Diabetes Melitus ( DM ) adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter, dengan tanda –
tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya gejala klinik akut ataupun
kronik, sebagai akibat dari kuranganya insulin efektif di dalam tubuh, gangguan primer terletak
pada metabolisme karbohidrat yang biasanya disertai juga gangguan metabolisme lemak dan
protein. ( Askandar, 2000).
Gangren adalah proses atau keadaan yang ditandai dengan adanya jaringan mati atau nekrosis,
namun secara mikrobiologis adalah proses nekrosis yang disebabkan oleh infeksi. ( Askandar,
2001 ).
Gangren Kaki Diabetik adalah luka pada kaki yang merah kehitam-hitaman dan berbau busuk
akibat sumbatan yang terjadi di pembuluh darah sedang atau besar di tungkai. ( Askandar, 2001).
1. Anatomi Fisiologi
Pankreas merupakan sekumpulan kelenjar yang panjangnya kira – kira 15 cm, lebar 5 cm, mulai
dari duodenum sampai ke limpa dan beratnya rata – rata 60 – 90 gram. Terbentang pada
vertebrata lumbalis 1 dan 2 di belakang lambung.
Pankreas merupakan kelenjar endokrin terbesar yang terdapat di dalam tubuh baik hewan
maupun manusia. Bagian depan (kepala) kelenjar pankreas terletak pada lekukan yang dibentuk
oleh duodenum dan bagian pilorus dari lambung. Bagian badan yang merupakan bagian utama
dari organ ini merentang ke arah limpa dengan bagian ekornya menyentuh atau terletak pada alat
ini. Dari segi perkembangan embriologis, kelenjar pankreas terbentuk dari epitel yang berasal
dari lapisan epitel yang membentuk usus.
Pulau – pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pamkreas tersebar di seluruh
pankreas dengan berat hanya 1 – 3 % dari berat total pankreas. Pulau langerhans berbentuk ovoid
dengan besar masing-masing pulau berbeda. Besar pulau langerhans yang terkecil adalah 50 m,
sedangkan yang terbesar 300 m, terbanyak adalah yang besarnya 100 – 225 m. Jumlah semua
pulau langerhans di pankreas diperkirakan antara 1 – 2 juta.
(1). Sel – sel A ( alpha ), jumlahnya sekitar 20 – 40 % ; memproduksi glikagon yang manjadi
faktor hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai “ anti insulin like activity “.
Masing – masing sel tersebut, dapat dibedakan berdasarkan struktur dan sifat pewarnaan. Di
bawah mikroskop pulau-pulau langerhans ini nampak berwarna pucat dan banyak mengandung
pembuluh darah kapiler. Pada penderita DM, sel beha sering ada tetapi berbeda dengan sel beta
yang normal dimana sel beta tidak menunjukkan reaksi pewarnaan untuk insulin sehingga
dianggap tidak berfungsi.
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 untuk insulin manusia. Molekul
insulin terdiri dari dua rantai polipeptida yang tidak sama, yaitu rantai A dan B. Kedua rantai ini
dihubungkan oleh dua jembatan ( perangkai ), yang terdiri dari disulfida. Rantai A terdiri dari 21
asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin dapat larut pada pH 4 – 7 dengan
titik isoelektrik pada 5,3. Sebelum insulin dapat berfungsi, ia harus berikatan dengan protein
reseptor yang besar di dalam membrana sel.
Insulin di sintesis sel beta pankreas dari proinsulin dan di simpan dalam butiran berselaput yang
berasal dari kompleks Golgi. Pengaturan sekresi insulin dipengaruhi efek umpan balik kadar
glukosa darah pada pankreas. Bila kadar glukosa darah meningkat diatas 100 mg/100ml darah,
sekresi insulin meningkat cepat. Bila kadar glukosa normal atau rendah, produksi insulin akan
menurun.
Selain kadar glukosa darah, faktor lain seperti asam amino, asam lemak, dan hormon
gastrointestina merangsang sekresi insulin dalam derajat berbeda-beda. Fungsi metabolisme
utama insulin untuk meningkatkan kecepatan transport glukosa melalui membran sel ke jaringan
terutama sel – sel otot, fibroblas dan sel lemak.
1. Etiologi
1. Diabetes Melitus
DM mempunyai etiologi yang heterogen, dimana berbagai lesi dapat menyebabkan insufisiensi
insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas DM.
Faktor lain yang dianggap sebagai kemungkinan etiologi DM yaitu :
1. Kelainan sel beta pankreas, berkisar dari hilangnya sel beta sampai kegagalan sel beta
melepas insulin.
2. Faktor – faktor lingkungan yang mengubah fungsi sel beta, antara lain agen yang dapat
menimbulkan infeksi, diet dimana pemasukan karbohidrat dan gula yang diproses secara
berlebihan, obesitas dan kehamilan.
3. Gangguan sistem imunitas. Sistem ini dapat dilakukan oleh autoimunitas yang disertai
pembentukan sel – sel antibodi antipankreatik dan mengakibatkan kerusakan sel – sel
penyekresi insulin, kemudian peningkatan kepekaan sel beta oleh virus.
4. Kelainan insulin. Pada pasien obesitas, terjadi gangguan kepekaan jaringan terhadap
insulin akibat kurangnya reseptor insulin yang terdapat pada membran sel yang responsir
terhadap insulin.
5. Gangren Kaki Diabetik
Faktor – faktor yang berpengaruh atas terjadinya gangren kaki diabetik dibagi menjadi endogen
dan faktor eksogen.
b. Angiopati diabetik
c. Neuropati diabetik
b. Infeksi
c. Obat
4. Patofisiologis
a. Diabetes Melitus
Sebagian besar gambaran patologik dari DM dapat dihubungkan dengan salah satu efek utama
akibat kurangnya insulin berikut:
1. Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel – sel tubuh yang mengakibatkan naiknya
konsentrasi glukosa darah setinggi 300 – 1200 mg/dl.
2. Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak yang menyebabkan
terjadinya metabolisme lemak yang abnormal disertai dengan endapan kolestrol pada
dinding pembuluh darah.
3. Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh.
Pasien – pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa
plasma puasa yang normal atau toleransi sesudah makan. Pada hiperglikemia yng parah yang
melebihi ambang ginjal normal ( konsentrasi glukosa darah sebesar 160 – 180 mg/100 ml ), akan
timbul glikosuria karena tubulus – tubulus renalis tidak dapat menyerap kembali semua glukosa.
Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang menyebabkan poliuri disertai
kehilangan sodium, klorida, potasium, dan pospat. Adanya poliuri menyebabkan dehidrasi dan
timbul polidipsi. Akibat glukosa yang keluar bersama urine maka pasien akan mengalami
keseimbangan protein negatif dan berat badan menurun serta cenderung terjadi polifagi. Akibat
yang lain adalah astenia atau kekurangan energi sehingga pasien menjadi cepat telah dan
mengantuk yang disebabkan oleh berkurangnya atau hilangnya protein tubuh dan juga
berkurangnya penggunaan karbohidrat untuk energi.
Hiperglikemia yang lama akan menyebabkan arterosklerosis, penebalan membran basalis dan
perubahan pada saraf perifer. Ini akan memudahkan terjadinya gangren.
Ada dua teori utama mengenai terjadinya komplikasi kronik DM akibat hiperglikemia, yaitu
teori sorbitol dan teori glikosilasi.
1. Teori Sorbitol
Hiperglikemia akan menyebabkan penumpukan kadar glukosa pada sel dan jaringan tertentu dan
dapat mentransport glukosa tanpa insulin. Glukosa yang berlebihan ini tidak akan termetabolisasi
habis secara normal melalui glikolisis, tetapi sebagian dengan perantaraan enzim aldose
reduktase akan diubah menjadi sorbitol. Sorbitol akan tertumpuk dalam sel / jaringan tersebut
dan menyebabkan kerusakan dan perubahan fungsi.
2. Teori Glikosilasi
Akibat hiperglikemia akan menyebabkan terjadinya glikosilasi pada semua protein, terutama
yang mengandung senyawa lisin. Terjadinya proses glikosilasi pada protein membran basal dapat
menjelaskan semua komplikasi baik makro maupun mikro vaskular.
Terjadinya Kaki Diabetik (KD) sendiri disebabkan oleh faktor – faktor disebutkan dalam
etiologi. Faktor utama yang berperan timbulnya KD adalah angiopati, neuropati dan infeksi.
Neuropati merupakan faktor penting untuk terjadinya KD. Adanya neuropati perifer akan
menyebabkan terjadinya gangguan sensorik maupun motorik. Gangguan sensorik akan
menyebabkan hilang atau menurunnya sensasi nyeri pada kaki, sehingga akan mengalami trauma
tanpa terasa yang mengakibatkan terjadinya ulkus pada kaki gangguan motorik juga akan
mengakibatkan terjadinya atrofi otot kaki, sehingga merubah titik tumpu yang menyebabkan
ulsetrasi pada kaki pasien. Angiopati akan menyebabkan terganggunya aliran darah ke kaki.
Apabila sumbatan darah terjadi pada pembuluh darah yang lebih besar maka penderita akan
merasa sakit tungkainya sesudah ia berjalan pada jarak tertentu. Manifestasi gangguan pembuluh
darah yang lain dapat berupa : ujung kaki terasa dingin, nyeri kaki di malam hari, denyut arteri
hilang, kaki menjadi pucat bila dinaikkan. Adanya angiopati tersebut akan menyebabkan
terjadinya penurunan asupan nutrisi, oksigen (zat asam ) serta antibiotika sehingga menyebabkan
luka sulit sembuh ( Levin,1993). Infeksi sering merupakan komplikasi yang menyertai KD akibat
berkurangnya aliran darah atau neuropati, sehingga faktor angiopati dan infeksi berpengaruh
terhdap penyembuhan atau pengobatan dari KD.
