Anda di halaman 1dari 3

Hedonisme Kekuasaan Pasca Politik

Oleh Thomas Koten

Setelah kursi presiden, wakil presiden dan DPR diperebutkan, kini di sejumlah daerah
berjejer kursi gubernur, bupati dan wali kota terus diperebutkan pula. Dalam dunia politik
memang, kekuasaan itu ibarat setangkai kembang bermadu, yang memikat banyak
kumbang dan kupu-kupu. Begitu banyak orang dari berbagai profesi tergoda untuk
menikmati manisnya madu kekuasaan dalam aneka macam bentuk dan posisi tersebut.
Kita pun digugat tanya, mengapa di era modern di mana politik semakin dijadikan
sebagai panglima ini orang tidak jera-jeranya mencari kepuasan hidup duniawi yang oleh
Erich Fromm, dikatakan tidak akan pernah mencapai titik jenuh?
Pertanyaan tersebut menjadi mudah dipahami dan dapat dijawab jika dikerling
dari etika hedonis ala para filosof modern dan individualis seperti Albert Camus, JP
Sartre, Heidegger, John Lock, John Stuart Mill, dan Nietzsche. Khususnya bagi
Friederick Willhem Nietzsche, hidup adalah sumber kelezatan dan kenikmatan. Dan
kekuasaan dengan harta melimpah, adalah puncak dari kenikmatan hidup. Karena itu,
setiap orang di segala zaman berusaha untuk meraih dan merenkuh kenikmatan yang
terbungkus dalam kelambu kekuasaan. Itu terlihat dari bukunya The Birth of Tragedy di
mana sang filosof eksitensialis dan individualis memaklumkan tentang, “Allah sudah
mati dan nikmatilah hidup”. Suatu adagium tersohor yang membuat dirinya ditahbiskan
menjadi seorang etikus hedonis.
Artinya, dari sisi hedonisme, tujuan dari hidup manusia adalah menggapai
kesenangan dan kemikmatan badani. Suatu aliran filsafat yang mengagungkan
kenikmatan hidup yang sebenarnya berangkat dari pemikiran filsafat sebelumnya. Lihat,
misalnya filosof Aristippos dari Kyrene, seorang murid Socrates, yang menegaskan
bahwa yang sungguh baik bagi manusia hanyalah kesenangan dan kenikmatan. Jika ia
berhasil meraih kesenangan, ia tidak akan mencari sesuatu yang lain lagi.

