Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point)


National advisory committee on microbiological criteria for food
(committee) menganjurkan sistem HACCP sebagai pendekatan yang efektif
dan rasional untuk menjamin keamanan pangan. Dalam penarapan HACCP,
pengujian mikrobiologi merupakan suatu cara yang efektif untuk memantau
titik kendali kritis ( CCP=Critical Control Points ) karena waktu yang
dibutuhkan terlalu lama untuk mendapatkan hasil pengujian. Pada umumnya,
pemantauan CCP dapat dilakukan dengan baik menggunakan hasil uji fisik
dan kimia, dan melalui pengamatan visual. Akan tetapi mutu mikrobiologi
makanan dapat digunakan untuk membuktikan bahwa sistem HACCP yang
diterapkan telah berhasil dengan baik ( Fardiaz, 1996 ).
Prinsip HACCP harus distandarisasi sehingga memudahkan
pelaksanannya oleh industri pangan dan memudahkan instansi yang
berwenang dalam memantau penerapan HACCP . Berdasarkan rekomendasi
National Academy of Sciences Sistem HACCP harus dikembangkan untuk
setiap industri pangan, dan dikembangkan untuk setiap produk masing-masing
beserta kondisi pengolahan dan distribusinya (Fardiaz, 1996).
1. Definisi HACCP
HACCP adalah suatu sistem jaminan mutu yang mendasarkan
kepada kesadaran atau perhatian bahwa hazard (bahaya) akan timbul pada
berbagai titik atau tahap produksi, tetapi pengendaliannya dapat dilakukan
untuk mengotrol bahaya-bahaya tersebut (Fardiaz, 1996).
2. Prinsip HACCP
a. Penetapan bahaya dan risiko
Penetapan bahaya dan risiko yang berhubungan dengan bahan pangan
sejak pemeliharaan, pemanenan / penangkapan /pemotongan,
penanganan, pemilihan ingredient dan bahan tambahan, penyimpanan
bahan, pengolahan, distribusi, pemasaran, penghidangan dan konsumsi
(Fardiaz, 1996).
Analisis bahaya adalah evaluasi spesifik terhadap produk pangan dan
bahan mentah, ingredient serta bahan tambahan untuk menentukan
risiko terhadap bahaya biologis, kimia dan fisik . Ada 2 tahap dalam
penetapan bahaya dan risiko yaitu analisis bahaya dan penetapan
kategori risiko bahaya. Sedangkan persiapan yang perlu dilakukan
yaitu: (1) menurut daftar bahan mentah dan ingredient yang digunakan
dalam proses; (2) mempersiapkan digram alir proses yang teliti untuk
memproduksi suatu produk; (3) keterangan /deskripsi produk
mengenai: (a) kelompok konsumennya, (b) cara mengkonsumsi, (c)
cara penyimpanan, (d) cara pengolahan (Fardiaz, 1996).
b. Penetapan CCP ( Critical Control Points )
Penetapan CCP yang diperlukan untuk mengendalikan bahaya,
misalnya CCP-1 menjamin dapat mencegah atau menghilangkan
bahaya, CCP-2 mengurangi bahaya, tetapi tidak menjamin dapat
mencegah atau menghilangkan bahaya (Fardiaz, 1996).
c. Penetapan batas kritis
Penetapan batas kritis yang harus dipenuhi pada setiap CCP yang telah
ditetapkan. Kriteria yang umum digunakan sebagai batas kritis : suhu,
waktu, kelembaban, nilai aw, nilai pH, keasaman ( titrasi ), bahan
pengawet, konsentrasi garam, khlorin bebas, viskositas (Fardiaz,
1996).
d. Pemantauan CCP
Penetapan prosedur untuk memantau CCP dan batas kritis termasuk
pengamatan, pengukuran, dan pencatatan. Kegiatan pemantauan
meliputi: (1) memeriksa apakah prosedur pengolahan dan penanganan
pada CCP dapat dikendalikan, (2) pengujian atau pengamatan
terjadwal terhadap efektifitas suatu proses untuk mengendalikan CCP
dan batas kritis, (3) pengamatan atau pengukuran batas kritis untuk
menghasilkan data yang teliti dan ditujukan untuk menjamin bahwa
batas kritis yang ditetapkan dapat menjamin keamanan produk.
Cara pemantauan meliputi: (1) pengamatan; (2) pengukuran atau
analisis terhadap (a) prose (waktu, suhu, ph, dll), (b) sanitasi, misalnya
terhadap bahan mentah (uji kimia terhadap toksin, bahan tambahan,
kontaminan, dll; mikrobiologi terhadap koliform, E. coli, Salmonela,
dll) (Fardiaz, 1996).
e. Tindakan koreksi terhadap penyimpangan
Penetapan tindakan koreksi yang harus dilakukan jika terjadi
penyimpangan terhadap CCP dan batas kritis dari hasil pemantauan
(Fardiaz, 1996).
(1) Produk beresiko tinggi
Produk tidak boleh diproses atau diproduksi sebelum semua
penyimpangan dikoreksi atau diperbaiki. Produk ditahan atau tidak
dipasarkan, dan diuji keamanannya. Jika keamanan produk tidak
memenuhi syarat, perlu dilakukan tindakan koreksi yang tepat.
(2) Produk beresiko sedang.
Produk dapat diproses, tetapi penyimpangan harus
dikoreksi dalam waktu singkat ( dalam beberapa hari atau minggu).
Pemantauan khusus diperlukan sampai semua penyimpangan
dikoreksi.
(3) Produk beresiko rendah
Produk dapat diproses penyimpangan harus dikoreksi atau
diperbaiki jika waktu memungkinkan pengawasan rutin harus
dilakukan untuk menjamin status resiko berubah menjadi resiko
sedang atau tinggi.
f. Penyusunan sistem pencatatan yang efektif
Penyusunan suatu sistem pencatatan yang efektif untuk mengarsipkan
rancangan HACCP. Beberapa keterangan yang harus dicatat : (1) judul
dan tanggal pencatatan, (2) keterangan produk (kode,tanggal dan
waktu diproduksi), (3) bahan dan peralat yang diperlukan, (4) proses
yang dilakukan, (5) CCP, (6) batas kritis yang ditetapkan, (7)
penyimpanan batas kritis, (8) tindakan koreksi atau perbaikan yang
harus dilakukan jika terjadi penyimpangan dan karyawan yang
bertanggungjawab, (9) identifikasi operator (Fardiaz, 1996).
g. Penetapan prosedur verifikasi
Penetapan prosedur untuk membuktikan bahwa sistem HACCP telah
dilakukan secara efektif. Tujuan verifikasi terhadap program HACCP :
(1) untuk memeriksa apakah program HACCP telah dilaksanakan
sesuai dengan rencana HACCP yang ditetapkan, (2) untuk menjamin
bahwa rencana HACCP yang ditetapkan masih efektif. Sedangkan
kegiatan atau tahap verifikasi meliputi: (1) penetapan jadwal
veerifikasi yang tepat, (2) pemeriksaan kembali (review) rencana
HACCP, (3) pemeriksaan atau penyesuaian catatan HACCP, (4)
pemeriksaan penyimpangan terhadap CCP dan prosedur koreksi atau
perbaikan, (5) pengamatan atau inspeksi visual selama produksi untuk
mengendalikan CCP, (6) pengambilan contoh dan analisis cara
random, (7) catatan tertulis mengenai kesesuaian dengan rencana
HACCP atau penyimpangan dari rencana dan tindakan koreksi atau
perbaikan yang dilakukan. Dan verifikasi atau evaluasi dilakukan bila:
(1) secara rutin atau tidak terduga untuk menjamin bahwa CCP yang
ditetapkan masih dapat dikendalikan, (2) jika diketahui bahwa produk
tertentu memerlukan perhatian khusus karena informasi terbaru
mengenai keamanan makanan, (3) jika produk yang dihasilkan
diketahui sebagai penyebab keracunan makanan, (4) jika kriteria yang
diitetapkan belum mantap atau atas saran dari instansi berwenang
(Fardiaz, 1996).

B. Pengolahan
1. Pengertian Pengolahan
Pengolahan merupakan berbagai cara pengubahan hasil-hasil bahan
pangan oleh budidaya manusia baik secara fisik, kimiawi atau biokimiawi
menjadi produk-produk guna memenuhi kebutuhannya (Makfoeld, 1982).
Pengolahan bertujuan untuk memperoleh pangan yang
beranekaragam, berkualitas tinggi, tahan simpan, meningkatkan nilai tukar
dan daya guna bahan mentahnya (Astawan dan Made, 1988). Produk hasil
pengolahan sering disebut sebagai hasil olah. Hasil olah ada yang dapat
langsung memenuhi kebutuhan manusia disebut hasil jadi (final product)
atau suatu hasil olah yang perlu diolah lebih lanjut untuk langsung
memenuhi kebutuhan disebut hasil setengah jadi (semi final product)
(Makfoeld, 1982).