5. Klasifikasi
Wagner ( 1983 ) membagi gangren kaki diabetik menjadi enam tingkatan , yaitu :
Derajat 0 : Tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh dengan kemungkinan
Derajat IV : Gangren jari kaki atau bagian distal kaki dengan atau tanpa selulitis.
Sedangkan Brand (1986) dan Ward (1987) membagi gangren kaki menjadi dua golongan :
Terjadi kerusakan syaraf somatik dan otonomik, tidak ada gangguan dari sirkulasi. Klinis di
jumpai kaki yang kering, hangat, kesemutan, mati rasa, oedem kaki, dengan pulsasi pembuluh
darah kaki teraba baik.
6. Dampak masalah
Adanya penyakit gangren kaki diabetik akan mempengaruhi kehidupan individu dan keluarga.
Adapun dampak masalah yang bisa terjadi meliputi :
1. Pada Individu
Pola dan gaya hidup penderita akan berubah dengan adanya penyakit ini, Gordon telah
mengembangkan 11 pola fungsi kesehatan yang dapat digunakan untuk mengetahui perubahan
tersebut.
Pada pasien gangren kaki diabetik terjadi perubahan persepsi dan tata laksana hidup sehat
karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gangren kaki diabetuk sehingga menimbulkan
persepsi yang negatif terhadap dirinya dan kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur
pengobatan dan perawatan yang lama, oleh karena itu perlu adanya penjelasan yang benar dan
mudah dimengerti pasien.
Akibat produksi insulin tidak adekuat atau adanya defisiensi insulin maka kadar gula darah tidak
dapat dipertahankan sehingga menimbulkan keluhan sering kencing, banyak makan, banyak
minum, berat badan menurun dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan
penderita.
1. Pola eliminasi
Adanya poliuri, nyeri pada kaki yang luka dan situasi rumah sakit yang ramai akan
mempengaruhi waktu tidur dan istirahat penderita, sehingga pola tidur dan waktu tidur penderita
mengalami perubahan.
Adanya luka gangren dan kelemahan otot – otot pada tungkai bawah menyebabkan penderita
tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal, penderita mudah mengalami
kelelahan.
Pasien dengan gangren cenderung mengalami neuropati / mati rasa pada luka sehingga tidak
peka terhadap adanya trauma.
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita mengalami gangguan
pada gambaran diri. Luka yang sukar sembuh, lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan
dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran pada keluarga (
self esteem ).
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi sehingga menyebabkan
gangguan potensi sek, gangguan kualitas maupun ereksi, serta memberi dampak pada proses
ejakulasi serta orgasme.
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, perasaan tidak berdaya karena
ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah
tersinggung dan lain – lain, dapat menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan
mekanisme koping yang konstruktif / adaptif.
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta luka pada kaki tidak
menghambat penderita dalam melaksanakan ibadah tetapi mempengaruhi pola ibadah penderita.
Dengan adanya salah satu anggota keluarga yang sakit dan dirawat di rumah sakit akan muncul
bermacam –macam reaksi psikologis dari kelurga, karena masalah kesehatan yang dialami oleh
seorang anggota keluarga akan mempengaruhi seluruh anggota keluarga. Waktu perawatan yang
lama dan biaya yang banyak akan mempengaruhi keadaan ekonomi keluarga dan perubahan
peran pada keluarga karena salah satu anggota keluarga tidak dapat menjalankan perannya.
1. Asuhan keperawatan
Dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien gangren kaki diabetik hendaknya dilakukan
secara komperhensif dengan menggunakan proses keperawatan.
Proses keperawatan adalah suatu metode sistematik untuk mengkaji respon manusia terhadap
masalah-masalah dan membuat rencana keperawatan yang bertujuan untuk mengatasi masalah –
masalah tersebut. Masalah-masalah kesehatan dapat berhubungan dengan klien keluarga juga
orang terdekat atau masyarakat. Proses keperawatan mendokumentasikan kontribusi perawat
dalam mengurangi / mengatasi masalah-masalah kesehatan.
Proses keperawatan terdiri dari lima tahapan, yaitu : pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah utama dan dasar utama dari proses keperawatan yang
mempunyai dua kegiatan pokok, yaitu :
1. Pengumpulan data
Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu dalam menentukan status
kesehatan dan pola pertahanan penderita , mengidentifikasikan, kekuatan dan kebutuhan
penderita yang dapt diperoleh melalui anamnese, pemeriksaan fisik, pemerikasaan laboratorium
serta pemeriksaan penunjang lainnya.
1. Anamnese
1. Identitas penderita
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, status perkawinan,
suku bangsa, nomor register, tanggal masuk rumah sakit dan diagnosa medis.
1. Keluhan Utama
Adanya rasa kesemutan pada kaki / tungkai bawah, rasa raba yang menurun, adanya luka yang
tidak sembuh – sembuh dan berbau, adanya nyeri pada luka.
Berisi tentang kapan terjadinya luka, penyebab terjadinya luka serta upaya yang telah dilakukan
oleh penderita untuk mengatasinya.
Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit – penyakit lain yang ada kaitannya dengan
defisiensi insulin misalnya penyakit pankreas. Adanya riwayat penyakit jantung, obesitas,
maupun arterosklerosis, tindakan medis yang pernah di dapat maupun obat-obatan yang biasa
digunakan oleh penderita.
1. Riwayat psikososial
Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang dialami penderita sehubungan
dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga terhadap penyakit penderita.
1. Pemeriksaan fisik
1. Status kesehatan umum
Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara, tinggi badan, berat badan dan tanda – tanda
vital.
Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran pada leher, telinga kadang-kadang
berdenging, adakah gangguan pendengaran, lidah sering terasa tebal, ludah menjadi lebih kental,
gigi mudah goyah, gusi mudah bengkak dan berdarah, apakah penglihatan kabur / ganda,
diplopia, lensa mata keruh.
1. Sistem integumen
Turgor kulit menurun, adanya luka atau warna kehitaman bekas luka, kelembaban dan shu kulit
di daerah sekitar ulkus dan gangren, kemerahan pada kulit sekitar luka, tekstur rambut dan kuku.
1. Sistem pernafasan
Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada. Pada penderita DM mudah terjadi infeksi.
1. Sistem kardiovaskuler
1. Sistem gastrointestinal
Terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, diare, konstipasi, dehidrase, perubahan berat badan,
peningkatan lingkar abdomen, obesitas.
1. Sistem urinary
Poliuri, retensio urine, inkontinensia urine, rasa panas atau sakit saat berkemih.
1. Sistem muskuloskeletal
Penyebaran lemak, penyebaran masa otot, perubahn tinggi badan, cepat lelah, lemah dan nyeri,
adanya gangren di ekstrimitas.
1. Sistem neurologis
Terjadi penurunan sensoris, parasthesia, anastesia, letargi, mengantuk, reflek lambat, kacau
mental, disorientasi.
1. Pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah meliputi : GDS > 200 mg/dl, gula darah puasa >120 mg/dl dan dua jam post
prandial > 200 mg/dl.
1. Urine
Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan dilakukan dengan cara
Benedict ( reduksi ). Hasil dapat dilihat melalui perubahan warna pada urine : hijau ( + ), kuning
( ++ ), merah ( +++ ), dan merah bata ( ++++ ).
1. Kultur pus
Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik yang sesuai dengan jenis kuman.
1. Analisa Data
Data yang sudah terkumpul selanjutnya dikelompokan dan dilakukan analisa serta sintesa data.
Dalam mengelompokan data dibedakan atas data subyektif dan data obyektif dan berpedoman
pada teori Abraham Maslow yang terdiri dari :
Data yang telah dikelompokkan tadi di analisa sehingga dapat diambil kesimpulan tentang
masalah keperawatan dan kemungkinan penyebab, yang dapat dirumuskan dalam bentuk
diagnosa keperawatan meliputi aktual, potensial, dan kemungkinan.
1. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon individu, keluarga atau komunitas
terhadap proses kehidupan/ masalah kesehatan. Aktual atau potensial dan kemungkinan dan
membutuhkan tindakan keperawatan untuk memecahkan masalah tersebut.
Adapun diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien gangren kaki diabetik adalah sebagai
berikut :
10. Ganguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri pada luka di kaki.
1. Perencanaan
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan, maka intervensi dan aktivitas keperawatan perlu
ditetapkan untuk mengurangi, menghilangkan, dan mencegah masalah keperawatan penderita.
Tahapan ini disebut perencanaan keperawatan yang meliputi penentuan prioritas, diagnosa
keperawatan, menetapkan sasaran dan tujuan, menetapkan kriteria evaluasi dan merumuskan
intervensi dan aktivitas keperawatan.
1. Diagnosa no. 1
Rencana tindakan :
Tinggikan kaki sedikit lebih rendah dari jantung ( posisi elevasi pada waktu istirahat ), hindari
penyilangkan kaki, hindari balutan ketat, hindari penggunaan bantal, di belakang lutut dan
sebagainya.
Rasional : meningkatkan melancarkan aliran darah balik sehingga tidak terjadi oedema.
Hindari diet tinggi kolestrol, teknik relaksasi, menghentikan kebiasaan merokok, dan
penggunaan obat vasokontriksi.
1. Kerja sama dengan tim kesehatan lain dalam pemberian vasodilator, pemeriksaan gula
darah secara rutin dan terapi oksigen ( HBO ).
Rasional : pemberian vasodilator akan meningkatkan dilatasi pembuluh darah sehingga perfusi
jaringan dapat diperbaiki, sedangkan pemeriksaan gula darah secara rutin dapat mengetahui
perkembangan dan keadaan pasien, HBO untuk memperbaiki oksigenasi daerah ulkus/gangren.
1. Diagnosa no. 2
Rasional : Pengkajian yang tepat terhadap luka dan proses penyembuhan akan membantu dalam
menentukan tindakan selanjutnya.
1. Rawat luka dengan baik dan benar : membersihkan luka secara abseptik menggunakan
larutan yang tidak iritatif, angkat sisa balutan yang menempel pada luka dan nekrotomi
jaringan yang mati.
