Setelah kursi presiden, wakil presiden dan DPR diperebutkan, kini di sejumlah daerah
berjejer kursi gubernur, bupati dan wali kota terus diperebutkan pula. Dalam dunia politik
memang, kekuasaan itu ibarat setangkai kembang bermadu, yang memikat banyak
kumbang dan kupu-kupu. Begitu banyak orang dari berbagai profesi tergoda untuk
menikmati manisnya madu kekuasaan dalam aneka macam bentuk dan posisi tersebut.
Kita pun digugat tanya, mengapa di era modern di mana politik semakin dijadikan
sebagai panglima ini orang tidak jera-jeranya mencari kepuasan hidup duniawi yang oleh
Erich Fromm, dikatakan tidak akan pernah mencapai titik jenuh?
Pertanyaan tersebut menjadi mudah dipahami dan dapat dijawab jika dikerling
dari etika hedonis ala para filosof modern dan individualis seperti Albert Camus, JP
Sartre, Heidegger, John Lock, John Stuart Mill, dan Nietzsche. Khususnya bagi
Friederick Willhem Nietzsche, hidup adalah sumber kelezatan dan kenikmatan. Dan
kekuasaan dengan harta melimpah, adalah puncak dari kenikmatan hidup. Karena itu,
setiap orang di segala zaman berusaha untuk meraih dan merenkuh kenikmatan yang
terbungkus dalam kelambu kekuasaan. Itu terlihat dari bukunya The Birth of Tragedy di
mana sang filosof eksitensialis dan individualis memaklumkan tentang, “Allah sudah
mati dan nikmatilah hidup”. Suatu adagium tersohor yang membuat dirinya ditahbiskan
menjadi seorang etikus hedonis.
Artinya, dari sisi hedonisme, tujuan dari hidup manusia adalah menggapai
kesenangan dan kemikmatan badani. Suatu aliran filsafat yang mengagungkan
kenikmatan hidup yang sebenarnya berangkat dari pemikiran filsafat sebelumnya. Lihat,
misalnya filosof Aristippos dari Kyrene, seorang murid Socrates, yang menegaskan
bahwa yang sungguh baik bagi manusia hanyalah kesenangan dan kenikmatan. Jika ia
berhasil meraih kesenangan, ia tidak akan mencari sesuatu yang lain lagi.