Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Jakarta sebagai ibu kota Negara Indonesia, menjadikannya kota yang banyak didatangi
oleh masyarakat dari daerah lain. Akibatnya, terjadilah percampuran antar kebudayaan dari
berbagai daerah. Suku Betawi, bagi kita yang tinggal di Jakarta sesungguhnya tidak asing bahkan
menjadi bagian budaya dari orang-orang yang lahir dan besar di Jakarta. Betawi bagi sementara
orang merupakan hal yang identik dengan Jakarta. Namun sejak pembangunan besar besaran
kota Jakarta yang dimulai sejak terselenggaranya Asian Games 1962 dan Ganefo, juga runtuhnya
pemerintahan Sukarno yang menaikkan Suharto di tahun 1967 berakibat banyak sekali terhadap
suku asli Betawi. Faktor lokasi-lah yang menyebabkan suku betawi menjadi semakin berjarak
dengan Jakarta.

Jakarta memang punya daya pesona luar biasa. Karena kedudukannya sebagai ibukota
Negara Indonesia telah memacu perkernbangannya menjadi pusat pemerintahan, pusat
perdagangan, pusat perindustrian, dan pusat kebudayaan. Jakarta menjadi muara mengalirnya
pendatang baru dari seluruh penjuru Nusantara dan juga dari manca negara. Unsur seni budaya
yang beranekaragam yang dibawa serta oleh para pendatang itu menjadikan wajah Jakarta
semakin memukau, bagaikan sebuah etalase yang memampangkan keindahan Jakarta bagai ratna
manikam yang gemerlapan. lbarat pintu gerbang yang megah menjulang Jakarta telah menyerap
ribuan pengunjung dari luar dan kemudian bermukim sebagai penghuni tetap.

Lebih dari empat abad lamanya arus pendatang dari luar itu terus mengalir ke Jakarta
tanpa henti-hentinya. Bahkan sampai detik inipun kian hari tampak semakin deras, sehingga
menambah kepadatan kota. Pada awal pertumbuhannya Jakarta dihuni oleh orang-orang Sunda,
Jawa, Bali, Maluku, Melayu, dan dari beberapa daerah lainnya, di samping orang-orang Cina,
Belanda, Arab, dan lain-lain, dengan sebab dan tujuan masing- masing. Mereka membawa serta
adat-istiadat dan tradisi budayanya sendiri Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi antar
penduduk, adalah bahasa Melayu dan bahasa Portugis Kreol, pengaruh orang-orang Portugis
yang lebih dari satu abad malang melintang berniaga sambil menyebarkan kekuasaanya di
Nusantara.
Di Jakarta dan sekitarnya berangsur-angsur terjadi pembauran antar suku bangsa,
bahkan antar bangsa, dan lambat laun keturunannya masing- masing kehilangan ciri-ciri budaya
asalnya. Akhirnya sernua unsur itu luluh lebur menjadi sebuah kelompok etnis baru yang
kemudian Betawi etnis baru yang kemudian dikenal dengan sebutan masyarakat Betawi.

Di sini kami mencoba memaparkan mengenai kebudaan asli Jakarta yang identik dengan
kebudayaan Betawi.
BAB II
IDENTIFIKASI BUDAYA BETAWI
A. Sejarah Nama Betawi

Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) adalah sebuah provinsi sekaligus ibu
kota negara Indonesia. Jakarta terletak di bagian barat laut Pulau Jawa. Koordinatnya adalah
6°11′ LS 106°50′ BT. Pada tahun 2004, luasnya adalah sekitar 740 km² dan penduduknya
berjumlah 8.792.000 jiwa.

Nama Jakarta dianggap sebagai kependekan dari kataJayakarta. Nama ini diberikan
oleh orang-orang Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan) setelah merebut
pelabuhan Sunda Kelapa dari Kerajaan Sunda pada tanggal 22 Juni 1527. Nama ini biasanya
diterjemahkan sebagai kota kemenangan atau kota kejayaan, namun sejatinya artinya ialah
"kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha" dari bahasa Sansekertajayakar ta.
Nama lain atau sinonim "Jayakarta" pada awal adalah "Surakarta".