Rasional : merawat luka dengan teknik aseptik, dapat menjaga kontaminasi luka dan larutan yang
iritatif akan merusak jaringan granulasi tyang timbul, sisa balutan jaringan nekrosis dapat
menghambat proses granulasi.
1. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian insulin, pemeriksaan kultur pus pemeriksaan
gula darah pemberian anti biotik.
Rasional : insulin akan menurunkan kadar gula darah, pemeriksaan kultur pus untuk mengetahui
jenis kuman dan anti biotik yang tepat untuk pengobatan, pemeriksaan kadar gula darahuntuk
mengetahui perkembangan penyakit.
1. Diagnosa no. 3
2. Penderita dapat melakukan metode atau tindakan untuk mengatasi atau mengurangi nyeri .
4. Tidak ada keringat dingin, tanda vital dalam batas normal.( S : 36 – 37,5 0C, N: 60 – 80 x
/menit, T : 100 – 130 mmHg, RR : 18 – 20 x /menit ).
Rencana tindakan :
Rasional : Rangasanga yang berlebihan dari lingkungan akan memperberat rasa nyeri.
Rasional : Teknik distraksi dan relaksasi dapat mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien.
Rasional : Posisi yang nyaman akan membantu memberikan kesempatan pada otot untuk
relaksasi seoptimal mungkin.
1. Lakukan massage dan kompres luka dengan BWC saat rawat luka.
Rasional : massage dapat meningkatkan vaskulerisasi dan pengeluaran pus sedangkan BWC
sebagai desinfektan yang dapat memberikan rasa nyaman.
1. Diagnosa no. 4
Keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan rasa nyeri pada luka di kaki.
2. Pasien dapat melaksanakan aktivitas sesuai dengan kemampuan ( duduk, berdiri, berjalan ).
4. Pasien dapat memenuhi kebutuhan sendiri secara bertahap sesuai dengan kemampuan.
Rencana tindakan :
Rasional : Pasien mengerti pentingnya aktivitas sehingga dapat kooperatif dalam tindakan
keperawatan.
Rasional : Untuk melatih otot – otot kaki sehingg berfungsi dengan baik.
1. Kerja sama dengan tim kesehatan lain : dokter ( pemberian analgesik ) dan tenaga
fisioterapi.
Rasional : Analgesik dapat membantu mengurangi rasa nyeri, fisioterapi untuk melatih pasien
melakukan aktivitas secara bertahap dan benar.
1. Diagnosa no. 5
Gangguan pemenuhan nutrisi ( kurang dari ) kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
makanan yang kurang.
Rencana Tindakan :
Rasional : Untuk mengetahui tentang keadaan dan kebutuhan nutrisi pasien sehingga dapat
diberikan tindakan dan pengaturan diet yang adekuat.
Rasional : Mengetahui perkembangan berat badan pasien ( berat badan merupakan salah satu
indikasi untuk menentukan diet ).
Rasional : Mengetahui apakah pasien telah melaksanakan program diet yang ditetapkan.
1. Kerja sama dengan tim kesehatan lain untuk pemberian insulin dan diet diabetik.
Rasional : Pemberian insulin akan meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam jaringan sehingga
gula darah menurun,pemberian diet yang sesuai dapat mempercepat penurunan gula darah dan
mencegah komplikasi.
1. Diagnosa no. 6
Potensial terjadinya penyebaran infeksi ( sepsis) berhubungan dengan tinggi kadar gula darah.
Rencana tindakan :
Rasional : Pengkajian yang tepat tentang tanda-tanda penyebaran infeksi dapat membantu
menentukan tindakan selanjutnya.
1. Anjurkan kepada pasien dan keluarga untuk selalu menjaga kebersihan diri selama
perawatan.
Rasional : Kebersihan diri yang baik merupakan salah satu cara untuk mencegah infeksi kuman.
1. Anjurkan pada pasien agar menaati diet, latihan fisik, pengobatan yang ditetapkan.
Rasional : Diet yang tepat, latihan fisik yang cukup dapat meningkatkan daya tahan tubuh,
pengobatan yang tepat, mempercepat penyembuhan sehingga memperkecil kemungkinan terjadi
penyebaran infeksi.
Rasional : Antibiotika dapat menbunuh kuman, pemberian insulin akan menurunkan kadar gula
dalam darah sehingga proses penyembuhan.
1. Diagnosa no. 7
3. Istirahat cukup.
Rencana tindakan :
Rasional : Untuk menentukan tingkat kecemasan yang dialami pasien sehingga perawat bisa
memberikan intervensi yang cepat dan tepat.
Rasional : Agar terbina rasa saling percaya antar perawat-pasien sehingga pasien kooperatif
dalam tindakan keperawatan.
1. Beri informasi yang akurat tentang proses penyakit dan anjurkan pasien untuk ikut serta
dalam tindakan keperawatan.
Rasional : Informasi yang akurat tentang penyakitnya dan keikutsertaan pasien dalam melakukan
tindakan dapat mengurangi beban pikiran pasien.
1. Berikan keyakinan pada pasien bahwa perawat, dokter, dan tim kesehatan lain selalu
berusaha memberikan pertolongan yang terbaik dan seoptimal mungkin.
Rasional : Sikap positif dari timkesehatan akan membantu menurunkan kecemasan yang
dirasakan pasien.
Rasional : Pasien akan merasa lebih tenang bila ada anggota keluarga yang menunggu.
Rasional : lingkung yang tenang dan nyaman dapat membantu mengurangi rasa cemas pasien.
1. Diagnosa no. 8
Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan, dan pengobatan berhubungan
dengan kurangnya informasi.
Tujuan : Pasien memperoleh informasi yang jelas dan benar tentang penyakitnya.
Kriteria Hasil : 1. Pasien mengetahui tentang proses penyakit, diet, perawatan dan
pengobatannya dan dapat menjelaskan kembali bila ditanya.
2. Pasien dapat melakukan perawatan diri sendiri berdasarkan pengetahuan yang diperoleh.
Rencana Tindakan :
Rasional : Untuk memberikan informasi pada pasien/keluarga, perawat perlu mengetahui sejauh
mana informasi atau pengetahuan yang diketahui pasien/keluarga.
Rasional : Agar perawat dapat memberikan penjelasan dengan menggunakan kata-kata dan
kalimat yang dapat dimengerti pasien sesuai tingkat pendidikan pasien.
1. Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan pada pasien dengan
bahasa dan kata-kata yang mudah dimengerti.
Rasional : Agar informasi dapat diterima dengan mudah dan tepat sehingga tidak menimbulkan
kesalahpahaman.
1. Jelasakan prosedur yang kan dilakukan, manfaatnya bagi pasien dan libatkan pasien
didalamnya.
Rasional : Dengan penjelasdan yang ada dan ikut secra langsung dalam tindakan yang dilakukan,
pasien akan lebih kooperatif dan cemasnya berkurang.
1. Gunakan gambar-gambar dalam memberikan penjelasan ( jika ada / memungkinkan).
1. Diagnosa no. 9
Gangguan gambaran diri berhubungan dengan perubahan bentuk salah satu anggota tubuh.
Tujuan : Pasien dapat menerima perubahan bentuk salah satu anggota tubuhnya secar positif.
Kriteria Hasil : - Pasien mau berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan. Tanpa rasa malu
dan rendah diri.
Rencana tindakan :
Rasional : dapat meningkatkan kemampuan dalam mengadakan hubungan dengan orang lain dan
menghilangkan perasaan terisolasi.
1. Beri dorongan pasien untuk berpartisipasi dalam perawatan diri dan hargai pemecahan
masalah yang konstruktif dari pasien.
1. Diagnosa no.10
Gangguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri pada luka di kaki.
Rencana tindakan :
Rasional : mengetahui perubahan dari hal-hal yang merupakan kebiasaan pasien ketika tidur
akan mempengaruhi pola tidur pasien.
1. Kaji adanya faktor penyebab gangguan pola tidur yang lain seperti cemas, efek obat-
obatan dan suasana ramai.
Rasional : Mengetahui faktor penyebab gangguan pola tidur yang lain dialami dan dirasakan
pasien.
Rasional : Pengantar tidur akan memudahkan pasien dalam jatuh dalam tidur, teknik relaksasi
akan mengurangi ketegangan dan rasa nyeri.
Rasional : Untuk mengetahui terpenuhi atau tidaknya kebutuhan tidur pasien akibat gangguan
pola tidur sehingga dapat diambil tindakan yang tepat.
1. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah tahap pelaksananan terhadap rencana tindakan keperawatan yang telah
ditetapkan untuk perawat bersama pasien. Implementasi dilaksanakan sesuai dengan rencana
setelah dilakukan validasi, disamping itu juga dibutuhkan ketrampilan interpersonal, intelektual,
teknikal yang dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat dengan selalu
memperhatikan keamanan fisik dan psikologis. Setelah selesai implementasi, dilakukan
dokumentasi yang meliputi intervensi yang sudah dilakukan dan bagaimana respon pasien.
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatan evaluasi ini adalah
membandingkan hasil yang telah dicapai setelah implementasi keperawatan dengan tujuan yang
diharapkan dalam perencanaan.
Perawat mempunyai tiga alternatif dalam menentukan sejauh mana tujuan tercapai:
1. Berhasil : prilaku pasien sesuai pernyatan tujuan dalam waktu atau tanggal yang
ditetapkan di tujuan.
2. Tercapai sebagian : pasien menunujukan prilaku tetapi tidak sebaik yang ditentukan
dalam pernyataan tujuan.
Belum tercapai. : pasien tidak mampu sama sekali menunjukkan prilaku yang diharapakan sesuai
dengan pernyataan tuj
BAB I
PENDAHULUAN
Asuransi kesehatan nasional Swedia dari data analisis statistik melaporkan 53% pada populasi
dengan aktivitas biasa sehari-hari mengalami nyeri punggung bawah dan 64% pada populasi
yang melakukan aktivitas sebagai pekerja berat.