2. Pengolahan Suhu Tinggi
Pengolahan suhu tinggi merupakan salah satu cara paling penting
yang telah dikembangkan untuk memperpanjang umur simpan bahan
pangan. Walaupun demikian, pengolahan suhu tinggi juga mempunyai
pengaruh yang merugikan pada zat gizi, karena itu pengolahan suhu tinggi
memang mungkin memperpanjang dan menaikkan ketersediaan bahan
pangan untuk konsumen, tetapi bahan pangan tersebut mungkin
mempunyai kadar gizi yang lebih rendah ( dibandingkan dengan keadaan
segarnya ). Beberapa proses yang menggunakan suhu tinggi antara lain:
Pengolahan suhu tinggi adalah pengolahan yang menggunakan
panas, baik dari panas api maupun dari alat listrik. Pengaruh pemanasan
terhadap bahan makanan dan zat-zat gizi yang dikandungnya adalah sangat
penting. Pengaruh-pengaruh tersebut ialah:
a. Pecahnya Dinding Sel Tumbuhan
Dinding sel tumbuhan terutama terdiri dari atas zat selulosa yang tidak
dapat dicerna oleh cairan pencernaan manusia. Dengan pemanasan
dinding sel dirusak menjadi pecah, sehingga isi sel teerbuka terhadap
pengaruh cairan pencernaan tubuh di dalam rongga usus.
b. Pemanasan Membunuh Mikroba
Panas yang cukup tinggi dan lama akan membunuh berbagai mikroba
yang mingkin bersifat patogen dan menyebabkan penyakit, terutama
penyakit-penyakit infeksi yang ditularkan melalui makanan dan
minuman.
c. Panas Dapat Meniadakan Zat-zat Toksik
Pemasakan dengan mempergunakan panas dapat pula menetralkan
pengaruh beberapa zat toksik yang terdapat secara alamiah dalam
berbagai bahan makanan, baik nabati maupun hewani.
d. Panas Dapat Mengubah Berbagai Zat Gizi Secara Positip
Pengaruh thermis memberikan pula perubahan-perubahan yang
menguntungkan kepada karbohidrat dan protein yang terdapat di dalam
makanan, sehingga meningkatkan nilai gizinya.
e. Pemanasan Dapat Memberikan Pengaruh Negatip
Penggunaan panas dengan suhu terlalu tinggi dapat mengadakan
perubahan kimiawi kepada karbohidat dan protein yang bersifat
negatip, yaitu merugikan dengan menurunkan nilai gizi zat-zat gizi
tersebut.
f. Pemanasan yang Terlalu Tinggi Dapat Menimbulkan Zat
Carcinogenik
Dalam bahan makanan yang hangus, baik nabati maupun hewani dapat
terjadi ikatan-ikatan polycylik yang bersifat carcinogenik, yaitu
merangsang terjadinya kanker. Zat-zat toksik ini misalnya terdapat
dalam asap makanan yang hangus terbakar.

C. Telur
Dalam mempertahankan kelanggengan hidupnya hewan tertentu
berkembang biak dengan menghasilkan telur, seperti ikan, unggas, binatang
melata, dan sebagainya. Sebagai bahan pangan telur mempunyai nilai yang
penting karena merupakan sumber protein dan lemak. Untuk dapat menangani
dan memanfaatkan telur seoptimal mungkin perlu diketahui sifat-sifatnya baik
fisik maupun kimia, serta perubahan-perubahannya selama penyimpanan
(Muchtadi dan Sugiyono, 1992 ).
1. Jenis Telur
Banyak sekali jenis hewan yang dapat mengahsilkan telur. Dari
sekian telur yang dihasilkan oleh beberapa hewan, hanya beberapa jenis
telus yang biasa diperdagangkan dan dikonsumsi manusia yaitu telur
ayam, bebek, telur puyuh, dan telur ikan. Yang paling populer adalah telur
ayam sehingga dalam kehidupan sehari-hari istilah telur diasosiasikan
dengan telur ayam.
Telur ayam terdapat 2 jenis yaitu telur ayam kampung (Buras) dan
telur ayam negeri (ras). Telur ayam kampung harganya lebih mahal
dibandingkan telur ayam negeri karena penawarannya sangat terbatas dan
anggapan lebih berkhasiat. Telur bebek juga ada 2 jenis yaitu yang
berwarna biru dan berwarna putih. Masing-masing telur ini dihasilkan oleh
jenis bebek yang berbeda (Muchtadi dan Sugiyono, 1992 ).
Sifat-sifat fungsional didefinisikan sebagai sekumpulan sifat dari
pangan atau bahan pangan yang mempengaruhi penggunaannya. Sifat-sifat
tersebut antara lain : daya koagulasi, daya buih, daya emuisi, kontrol
kristalisasi serta pewarna. Sifat-sifat fungsional sangat dipengaruhi oleh
berbagai faktor baik faktor fisika maupun kimia. Yang banyak berperan
dalam menentukan sifat tersebut adalah sifat fisik-kimia protein yang
meliputi komposisi asam amino termasuk prosentase dan penyebarannya,
ukuran molekul, konfirmasi dan ikatan serta gaya yang berperan dalam
struktur molekul protein tersebut. Jadi perubahan sifat fisika-kimia protein
telur juga akan berpengaruh terhadap sifat-sifat fungsional telur yang
bersangkutan (Muchtadi dan Sugiyono, 1992 ).
Telur baik, secara keseluruhan maupun bagian misalnya kuning telur
atau putih telur memiliki sifat seperti berikut :
a. Daya Koagulasi
Koagulasi pada telur ditandai dengan kelarutan atau
berubahnya bentuk cairan (sol) menjadi padat (gel). Perubahan struktur
molekul protein ini dapat disebabkan oleh pengaruh panas, mekanik,
asam, basa, garam, dan pereaksi garam lain seperti urea. Koagulasi
yang irreversible disebabkan dengan pemanasan pada suhu 60-700C.
Sifat koagulasi ini dimiliki putih maupun kuning telur.
b. Daya Buih (foaming)
Buih adalah bentuk dispersi koloida gas dalam cairan. Apabila
putih telur dikocok maka gelembung udara akan terperangkap dalam
albumen cair dan membentuk busa. Semakin banyak udara yang
terperangkap busa yang terbentuk akan semakin kaku dan kehilangan
sifat alirnya. Kestabilan buih ditentukan oleh kandungan ovomusin
(salah satu komponen putih telur).
c. Daya Emulsi (Emulsifying properties)
Emuisi adalah campuran antara dua jenis cairan yang secara
normal tidak dapat bercampur, dimana salah satu fase terdispersi
dalam fase pendispersi. Kuning telur juga merupakan emulsi minyak
dalam air. Kuning telur mengandung bagian yang bersifat surface
active yaitu lesitin, kolesterol dan lesitoprotein. Lesitin mendukung
terbentuknya emulsi minyak dalam air (o/w), sedangkan kolesterol
cenderung untuk membentuk emulsi air dalam minyak (w/o).
d. Kontrol Kristalisasi
Penambahan albumen ke dalam larutan gula (sirup) dapat
mencegah terbentuknya kristal gula. Keberadaan albumen tersebut
mencegah penguapan sehingga mencegah inversi sukrosa yang
berlebihan. Sifat telur yang demikian ini dimanfaatkan dalam
pembuatan gula-gula (candy). Penambahan telur dalam pembuatan
gula-gula memberiakn rasa di mulut manis, halus serta selalu basah.
e. Pemberi Warna
Sifat ini hanya dimiliki oleh kuning telur, yaitu pigmen kuning
dari xantofil, lutein, beta karoten dan kriptoxantin. Sifat ini tidka
banyak dimanfaatkan seperti sifat yang lain, hanya digunakan dalam
beberapa produk misalnya baked product, es krim, custard dan saus.
2. Cara Memilih Telur (Gaman dan Sherrington, 1994)
a. Pilih telur yang utuh, bersih, berat sesuai dengan besar, tidak
kocok, bentuk bulat lonjong.
Telur diliputi oleh selaput kutikula yang berfungssi mencegah
masuknya bakteri dan terjadinya penguapan. Telur yang telah
dicuci akan kehilangan pelindung kulit, sehingga telur tidak tahan
lama disimpan. Telur yang masih baru belum kehilangan uap
airnya, sehingga berat telur masih utuh dan akan terasa lebih berat
dibandingkan telur yang sama besar tetapi sudah lama.
b. Pilih telur yang berukuran kecil atau sedang saja, karena telur yang
berukuran besar biasanya dihasilkan oleh induk yang sudah tua.
Telur yang seperti itu kurang mempunyai zat pelindung kulit,
sehingga telur mudah menguapkan air dan akan menyebabkan telur
tidak tahan disimpan lama.
c. Bentuk telur yang bulat lonjong menandakan letak kuning telur
tersusun rapi dan terlindung di dalam putih telur dengan baik.