Jakarta pertama kali dikenal sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda yang
berlokasi di muara Sungai Ciliwung. Ibukota Kerajaan Sunda yang dikenal sebagai Dayeuh
Pakuan Pajajaran atau Pajajaran (sekarang Bogor) dapat ditempuh dari pelabuhan Sunda Kalapa
selama dua hari perjalanan. Menurut sumber Portugis, Sunda Kalapa merupakan salah satu
pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda selain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara
dan Cimanuk. Sunda Kalapa yang dalam teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang
terpenting karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo (dalam
bahasa Sunda modern: dayeuh yang berarti ibu kota) dalam tempo dua hari. Kerajaan Sunda
sendiri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-5 sehingga pelabuhan
ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-5 dan diperkirakan merupakan ibukota Tarumanagara
yang disebut Sundapura.

Pada abad ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk. Kapal-
kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah sudah
berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-
wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi
komoditas dagang saat itu.

Orang Eropa pertama yang datang ke Jakarta adalah orang Portugis. Pada abad ke-16,
Surawisesa, raja Sunda meminta bantuan Portugis yang ada di Malaka untuk mendirikan benteng
di Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari kemungkinan serangan Cirebon yang akan
memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. Upaya permintaan bantuan Surawisesa kepada Portugis di
Malaka tersebut diabadikan oleh orang Sunda dalam cerita pantun seloka Mundinglaya
Dikusumah di mana Surawisesa diselokakan dengan nama gelarnya yaitu Mundinglaya. Namun
sebelum pendirian benteng tersebut terlaksana, Cirebon yang dibantu Demak keburu menyerang
pelabuhan tersebut. Orang Sunda menyebut peristiwa ini tragedi karena penyerangan tersebut
membungihanguskan kota pelabuhan tersebut dan membunuh banyak rakyat Sunda disana
termasuk sahbandar pelabuhan. Penetapan hari jadi Jakarta tanggal 22 Juni adalah berdasarkan
tragedi penaklukan pelabuhan Sunda Kalapa oleh Fatahillah pada tahun 1527 dan mengganti
nama kota tersebut menjadi Jayakarta yang berarti "kemenangan".

Orang Belanda datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16 dan pada 1619, VOC
dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen menaklukan Jayakarta dan kemudian mengubah namanya
menjadi Batavia. Dalam masa Belanda, Batavia berkembang menjadi kota yang besar dan
penting.

Penjajahan oleh Jepang dimulai pada tahun 1942 dan mengganti nama Batavia menjadi
Jakarta untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II. Kota ini juga merupakan tempat
dilangsungkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan
diduduki Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949. Jadi, asal muasal nama Betawi
bukanlah nama yang sesungguhnya di berikan kepada suku ini, nama Betawi merupakan turunan
kata/ penyesuaian lidah dari Batavia. Nama Batavia- pun ada di Negara Bagian New York.
Bahkan kota Batavia pernah menjadi role model bagi Belanda untuk membangun New
Amsterdam sebuah kota di pinggir sungai Hudson, setelah ditaklukkan Inggris kota itu berubah
nama menjadi New York.
B. Suku Betawi

Ada suku yang sangat unik, metropolis, mengenal budaya kota jauh lebih dulu ketimbang New
York yang urban, suku itu adalah suku Betawi, bagi kita yang tinggal di Jakarta suku betawi
sesungguhnya tidak asing bahkan menjadi bagian budaya dari orang- orang yang lahir dan besar
di Jakarta. Betawi bagi sementara orang merupakan hal yang identik dengan Jakarta. Namun
sejak pembangunan besar besaran kota Jakarta yang dimulai sejak terselenggaranya Asian
Games 1962 dan Ganefo, juga runtuhnya pemerintahan Sukarno yang menaikkan Suharto di
tahun 1967 berakibat banyak sekali terhadap suku asli Betawi. Faktor lokasi-lah yang
menyebabkan suku betawi menjadi semakin berjarak dengan Jakarta.

Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Secara
biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah
campuran aneka suku dan bangsa. Apa yang disebut dengan orang atau Suku Betawi sebenarnya
terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok
etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali,
Sumbawa, Ambon, Melayu dan Tionghoa.

Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi
secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal
dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam bidang kesenian,
misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Cina,
tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar
belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an.

Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum
berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan
bangsa di masa lalu. Diawali oleh orang Sunda, sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam
Kerajaan Tarumanegara serta kemudian pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula
pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari
Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.
Waktu Fatahillah dengan tentara Demak menyerang Sunda Kelapa (1526/27), orang
Sunda yang membelanya dikalahkan dan mundur ke arah Bogor. Sejak itu, dan untuk beberapa
dasawarsa abad ke-16, Jayakarta dihuni orang Banten yang terdiri dari orang yang berasal dari
Demak dan Cirebon. Sampai JP Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang Banten bersama
saudagar Arab dan Tionghoa tinggal di muara Ciliwung.Selain orang Tionghoa, semua penduduk
ini mengundurkan diri ke daerah kesultanan Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta
(1619).

Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-
mula dibentuk oleh Kali Angke dan kemudian Cisadane. Kawasan sekitar Batavia menjadi
kosong. Daerah di luar benteng dan tembok kota tidak aman, antara lain karena gerilya Banten
dan sisa prajurit Mataram (1628/29) yang tidak mau pulang. Beberapa persetujuan bersama
dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menetapkan daerah antara Cisadane dan
Citarum sebagai wilayah kompeni. Baru pada akhir abad ke- 17 daerah Jakarta sekarang mulai
dihuni orang lagi, yang digolongkan menjadi kelompok budak belian dan orang pribumi yang
bebas. Sementara itu, orang Belanda jumlahnya masih sedikit sekali. Ini karena sampai
pertengahan abad ke-19 mereka kurang disertai wanita Belanda dalam jumlah yang memadai.
Akibatnya, banyak perkawinan campuran dan memunculkan sejumlah Indo di Batavia. Tentang
para budak itu, sebagian besar, terutama budak wanitanya berasal dari Bali, walaupun tidak pasti
mereka itu semua orang Bali. Sebab, Bali menjadi tempat singgah budak belian yang datang dari
berbagai pulau di sebelah timurnya.

Orang Tiong Hoa senang main kartu. Lukisan A van Pers dari tahun 40-an abad yang
lalu, yang diterbitkan pada tahun 1856 di Den Haag. Sementara itu, orang yang datang dari
Tiongkok, semula hanya orang laki-laki, karena itu mereka pun melakukan perkawinan dengan
penduduk setempat, terutama wanita Bali dan Nias. Sebagian dari mereka berpegang pada adat
Tionghoa (mis. Penduduk dalam kota dan ‘Cina Benteng’ di Tangerang), sebagian membaur
dengan pribumi (terutama dengan orang Jawa dan membentuk kelompok Betawi Ora, mis: di
sekitar Parung). Tempat tinggal utama orang Tionghoa adalah Glodok, Pinangsia dan Jatinegara.

Keturunan orang India -orang koja dan orang Bombay- tidak begitu besar jumlahnya.
Demikian juga dengan orang Arab, sampai orang Hadhramaut datang dalam jumlah besar,
kurang lebih tahun 1840. Banyak diantara mereka yang bercampur dengan wanita pribumi,
namun tetap berpegang pada ke-Arab-an mereka.

Di dalam kota, orang bukan Belanda yang selamanya merupakan mayoritas besar, terdiri dari
orang Tionghoa, orang Mardijker dari India dan Sri Lanka dan ribuan budak dari segala macam
suku. Jumlah budak itu kurang lebih setengah dari penghuni

Kota Batavia.

Orang Jawa dan Banten tidak diperbolehkan tinggal menetap di dalam kota setelah
1656. Pada tahun 1673, penduduk dalam kota Batavia berjumlah 27.086 orang. Terdiri dari 2.740
orang Belanda dan Indo, 5.362 orang Mardijker, 2.747 orang Tionghoa, 1.339 orang Jawa dan
Moor (India), 981 orang Bali dan 611 orang Melayu. Penduduk yang bebas ini ditambah dengan
13.278 orang budak (49 persen) dari bermacam-macam suku dan bangsa (demikian
Lekkerkerker). Gereja Immanuel di Gambir pada pertengahan abad ke 18

Sepanjang abad ke-18, kelompok terbesar penduduk kota berstatus budak. Komposisi
mereka cepat berubah karena banyak yang mati. Demikian juga dengan orang Mardijker. Karena
itu, jumlah mereka turun dengan cepat pada abad itu dan pada awal abad ke-19 mulai diserap
dalam kaum Betawi, kecuali kelompok Tugu, yang sebagian kini pindah di Pejambon, di
belakang Gereja Immanuel. Orang Tionghoa selamanya bertambah cepat, walaupun sepuluh ribu
orang dibunuh pada tahun 1740 di dalam dan di luar kota.Oleh sebab itu, apa yang disebut
dengan orang atau Suku Betawi sebenarnya

terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok
etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali,
Sumbawa, Ambon, dan Melayu. Antropolog Univeristas Indonesia, Dr Yasmine Zaki Shahab
MA menaksir, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893.

Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis
sejarawan Australia, Lance Casle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan
sensus, di mana dikategorisasikan berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data
sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis,
tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.

Rumah Bugis di bagian utara Jl Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun
1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota. Hasil
sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada.
Misalnya saja orang Arab dan Moors, orang Jawa dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang
Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu. foto pada kartu pos dari awal abad ke 20
menggambarkan rumah-rumah Tiong Hoa di Maester. Jalan ke kiri menuju pasar Jatinegara
lama. Sedangkan jalan utama adalah Jatinegara Barat menuju arah selatan. Namun, pada tahun
1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori
baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi
mayoritas penduduk Batavia waktu itu.

Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan,


kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum
mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas
tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.

Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai
satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada
tahun 1923, saat Moh Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan
Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah
golongan, yakni golongan orang Betawi.

Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta
dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi - dalam arti apapun juga -
tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, ’suku’ Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen
dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran,
bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Walaupun sebetulnya, ’suku’ Betawi
tidaklah pernah tergusur datau digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku
yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah
’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara

C. Mata Pencaharian

Dulunya mata-pencaharian orang Betawi bisa dibedakan antara mereka yang berdiam di tengah
kota dan yang berada di daerah pinggiran, tetapi sekarang sudah sulit membedakan wilayah
tengah kota dan pinggiran itu. Mereka yang berada di tengah kota menunjukkan mata
pencaharian yang bervariasi, misalnya sebagai pedagang, pegawai pemerintah, pegawai swasta,
buruh, tukang seperti membuat meubel. Orang betawi yang berdiam di wilayah klender yang
dulu termasuk wilayah pinggiran, ini hampir bisa dikatakan di tengah kota. Orang betawi klender
ini secara turun-temurun hidup dari pembuatan barang-barang meubel dan kini menjadi salah
satu pusat industri terkenal di Jakarta. Orang Betawi yang berada di daerah pinggiran hidup
sebagai petani sawah, buah-buahan, pedagang kecil, memelihara ikan, dan sekarang di antara
mereka banyak yang menjadi buruh pebrik, pegawai, dan lain-lain. Areal pertanian yang dulunya
masih luas, kini semakin sempit dan berubah menjadi daerah peerumahan, kawasan industri,
pemukiman baru, dan lain-lain. Kawasan Condet di Jakarta timur dulu secara dominan dihuni
oleh petani betawi yang terkanal dengan tanaman buah-buahannya. Karena itu pemerintah DKI
pernah memutuskan menjadikan daerah ini menjadi kawasan cagar budaya dengan maksud
melestarikan budaya betawi dengan mempertahankan ekosistemnya. Namun, perkembangan
kota, perkembangan masyarakat betawi dan masyarakat Jakarta pada umumnya menyebabkan
gagasaan cagar budaya itu agaknya hanya akan berahir menjadi sebuah impian.

D. Sistem Kekerabatan Masyarakat Betawi

Dalam kaitannya dengan sistem kekerabatan, misalnya dalam penarikan garis


keturunan, mereka mengikuti prinsip bilineal, artinya menarik garis keturunan kepada pihak ayah
dan pihak ibu. Adat menetap nikah sangat tergantung kepada perjanjian kedua pihak sebelum
perpisahan berlangsung. Ada pengantin baru yang sesudah menikah menetap di sekitar kediaman
kerabat suami (patrilokal) dan ada pula yang menetap di sekitar lingkungan kerabat isteri
(matrilokal). Pada masa lalu, setiap orang tua selalu bercita-cita membuat rumah (ngerumahin)
bagi anaknya yang telah menikah. Yang membuat rumah itu mungkin orang tua pihak laki-laki
atau orang tua pihak perempuan. Pada saat sudah dibuatkan rumah itulah, pasangan ini berdiri
sendiri atau lepas dari tanggung jawab orang tua. Di pihak lain orang tua pada umumnya
cenderung menyandarkan hidup di hari tuanya pada anak perempuan. Mereka merasa anak
perempuan sendiri akan lebih telaten mengurus orang tua daripada menantu perempuan,
meskipun mereka tidak membedakan anak laki-laki dan anak perempuan.