Diperkirakan 60% sampai 80% populasi dewasa pernah mengalami LBP, kira-kira 2% sampai
5% terkena setiap tahunnya. Orang yang waktu bekerja melakukan gerakan membungkuk yang
berulang-ulang atau berjongkok dan duduk lama mempunyai frekuensi LBP lebih tinggi,
masalah psikososial juga penting sebagai faktor pencetus terjadinya nyeri punggung bawah.
Sedangkan khususnya untuk Rumah Sakit Umum Islam Banjarmasin ditemukan jumlah
penderita low back pain pada bulan Januari sampai dengan Desember 2003 sebanyak 17 orang
(Data Rekam Medik Rumah Sakit Islam Banjarmasin).
Dalam hal perawatan secara umum pada penyakit LBP dengan penyakit syaraf lainnya
mempunyai kesamaan dalam pemberian asuhan keperawatan menitik beratkan pada pemenuhan
kebutuhan dasar manusia. Adapun kekhususan dari perawataan klien dengan LBP adalah karena
masalah yang muncul biasanya bersifat komplek dan mempengaruhi sistem tubuh sehingga
asuhan keperawatan yang diberikan mencegah terjadinya defisit neurologis, memberikan dan
mengembalikan fungsi dengan cara meningkatkan aktivitas secara bertahap dengan melakukan
range of mation (ROM) aktif maupun pasif.
Ada beberapa kendala yang ditemukan sehingga standar keperawatan yang telah ditetapkan
rumah sakit tidak dapat dicapai secara maksimal, dari pihak klien misalnya alasan faktor
ekonomi dimana klien dengan LBP membutuhkan waktu yang lama untuk menyembuhkan
sehingga membutuhkan dana yang cukup besar jika harus dirawat di rumah sakit, sedangkan dari
pihak rumah sakit misalnya masih minimnya tenaga kesehatan dibandingkan jumlah dengan
jumlah klien yang memerlukan perawatan sehingga tidak setiap klien dapat dilayani secara
maksimal menurut standar keperawatan yang ada di rumah sakit.
Berdasarkan fenomena diatas penulis tertarik mengangkat masalah kesehatan khususnya LBP
dan mencoba memberikan asuhan keperawatan secara menyeluruh baik dari segi biopsikososial
dan spiritual kepada klien dengan LBP di ruang Ibnu Sina Rumah Sakit Islam Banjarmasin.
1. C. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari makalah ini adalah melakukan langkah-langkah proses keperawatan secara
bertahap yaitu :
1. mengkaji status kesehatan klien dengan low back pain yang meliputi aspek biopsikososial
spritual pada Tn. H.T di ruang Ibnu Sina RSU Islam Banjarmasin.
2. Mengkaji dan merumuskan masalah-masalah keperawatan yang muncul pada klien
dengan low back pain di ruang Ibnu Sina RSU Islam Banjarmasin.
3. Menentukan rencana tindakan pada klien dengan low back pain pada Tn. H.T di ruang
Ibnu Sina RSU Islam Banjarmasin.
4. Melakukan tindakan/implementasi keperawatan terhadap klien low back pain akibat
gangguan biopsikososial spritual pada klien Tn. H.T diruang Ibnu Sina RSU Islam
Banjarmasin.
5. Mengevaluasi hasil asuhan keperawatan yang telah diberikan terhadap klien dengan low
back pain pada klien Tn. H.T diruang Ibnu Sina RSU Islam Banjarmasin.
1. D. Metode Asuhan
Metode penulisan yang digunakan dalam mengasuh klien yang dilaporkan ini berupa studi kasus
yang melaporkan hasil asuhan keperawatan yang langsung dilaksanakan pada klien dengan
pendekatan proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan, menetapkan
perencanaan, memberikan implementasi dan mengevaluasi seluruh hasil asuhan keperawatan.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Nyeri punggung bawah adalah perasaan nyeri di daerah lumbasakral dan sakroiliakal, nyeri
pinggang bawah ini sering disertai penjalaran ketungkai sampai kaki. (Harsono, 2000:265).
Herniasi diskus (carram) intervertebralis (HNP) merupakan penyebab utama nyeri punggung
bawah yang berat, kronik dan berulang (kambuh), mungkin sebagai dampak trauma atau
perubahan degeneratif yang berhubungan dengan proses penuaan. (Doenges, Marylinn,
1999:320).
Nyeri punggung bawah adalah nyeri yang dirasakan didaerah punggung bawah, dapat merupakan
nyeri local maupun radikuler atau keduanya, nyeri ini terasa diantara sudut rusuk terbawah
(torakal XII) dan lipat bokong bawah yaitu didaerah lumbal dan lumbasakral dan sering disertai
dengan penjalaran nyeri kearah tungkai dan kaki.
Low back pain nyeri punggung bawah adalah salah satu nyeri yang paling sering dijumpai dalam
praktek sehari-hari, juga merupakan persoalan mayarakat karena sering mengakibatkan penderita
tidak dapat bekerja dalam kesehariannya.
Low back pain dapat berupa rasa kemeng atau sedikit pegal sampai nyeri sekali, sakit ini dapat
timbul secara mendadak ataupun secara perlahan-lahan dalam waktu beberapa jam sampai
beberapa hari. Rasa sakit dapat dirasakan pada tubuh bagian belakang, dari tulang iga terakhir
sampai bagian bawah bokong dan juga dapat menjalar ketungkai. Sering kali penderita cemas
kalau LBPnya berasal dari penyakit ginjal atau kencing batu anggapan itu tidaklah selalu benar.
Jika diperhatikan secara seksama keluhan LBP sangat bervariasi, kualitas nyeri, intensitas serta
penyebarannya sangat bervariasi, berbagai sikap badan seperti berdiri, duduk atau berbaring
sangat berpengaruh terhadap timbulnya rasa nyeri.
1. Etiologi
Kelainan berasal dari ginjal, viscera pelvis, omentum minor, tumor retroperitoneal, fibroid
retrouteri
Aneurisme diabdomen, penyakit vaskuler perifes, insufiensi dari arteri glutea superior
1. LBP Neuvogenik
Tumor-tumor letaknya ekstradural maupun intradural ekstra medullar sering menyebabkan LBP
oleh karena juga menekan radik.
1. LBP Spondilogenik
Berasal dari :
1) Tulang koluma spinalis (trauma, radang, tumor, metabolic dan spondilolistesis)
3) Jaringan lunak (degenerasi diskus, aptur diskus, penjepitan akar saraf akibat stenosis
spinalis.
1. LBP Psikogenik
1. LBP Traumatik
2) HNP
4) Oesteoartritis
3) Spondylitis
2) Retikulosis
1. Patofisiologi
Kolumna vertebralis dapat dianggap sebagai sebuah batang elastic yang tersusun atas banyak
unit rigid (vertebrae) dan unit fleksible (discus intervertebralis) yang diikat satu sama lain oleh
komplek sendi faset, berbagai ligament dan otot paravertebralis.
Konstruksi punggung yang unik tersebut memungkinkan fleksibilitas sementara disisi lain tetap
dapat memberikan perlindungan yang maksimal terhadap sumsum tulang belakang. Lengkungan
tulang belakang akan menyerap goncangan vertical pada saat berlari atau melompat. Batang
tubuh membantu menstabilkan tulang belakang. Otot-otot abdominal dan torak sangat penting
pada aktivitas mengangkat beban. Bila tidak pernah dipakai akan melemahkan struktur
pendukung ini. Obesitas, masalah postur, masalah struktur, dan peregangan berlebihan
pendukung tulang belakang dapat berakibat nyeri punggung.
Diskus intervertebralis akan mengalami perubahan sifat ketika usia bertambah tua. Pada orang
muda diskus terutama tersusun atas fibrokartilago dengan matriks gelatinus. Pada lansia akan
menjadi fibrokartilago yang padat dan tak teratur. Degenerasi diskus merupakan penyebab nyeri
punggung yang biasa diskus lumbal bawah, L4-L5 dan L5-S1, menderita stress mekanis paling
berat dan perubahan degenerasi terberat. Penonjolan diskus (herniasi nucleus pulposus) atau
kerusakan sendi faset dapat mengakibatkan penekanan pada akar saraf ketika keluar dari kanalis
spinalis yang mengakibatkan nyeri yang menyebar sepanjang saraf tersebut. Sekitar 12% orang
dengan nyeri punggung bawah menderita hernia nucleus pulposus ( Brunner & Suddarth, 2002 :
2321 ).
1. Manifestasi Klinis
Secara praktis manifestasi klinis diambil dari pembagian berdasarkan sistem anatomi :
1. LBP Viscerogenik
Tipe ini sering nyerinya tidak bertambah berat dengan adanya aktivitas maupun istirahat.
Umumnya disertai gejala spesifik dari organ viseralnya. Lebih sering disebabkan oleh faktor
ginekologik, kadang-kadang didapatkan spasme otot paravertebralis dan perubahan sudut
ferguson pada pemeriksaan radiologik, nyeri ini disebut juga nyeri pinggang akibat referred pain.
1. LBP vaskulogenik
Tahap dini nyerinya hanya sakit pinggang saja yang dirasakan, nyeri bersifat nyeri punggung
dalam, nyeri sering menjalar kebokong, belakang paha, dan kedua tungkai, nyeri sering menjalar
kebokong, belakang paha, dan kedua tungkai. Nyeri tidak timbul karena adanya stress spesifik
pada kolumna vertebralis (membungkuk, batuk dan lain-lain). Diagnosa ditegakkan apabila
ditemukan benjolan yang berpulpasi.
1. LBP Neurogenik
Nyeri sangat hebat, bersifat menetap, sedikit berkurang pada saat bediri tenang, terutama
dirasakan pada saat malam hari. Nyeri dapat dibangkitkan dengan aktivitas, dan rasa nyeri
berkurang saat penderita berbaring, sering didapat kompresi akar saraf, ditemukan juga spasme
otot paravertebralis.