3. Penyimpangan-penyimpangan telur
Telur yang dibentuk dalam tubuh induk dapat mengalami
penyimpangan-penyimpangan yang disebabkan oleh berbagai faktor
(Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Penyimpangan secara fisik baik pada
bagian dalam telur ataupun bagian luar telur yang dapat terdeteteksi antara
lain :
a. Telur dengan dua kuning telur, terjadi jika dua kuning telur dilepaskan
pada saat yang bersamaan atau satu buah kuning telur masuk pada
saluran telur dibungkus bersama dengan kuning yang dilepaskan pada
hari berikutnya.
b. Telur tanpa kuning, biasanya terjadi karena sebagian ovari atau oviduct
terkupas. Kupasan jaringan tersebut merangsang sekresi glandula yang
melepaskan bagian putih telur sehingga dihasilkan telur tanpa kuning.
c. Telur dalam telur terjadi jika ada pembalikan arah telur oleh dinding
oviduct. Tersebut akan ditambahkan pada hari berikutnya dan
dibungkus bersama-sama.
d. Telur bernoda darah (bloodspots) disebabkan oleh pecahnya sebagian
darah pada saat ovulasi.
e. Noda daging, terjadinya seperti pada noda darah, tetapi disebabkan
oleh reaksi kimia atau terlepasnya jaringan alat reproduksi induk.
f. Penyimpangan warna kuning telur, disebabkan oleh bahan-bahan yang
ada dalam pakan. Warna burik (mottling) disebabkan oleh nikarbasin,
asam tanat, asam galat atau karena keturunan. Warna platinum
disebabkan oleh kekurangan vitamin A atau xantofil, bakteri atau
infeksi oleh cacing.
g. Penyimpangan flavor (off-flavor), disebabkan oleh penyakit atau
flavor dalam pakan.
h. Kulit telur lunak, terjadi karena dikeluarkan premature sehingga waktu
untuk deposit bahan-bahan kulit kurang. Dapat juga disebabkan oleh
bahan kimia misalnya pestisida dan estrogen, penyakit hewan serta
kekurangan kalsium atau vitamin D.
i. Kulit telur tipis, hal ini dapat disebabkan oleh kekurangan pakan,
penyakit tertentu atau keturunan.
j. Kulit berkapur dan mengkilap (glassy and chalky shelled eggs)
disebabkan oleh kurang berfungsinya uterus. Keadaan “glassy”
mencerminkan kulit tersebut kurang berpori dan biasanya tidak dapat
menetas, tetapi biasanya lebih tahan terhadap penurunan kualitas.
k. Bentuk yang tidak normal (menyimpang dari biasanya), disebabkan
oleh serangan penyakit pernafasan pada induk ayam, dan dapat juga
oleh perlakuan penyinaran dengan sinar -X.
4. Perubahan Fisiko Kimia Telur
Telur yang normal segera setelah ditelurkan mempunyai mutu yang
terbaik. Hal ini disebabkan keadaan kulit telur, besarnya ruang udara,
kondisi putih telur dan kuning tetur serta lembaga masih dalam keadaan
normal. Dengan pertambahan waktu simpan mutu telur tersebut semakin
menurun, karena terjadinya perubahan beberapa sifat fisik telur yang
dipengaruhi oleh keadaan lingkungan tempat telur berada dan sifat fisik
serta kimia telur yang bersangkutan. Peralihan telur dari dalam alat
reproduksi induk yang mempunyai kelembaban yang tinggi dan dengan
suhu hangat ke ruangan dengan keadaan yang lebih kering dan suhu yang
lebih rendah menyebabkan berbagai perubahan (Muchtadi dan Sugiyono,
1992).
Terjadinya ruang udara atau pemisahan membran kulit luar dan
dalam disebabkan oleh perubahan suhu tersebut. Sesaat setelah ditelurkan
besarnya ruang udara 1/8 inci dan terus bertambah besar sebanding dengan
bertambahnya waktu menyebabkan kehilangan air dan gas karbon
dioksida. Besarnya ruang udara tersebut dipakai sebagai atribut mutu telur.
Permukaan kulit mula-mula diselimuti oleh cairan mukosa yang
kental. Pada saat peneluran terjadi pengeringan mukosa tersebut. Pada saat
masih basah mukosa mampu melindungi telur dari penetrasi air, gas dan
bakteri melalui kulit. Setelah mengering penutupan pori-pori kulit tidak
sempurna lagi. Waktu penyimpanan yang makin lama menyebabkan pori-
pori tersebut menjadi semakin besar yang mempengaruhi berbagai
peristiwa. Air, gas dan bakteri lebih mudah melewati kulit tanpa ada yang
menghalangi sehingga penguapan semakin cepat; Telur yang disimpan
mengalami penurunan berat jenis. Hal tersebut disebabkan penurunan
berat oleh penguapan air dan gas CO2, sedangkan volume telur tetap.
Makin lama penurunan berat semakin besar yang dipengaruhi oleh suhu
dan kelembaban ruang penyimpanan. Penurunan berat jenis dari telur
normal 1,008 -1,095 menjadi 0,825 setelah disimpan selama tiga bulan.
Penurunan berat jenis ini dapat dideteksi dengan merendam dalam air
biasa, jika tenggelam menandakan penurunan berat jenis belum sampai
dibawah 1,000.
Putih telur selama penyimpanan dapat mengalami berbagai
perubahan yang disebabkan oleh fisiko-kimia telur. Kehilangan CO2
melalui pori-pori kulit dari albumen menyebabkan perubahan fisik dan
kimia. Selama beberapa jam pertama setelah ditelurkan kehilangan CO2
sangat banyak dan didalam albumen terkandung juga asam karbonat
menjadi karbon dioksida dan air.
Pemecahan asam karbonat dalam albumen menyebabkan
perubahan dari keadaan netral (kira-kira 7,6) menjadi keadaan alkali (pH
9,7). Albumen yang kehilangan CO2 dan perubahan pH menjadi berair
(encer). Pengenceran tersebut disebabkan perubahan struktur protein
musin yang memberi tekstur kental dari putih telur. Putih telur yang masih
baik atau belum mengalami kerusakan dapat dilihat dengan memecah telur
tersebut, kemudian diukur tinggi putih telur yang kental setelah dituang
pada wadah yang datar.
Kuning telur menyerap air dari albumen karena perbedaan
konsentrasi antara keduanya. Air bergerak melalui membran vitelin
sampai diperoleh keseimbangan antara albumen dan kuning telur. Air yang
diserap menyebabkan pertambahan volume sehingga menekan membran
vitelin. Tekanan tersebut mengakibatkan perubahan bentuk kuning telur
dari bulat (special), menjadi masa yang kendur.
Perubahan bentuk fisik kuning telur mempengaruhi kualitas telur.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan peneropongan (candling).
Telur yang masih baik keadaan letak kuning telur masih ditengah.
Dengan pertambahan umur simpan letak kuning telur akan bergeser dari
pusat dan kemungkinan dapat sampai menempel pada kulit telur. Kuning
telur yang mengalami perkecambahan juga dapat terlihat dengan
peneropongan ini. Penilaian kuning telur juga dapat dilakukan dengan
memecah telur, kemudian diukur tinggj dan lebar kuning tetur.
Selanjutnya dihitung indeks kuning telur yaitu membagi lebar dengan
tinggi dikalikan dengan 100. Nilai yang kecil menunjukkan telur telah
disimpan lama.
Air dari albumen selain diserap oleh kuning telur, juga diuapkan
dari albumen melalui pori-pori kulit.
Oleh sebab itu konsentrasi albumen menjadi lebih tinggi. Keadaan
yang demikian ini menyebabkan pergerakan air kembali dari kuning telur
kedalam albumen. Keadaan yang terjadi selanjutnya adalah kuning telur
mengendap atau menempel pada membran kulit (stuck yolk) sehingga
tidak layak untuk dikonsumsi lagi. Jika membran vitelin telah pecah maka
terjadi pencampuran antara putih telur dengan kuning telur (mixed rots).
Percobaan telur dapat juga disebabkan oleh mikroba yang berasal
dari lingkungan tempat penyimpanan telur. Sebenarnya telur yang baru
dikeluarkan bersih dan bebas dari mikroba baik pada bagian kulit maupun
isi telur. Lapisan kutikula merupakan pelindung yang paling luar
kemudian membran kulit juga memiliki aktivitas bakterisidal. Demikian
juga pada bagian albumen yang mengandung senyawa anti bakteri antara
lain lizozim, conalbumin, riboflavin, avidin, apoprotein, dan ovoin
inhibitor.
Bagian kuning telur tidak mengandung senyawa anti bakteri, selain
itu komponennya sangat lengkap sehingga mudah dimanfaatkan oleh
mikroba. Kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh bakteri antara lain :
a. “Red-rots”
Ditandai dengan warna kemerahan kuning telur dan dapat
dideteksi dengan peneropongan. Albumen biasanya mengalami
pengenceran dan berwama keabuan yang diselimuti warna kemerahan.
Kerusakan ini disebabkan oleh Pseudomonas.
b. “Green rots” atau “Sour rots”.
Kerusakan ini terlihat pada bagian albumen, kuning telur dan
membran vitelin. Albumen mengalami pengenceran, berserabut dan
biasanya tampak berwama hijau. Kuning telur diselimuti bintik- bintik
berwama pink atau putih serta mengeras seperti telah dimasak.
Membran vitelin mengalami penebalan dan berwarna putih atau.
kadang-kadang hitam. Kerusakan ini disebabkan oleh Pseudomonas
yang mengkontaminasi pada saat ditelurkan dan dipercepat oleh
kotoran yang menempel.
c. “Black rots”
Tanda-tanda kerusakan ini adalah ruang udara besar, albumen
berwama coklat kehijauan dan encer serta kuning telur berwama hitam.