Kekuasaan sebagai berhala baru


Dengan demikian, hedonisme adalah suatu aliran filsafat yang mengajarkan
bahwa tujuan akhir hidup manusia adalah untuk mendapatkan kenikmatan duniawi.
Sehingga, bagi kaum hedonis, perbuatan yang baik adalah apa yang memuaskan rasa
nikmat yang bersifat badani. Kemudian, corak filsafat Nietzsche pun diberi nama filsafat
individualisme, vitalisme dan voluntarisme serta eksistensialisme yang saling
berpengaruh dengan para filosof abad ke-20 seperti Jean Paul Sartre, Albert Camus,
Jaspers, Heidegger, Loewith, Hartmann, Scheler, John Lock, John Stuar Mill.
Selain Aristippos, ada seorang filosof klasik lain dari negeri dewa-dewi Yunani,
yang pemikirannya perlu dimasukkan dalam kelompok etikus hedonis adalah Epikuros
yang mengatakan bahwa manusia selalu dituntun untuk mencari kesenangan dan
kenikmatan hidup. Tubuh manusia merupakan asas dan akar segala kesenangan, sehingga
kesenangan badani adalah kesenangan yang paling hakiki yang sangat dibutuhkan dan
dikejar oleh setiap manusia.
Filsuf abad ke-20 yang dipengaruhi aliran filsafat hehonisme adalah filosof
Inggris John Lock (1632-1704), yang pemikirannya seperti halnya juga Nietzche, yang
mengedepankan soal kenikmatan dalam materi dan kekuasaan. Lock berpendapat bahwa
yang kita sebut baik adalah apa yang menyebabkan kesenangan, sebaliknya kita namakan
jahat karena mendatangkan ketidaksenangan. Bahkan, dalam kehidupan modern, secara
implisit hedonisme kian mencapai bentuknya dalam masyarakat yang sangat
konsumeristis dan individualistik, yang memang di dalamnya hedonisme menggebu
dalam pemenuhan daya kemampuan untuk meraih kenikmatan yang terkandung dalam
materi, kekuasaan dan seks.
Semua kenikmatan yang dikejar manusia itu termaktub dalam hidup inderawi,
intelektual, dan spiritual. Kenikmatan inderawi terpenuhi karena dorongan pancaindera
terpenuhi. Kenikmatan intelektual terpenuhi tatkala kita memperoleh pemahaman dan
pemikiran baru. Sedangkan, kenikmatan spiritual atau religius tatkala kita sanggup
menghayati dan mengamalkan nilai-nilai religius. Dan nilai kenikmatan religius inilah
yang jauh melampaui kenikmatan-kenikmatan lain seperti kenikmatan badani. Itu
ditegaskan oleh penganut Utilitarianisme klasik (1864) yang dikemas John Stuart Mill.
Menurut Mill, kesenangan itu ada bermacam-macam, tetapi yang paling menonjol
adalah kesenangan atau kenikmatan jasmani dan rohani. Bagi manusia, kesenangan atau
kenikmatan yang lebih luhur dan bermutu tinggi adalah kesenangan religius. Tetapi
sayang dalam era konsumeristik-individualistik-meterialistik–hedonistik, kenikmatan
religius kerap terpinggirkan oleh kenikmatan badani. Kenikmatan religius terperangkap
dalam kesenangan badani. Manusia yang disergap materialisme, konsumerisme
tersungkur tidak berdaya dan terkubur dalam kenikmatan-kenikmatan badani yang
bersifat temporal, artifisial dan selayang pandang, seperti kenikmatan dalam
menumpukkan harta, kenikmatan dalam memburu kepuasan seks dan kenikmatan dalam
meraih kekuasaandi semua lini dan posisi demi kemuliaan diri.
Manusia modern umumnya sudah begitu jauh terlena dan jatuh terjerembab dalam
kenikmatan-kenikmatan semu, sehingga membuat dirinya mudah stress, putus asa,
bahkan teralienasi dari kehidupannya meski ia sendiri kaya dan berkuasa. Mengapa?
Karena kenikmatan telah dijadikan tujuan akhir. Perbuatan mereka dinilai baik dan
berguna sejauh ia membawa rasa nikmat badani. Padahal, kenikmatan badani bukanlah
tujuan akhir hidup ini. Tujuan akhir dari setiap aktivitas manusia adalah pencapaian
kesejatian dirinya sebagai makhluk moral dan religius.
Kesejatian manusia yang paling mutlak ditemukan dalam pencapaian kenikmatan
religius. Tetapi, itu sulit digapainya, sehingga membuatnya selalu merasa tidak puas
dengan apa yang dimiliki dan apa yang telah dia raih di dunia seperti materi dan
kekuasaan. Materi dan kekuasaan lalu sangat diagungkan dan dijadikan sebagai sosok-
sosok berhala baru, yang selalu dikejar tanpa rasa malu.
Ironisnya, kenikmatan dan kelezatan hidup dalam meraih kekuasaan ini sudah
merasuk dalam benak dan hati setiap politisi, sehingga mereka selalu tidak puas untuk
berjuang meraih, merengkuh dan mempertahankannya. Kekuasaan menjadi sosok yang
sangat menggiurkan pasca politik. Karena itu pula tidak heran juga jika lembaga
parlemen, mahkamah agung, dan eksekutif telah berubah menjadi ground-breeding bagi
praktek korupsi dan arena perebutan kepuasan kekuasaan termasuk penumpukkan harta.

Kekuasaan dan hawa nafsu


Dengan demikian benar adagium klasik filosof Hobbes, bahwa manusia di
kedalaman hatinya memiliki “hasrat abadi dan tidak berkesudahan akan kekuasaan yang
hanya berakhir di saat kematiannya.” Dan manusia sejak kelahirannya, secara alamiah,
selalu memperebutkan segala sesuatu yang diinginkannya, dan jika dapat, mereka ingin
agar seluruh dunia takut dan takluk tak berdaya di hadapannya.
Sang etikus JJ Rousseau pun seolah melengkapinya dengan mengatakan bahwa
hasrat manusia itu selalu untuk berkuasa, karena ia bersifat hedonistik, tidak bisa
dijinakkan oleh kekuatan apa pun, termasuk kekuatan politik dengan sistem yang sehebat
apa pun. Politikus malah makin berjaya dalam meraih dan merengkuh kekuasaan yang
nikmat serta aneka keuntungan ekonomis dari monopoli sumber-sumber vital kehidupan
kolektif. Dan mengapa naluri meraih dan merengkuh kekuasaan itu tidak bisa dijinakkan
oleh kekuatan apa pun? Jawabannya, karena ia memiliki pertalian dengan kepentingan
dan hawa nafsu.

Penulis, peminat filsafat (Direktur Social Development Center

Anda mungkin juga menyukai