1. LBP Spondilogenik
1) HNP : Nyeri disertai iskialgia, dirasakan sebagai nyeri pinggang, menjalar
kebokong, paha belakang tumit sampai telapan kaki.
2) Miofasial : Nyeri akibat trauma pada otot fasia atau ligamen, keluhan berupa
nyeri daerah pinggang, kurang dapat dilokasikan dengan tepat, timbul mendadak waktu
melakukan gerakan yang melampau batas kemampuan ototnya.
3) Keganasan : Tumor ganas pada daerah vertebrae dapat bersifat primer atau
sekunder. Pada foto rontgen terlihat adanya destruksi, pemeriksaan laboratorium terlihat adanya
peningkatan alkalifostase.
4) Osteoporotik : Terjadi pada lansia terutama wanita, nyeri bersifat pegal atau nyeri
radikuler karena adanya fraktur kompresi sebagai komplikasi osterporosis tulang belakang.
1. LBP Psikogenik
Keluhan nyeri hebat tidak seimbang dengan kelainan organik yang ditemukan, penderita memilih
suatu mekanisme pembelaan terhadap ancaman rasa amannya dengan menghindarkan diri bila
tidak melakukan hal tertentu. Keadaan ini akan menyebabkan otot-otot dalam keadaan tegang
sehingga meningkatkan spasme otot dan timbul rasa nyeri.
1. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan fisik :
1. Observasi : amati cara berjalan penderita pada waktu masuk ruang periksa, juga cara
duduk yang disukainya. Bila pincang, diseret, kaku (merupakan indikasi untuk
pemeriksaan neurologis). Amati juga apakah perilaku penderita konsisten dengan
keluhan nyerinya (kemungkinan kelebihan psikiatrik).
2. Inspeksi : untuk kolumna vertebralis (thoroko-lumbal dan lumbopsakral) berikut
deformitasnya, serta gerakan tulang belakang, seperti fleksi kedepan, ekstensi
kebelakang, fleksi kelateral kanan dan kiri.
3. Nyeri yang timbul hampir pada semua pergerakan daerah lumbal sehingga penderita
berjalan sangat hati-hati (kemungkinan infeksi, inflamasi, tumor dan fraktur)
4. Palpasi : apakah terdapat nyeri tekan pada tulang belakang atau pada otot-otot disamping
tulang belakang? Apakah tekanan dari diantara dua prosessus spinosus menimbulkan rasa
nyeri (spurling sign)
5. Perkusi : perhatikan apakah timbul nyeri jika processus spinosus diketok
1) Laseque
2) Kering
(ENMG)
1. Sken tomografi : Dapat melihat gambar vetebra dan jaringan disekitarnya
termasuk diskus intervertebralis
(Harsono, 2000:281)
1. Penatalaksanaan medis
1. Tirah baring :
Tempat tidur dengan alat yang keras dan rata untuk mengendorkan otot yang spasme, sehingga
terjadi relaksasi otot maksimal. Dibawah lutut diganjal batal untuk mengurangi hiperlordosis
lumbal, lama tirah baring tidak lebih dari 1 minggu.
1. Medika mentosa :
Menggunakan obat tunggal atau kombinasi dengan dosis semiminimal mungkin, dapat diberikan
analgetik non-steroid, muscle relaxant, tranguilizer, anti depresan atau kadang-kadang obat
blokade neuratik.
1. Fisioterapi :
Dalam bentuk terapi panas, stimulasi listrik perifer, traksi pinggul, terapi latihan dan ortesa
(kovset)
1. Psikoterapi :
Diberikan pada penderita yang pada pemeriksaan didapat peranan psikopatologi dalam
timbulnya persepsi nyeri, pemberian psikoterapi dapat digabungkan dengan relaksasi, hyprosis
maupun biofeedback training.
1. Akupuntur :
Kemungkinan bekerja dengan cara pembentukan zat neurohumoral sebagai neurotras mitter dan
bekerja sebagai activator serat intibitor desenden yang kemudian menutup gerbang nyeri.
1. Terapi operatic :
Dikerjakan apabila tindakan konservatif tidak memberikan hasil yang nyata, atau kasus fraktur
yang langsung mengakibatkan defisit neurologik, ataupun adanya gangguan spinger
1. Latihan :
Latihan perlu dilakukan dengan hati-hati dan terarah agar tidak memperburuk keadaan, dapat
dimulai pada hari ke 2 dan ke 3 kecuali jika penyebabnya adalah herniasi diskus.
1) Gejala : riwayat pekerjaan yang perlu mengangkat benda berat, duduk, mengemudi
dalam waktu lama, membutuhkan papan/matras waktu tidur, penurunan rentang gerak dari
ekstrimiter pada salah satu bagian tubuh, tidak mampu melakukan aktivitas yang biasanya
dilakukan.
2) Tanda : Atropi otot pada bagian tubuh yang terkena, gangguan dalam berjalan.
1. Eliminasi
Gejala : Konstribusi, mengalami kesulitan dalam defekasi, adanya inkontenensia/retensi
urine
1. Integritas Ego
1) Gejala : Ketakutan akan timbulnya paralysis, ansietas masalah pekerjaan, finansial
keluarga.
2) Tanda : Tampak cemas, defresi, menghindar dari keluarga/orang terdekat
1. Neurosensori
2) Tanda : Penurunan refleks tendon dalam, kelemahan otot, hipotania, nyeri
tekan/spasme pavavertebralis, penurunan persesi nyeri (sensori)
1. Nyeri/kenyamanan
1) Gejala : Nyeri seperti tertusuk pisau yang akan semakin memburuk dengan adanya
batuk, bersin, membengkokan badan, mengangkat defekasi, mengangkat kaki, atau fleksi pada
leher, nyeri yang tidak ada hentinya atau adanya episode nyeri yang lebih berat secara
interminten; nyeri menjalar ke kaki, bokong (lumbal) atau bahu/lengan; kaku pada leher
(servikal). Terdengar adanya suara “krek” saat nyeri baru timbul/saat trauma atau merasa
“punggung patah”, keterbatasan untuk mobilisasi/membungkuk kedepan
2) Tanda : Sikap: dengan cara bersandar dari bagian tubuh yang terkena, perubahan cara
berjalan: berjalan dengan terpincang-pincang, pinggang terangkat pada bagian tubuh yang
terkena, nyeri pada palpasi.
1. Keamanan
Gejala : Adanya riwayat masalah punggung yang baru saja terjadi
3) Rencana pemulangan : Mungkin memerlukan batuan transportasi, perawatan diri dan
penyelesaian tugas-tugas.
1. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut/kronis berhubungan dengan :
2) Inflamasi
Prioritas keperawatan
1. Intervensi Keperawatan
Diagnosis I
1. Kaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi, lamanya serangan, faktor pencetus yang
memperberat, minta pasien untuk menetapkan pada skala 0–10
2. Pertahankan tirah baring selama fase akut, peletakan pasien pada posisi semi fowler
dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam keadaan fleksi, posisi telentang dengan
atau tanpa meninggikan kepala 10-30 derajat atau pada posisi lateral
3. Gunakan logirdi (papan) selama melakukan perubahan posisi
4. Bantu pemasangan Brace/korset
5. Batas aktivitas selama sesuai kebutuhan
6. Letakkan semua kebutuhan, termasuk bel panggil dalam batas yang mudah
dijangkau/diraih oleh pasien.
Diagnosis II
Diagnosis III
1. Kaji tingkat ansietas klien, tentukan bagaimana pasien menangani masalahnya di masa
yang lalu dan bagaimana pasien melakukan koping dengan masalah sekarang.
2. Berikan informasi yang akurat dan jawab dengan jujur
3. Berikan kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan masalahnya
4. Kaji adanya masalah sekunder yang mungkin merintangi keinginan untuk sembuh dan
mungkin menghalangi proses penyembuhan
5. Catat perilaku dari orang terdekat/keluarga yang meningkat “peran sakit” pasien.
Diagnosis IV
1. Evaluasi
Diagnosa I
Diagnosa II
Diagnosa III
1. Tampak rileks dan melaporkan anisetas berkurang pada tingkat dapat diatasi
2. Mengidentifikasi ketidakefektifan perilaku koping dan konsekuensinya
3. Mengkaji situasi terbaru dengan akurat
4. Mendemonstrasikan keterampilan pemecahan masalah
5. Mengembangkan rencana untuk perubahan gaya hidup yang perlu
Diagnosis IV
BAB III
HASIL ASUHAN
A. Gambaran Kasus
Tuan H.T umur 60 tahun, jenis kelamin laki-laki, pendidikan terakhir SMP, pekerjaan swasta,
alamat Jl. Pangeran Gang Rahman, status perkawinan sudah kawin, agama Islam, suku Banjar,
masuk rumah sakit Islam Banjarmasin pada tanggal 4 Juni 2004 dengan diagnosa medis low
back pain (nyeri punggung bawah).
Selama di rumah sakit yang menjadi penanggung jawab klien adalah Tuan R. umur 34 tahun,
alamat kompleks Purna Sakti Banjarmasin.
Keluhan utama waktu masuk rumah sakit tanggal 4 Juni 2004 : Nyeri pinggang belakang
bagian kiri dari setengah bulan yang lalu dan nyeri pada belikat kanan (skapula). Waktu
pengkajian (tanggal 9 Juni 2004) Klien masih mengeluh nyeri pinggang belakang bagian kiri
manjalar kekanan.
Riwayat penyakit sekarang± 1 bulan yang lalu klien terjatuh dari kendaraan tapi klien tidak
sampai dibawa ke rumah sakit hanya dibawa ketukang pijat dan minum obat yang dibeli di toko
untuk mengurangi rasa nyeri. Setengah bulan kemudian klien mengeluh nyeri pinggang
belakang bagian kiri. Pada tanggal 03-06-2004 klien dibawa keluarganya kepraktek dr. Djohan
S, kemudian karena sakit klien semakin parah pada tanggal 05-06-2004 klien dibawa
keluarganya ke Rumah Sakit Islam Banjarmasin dan dirawat dikamar 35B di ruang Ibnu Sina.