Jika dibuka terjadi perubahan bau yaitu bau busuk dan kuning tetur liat
seperti karet. Dalam kerusakan ini ditemukan bermacam-macam
mikroba antara lain Proteus alcaligenes, Escherichia dan sebagainya.
Sumber kontaminan berasal dari debu yang menempel pada kulit
telur dan penggunaan air terkontaminasi oleh mikroba tersebut.
5. Penanganan Telur
Penanganan telur bertujuan untuk memperlambat penurunan mutu
dan kerusakan telur. penyebab penurunan mutu tersebut adalah penguapan
air, penguapan karbon dioksida dan aktivitas mikroba. Sedangkan faktor-
faktor yang mempengaruhi penyebab kerusakan tersebut adalah waktu
Penyimpanan, suhu dan kelembaban ruang penyimpanan, kotoran yang
ada pada kulit telur dan teknik penanganan serta peralatan yang digunakan
dalam penanganan (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).
Pengumpulan telur dari kandang disarankan sesering mungkin (3-4
kali sehari) yang bertujuan untuk menekan telur yang pecah, kotor dan
dapat segera diberi perlakuan pendinginan. Pendinginan yang tepat
diperlukan untuk mencegah kerusakan yang tidak diinginkan pada suhu
500 F selama 12-24 jam sebelum dikemas. Penyimpanan disarankan pada
kelembaban yang.terkontrol yaitu 70-80% untuk menghindarkan
pertumbuhan kapang dan bahaya penguapan. Pengepakan terhadap telur
dengan ukuran yang seragam sangat diperlukan pemasaran yang sering
misalnya dua kali per minggu bermanfaat untuk mengurangi kerusakan
dalam penyimpanan dan memperpendek antara waktu produksi dan
konsumsi.
a. Pembersihan
Perlakuan pembersihan bertujuan untuk menghilangkan
kotoran dari permukaan kulit tetur. Kebanyakan telur dibersihkan
dengan larutan deterjen sanitaiser.
Yang perlu diperhatikan dalam pencucian ini adalah sifat
berpori kulit telur dan sifat mengembang dan kontraksi isi telur.
Perlakuan dalam air panas dari air dingin menyebabkan
pengembangan yang cepat yang tepat menyebabkan keretakan.
Demikian juga perlakuan dari air panas ke air dingin, selain itu dalam
perlakuan dari panas dan didinginkan memungkinkan
perkembangbiakan mikroba yang ada dan kemungkinan dapat masuk
kedalam telur. Untuk mengurangi kemungkinan yang tidak baik
tersebut maka digunakan semprotan air yang berisi sanitaiser, diikuti
pembilasan dengan air hangat dan dikeringkan dengan aliran udara
panas.
USDA (US Department of Agriculture) telah
merekomendasikan metode untuk pencucian telur yaitu : Pencucian
segera dilakukan setelah dipungut. Jaringan mencoba membersihkan
yang berlebihan terhadap telur yang kotor. Jangan digunakan air yang
mengandung besi (Fe) lebih dari 2 ppm. Jangan membasahi telur
dengan air pembersih lebih dari 5 menit. Jangan menggunakan
kembali air pencuci, kecuali untuk proses yang bersifat kontinyu.
Suhu air pembersih yang digunakan sama atau lebih dari 90 F.
Pertahankan suhu air pencuci 20-400 F diatas suhu telur. Bilas dengan
semprotan air hangat yang berisi bahan sanitaiser. Keringkan telur
sebelum dikemas atau dipecah untuk diolah langsung atau untuk
bahan baku.
Pencucian dengan air panas memberikan kerusakan yang lebih
banyak, pada telur yang lebih lama umurnya, karena ruang udara yang
ada lebih besar. Deterjen satinitiser yang dapat digunakan NaOH
0,35% dan klorin kurang dari 50 ppm dapat menimbulkan warna pada
permukaan kulit karena reaksi antara klor dengan asam amino yang
ada pada lapisan kutikula sudah cukup.
Pembersihan kulit telur dapat dilakukan juga dengan cara
kering yaitu dengan menggosok permukaan telur dengan bahan
abrasif. Alatnya adalah “steel wool”, “omey paper” atau dengan
kertas gosok (amplas). Kelemahan cara ini adalah waktu yang
dibutuhkan lebih lama dan berbentuk guratan pada kulit.
Kemungkinan juga pelebaran pori-pori kulit yang dapat mempercepat
penguapan. Perlakuan ini juga dapat menyebabkan pencairan putih
telur kental karena goyangan dan vibrasi.
b. Pendinginan
Pendinginan ditunjukkan untuk menyimpan telur dalam waktu
yang lebih lama. Dalam penyimpanan ini perlu diperhatikan faktor
suhu dan kelembaban. Pada suhu yang rendah (dingin) kegiatan,
mikroba dan peristiwa fisika maupun kimia berjalan lebih lambat.
Dalam suhu yang rendah kecepatan penguapan lebih rendah
dan kelarutan gas dalam cairan lebih besar. Dengan demikian
penguapan air dari telur dapat ditekan sehingga mutu telur dapat
dipertahankan dalam waktu yang lebih lama. Suhu yang digunakan
jika terlalu rendah akan mengakibatkan pengembunan pada
permukaan telur setelah dikeluarkan dari ruang penyimpanan. Oleh
sebab itu disarankan penyimpanan pada suhu 50-600 F.
Kelembaban yang tinggi menghambat perpindahan air dari
bahan ke ruangan. Kelembaban relatif yang tinggi juga dapat
menstimulir pertumbuhan mikroba bakteri dan kapang. Ruang
penyimpanan diatur kelembaban relatifnya yang baik yaitu 75%
sampai 80%.
Pencegahan penguapan dapat dipertahankan lebih baik lagi
jika dilakukan pengemasan. Dengan pengemasan maka terjadi
keseimbangan CO2 antara didalam dan diluar telur demikian juga
dengan air. Dengan mempertahankan atau pencegahan penguapan air
dan karbon dioksida maka tidak terjadi kenaikan Ph dan keadaan
albumen dapat dipertahankan tetap kental. Dengan kata lain awet atau
tahan lama.
Penyimpanan dingin pun masih tetap menyebabkan berbagai
perubahan telur yang disimpan. Specifik Gracity menurun selama
penyimpanan. Yang besarnya tergantung pada kondisi penyimpanan
khususnya kelembaban relatif. Kadar air kuning telur mengalami
kenaikan dan perbandingan albumen kental dan encer makin turun.
Kemampuan kristalisasi albumen dapat hilang pada penyimpanan 180
C selama 2-3 minggi akan tetapi tetap baik jika disimpan pada suhu -
1,5 – 00 C dalam waktu 11 bulan. Kadar amonia telur meningkat dari
6-14 mg/100 gr meningkat menjadi 21-24 mg setelah disimpan selama
6 minggu. Pertambahan amonia tersebut sebagai aktivitas enzim
proteolitik, tripsin. Ratio tinggi dan lebar kuning telur (yolk indekx)
mengalami penurunan.
c. Cara penanganan telur utuh yang lain
Pemanasan telur pada suhu 600 C selama 10 menit dapat
digunakan dengan tujuan pengawetan. Pemanasan tersebut akan
menyebabkan pembentukan lapisan tipis albumen yang terkoagulasi.
Hal ini akan menutup pori-pori kulit sehingga perpindahan gas dan
cairan keluar dari telur dapat dihambat. Air pemanas dapat diberi
senyawa fenol yang mempunyai aktivitas anti bakteri. Penanganan
terakhir ini biasa digunakan dalam pembuatan pindang. Senyawa
fenol akan bereaksi dengan protein dalam telur maupun lapisan
kutikula.
D. Organisme-Organisme Penyebab Penyakit yang Ditularkan Melalui
Bahan Pangan
1. Salmonella
Salmonella adalah jenis gram negatif, berbentuk batang bergerak
serta mempunyai tipe metabolisme yang bersifat fakultatif anaerob.
Termasuk kelompok bakteri Enterobacteriaceae. Sejumlah 2000 tipe
Salmonella telah dibedakan secara serologis dan diberi nama khusus.
Misalmya, Salmonellatyphi dan Salmonella parathyphi penyebab demam
tiphus. Salmonella typhimurium, S. agona, S. panama adalah hanya
sebagian kecil dari berbagai jenis mikroorganisme penyebab keracunan
bahan pangan tipe gastroenteritis yang sudah lama dikenal. Gejala-gejala
demam typhus akan nampak setelah 7-14 hari infeksi dan umumnya
ditandai oleh perasaan kurang enak dan sakit kepala. Keadaan ini diikuti
oleh demam dan perdarahan di dalam jika tidak diobati. Penyakit ini dapat
mengakibatkan tingkat kematian sekitar 10%. Jenis mikroorganisme
penyebabnya (S. typhi dan S. paratyphi) hanya terdapat pada manusia dan
tidak dijumpai pada hewan lain. Pembawa utama organisme-organisme ini
adalah manusia. Organisme-organisme dikeluarkan ke dalam alam
sekeliling melalui kotoran (faeces) dimana bahan pangan dan air akan
tercemar olehnya. Rantai penularannya adalah: manusia – bahan pangan
(air) – manusia. Bakteri-bakteri ini sangat infektif, yaitu hanya dengan
sejumlah kurang dari 100 sel cukup untuk menimbulkan penyakit. Oleh
karena dosis infeksinya cukup rendah, maka umumnya tidak diperlukan
perkembangbiakan sel dalam bahan pangan untuk menjadi berbahaya,
walaupun perkembangbiakan dapat terjadi.
