya dapat

menimbulkan keinginan untuk mencoba aktifitas seksual lainnya (hingga

kepuasan seksual individu dapat tercapai). Umumnya jika individu

berpegangan tangan maka muncul getaran-getaran romantis atau perasaan-

perasaan aman dan nyaman (Irawati, 1999).

Berpelukan biasanya akan membuat jantung berdegup lebih cepat

dan menimbulkan rangsangan seksual pada individu. Berpelukan juga

dapat menimbulkan perasaan aman, nyaman, dan tenang (Irawati, 1999).


Perilaku seksual berikutnya adalah cium kering, yang berupa

sentuhan pipi dengan pipi dan pipi dengan bibir. Dampak dari cium pipi

bisa mengakibatkan imajinasi atau fantasi seksual menjadi berkembang

disamping menimbulkan perasaan sayang jika diberikan pada momen

tertentu dan bersifat sekilas, selain itu juga dapat menimbulkan keinginan

19
untuk melanjutkan ke bentuk aktifitas seksual lainnya yang lebih dapat

dinikmati (Irawati, 1999).

Cium basah merupakan aktifitas seksual berupa sentuhan di bibir.

Dampak dari aktifitas seksual cium bibir dapat menimbulkan sensasi

seksual yang kuat yang membangkitkan dorongan seksual sehingga tidak

terkendali, selain itu juga dapat memudahkan penularan penyakit yang

ditularkan melalui mulut, misal Tuberculosis (TBC) . Apabila dilakukan

secara terus menerus dapat menimbulkan ketagihan (perasaan ingin

mengulangi perbuatan tersebut) (Irawati, 1999).

Tahap perilaku seksual berikutnya adalah meraba bagian tubuh

yang merupakan suatu kegiatan meraba atau memegang bagian sensitif

(payudara, vagina, penis). Dampak tersentuhnya bagian paling sensitif

tersebut akan menimbulkan rangsangan seksual sehingga melemahkan

kontrol diri dan akal sehat akibatnya bisa melakukan aktifitas seksual

selanjutnya seperti cumbuan berat dan intercourse (Irawati, 1999).

Perilaku yang selanjutnya adalah petting merupakan keseluruhan

aktifitas seksual non intercourse (hingga menempelkan alat kelamin).

Dampak dari petting yaitu timbulnya ketagihan dan lebih jauhnya adalah
kehamilan karena cairan pertama yang keluar pada saat terangsang pada

laki-laki sudah mengandung sperma (meski dalam kadar terbatas), resiko

terkenanya PMS/HIV juga cukup tinggi, jika berlanjut ke intercourse

(senggama) secara psikologis menimbulkan perasaan cemas dan bersalah

dengan adanya sanksi moral atau agama, bagi laki-laki mungkin dapat

20
memuaskan kebutuhan seksual sedangkan bagi wanita bisa menyebabkan

rusaknya selaput dara (Irawati, 1999).

Perilaku berikutnya adalah oral seksual. Perilaku ini tidak

menyebabkan kehamilan namun merupakan perilaku seksual dengan

resiko penularan Penyakit Menular Seksual (PMS) tinggi (Irawati, 1999).

Tahap perilaku seksual yang terakhir adalah sexsual intercourse

(bersenggama) yaitu merupakan aktifitas seksual dengan memasukkan alat

kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan. Dampak dari

hubungan seksual yang dilakukan sebelum saatnya adalah perasaan

bersalah dan berdosa terutama pada saat kali pertama, ketagihan,

kehamilan sehingga terpaksa menikah atau aborsi, kematian dan

kemandulan akibat aborsi, resiko terkena PMS atau HIV, sanksi sosial,

agama serta moral, hilangnya keperawanan dan keperjakaan, merusak

masa depan (terpaksa drop out sekolah), merusak nama baik pribadi dan

keluarga (Irawati, 1999).

4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pranikah

Sarwono (2003) mengidentifikasi faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku seksual adalah perubahan hormonal, penundaan


usia perkawinan, norma-norma di masyarakat, penyebaran informasi

melalui media massa, tabu larangan, dan pergaulan bebas.