Riwayat penyakit dahulu± 5 tahun yang lalu klien pernah mengalami hipertensi, DM dan
kolesterol tinggi, namun tidak sampai masuk rumah sakit hanya berobat jalan.
Riwayat penyakit keluarga menurut keluarga klien tidak ada keluarga klien yang mengalami
penyakit seperti klien atau menderita penyakit DM, hipertensi dan penyakit TBC.
Dari pemeriksaan fisik pada tanggal 09 Juni 2004 diperoleh hasil keadaan umum klien adalah
kesadaran compos mentis. GCS 4-5-6, hasil pengukuran tanda-tanda vital : TD : 140/80 mmHg,
T :37,2oC, N : 100 x/menit, R : 24 m/menit, BB : 70 kg. Keadaan klien tampak lemah dan lesu.
Hasil pemeriksaan pada kulit, didapatkan keberhasilan kulit bersih (tidak ada kotoran yang
menempel), warna kulit sawo matang, tekstur kulit halus, tidak ada odema.
Kepala leher, struktur kepala tampak simetris, tidak ada nyeri atau trauma kepala, tidak ada lesi,
warna rambut hitam beruban, distribusi rambut merata, pada leher tidak terdapat pembesaran
kelenjar tyroid atau vena lugularis.
Penglihatan dan mata, mata klien tampak simetris, tidak ada kotoran atau secret, klien dapat
melihat dengan baik bola mata dapat digerakkan kesegala arah. Klien tidak menggunakan alat
bantu penglihatan, sklera mata tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis, mata klien tampak lesu,
warna kehitam-hitaman disekitar mata.
Penciuman dan hidung, struktur hidung simetris, tampak bersih tidak ada secret, atau kotoran,
tidak ada pendarahan atau epistaksis, tidak ada peradangan atau nyeri hidung, fungsi penciuman
baik dapat membedakan bau alkohol dan minyak kayu putih, tidak terdapat massa (polip).
Pendengaran dan telinga, struktur telinga simetris, tampak bersih tidak ada secret atau cairan,
tidak ada perdarahan atau peradangan, fungsi pendengaran baik, tidak menggunakan alat bantu
pendengaran.
Mulut dan gigi, warna mokusa bibir merah muda, mulut dan lidah besih, tidak ada perdarahan
dan lesi, gigi ada yang tunggal, fungsi menguyah baik, tidak menggunakan gigi palsu.
Dada, pernafasan dan sirkulasi, pergerakan rongga dada simetris, bentuk rongga dada simetris
antara kiri dan kanan, frekuensi nafas 24 x/menit, irama teratur dan dalam, kadang-kadang batuk,
tidak ada sesak nafas, tidak ada nyeri, pernapasan melalui hidung, tidak menggunakan otot bantu
pernapasan, tidak terdengar bunyi nafas tambahan, perkusi sonor pada dada.
Abdomen, bentuk abdomen simetris antara kiri dan kanan, distensi abdomen tidak ada, terdengar
bising usus 6 x/menit, klien mengalami nyeri punggung belakang dari kiri menjalar kebagian
kanan, skala nyeri 4 (berat sekali) 0 1 2 3 4 5 Frekuensi nyeri terus menerus
dan tambah parah bila melakukan gerakan, kuantitas nyeri seperti ditusuk-tusuk, ada nyeri tekan
pada pinggang bagian kiri.
Genitalia dan reproduksi, tidak ada peradangan pada genetalia bagian luar dan dalam, tidak ada
kesulitan saat ereksi dan ejakuasi, tidak terdapat nyeri saat BAK, kebersihan genetalian bersih
tidak terdapat lesi, kutu, kemerahan dan ekskoriasi.
Ekstremitas atas dan bawah, struktur ekstrimitas dan kiri dan kanan simetris, struktur ekstrimitas
bawah kiri dan kanan simetris, pada ekstrimitas kanan bawah terpasang infus RL 20 tts/menit
drif toradol 1 ampul, nyeri pinggang tambah parah bila ekstrimitas bawah digerakkan, skala
kekuatan otot.
4 4
3 3
Keterangan :
dari pemeriksa
Aktivitas dan istirahat, dirumah klien sehari-harinya hanya istirahat dan tidak bekerja lagi,
tidur siang 1-2 jam/hari dan tidur malam 6-8 jam/hari. Di rumah sakit, klien hanya berbaring
ditempat tidur, skala aktivitas 2 (mobilitas fisik dibantu sepenuhnya oleh orang lain). Klien
mengeluh tidak bisa tidur karena nyeri pinggang tidur makan hanya ± 2 jam, klien sering
terbangun saat tidur.
Personal hygiene di rumah klien mandi 2 x 3 x sehari, gosok gigi 2 x sehari, keramas 1 –2 x
seminggu, potong kuku bila panjang, ganti pakaian bila kotor. Di rumah sakit, klien diseka 1 x
sehari oleh keluarganya, gosok gigi kadang-kadang, kuku pendek, ganti pakaian bila kotor.
Nutrisi,di rumah klien makan 3 x sehari , diet nasi biasa dan lain-lain sesuai selera klien, nafsu
makan baik, minum 6 – 8 gelas air putih sehari. Di rumah sakit, klien makan 3 x sehari kadang-
kadang habis satu porsi kadang tidak, nafsu makan ada tapi hilang bila nyeri tambah parah,
minum air putih 3-4 gelas sehari, diet BB TKTP.
Eliminasi di rumah klien mengatakan BAB lancar 1-2 x sehari, konsistensi lembek, warna
kekuningan, bau busuk. BAB lancar 3-4 x sehari, warna jernih kekuningan bau pesing. Di rumah
sakit, BAB 1 x sehari, konsistensi lembek, bau busuk, BAK 2 – 3 x sehari, warna jernih
kekuningan, bau pesing.
Seksualitas klien sudah menikah mempunyai 1 orang istri dan 4 orang anak, hubungan klien
dengan istri dan anak baik
Psikososial, hubungan klien dengan perawat baik. Klien mau berkomunikasi dengan perawat,
hubungan klien dengan keluarga baik, ini terlihat dari isteri dan anak-anak klien selalu menemani
dan membantu aktivitas klien, klien tampak tabah menghadapi penyakitnya
Spritual, klien beragama Islam, dirumah klien selalu rutin sholat 5 waktu, sedangkan di rumah
sakit klien juga sholat meski hanya ditempat tidur dan klien selalu berdoa untuk kesembuhannya.
Data Penunjang
Terapi / pengobatan (4 Juni 2004)
- Dulcolaxtol 3 x CI
1. Kimia darah
- Gula darah 2 jam pp : 149 mg/dl Normal : 125 mg/dl
1. Lemak darah
Data Fokus
2) Palpasi :
3) Perkusi : -
4) Auskultasi : -
TD : 140/80 mmHg
T : 37,2oC
R : 24 x/menit
DS :
TD : 140/80 mmHg
T : 37,2oC
R : 24 x/menit
DS :
DS :
Prioritas masalah :
1. Gangguan rasa nyaman (nyeri akut) berhubungan dengan refleks spasme otot sekunder
akibat tekanan susunan syaraftapi daerah pinggang.
2. Gangguan pola istirahat dan tidur berhubungan dengan nyeri pada pinggang kiri
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri sekunder terhadap spasme otot
TONSILITIS
1
TINJAUAN TEORITIS
TONSILITIS
Tonsilitis adalah suatu infeksi yang merupakan komplikasi tersering dari infeksi saluran
pernafasan bagian atas, terutama faringitis (R. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong, 1997 : 486).
Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil atau amandel (dr. Sri Herawati JPB, SpTHT, 2000 : 32).
Tonsilitis terbagi 2 menurut R. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong (1997 : 486), yaitu :
1. Tonsilitis Akut
Merupakan infeksi tonsil akut yang menimbulkan demam, lemah, nyeri tenggorokan, nyeri dan
gangguan menelan, dengan gejala dan tanda setempat radang akut.
1. Tonsilitis Kronis
Merupakan infeksi yang paling sering ditemui diantara infeksi daerah faring. Ini sering dijumpai
pada anak dan dewasa. Bila serangan akut tonsilitis sering kambuh meskipun penderita telah
mendapat pengobatan yang adekuat harus diingat kemungkinan Tonsilitis Kronis.
1. Etiologi
Kuman penyebab Tonsilitis akut dan kronis adalah kuman golongan Streptococcus Beta
Hemolitikus, Streptococcus Virridans dan Streptococcos Pyogenesses yang merupakan penyebab
pada 50% dari kasus (Henderson, 1997 : 108).
Sisanya disebabkan oleh infeksi virus yaitu Adenovirus Echo, Virus Influenza serta Hervez.
Cara infeksinya adalah percikan ludah (droplet infection) Penyakit ini ada kecendrungan residif
secara berulang tetapi kadang-kadang berubah menjadi kuman golongan gram negatif
(Henderson, 1997 : 108).
Faktor predisposisi timbulnya radang kronik adalah rangsangan yang menahun (rokok,
makanan), pengaruh cuaca, pengobatan radang akut yang tidak adekuat, hygiene mulut yang
buruk (Soepardi, 1997 : 176–177).
1. Patofisiologi
Pada Tonsilitis Akut, kuman menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila epitel terkikis maka
jaringan limfoid superficial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear (Arif Mansjoer, 1999 : 119).
Pada Tonsilitis Kronis, karena proses radang berulang, maka epitel mukosa dan jaringan limfoid
terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini
akan mengerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akat diisi oleh detritus.
Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan
sekitar fosa tonsilaris. (Arif Mansjoer 1999 : 120).