Salmonella penyebab gastroenteritis ditandai oleh gejala-gejala
yang umumnya nampak 12-36 jam setelah makan bahan pangan yang
tercemar. Gejala-gejala tersebut adalah berak-berak (diarrhea), sakit
kepala, muntah-muntah dan demam dan dapat berakhir selama 1-7 hari.
Tingkat kematian kurang dari 1%, tetapi jumlah ini meningkat pada anak-
anak, orang tua atau orang yang lemah. Tempat terdapatnya jenis
mikroorganisme ini adalah pada alat-alat pencernaan hewan dan burung –
baik yang sudah diternakkan atau yang masih liar. Tempat diperolehnya
jenis organisme yang terbanyak yang sehubungan dengan suplai bahan
pangan manusia adalah sapi, domba, babi dan ayam (K.A. Buckle, 1987).
Rentang tumbuh bakteri salmonella adalah pada suhu ( minimum :
5 C – 7oC, optimum : 35oC – 37oC, maksimum : 47oC ), pH 4,5 – 9,0 (
o

optimum 6,5 – 7,5 ), garam ( relative sensitive terhadap garam, konsentrasi


maksimum untuk pertumbuhan adalah 5,3 %. Bakteri ini dapat tumbuh
baikpada suhu kamar dan pada makanan yang berasam rendah. Pemanasan
yang direkomendasikan untuk menghancurkan Salmonella adalah suhu
66oC selama paling sedikit 20 menit (Winarno, 1982).
2. Clostridium perfringens
Clostridium perfringens adalah gram positif, pembentu spora,
bakteri berbentuk batang yang tidak bergerak dan anaerobik. Keracunan
bahan pangan yang tercemar oleh organisme ini selalu sehubungan dengan
penggunaan produk daging dan ayam – terutama potongan daging atau
daging panggang dalam ukuran besar atau daging kalkun yang diisi
bumbu-bumbu (stuffed turkeys) dan ayam yang dimasak kurang sempurna
dan dibiarkan dingin perlahan-lahan atau disimpan pada suhu kamar.
Sebagai pembentuk spora, organisme itu dapat hidup saat bahan dimasak
dan pada pendinginan selanjutnya spora-spora tersebut berkembang biak.
Pertumbuhan dapat cepat terjadi terutama pada bahan pangan berukuran
besar karena bagian dalamnya bersifat anaerobik. Clostridium perfringens
berkembang biak cepat sekali pada suhu antara 370 – 550C dengan
pembelahan sel terjadi setiap 10-15 menit.
Gejala-gejala dari keracunan bahan pangan yang tercermar oleh
Clostridium perfringens akan nampak setelah 8-24 jam memakan bahan
pangan yang tercermar dan ditandai oleh sakit perut, diare, pusing tetapi
jarang terjadi muntah-muntah. Gejala-gejala tersebut dapat berlangsung
terus untuk 12-24 jam. Jumlah dosis yang besar (108 sel) diperlukan untuk
bersifat infeksi dan setelah dimakan, organisme akan berkembang dalam
alat pencernaan karena itu menghasilkan racun yang menimbulkan gejala
patogenik.
Clostridium perfringens terdapat meluas di alam sekitar dan
mungkin merupakan bakteri patogen yang paling luas penyebarannya.
Bakteri ini telah berada secara alamiah dalam alat pencernaan manusia,
binatang dan burung yang sehat dan kemudian dikeluarkan ke tanah dan
air dimana organisme tersebut akan tetap dapat hidup untuk jangka waktu
cukup lama. Adanya organisme ini dalam produk sering digunakan
sebagai ukuran dari polusi kotoran (faecal pollution). Produk-produk
daging dan ayam seringkali tercemar oleh organisme ini (K.A. Buckle,
1987). Cara pencegahan infeksi oleh C. perfringens adalah (1)
pendinginan yang cukup dan cepat dari daging dan makanan lain yang
telah dimasak; (2) menjaga makanan tetap panas di atas 60oC; (3)
pemanasan kembali makanan yang dibiarkan lama pada suhu kamar; dan
(4) hygiene pekerja yang baik (Winarno, 1982).
3. Staphylococcus aureus
Sel-sel Staphylococcus aureus adalah gram positif berbentuk bola
yang umumnya tersusun berkelompok seperti buah anggur. Bakteri ini
tidak bergerak, fakultatif anaerob dan dapat tumbuh pada produk-produk
yang mengandung NaCl sampai 16%. Secara ekologis, Staphylococcus
aureus erat sekali hubungannya dengan manusia dan hewan lainnya –
terutama pada bagian kulit, hidung, dan tenggorokan. Dengan demikian
makanan kebanyakan tercemar melalui pengelolaan oleh manusia. Secara
keseluruhan, organisme ini tidak kuat bersaing dengan lainnya dan
akibatnya bakteri ini tidak mempunyai peran yang berarti pada bahan-
bahan pangan yang tidak dimasak. Akan tetapi, dalam bahan pangan yang
telah dimasak atau diasin, dimana organisme-organisme yang ada telah
rusak oleh pemanasan atau pertumbuhannya terhambat oleh konsentrasi
garam, sel-sel Staphylococcus aureus dapat terus berkembang mencapai
tingkat yang membahayakn. Keracunan karena bahan pangan yang
tercemar Staphylococcus aureus kebanyakan berhubungan dengan produk
bahan pangan yang telah dimasak terutama yang dikelola oleh manusia
seperti daging dan ayam yang dimasak, udang kupas yang dimasak, ham,
bacon, lunch meats dan produk-produk susu seperti kue-kue krim (cream
cakes), custard pies dan keju. Gejala-gejala dari keracunan bahan pangan
yang tercemar oleh Staphylococcus aureus adalah yang bersifat
intoksikasi. Pertumbuhan organisme ini dalam bahan pangan
menghasilkan racun enterotoksin, dimana apabila termakan dapat
mengakibatkan serangan mendadak yaitu kekejangan pada perut dan
muntah-muntah yang hebat. Diare dapat juga terjadi. Penyembuhannya
cukup cepat dan umumnya sehari. Untuk menghasilkan enterotoksin yang
cukup dalam produk untuk bersifat meracuni dibutuhkan kira-kira 106
sel/g (K.A. Buckle, 1987).
4. Escherichia coli
Escherichia coli terdapat secara normal dalam alat-alat pencernaan
manusia dan hewan. Bakteri ini adalah gram negatif, bergerak, berbentuk
batang, bersifat fakultatif anaerob dan termasuk golongan
Enterobacteriaceae. Suatu serotipe tertentu bersifat enteropathogenic dan
dikenal sebagai penyebab diare pada bayi. Beberapa galur lainnya juga
sebagai penyebab diare pada orang dewasa. Organisme ini berada di dapur
dan tempat-tempat persiapan bahan pangan melalui bahan baku dan
selanjutnya masuk ke makanan yang telah dimasak melalui tangan,
permukaan alat-alat, tempat-tempat masakan dan peralatan lain. Masa
inkubasi adalah 1-3 hari dan gejala-gejalanya menyerupai gejala-gejala
keracunan bahan pangan yang tercemar oleh Salmonella atau disentri
(K.A. Buckle, 1987).
Makanan yang umum terkontaminasi adalah susu, air minum,
daging, keju dan lain-lain. Untuk mencegah infeksi ini antara lain
makanan perlu dimasak dengan baik, menjaga higiene pekerja, air dijaga
dan diberi perlakuan misalnya dikhlorinasi (Winarno, 1982).
5. Shigella
Shigella ternasuk golongan Enterobacteriaceae dan terdapat empat
spesies yaitu Shigella sonnei, Sh. boydii, Sh. flexneri, dan Sh. dysenteriae
dan sel-sel ini adalah gram negatif, tidak bergerak, berbentuk batang dan
bersifat fakultatif anaerob. Perbedaan jenis-jenis ini dibandingkan dengan
jenis Salmonella dan Escherichia coli adalah ketidakmampuannya unutk
memfermentasikan laktosa dan menghasilkan hidrogen sulfida. Shigella
dapat mengakibatkan infeksi akut dari usus yang ditandai oleh diare yang
disertai dengan demam dan muntah-muntah. Masa inkubasinya sekitar 1-7
hari. Sel-sel tersebut menyerang jaringan epitel usus menyebabkan ulserasi
(luka-luka) sehingga kotoran seringkali bercampur darah, lendir, dan
nanah. Dosis infeksi cukup sedikit yaitu 100-200 sel hidup. Kejadian
shigellosis di negara-negara yang maju umumnya cukup rendah (sekitar
5%), tetapi mungkin lebih tinggi daripada yang umumnya diperkirakan. Di
negara-negara yang sedang berkembang seperti di negara-negara Asia
Tenggara, kejadian shigellosis ini diduga cukup tinggi dan lebih banyak
terdapat penyakit disentri yang lebih serius yang disebabkan oleh Shigella
dysenteriae.