Perubahan hormonal yaitu terjadinya perubahan seperti

peningkatan hormon terstosteron pada laki-laki dan estrogen pada

perempuan, dapat menimbulkan hasrat (libido seksualitas) remaja.

21
Peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk

tingkah laku seksual tertentu (Sarwono, 2003).

Faktor yang kedua adalah penundaan usia perkawinan, merupakan

penyaluran hasrat seksual yang tidak dapat segera dilakukan karena

adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum oleh karena

adanya undang-undang tentang perkawinan yang menetapkan batas usia

minimal (sedikitnya 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk laki-laki)

(Sarwono, 2003).

Faktor yang ketiga adalah norma-norma di masyarakat yaitu

norma-norma agama tetap yang berlaku dimana seseorang dilarang untuk

melakukan hubungan seks sebelum menikah, bahkan larangannya

berkembang lebih jauh kepada tingkah laku yang lain seperti berciuman

dan masturbasi. Remaja yang tidak dapat menahan diri akan terdapat

kecenderungan untuk melanggar saja larangan-larangan tersebut. Norma

budaya dalam perilaku seksual pranikah adalah tidak melakukan hubungan

seks sebelum menikah (Sarwono, 2003).

Faktor yang keempat adalah penyebaran informasi melalui media

massa, merupakan kecenderungan pelanggaran semakin meningkat oleh


karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui

media massa dengan adanya teknologi canggih (video cassette, foto copy,

satellite palapa, dan lain-lain) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang

sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa

yang dilihat atau didengarnya dari media massa, khususnya karena mereka

22
pada umumnya belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap

dari orang tuanya (Sarwono, 2003).

Faktor yang selanjutnya adalah tabu-larangan, orang tua sendiri

baik karena ketidak tahuannya maupun karena sikapnya yang masih

mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak, tidak terbuka

terhadap anak sehingga cenderung membuat jarak dengan anak dalam

masalah seksual (Sarwono, 2003).

Faktor yang terakhir mempengaruhi perilaku seksual pranikah

adalah pergaulan yang makin bebas. Adanya kecenderungan pergaulan

yang makin bebas antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat,

sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita sehingga

kedudukan perempuan makin sejajar dengan laki-laki (Sarwono, 2003).

5. Dampak Perilaku Seksual Pranikah

Perilaku seksual pranikah dapat menimbulkan berbagai dampak

negatif pada remaja yaitu dampak fisiologis dan dampak sosio-psikologis.

Dampak fisiologis dari perilaku seksual pranikah diantaranya

kehamilan tidak diinginkan, aborsi, resiko terkena penyakit menular

seksual (PMS) dan resiko tertular HIV/AIDS jika remaja melakukan


hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan (Santrock, 2003).

Kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja dapat meningkatkan

resiko kesehatan bagi ibu dan anaknya. Salah satu faktor yang penting

dalam kehamilan adalah umur ibu waktu hamil. Usia remaja (dibawah 20

tahun) dianggap sangat berbahaya untuk kehamilan sebab secara fisik

23
tubuh ibu sendiri masih dalam masa pertumbuhan, organ-organ reproduksi

masih belum matang. Bayi yang dilahirkan oleh ibu remaja cenderung

memiliki berat badan lebih rendah dan kematian pada bayi (Santrock,

2003).

Dampak yang berikutnya aborsi, tidak sedikit remaja yang

mengalami kehamilan yang tidak diinginkan mengambil jalan pintas

dengan melakukan aborsi, padahal aborsi sangat berbahaya, diantaranya :

Infeksi alat reproduksi karena melakukan kuretase yang dilakukan secara

tidak steril. Hal ini dapat membuat remaja mengalami kemandulan

dikemudian hari setelah menikah. Perdarahan, sehingga remaja dapat

mengalami shock akibat perdarahan dan gangguan neurologist. Selain itu,

perdarahan juga dapat mengakibatkan kematian ibu dan anak atau

keduanya. Resiko terjadinya rupture uterus atau robeknya rahim lebih

besar, juga menipisnya dinding rahim akibat kuretase. Terjadinya fistula

genitalia traumatis, suatu saluran atau hubungan antara genital dan saluran

kencing atau saluran pencernaan yang secara normal tidak ada (Santrock,

2003).