pemerintah, pegawai swasta, buruh, tukang seperti membuat meubel. Orang betawi yang
berdiam di wilayah klender yang dulu termasuk wilayah pinggiran, ini hampir bisa dikatakan di
tengah kota. Orang betawi klender ini secara turun-temurun hidup dari pembuatan barang-barang
meubel dan kini menjadi salah satu pusat industri terkenal di Jakarta. Orang Betawi yang berada
di daerah pinggiran hidup sebagai petani sawah, buah-buahan, pedagang kecil, memelihara ikan,
dan sekarang di antara mereka banyak yang menjadi buruh pebrik, pegawai, dan lain-lain. Areal
pertanian yang dulunya masih luas, kini semakin sempit dan berubah menjadi daerah
peerumahan, kawasan industri, pemukiman baru, dan lain-lain. Kawasan Condet di Jakarta timur
dulu secara dominan dihuni oleh petani betawi yang terkanal dengan tanaman buah-buahannya.
Karena itu pemerintah DKI pernah memutuskan menjadikan daerah ini menjadi kawasan cagar
budaya dengan maksud melestarikan budaya betawi dengan mempertahankan ekosistemnya.
Namun, perkembangan kota, perkembangan masyarakat betawi dan masyarakat Jakarta pada
umumnya menyebabkan gagasaan cagar budaya itu agaknya hanya akan berahir menjadi sebuah
impian.

D. Sistem Kekerabatan Masyarakat Betawi

Dalam kaitannya dengan sistem kekerabatan, misalnya dalam penarikan garis


keturunan, mereka mengikuti prinsip bilineal, artinya menarik garis keturunan kepada pihak ayah
dan pihak ibu. Adat menetap nikah sangat tergantung kepada perjanjian kedua pihak sebelum
perpisahan berlangsung. Ada pengantin baru yang sesudah menikah menetap di sekitar kediaman
kerabat suami (patrilokal) dan ada pula yang menetap di sekitar lingkungan kerabat isteri
(matrilokal). Pada masa lalu, setiap orang tua selalu bercita-cita membuat rumah (ngerumahin)
bagi anaknya yang telah menikah. Yang membuat rumah itu mungkin orang tua pihak laki-laki
atau orang tua pihak perempuan. Pada saat sudah dibuatkan rumah itulah, pasangan ini berdiri
sendiri atau lepas dari tanggung jawab orang tua. Di pihak lain orang tua pada umumnya
cenderung menyandarkan hidup di hari tuanya pada anak perempuan. Mereka merasa anak
perempuan sendiri akan lebih telaten mengurus orang tua daripada menantu perempuan,
meskipun mereka tidak membedakan anak laki-laki dan anak perempuan.

Masyarakat Betawi atau Jakarta asli dalam hal susunan masyarakat dan sistem
kekerabatanya, pada umumnya menganut sistem patrilineal yaitu menghitung hubungan
kekerabatan melalui garis keturunan laki-laki saja. Karena itu mengakibatkan tiap-tiap individu
dalam masyarakat memasukan semua kaum kerabat ayah dalam hubungan kekerabatannya,
sedangkan semua kaum kerabat ibu diluar garis hubungan kekerabatannya.