Terdapatnya jenis Shigella di lingkungan sekitar tidak sepenuhnya
dipahami, karena tidak dimilikinya metode isolasi dan enumerasi yang
cocok. Susu dan tiram (oyster) diduga ada hubungannya dengan kejadian
shigellosis dan karen dosis infeksi yang rendah maka suplai air yang
terkontaminasi juga diperkirakan merupakan penyebab penting dari
penyakit ini. Shigella tidak terdapat pada hewan, sehingga terdapatnya
pada bahan pangan adalah sebagai akibat pencemaran oleh para pengelola
yang telah terinfeksi atau air yang tercemar. Karena ruang ekologis
organisme ini adalah usus manusia, maka air tercemar melalui kotoran
(K.A. Buckle, 1987).

E. Pestisida
Pestisida berasal dari kata pest dan sida (cide). Pest artinya hama,
sedangkan sida artinya pembunuh (racun) jadi pestisida bearti pembunuh
hama. Jenis-jenis pestisida yang kit akenal adalah insektisida (racun
serangga), fungisida (racun jamur), bakterisida (racun bakteri), akarisida
(racun tungau), rodentisida (racun tikus), nematisida (racun nematode), dan
herbisida (racun herbal/gulma).
Nama-nama pestisida yang diperdagangkan biasanya terdiri dari nama
umum yang diusulkan oleh organisasi profesi, nama dagang yang dibuat oleh
produsen atau distributornya, dan nama kimiawi yang digunakan oleh ahli
kimia untuk menjelaskan senyawa kimia pada insektisida tersebut. Sebagai
contoh, insektisida Furadan 3G mempunyai nama dagang Furadan 3G, nama
umum karbofuron, dan nama kimianya 2,3 – dihidro 2,2 – dimetil – 7 –
benzoil metal karbonat.
Sebagian besar pestisida khususnya insektisida yang digunakan saat ini
merupakan racun saraf. Insektisida jenis ini bekerja dengan jalan mengganggu
koordinasi saraf. Di samping itu juga ada insektisida yang cara membunuhnya
melalui pernapasan, racun otot, dan racun fisik.
Menurut cara masuknya ke dalam tubuh serangga, insektisida dibagi
menjadi racun perut, racun kontak, dan fumigant. Racun perut menunjukkan
bahwa masuknya, insektisida tersebut melalui perut. Racun kontak
menunjukkan bahwa masuknya insektisida melalui kontak serangga dengan
insektisida. Fumigan menunjukkan insektisida tersebut masuk ke dalam tubuh
melalui sistem pernapasan. Pada saat ini ada racun sistemik yang
menunjukkan bahwa insektisida tersebut dapat ditranslokasikan ke seluruh
bagian tanaman dan akan meracuni hama apabila bagian tanaman yang sudah
mengandung insektisida dimakan hama. Jadi racun sistemik sebenarnya
merupakan racun perut.
Setelah DDT dan pestisida golongan hidrokarbon ber-klor lainnya
dilarang karena banyak menimbulkan masalah lingkungan, golongan pestisida
yang banyak diperdagangkan sekarang adalah insektisida organik sintetik
yang termasuk golongan organofosfat, karbonat, penghambat khitin, dan
phiretroid sintetik. Selain itu, juga terdapat pestisida organik yang diambil dari
bahan-bahan alami berupa tanaman dan pestisida microbe yang mengandung
microorganisme pembunuh serangga hama.
Pestisida diperdagangkan dalam berbagai bentuk, ada yang berbentuk
cairan, tepung, dan butiran. Pestisida yang diperdagangkan tersebut
merupakan campuran bahan aktif yang beracun terhadap hama ditambah
sinergis dan bahan-bahan lainnya sehingga memungkinkan pestisida tersebut
lebih efektif, praktis, dan efisien.Yang dimaksud dengan sinergis ialah suatu
bahan yang tidak beracun terhadap serangga, tetapi bila dicampur dengan
bahan aktif akan meningkatkan daya racunnya. Bahan-bahan lain yang
dicampurkan pada pestisida biasanya ditujukan untuk meningkatkan daya
lekat, daya campur, tekanan permukaan, persistensinya di lingkungan, dan
sebagai pembawa insektisida di lapangan. Campuran bahan aktif, sinergis, dan
bahan-bahan lain disebut formulasi ( Khaerudin, 1996).

F. Higiene Sanitasi
1. Pengertian Secara Umum
Sanitasi merupakan bagian penting dalam proses pengolahan pangan
yang harus dilaksanankan dengan baik. Sanitasi dapat didefinisikan
sebagai usaha pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau
mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan rantai
perpindahan penyakit tersebut. Secara luas, ilmu sanitasi merupakan
penerapan penerapan dari prinsip-prinsip yang akan membantu
memperbaiki, mempertahankan, atau mengendalikan kesehatan yang baik
pada manusia ( Purnawijayanti, 2001).
Berkaitan dengan proses pengolahan pangan secara kusus
mendefinisikan sanitasi sebagai penciptaan atau pemeliharaaan kondisi
yang mampu mencegah terjadinya kontaminasi makanan atau terjadinya
penyakit yang disebabkan oleh makanan.
Karena keterlibatan manusia dalam proses pengolahan pangan
sangat besar, penerapan sanitasi pada personil yang terlibat di dalamnya
perlu mendapat perhatian kusus. Dalam hal ini pemahaman mengenai
higine perorangan yang terlibat dalam pengolahan makanan, sangat
penting. Dalam Ensiklopedi Indonesia (1982) disebutkan bahwa
pengertian higiene adalah ilmu yang berhubungan dengan masalah
kesehatan, serta berbagai usaha untuk mempertahankan atau untuk
memperbaiki kesehatan. Higiene juga mencakup upaya perawatan
kesehatan diri, termasuk ketetapan sikap tubuh.
2. Sanitasi Pekerja
Ada 3 kelompok penderita penyakit yang tidak boleh dilibatkan
dalam penanganan makanan, yaitu penderita penyakit infeksi saluran
pernafasan, pencernaan, dan penyakit kulit. Ketiga jenis penyakit ini
dapat dipindahkan kepada orang lain melalui makanan yang diolah atau
disajikan penderita, Orang sehat pun sebetulnya masih milyaran
mikroorganisme di dalam mulut, hidung, kulit, dan saluran pencernaannya.
Akan tetapi kebanyakan mikroorganisme ini tidak berbahaya, meskipun
ada pula beberapa jenis bakteri yang dapat menimbulkan penyakit kepada
manusia. Dengan demikian, pekerja harus mengikuti prosedur sanitasi
yang memadai untuk mencegah kontaminasi pada makanan yang
ditanganinya. Prosedur yang penting bagi pekerja pengolahan makanan
adalah pencucian tangan, kebersihan, dan kesehatan diri.
a. Pencucian Tangan
Tangan yang kotor atau terkontaminasi dapat memindahkan
bakteri dan virus parogen dari tubuh, feces, atau sumber lain ke
makanan. Oleh karena itu pencucian tangan merupakan hal pokok
yang harus dilakukan oleh pekerja yang terlibat dalam penanganan
makanan. Pencucian tangan, meskipun tampaknya merupakan kegiatan
ringan dan sering disepelekan, terbukti cukup efektif dalam upaya
mencegah kontaminasi pada makanan. Pencucian tangan dengan sabun
dan diikuti dengan pembilasan akan menghilangkan mikrobia yang
terdapat pada tangan. Kombinasi antara aktivitas sabun sebagai
pembersih, penggosokan, dan aliran air akan menghanyutkan partikel
kotoran yang banyak mengandung mikrobia.
Frekuensi pencucian tangan disesuaikan dengan kebutuhan.
Pada prinsipnya pencucian tangan dilakukan setiap saat, setelah tangan
menyentuh benda-benda yang dapat menjadi sumber kontaminan atau
cemaran. Berikut ini adalah beberapa pedoman praktis, pencucian
tangan yang harus dilakukan:
1. Sebelum memulai pekerjaan dan pada waktu menanani kebersihan
tangan harus dijaga.
2. Sesudah waktu istirahat.
3. Sesudah melakukan kegiatan-kegiatan pribadi misalnya merokok,
makan, minum, bersin, batuk, dan setelah menggunakan
toilet/kamar mandi (buang air kecil atau besar).
4. Setelah menyentuh benda-benda yang dapat menjadi sumber
kontaminan misalnya telepon, uang, kain atau baju kotor, bahan
makan mentah atau pun segar, daging, cangkang telur, dan
peralatan kotor.
5. Setelah mengunyah permen karet atau setelah menggunakan tusuk
gigi.
6. Setelah menyentuh kepala, rambut, hidung, mulut, dan bagian–
bagian tubuh yang terluka.
7. Setelah menangani sampah serta kegiatan pembersihan. Misalnya,
menyapu atau memungut benda yang terjatuh dilantai.
8. Sesudah menggunakan bahan-bahan pemersih dan atau sanitaiser
kimia.