Dampak yang selanjutnya adalah penyakit menular seksual yaitu


merupakan infeksi atau penyakit yang kebanyakan ditularkan melalui

hubungan seksual. PMS berbahaya karena dapat menimbulkan

kemandulan, menyebabkan kemandulan, kanker rahim, merusak

penglihatan, merusak otak dan hati, dapat menular pada bayi, dapat

menyebabkan seseorang rentan terhadap HIV/AIDS, serta beberapa PMS

24
ada yang tidak bisa disembuhkan. Beberapa penyakit menular seksual

diantaranya adalah Gonnorhea, Sifilis, Chlamydia, dan Herpes genitalis

(Santrock, 2003).

Dampak fisiologis yang terakhir adalah HIV/AIDS. AIDS adalah

Acquired Immune Deficiency Syndrome (sekumpulan gejala penyakit yang

timbul karena turunnya kekebalan tubuh). AIDS disebabkan karena adanya

virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) didalam tubuh. Virus HIV ini

hidup didalam 4 cairan tubuh manusia yaitu cairan darah, cairan sperma,

cairan vagina, dan air susu ibu. Kebanyakan remaja yang terinfeksi HIV

tidak akan sakit sampai mereka dewasa karena waktu laten yang terjadi

sejak terinfeksi untuk kali pertamanya sampai munculnya penyakit

berkisar 5 sampai 7 tahun (Santrock, 2003).

Menurut Sarwono (2003) dampak psikologis dari perilaku seksual

pranikah diantaranya perasaan marah, takut, cemas, depresi, rendah diri,

bersalah dan berdosa. Dampak sosial dari perilaku seksual pranikah

diantaranya dikucilkan, cemoohan masyarakat, putus sekolah pada remaja

perempuan yang hamil, dan perubahan peran ibu.

25
D. Kerangka Teori

Faktor-faktor yang
mempengaruhi pengetahuan :
1. Tingkat pendidikan: jenis
Tingkat pengetahuan
pendidikan
remaja
2. Informasi
3. Budaya
4. Pengalaman

Faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku seksual :
1. Perubahan hormonal
Hubungan Seksual
2. Penundaan usia perkawinan
Pranikah
3. Norma-norma di masyarakat
4. Penyebaran informasi melalui
media massa
5. Tabu – Larangan
6. Pergaulan yang makin bebas

Bagan 2.1 Kerangka Teori

Sumber : (Notoatmodjo, 2003) dan Sarwono, 2003)

E. Kerangka Konsep

Variabel Bebas Variabel Terikat

Remaja di SMA N 1 Demak

Tingkat pengetahuan

hubungan seksual pranikah


Remaja di MAN Demak

Bagan 2.2 Kerangka Konsep

26
F. Variabel Penelitian

1. Variabel Independen (Va riabel Bebas)

Variabel independen dalam penelitian ini adalah remaja di SMA

Negeri 1 Demak dan remaja di MAN Demak.

2. Variabel Dependen (Variabel Terikat)

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah tingkat pengetahuan

hubungan seksual pranikah.

G. Hipotesis Penelitian

Sesuai dengan kerangka teori yang dikemukakan, maka hipotesis yang

diajukan adalah :

Ha : Ada perbedaan tingkat pengetahuan pada remaja tentang hubungan

seksual pranikah di SMA Negeri 1 Demak dan MAN Demak.

Ho : Tidak ada perbedaan tingkat pengetahuan pada remaja tentang

hubungan seksual pranikah di SMA Negeri 1 Demak dan MAN

Demak.

27

Anda mungkin juga menyukai