Skema
Epitel terkikis
Skema
ovula
Tonsil
Arkus
anterior
T1
T2
T3 T4
Tanda dan gejala pada Tonsilitis Akut menurut Arif Mansjoer (1999 : 118) adalah :
Tanda dan gejala pada Tonsilitis Kronis menurut Arif Mansjoer (1999 : 120) adalah :
1. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Arif Mansjoer (1999 : 118) pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah :
1. Kultur tenggorokan.
2. Uji resistensi kuman.
3. Sediaan apus tonsil.
1. Penatalaksanaan Medis
Menurut John Jacob Ballenger (1994 : 346), penatalaksanaan medis pada Tonsilitis adalah :
Jika ditemukan Streptokokkus grup A, segera diobati dengan Penisillin atau Eritromisin selama
10 hari. Jika ditemukan bakteri pathogen atau bakteri selain Streptokokkus grup A, terapi yang
tepat harus segera diberikan. Seringkali hanya diberi terapi umum ditambah terapi simtomatis
jika tidak ditemukan bakteri, dan etiologinya dianggap karena virus.
Menurut Arif Mansjoer (1999 : 118), penatalaksanaan medis pada Tonsilitis Akut adalah
Antibiotik golongan Penisillin atau Sulfanamida selama 5 hari, Antipiretik, dan obat kumur atau
obat isap dengan desinfektan. Bila alergi pada Penisillin dapat diberikan Eritromisin atau
Klindamisin.
Menurut Arif Mansjoer (1999 : 120), penatalaksanaan medis pada Tonsilitis Kronis adalah :
1. Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur atau isap.
2. Terapi radikal dengan tonsiliktomi bila terapi medikamentosa atau terapi konservatif
tidak berhasil.
Indikasi Tonsilektomi menurut R. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong (1997 : 486) adalah :
Tonsil hipertrofik sering ditemukan pada anak-anak, keadaan ini tidak merupakan kelainan.
Tonsilektomi baru dilakukan bila ada penyulit korpulmonalel akibat obstruksi kronik jalan nafas
yang jarang terjadi, abses faringeal atau peritonsiler, atau pembesaran tonsil mengakibatkan
disfagia dengan penurunan berat badan. Kecurigaan keganasan tonsil pada orang dewasa muda
dan dewasa, merupakan indikasi untuk pemeriksaan hystopatologik.
Indikasi khusus anak adalah Tonsilitis rekurens yang kambuh lebih dari 3 kali, tonsil hypertropik
yang menyebabkan obstruksi misalnya ganguan menelan, hyperplasia setelah infeksi
mononukleosis, dan riwayat demam reumatik dengan gangguan jantung yang berhubungan
dengan Tonsilitis Kronik yang sukar diatasi dengan antibiotik. Penanganan tonsilitis lebih lanjut
dilakukan pengangkatan tonsil atau tonsilektomi.
Menurut Doenges (2000 : 612-614), teoritis urutan keperawatan pada penyakit telinga dan
tenggorokan, meliputi :
1. Pengkajian
Meliputi keluhan utama seperti nyeri menelan, demam tinggi, seperti ada halangan di
tenggorokan, pernafasan bau, dan lain-lain.
Riwayat penyakit sekarang adalah sudah berapa lama klien merasakan keluhan atau gejala yang
timbul sampai klien masuk ke rumah sakit.
Riwayat penyakit dahulu adalah adanya riwayat penyakit Tonsilitis, kebiasaan merokok, riwayat
Hypertensi, dan lain-lain.
Makanan atau cairan adalah kesulitan menelan dan kerusakan membran mukosa.
Nyeri dan kenyamanan adalah nyeri menelan, penyebaran nyeri sampai ke telinga, meringis,
gelisah.
Integritas ego adalah perasaan takut akan mati, kemampuan kerja dan keuangan.
Penyuluhan dan pembelajaran adalah baru menjalani operasi atau prosedur invasif dan
pengunaan antibiotik.
1. Diagnosa Keperawatan
1. Perencanaan / Intervensi
1. Intervensi Diagnosa a.
1. Intervensi Diagnosa b.
1. Intervensi Diagnosa c.
1. Intervensi Diagnosa d.
3). Amati masukan makanan dan timbang berat badan setiap hari.
1. Rasional
1. Rasional Intervensi Diagnosa a
1). Untuk mengevaluasi nyeri, menentukan intervensi dan menentukan efektivitas terapi.
2). Relaksasi mengurangi ketegangan otot dan distraksi mengalihkan perhatian klien dari rasa
nyeri.
1). Untuk mengevaluasi dehidrasi, menentukan intervensi dan menentukan efektivitas terapi.
1). Informasi yang diberikan secara tepat memudahkan klien mengerti tentang proses
penyakitnya.
2). Informasi yang diberikan secara tepat memudahkan klien mengerti tentang pencegahan.
3). Informasi yang diberikan secara tepat memudahkan klien mengerti tentang pengobatan.
1. Evaluasi
Hasil yang diharapkan dari asuhan keperawatan pada klien dengan pre dan post operasi
tonsilektomi adalah nyeri berkurang atau hilang, kekurangan volume cairan atau hidrasi tidak
terjadi, klien mengerti tentang penyakit, prosedur pengobatan, tanda dan gejala.
TINJAUAN TEORITIS
TONSILITIS
Tonsilitis adalah suatu infeksi yang merupakan komplikasi tersering dari infeksi saluran
pernafasan bagian atas, terutama faringitis (R. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong, 1997 : 486).
Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil atau amandel (dr. Sri Herawati JPB, SpTHT, 2000 : 32).
Tonsilitis terbagi 2 menurut R. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong (1997 : 486), yaitu :
1. Tonsilitis Akut
Merupakan infeksi tonsil akut yang menimbulkan demam, lemah, nyeri tenggorokan, nyeri dan
gangguan menelan, dengan gejala dan tanda setempat radang akut.
1. Tonsilitis Kronis
Merupakan infeksi yang paling sering ditemui diantara infeksi daerah faring. Ini sering dijumpai
pada anak dan dewasa. Bila serangan akut tonsilitis sering kambuh meskipun penderita telah
mendapat pengobatan yang adekuat harus diingat kemungkinan Tonsilitis Kronis.
1. Etiologi
Kuman penyebab Tonsilitis akut dan kronis adalah kuman golongan Streptococcus Beta
Hemolitikus, Streptococcus Virridans dan Streptococcos Pyogenesses yang merupakan penyebab
pada 50% dari kasus (Henderson, 1997 : 108).
Sisanya disebabkan oleh infeksi virus yaitu Adenovirus Echo, Virus Influenza serta Hervez.
Cara infeksinya adalah percikan ludah (droplet infection) Penyakit ini ada kecendrungan residif
secara berulang tetapi kadang-kadang berubah menjadi kuman golongan gram negatif
(Henderson, 1997 : 108).
Faktor predisposisi timbulnya radang kronik adalah rangsangan yang menahun (rokok,
makanan), pengaruh cuaca, pengobatan radang akut yang tidak adekuat, hygiene mulut yang
buruk (Soepardi, 1997 : 176–177).
1. Patofisiologi
Pada Tonsilitis Akut, kuman menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila epitel terkikis maka
jaringan limfoid superficial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear (Arif Mansjoer, 1999 : 119).
Pada Tonsilitis Kronis, karena proses radang berulang, maka epitel mukosa dan jaringan limfoid
terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini
akan mengerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akat diisi oleh detritus.
Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan
sekitar fosa tonsilaris. (Arif Mansjoer 1999 : 120).
Skema
Epitel terkikis
Skema
ovula
Tonsil
Arkus
anterior
T1
T2
T3 T4
Tanda dan gejala pada Tonsilitis Akut menurut Arif Mansjoer (1999 : 118) adalah :
Tanda dan gejala pada Tonsilitis Kronis menurut Arif Mansjoer (1999 : 120) adalah :
1. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Arif Mansjoer (1999 : 118) pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah :
1. Kultur tenggorokan.
2. Uji resistensi kuman.
3. Sediaan apus tonsil.
1. Penatalaksanaan Medis
Menurut John Jacob Ballenger (1994 : 346), penatalaksanaan medis pada Tonsilitis adalah :
Jika ditemukan Streptokokkus grup A, segera diobati dengan Penisillin atau Eritromisin selama
10 hari. Jika ditemukan bakteri pathogen atau bakteri selain Streptokokkus grup A, terapi yang
tepat harus segera diberikan. Seringkali hanya diberi terapi umum ditambah terapi simtomatis
jika tidak ditemukan bakteri, dan etiologinya dianggap karena virus.
Menurut Arif Mansjoer (1999 : 118), penatalaksanaan medis pada Tonsilitis Akut adalah
Antibiotik golongan Penisillin atau Sulfanamida selama 5 hari, Antipiretik, dan obat kumur atau
obat isap dengan desinfektan. Bila alergi pada Penisillin dapat diberikan Eritromisin atau
Klindamisin.
Menurut Arif Mansjoer (1999 : 120), penatalaksanaan medis pada Tonsilitis Kronis adalah :
1. Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur atau isap.
2. Terapi radikal dengan tonsiliktomi bila terapi medikamentosa atau terapi konservatif
tidak berhasil.
Indikasi Tonsilektomi menurut R. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong (1997 : 486) adalah :
Tonsil hipertrofik sering ditemukan pada anak-anak, keadaan ini tidak merupakan kelainan.
Tonsilektomi baru dilakukan bila ada penyulit korpulmonalel akibat obstruksi kronik jalan nafas
yang jarang terjadi, abses faringeal atau peritonsiler, atau pembesaran tonsil mengakibatkan
disfagia dengan penurunan berat badan. Kecurigaan keganasan tonsil pada orang dewasa muda
dan dewasa, merupakan indikasi untuk pemeriksaan hystopatologik.
Indikasi khusus anak adalah Tonsilitis rekurens yang kambuh lebih dari 3 kali, tonsil hypertropik
yang menyebabkan obstruksi misalnya ganguan menelan, hyperplasia setelah infeksi
mononukleosis, dan riwayat demam reumatik dengan gangguan jantung yang berhubungan
dengan Tonsilitis Kronik yang sukar diatasi dengan antibiotik. Penanganan tonsilitis lebih lanjut
dilakukan pengangkatan tonsil atau tonsilektomi.