9. Sebelum dan sesudah menggunakan sarung tangan kerja.
Fasilitas yang diperlukan untuk pencucian tangan yang memadai
adalah bak cuci tangan yang dilengkapi dengan saluran pembuangan
tertutup, kran air panas, sabun, dan handuk kertas atau tissue atau
mesin pengering. Bak air yang digunakan untuk pencucian tangan
harus terpisah dari bak pencucian peralatan dan bak untuk preparasi
makanan. Jumlah fasilitas cuci tangan disesuaikan dengan jumlah
karyawan. Satu bak pencuci tangan disediakan maksimal untuk 10
orang karyawan. Tempat cuci tangan harus diletakkan sedekat
mungkin dengan tempat kerja ( Purnawijayanti, 2001 ).
b. Kebersihan dan Kesehatan Diri
Syarat utama pengolahan makanan adalah memiliki kesehatan
yang baik. Untuk itu disarankan pekerjaan melakukan tes kesehatan,
terutama tes darah dan pemotretan Rontgen pada dada untuk melihat
kesehatan paru-paru dan saluran pernapasan. Tes kesehatan tersebut
sebaiknya diulang setiap 6 bulan sekali, terutama bagi pengolahan
makanan di dapur rumah sakit.
Ada beberapa kebiasaan yang perlu dikembangkan oleh para
pengolah makanan, untuk menjamin keamanan makanan yang
diolahnya. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Berpakaian dan Berdandan
Pakaian pengolahan dan penyajian makanan harus selalu
bersih. Apabila tidak ada ketentuan khusus untuk penggunaan
seragam, pakaian sebaiknya tidak bermotif dan berwarna terang.
Hal ini dilakukan agar pengotoran pada pakaian mudah dilihat.
Pakaian kerja sebaiknya dibedakan dari pakaian harian. Disarankan
untuk mengganti dan mencuci pakaian secara periodik, untuk
mengurangi risiko kontaminasi.
Pekerja harus mandi setiap hari. Pengunaan make-up dan
deodoran yang berlebihan harus dikurangi. Kuku pekerja harus
selalu bersih, dipotong pendek, dan sebaiknya tidak dicat.
Perhiasan dan asesoris misalnya cincin, kalung, anting, dan jam
tangan sebaiknya dilepas, sebelum pekerja memasuki daerah
pengolahan makanan. Kulit di bagian bawah perhiasan sering
sekali menjadi tempat yang subur untuk tumbuh dan berkembang
biak bakteri.
Celemek (apron) yang digunakan pekerja harus bersih dan
tidak boleh digunakan sebagai lap tangan. Setelah tangan
menyantuh celemek, sebaiknya segera dicuci menurut menurut
prosedur yang telah dijelaskan. Celemek harus ditanggalkan bila
pekerja meninggalkan ruangan pengolahan. Pekerja juga harus
memakai sepatu yang memadai dan selalu alam keadaan bersih.
Sebaiknya dipilih sepatu yang tidak terbuka pada bagian jari-jari
kakinya. Sepatu boot disarankaan untuk dipilih (Purnawijayanti,
2001).
2. Rambut
Rambut pekerja harus selalu dicuci secara periodik. Selama
mengolah atau menyajikan makanan harus dijaga agar rambut tidak
terjatuh kedalam makanan. Meskipun rambut yang jatuh bukan
penyebab utama kontaminasi bakteri, tetapi adanya rambut dalam
makanan amat tidak disukai oleh konsumen. Oleh karena itu
pekerja yang berambut panjang harus mengikat rambutnya, dan
disarankan menggunakan topi /tutup kepala atau jala rambut.
Setiap kali tangan menyentuh, menggaruk, menyisir, atau menyikat
rambut, harus segera dicuci sebelum digunakan lagi untuk
menangani makanan. Untuk pekerja laki-laki yang memiliki kumis
atau jenggot selalu menjaga kebersihan dan kerapiannya. Tetapi
akan lebih baik jika kumis atau jengot tersebut dicukur bersih
(Purnawijayanti, 2001).
3. Kondisi Sakit
Pekerja yang sedang sakit flu, demam, atau diare sebaiknya
tidak dilibatkan terlebih dahulu dalam proses pengolahan makanan,
sampai gejala-gejala penyakit tersebut hilang. Pekerja yang
memiliki luka pada tubuhnya harus menutup luka tersebut dengan
menutup pelindung dengan pelindung yang kedap air, misalnya
plester, sarung tangan plastik atau karet, untuk menjamin tidak
terpindahnya mikrobia yang terdapat pada luka ke dalam makanan.
Selain hal-hal tersebut di atas, berikut ini ada beberapa hal
yang harus diperhatikan oleh pekerja yang terlibat dalam
pengolahan makanan, sebagai berikut:
a. Tidak merokok, makan, atau mengunyah (misalnya permen
karet, tembakau, dan lain-lain) selama melakukan aktivitas
penanganan makanan.
b. Tidak meludah atau membuang ingus di dalam daerah
pengolahan.
c. Selalu menutup mulut dan hidung pada waktu batuk atau
bersin. Sedapat mungkin batuk dan bersin tidak di dekat
makanan.
d. Tidak mencicipi atau menyentuh makanan dengan tangan atau
jari. Gunakan sendok bersih, spatula, penjepit atau peralatan
lain yang sesuai.
e. Sedapat mungkin tidak sering menyentuh bagian tubuh
misalnya mulut, hidung, telinga, atau menggaruk bagian-
bagian tubuh pada waktu menangani makanan.
f. Seminimal mungkin menyentuh makanan yang siap disajikan
dengan mengunakan tangan. Pada waktu memegang gelas
minum pun dilarang untuk menyentuh bibir gelas.
g. Jangan sekali-kali duduk di atas meja kerja.
3. Sanitasi Peralatan
Peralatan dapur harus segera dibersihkan dan disanitasi/
desinfeksikan (dibersihkan agar tidak terkontaminasi kembali) untuk
mencegah kontaminasi silang pada makanan, baik pada tahap persiapan,
pengolahan, penyimpanan sementara, maupun penyajian. Diketahui
bahwa pada peralatan dapur seperti alat pemotong, papan pemotong
(talenan), dan alat saji merupakan sumber kontaminan potensial bagi
makanan (Purnawijayanti, 2001).
Frekuensi pencucian dari alat dapur tergantung pada jenis alat yang
digunakan. Alat saji dan alat masak harus dicuci, dibilas, dan disanitasi
segera setelah digunakan. Permukaan peralatan yang secara langsung
kontak dengan makanan, seperti pemanggang atau oven (oven listrik, gas,
kompor,maupun microwave), dibersihkan paling sedikit satu kali sehari.
Peralatan bantu yang tidak secara langsung bersentuhan dengan makanan
harus dibersihkan sesuai kebutuhan untuk mencegah terjadinya akumulasi
debu, serpihan bahan atau produk makanan, serta kotoran lain
Kadang-kadang untuk membantu proses pembersihan peralatan.
diperlukan bantuan kain lap/serbet. Serbet makan yang digunakan
bersamaan dengan penyajian makanan harus bersih, kering dan tidak
digunakan untuk keperluan lain. Serbet atau spon yang digunakan untuk
melap peralatan dapur yang secara langsung bersentuhan dengan makanan,
harus bersih dan sering dicuci serta disanitasi dengan bahan sanitaiser
yang sesuai. Serbet atau spon tersebut tidak boleh digunakan untuk
keperluan lain.
Pencucian dan sanitasi peralatan dapur dapat dilakukan secara
manual maupun secara mekanis dengan menggunakan mesin. Pencucian
manual diperlukan pada peralatan besar seperti oven, pemanggang, panci
perebus. Pencucian manual juga diterapkan pada pan, baskom adonan,
pengaduk, serta pisau.
Peralatan untuk pengovenan seperti loyang alumunium dicuci dan
dibersihkan untuk mencegah terjadinya akumulasi pada permukaannya.
Pembersihan menyeluruh dilakukan setiap kali setelah pemakaian.
Peralatan kemudian dicuci dengan larutan deterjen, setelah semua kotoran
dihilangkan, peralatan kemudian dibilas, dikeringkan, dan disimpan dirak
/lemari.
Oven konvensional dibersihkan minimal satu kali sehari, setelah
oven didinginkan. Semua makanan yang tercecer di dalam oven harus di
keluarkan. Sisa makanan yang menempel pada rak pemanggang harus
dikeruk. Ruangan oven dilap dengan kain basah yang mengandung larutan
deterjen, dilanjutkan pembilasan dan pengeringan. Memercikan air secara
langsung ke dalam ruangan oven tidak diperbolehkan. Demikian pula
bahan pembersih basa kuat tidak boleh digunakan, karena dapat merusak
oven. Rak oven dapat dikeluarkan, dicuci, dibilas, dan dikeringkan. Bagian
luar dari oven dapat dicuci dengan larutan deterjen panas, kemudian
dibilas dan dikeringkan ( Purnawijayanti, 2001 ).