E. Agama

Kebanyakan orang betawi menganut agama Islam, menurut H. Mahbub Djunaidi


kebudayaan betawi sebagai suatu subkultur hampir tidak bisa dipisahkan dengan agama Islam.
Agama Islam sangat mengakar dalam kebudayaan Betawi terlihat dalam berbagai kegiatan
masyarakat betawi dalam menjalani kehidupan. Pengaruh agama Islam juga sampai dalam
bidang pendidikan, bagi orang betawi tempo doeloe orang yang tidak bisa membaca huruf arab
dianggap buta huruf sehingga mereka cenderung mengesampingkan pendidikan formal.
BAB III
PRODUK BUDAYA
A. Bahasa

Bahasa Betawi merupakan bahasa sehari-hari suku asli ibu kota negara Indonesia yaitu
Jakarta. Bahasa ini mempunyai banyak kesamaan dengan Bahasa resmi Indonesia yaitu Bahasa
Indonesia. Bahasa Betawi merupakan salah satu anak Bahasa Melayu, banyak istilah Melayu
Sumatra ataupun Melayu Malaysia yang digunakan dalam Bahasa Betawi, seperti kata "niari"
untuk hari ini.

Persamaan dengan bahasa-bahasa lain di Pulau Jawa, walaupun ada bermacam- macam
Bahasa, seperti Bahasa Betawi, Bahasa Sunda, Bahasa Jawa, Bahasa Madura, dan lain
sebagainya tetapi hanya Bahasa Betawi yang bersumber kepada Bahasa Melayu seperti halnya
Bahasa Indonesia. Bagi Orang Malaysia mendengar Bahasa ini mungkin agak sedikit tidak
faham, kerana bahasa ini sudah bercampur dengan bahasa-bahasa asing, seperti Belanda, Bahasa
Portugis, Bahasa Arab, Bahasa Cina, dan banyak Bahasa- Bahasa lainnya. Tetapi Bahasa ini
adalah Bahasa yang termudah dimengerti oleh Orang Malaysia dibandingkan Bahasa Pulau Jawa
yang lain selain Bahasa Indonesia.

Ciri khas Bahasa Betawi adalah mengubah akhiran "A" menjadi "E". sebagai contoh,
Siape, Dimane, Ade Ape, Kenape. tetapi "E" di Jakarta dan Malaysia berbeda. "E" dalam Bahasa
Betawi merupakan "E" dengan aksen tajam seperti "E" dalam kata "NET". Daerah lain di
Indonesia yang mengubah akhiran "A" menjadi "E" adalah Sumatra Utara, Riau, Kepulauan
Riau, Kalimantan Barat dan Bali. walaupun tidak semua Masyarakat mengubah akhiran "A"
menjadi "E". ada pula penduduk di lima daerah tersebut yang mengubah akhiran "A" menjadi
"O". "E" yang digunakan di lima daerah tersebut serupa dengan "E" yang digunakan Masyarakat
Malaysia.

Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah diserang dan
ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau etnis
Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda, sudah menggunakan bahasa
Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Karena perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda
menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis
Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata turunan dari Batavia). Walau demikian,
masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa
Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung
dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih
sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik yang saat ini
disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris. Meskipun bahasa formal yang digunakan di
Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah
Bahasa Indonesia dialek Betawi.

Bahasa daerah juga digunakan oleh para penduduk yang berasal dari daerah lain,
seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Minang, bahasa Batak, bahasa Madura, bahasa Bugis,
dan juga bahasa Tionghoa. Hal demikian terjadi karena Jakarta adalah tempat berbagai suku
bangsa bertemu. Untuk berkomunikasi antar berbagai suku bangsa, digunakan Bahasa Indonesia.

Selain itu, muncul juga bahasa gaul yang tumbuh di kalangan anak muda dengan kata-
kata yang terkadang dicampur dengan bahasa asing. Beberapa contoh penggunaan bahasa ini
adalah Please dong ah!, Cape deh!, dan So what gitu loh!.

B. Makanan

Nasi Uduk Betawi

Cara penyajiannya unik. Nasi dibungkus dengan daun pisang, sehingga aroma bumbu
dan rempah-rempah tetap menyatu pada nasi. Ada taburan daun bawang goreng dan ditambah
lagi dengan ayam goreng bumbu kuning, yang sudah sangat terkenal. Sajian ini diramu dari 15
macam bumbu dapur yang diolah secara tradisional. Rasa dan aroma dari ayam goreng bumbu
kuning ini sangat khas. Bumbunya sangat meresap sampai ke tulang dan sangat empuk serta
gurih rasanya. Ditambah dengan sambal yang khas juga sambal kacangnya. Apalagi dipadu
dengan lalapan ketimun, rebusan kol, serta daun kemangi, yang pasti menambah selera makan
jadi enak.

Anda mungkin juga menyukai