4. Sanitasi Ruang Pengolahan Makanan
Ruang pengolahan makanan atau dapur juga berperan penting
dalam menentukan berhasil atau tidaknya upaya sanitasi makanan secara
keseluruhan. Dapur yang bersih dipelihara dengan baik akan merupakan
tempat yang higienis sekaligus menyenangkan tempat kerja. Dapur seperti
itu juga dapat menimbulkan citra (image) yang baik bagi institusi yang
bersangkutan.Dua hal yang menentukan dalam menciptakan dapur yang
saniter adalah kontruksi dapur dan tata letak.
a. Kontruksi Dapur
Salah satu hal utama yang perlu diperhatikan dalam merencanakan
dapur yang baik, adalah kontruksi bangunan yang anti tikus. Tikus
merupakan pembawa mikroba patogen, serta merusak bahan makanan
selama penyimpanan. Lubang-lubang yang ada di dalam dapur yang dapat
menjadi pintu keluar masuk tikus yang harus ditutup dengan kawat kasa
langit-langit dan dinding dapur sebaiknya dibuat dari bahan-bahan yang
tidak menyerap partikel dan mudah dicuci. Lantai dapur dan daerah
penyajian sebaiknya dari keramik atau bahan-bahan lain yang tidak licin
(Purnawijayanti, 2001 ).
Sistem ventilasi dapur harus dibuat sedemikian rupa, sehingga
dapat dihindari terjadinya kondensasi di ruangan dapur yang dapat
memacu pertumbuhan jamur dan baktei. Ventilasi yang baik didisain
untuk dapat mengeluarkan asap, uap, kondensasi, kelebihan panas, dan
bau dari ruangan. Dengan demikian, dapur memerlukan alat penghisap,
atau paling tidak dilengkapi cerobong dengan sungkup asap
(Purnawijayanti, 2001 ).
Pencahayaan yang memadai sangat penting untuk menjamin
bahwa peralatan yang digunakan di dapur dan di ruangan penyajian dalam
keadaan bersih. Selain itu pencahayaan yang memadai juga sangat penting
untuk menjamin keberhasilan pekerjaan, pengolahan, penyajian, dan
penyimpanan makanan.
Kontruksi dapur sebaiknya menghindari terbentuknya sudut-
sudut dan celah mati yang sulit dibersihkan. Bagian ruang seperti ini
kemungkinan besar akan menjadi tempat akumulasi kotoran, atau
tempat bersarangnya serangga dan hewan pengerat.
b. Tata Letak Dapur
Tata letak peralatan dapur yang baik pada dasarnya harus
memenuhi tuntutan yaitu:
1. Memungkinkan dilakukannya pekerjaan pengolahan makanan
secara runtut dan efisien.
2. Terhindarnya kontaminasi silang produk makanan dari bahan
mentah, peralatan kontor, dan limbah pengolahan.
Penataan alat pengolahan dan fasilitas penunjang mengikuti
urutan pekerjaan yang harus dilalui, dari bahan mentah sampai
makanan siap disajikan, yaitu mulai preparasi, pengolahan atau
pemasakan, dan penyajian.
Kontaminasi silang produk makanan dari bahan mentah dapat
dihindari apabila jalur yang ditempuh produk makanan terpisah dari
jalur bahan mentah. Penanganan peralatan kotor harus menggunakan
fasilitas penampung air yang berbeda dengan yang akan digunakan
untuk pengolahan. Fasilitas penyimpanan untuk makanan masak
dipisahkan dari makanan mentah.
Sanitasi dapur dapat diupayakan dengan pembersihan secara
rutin, diikuti aplikasi sanitasi apabila diperlukan. Makanan yang
tercecer dilantai harus segera dibersihkan. Lantai juga harus disapu
dan dipel setiap hari dengan cairan sanitaiser. Dinding dan langit harus
dibersihkan sekurang-kurangnnya 1 bulan sekali, dengan metode
pembersihan yang sesuai. Misalnya dengan menggunakan busa
(Purnawijayanti, 2001).
G. Air
Air merupakan komoditi yang sangat penting untuk persiapan bahan
pangan. Air juga digunakan untuk mencuci bahan pangan sebelum dimasak,
dan bahkan sering digunakan sebagai medium untuk masak. Di samping itu,
air juga diperlukan untuk membersihkan alat sebelum dan sesudah persiapan
dan pengolahan. Di industri minuman, air bahkan merupakan bahan utama
yang sangat penting. Karena itu, seluruh air yang akan digunakan untuk tujuan
minum dan memasak harus bebas dari bakteri patogen yang membahayakan
kesehatan manusia (Winarno, 1993).
Air yang digunakan untuk membuat es harus memenuhi persyaratan air
minum. Es sering digunakan untuk mendinginkan makanan atau ditambahkan
pada minuman dingin. Dapat dibayangkan bila es yang kita konsumsi berasal
dari air yang tidak bersih (Winarno, 1993).
Beberapa jenis penyakit yang dapat disebarkan melalui air yang
terkontaminasi adalah kolera, tipus, paratipus, disentri basiler, serta disentri
amuba.
Yang disebut air minum adalah air yang bebas dari bakteri patogen, enak
rasanya dan pantas untuk diminum oleh manusia, dalam bahasa Inggris
disebut palatable. Suatu contoh, air mungkin mengandung garam dan mineral
yang terlarut, yang memberi rasa dan bau nimbrah atau amis, maka untuk
memenuhi persyaratan air minum, air itu masih harus mendapat perlakuan
khusus untuk menghilangkan garam dan mineral yang terlarut tersebut.
Persediaan air minum di perusahaan catering dan restoran, yang cukup
jumlahnya serta memenuhi persyaratan, mutlak perlu. Demikian juga halnya
di tempat-tempat lain seperti asrama, kafetaria, restoran, dan hotel (Winarno,
1993).
Air buangan dapat merupakan wahana bagi berbagai jenis bakteri
patogen. Hal ini disebabkan banyak di antara orang yang sehat bertindak
sebagai carrier, tanpa dia sendiri terserang. Orang-orang yang sedang
menderita penyakit usus juga akan meningkatkan jumlah bakteri patogen
dalam air got (Winarno, 1993).
Sistem pembuangan kotoran manusia sering kurang mendapat perhatian
khusus, terutama di daerah perkotaan yang padat penduduknya. Tempat
pembuangan dan penampungan kotoran manusia yangb terlalu dekat dengan
sumur, danau atau air sungai, akan meningkatkan penyebaran dan kontaminasi
(Winarno, 1993).
Bila air tersebut akan digunakan, tentu saja dapat merupakan sumber
kontaminasi yang membahayakan. Dalam banyak hal, masalahnya bukan
karena mereka itu tidak tahu arti air bersih, tetapi karena terpaksa , sumber air
yang tersedia memang tidak memberi pilihan lain.
Tidak tersedianya sistem pembuangan yang memadai dapat
menyebabkan penimbunan comberan-comberan yang bau yang menjadi
tempat ideal bagi berkembangnya nyamuk dan lalat. Serangga-serangga
tersebut menyebarkan kuman penyakit dari tempat-tempat pembuangan tadi
ke tempat-tempat lain di sekitarnya sehingga menimbulkan masalah
kesehatan. Berbagai jenis makanan yang dihidangkan terbuka atau makanan
jajanan yang dijajakan tidak tertutup mudah terkontaminasi oleh lalat-lalat
tersebut (Winarno, 1993).
Di daerah perkotaan, yang pipa saluran air PAM-nya sudah tua dan
banyak bocor, apalagi bila air tidak mengalir selam 24 jam, sulit untuk
mempunyai tekanan air yang positif di sepanjang saluran air, dengan demikian
peluang masuknya air kotor ke dalam saluran air tersebut lebih besar.
Limbah industri yang sering dibuang ke dalam sungai merupakan
sumber kontaminasi lain yang sangat serius. Jenis kotoran tersebut banyak
menghabiskan oksigen dalam air dengan akibat banyak iakan dan makhluk air
lainnya tidak tahan hidup, mati dan mengakibatkan bau busuk tidak sedap
(Winarno, 1993).

H. Kelapa
Kelapa termasuk tumbuhan berkeping satu (monocotyledonae), berakar
serabut, dan termasuk golongan palem (palmae). Kelapa (Cocos nucifera L) di
Jawa Timur dan Jawa Tengah dikenal denagan sebutan kelopo atau krambil.
Di Belanda masyarakat mengenalnya sebagai kokosnoot atau klapper,
sedangkan orang Inggris menyebutnya coconut. Orang Jerman menyebutnya
cocosnoot, sedangkan bangsa Prancis menyebutnya cocotier.
Adanya berbagai macam nama kelapa tersebut menandakan bahwa
tanaman kelapa cukup dikenal di dunia. Hampir semua daerah beriklim tropis
yang memenuhi syaray tumbuhnya kelapa terdapat tanaman kelapa. Tanaman
kelapa menurut varietasnya dibagi menjadi tiga golongan yaitu golongan
kelapa dalam, golongan kelapa genjah, dan golongan kelapa hibrida. Menurut
warna kulit buahnya, tanaman kelapa dibagi menjadi tiga golongan utama
yaitu kelapa hijau, kelapa cokelat, dan kelapa kuning.

I. Kerangka Konsep

Pengolahan
Bahan Pangan telur ayam Produk yang aman

Pengawasan Mutu Makanan


HACCP

Anda mungkin juga menyukai