Menurut Doenges (2000 : 612-614), teoritis urutan keperawatan pada penyakit telinga dan
tenggorokan, meliputi :
1. Pengkajian
Meliputi keluhan utama seperti nyeri menelan, demam tinggi, seperti ada halangan di
tenggorokan, pernafasan bau, dan lain-lain.
Riwayat penyakit sekarang adalah sudah berapa lama klien merasakan keluhan atau gejala yang
timbul sampai klien masuk ke rumah sakit.
Riwayat penyakit dahulu adalah adanya riwayat penyakit Tonsilitis, kebiasaan merokok, riwayat
Hypertensi, dan lain-lain.
Makanan atau cairan adalah kesulitan menelan dan kerusakan membran mukosa.
Nyeri dan kenyamanan adalah nyeri menelan, penyebaran nyeri sampai ke telinga, meringis,
gelisah.
Integritas ego adalah perasaan takut akan mati, kemampuan kerja dan keuangan.
Penyuluhan dan pembelajaran adalah baru menjalani operasi atau prosedur invasif dan
pengunaan antibiotik.
1. Diagnosa Keperawatan
1. Perencanaan / Intervensi
1. Intervensi Diagnosa a.
1. Intervensi Diagnosa c.
1. Intervensi Diagnosa d.
3). Amati masukan makanan dan timbang berat badan setiap hari.
1. Rasional
1. Rasional Intervensi Diagnosa a
1). Untuk mengevaluasi nyeri, menentukan intervensi dan menentukan efektivitas terapi.
2). Relaksasi mengurangi ketegangan otot dan distraksi mengalihkan perhatian klien dari rasa
nyeri.
1). Untuk mengevaluasi dehidrasi, menentukan intervensi dan menentukan efektivitas terapi.
1). Informasi yang diberikan secara tepat memudahkan klien mengerti tentang proses
penyakitnya.
2). Informasi yang diberikan secara tepat memudahkan klien mengerti tentang pencegahan.
3). Informasi yang diberikan secara tepat memudahkan klien mengerti tentang pengobatan.
1. Evaluasi
Hasil yang diharapkan dari asuhan keperawatan pada klien dengan pre dan post operasi
tonsilektomi adalah nyeri berkurang atau hilang, kekurangan volume cairan atau hidrasi tidak
terjadi, klien mengerti tentang penyakit, prosedur pengobatan, tanda dan gejala.
HIPOGLIKEMIA
0
LAPORAN PENDAHULUAN
HIPOGLIKEMIA
1. A. Pengertian
Hipoglikemi adalah suatu keadaan, dimana kadar gula darah plasma puasa kurang dari 50 mg/%.
- Sepsis
- Transisi dini neonatus ( early transitional neonatal ) : ukuran bayi yang besar ataupun
normal yang mengalami kerusakan sistem produksi pankreas sehingga terjadi hiperinsulin.
- Hipoglikemi klasik sementara (Classic transient neonatal) : tarjadi jika bayi mengalami
malnutrisi sehingga mengalami kekurangan cadangan lemak dan glikogen.
- Sekunder (Scondary) : sebagai suatu respon stress dari neonatus sehingga terjadi
peningkatan metabolisme yang memerlukan banyak cadangan glikogen.
- Berulang ( Recurrent) : disebabkan oleh adanya kerusakan enzimatis, atau metabolisme
insulin terganggu.
1. B. Patofiologi
HIPOGLIKEMIA
Intra uterin
Diabetes melitus pada orang tua/ keluarga
malnutrisi
1. C.
Manifestasi Klinis
Lapar
Gemetar
Gangguan berpikir dan konsentrasi
Keringat dingin, berdebar
Pusing, gelisah, akhirnya koma
1. D. Fokus Pengkajian
1. Keluhan utama : sering tidak jelas tetapi bisanya simptomatis, dan lebih sering
hipoglikemi merupakan diagnose sekunder yang menyertai keluhan lain sebelumnya
seperti asfiksia, kejang, sepsis.
2. Riwayat :
- ANC
- Perinatal
- Imunisasi
- Sepsis
- Kanker
1. Data fokus
Data Subyektif:
- Irritabel
Data obyektif:
- Parestisia pada bibir dan jari, gelisah, gugup, tremor, kejang, kaku,
- Hight—pitched cry, lemas, apatis, bingung, cyanosis, apnea, nafas cepat irreguler, keringat
dingin, mata berputar-putar, menolak makan dan koma serta plasma glukosa < 50 gr/%.
Diagnosa I
1. Resiko komplikasi berhubungan dengan kadar glukosa plasma yang rendah seperti,
gangguan mental, gangguan perkembangan otak, gangguan fungsi saraf otonom, koma
hipoglikemi
Rencana tindakan
- Monitor : kadar glukosa, pucat, keringat dingin, kulit yang lembab
Diagnosa II
1. Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan penurunan daya tahan tubuh
Rencana tindakan:
- Pastikan setiap benda yang dipakai kontak dengan bayi dalam keadaan bersih atau steril
- Cegah kontak dengan petugas atau pihak lain yang menderita infeksi saluran nafas.
Diagnosa III
Renacana tindakan
- Berikan cairan sesuai dengan kebutuhan bayi /kg BB/24 jam
Diagnosa IV
Rencana tindakan
- Ganti pakaian bayi secara teratur dan atau jika kotor dan basah.
DAFTAR PUSTAKA
Wong and Whaley (1996) Peiatric Nursing ; Clinical Manual, Morsby, Phi
DISPEPSIA
0
LAPORAN PENDAHULUAN
DISPEPSIA
A. PENGERTIAN
Dispepsia adalah merupakan kumpulan keluhan atau gejala klinis yang terdiri rasa tidak enak
atau sakit diperut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan. Keluhan refluks
gastroesofagus klasik berupa rasa panas didada (heart burn) dan regurgitasi asam lambung, kini
tidak lagi termasuk dispepsia. Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu :
1) Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai penyebabnya.
2) Dispepsia non organik atau dispepsia fungsional atau dispepsia non ulkus (DNU), bila tidak
jelas penyebabnya.
1. B. ETIOLOGI
ü Keganasan
2) Gastroparesis
3) Obat-obatan
ü AINS
ü Teofilin
ü Digitalis
ü Antibiotik
ü Hepatitis
ü Kolesistitis
ü Kolelitiatis
ü Keganasan
5) Pancreas
ü Pankreatitis
ü Keganasan
ü DM
ü Kehamilan
ü PJI
7) Gangguan Fungsional
1. C. PATOFISIOLOGI
Dengan kriteria tidak adanya kelainan organik pada SCBA, maka teori patogenesisnya sangat
bervariasi. Berbagai usaha telah dicoba untuk menerangkan korelasi yang ada antara keluhan
dengan sedikitnya temuan kelainan yang ada secara konvensional.
1. D. MANIFESTASI KLINIS
Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan atau gejala yang dominan, membagi dispepsia
menjadi 3 tipe :
1) Dispepsia dan keluhan seperti ulkus (ulcus-like dyspepsia), dengan gejala :
2) Dispepsia dengan GFI seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia), dengan gejala :
c) Mual
d) Muntah
3) Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe diatas)
1. E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. F. PENATALAKSANAAN
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir sekresi asam lambung.
Campuran yang biasanya terdapat dalam antasid antara lain Na bikarbonat, AL (OH)3, Mg
(OH)2 dan Mg trisilikat. Pemakaian obat ini sebaiknya jangan diberikan terus-menerus, sifatnya
hanya simtomatis, untuk mengurangi rasa nyeri. Mg trisilikat dapat dipakai dalam waktu lebih
lama, juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar
akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2.
1. Antikolinergik
Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak selektif yaitu pirenzepin
bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan sekresi asam lambung sekitar 28-
43%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif.
1. Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau esensial seperti
tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis reseptor H2 antara lain simetidin,
roksatidin, ranitidin dan famotidin.
Sesuai dengan namanya, golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir
dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol,
lansoprazol dan pantoprazol.
1. Sitoprotektif
Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE) dan enprestil (PGE2). Selain bersifat
sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi
meningkatkan sekresi prostaglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi,
meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk
lapisan protektif (sebagai site protective), yang senyawa dengan protein sekitar lesi mukosa
saluran cerna bagian atas (SCBA).
1. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan prokinetik, yaitu sisaprid, dom peridon dan metoklopramid.
Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan
mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance).
PROSES KEPERAWATAN
DISPEPSIA
1. A. PENGKAJIAN
1. Kaji tanda dan gejala dispepsia
ü Apakah klien mengalami nyeri ulu hati, tidak dapat makan, mual atau muntah.
ü Kapan gejala tersebut terjadi, apakah terjadi sebelum/ sesudah makan, setelah mencerna
makanan pedas/ pengiritasi/ setelah mencerna obat tertentu/ alkohol.
ü Apakah gejala berhubungan dengan ansietas, stres, alergi, makan/ minum terlalu banyak.
1. B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Berdasarkan semua data pengkajian, diagnosa keperawatan yang mungkin muncul meliputi :
1. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan masukan cairan tidak cukup dan
kehilangan cairan berlebihan karena muntah.
2. Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan masukan nutrisi
yang tidak adekuat.
3. Nyeri berhubungan dengan mukosa lambung teriritasi.
4. Ansietas berhubungan dengan pengobatan.
5. Kurang pengetahuan tentang penatalaksanaan diet dan proses penyakit.
1. C. PERENCANAAN DAN IMPLEMENTASI
1. D. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Meningkatkan keseimbangan cairan.
a) Pantau masukan dan haluran cairan setiap hari untuk mendeteksi tanda-tanda awal
dehidrasi.
b) Kaji nilai elektrolit (natrium, kalium, klorida) setiap 24 jam untuk mendeteksi indikator awal
ketidakseimbangan.
1. Meningkatkan nutrisi
a) Kaji adanya mual, muntah, sakit ulu hati dan kelelahan.
b) Hindari makanan/ minuman yang mengandung kafein karena kafein adalah stimulan sistem
saraf pusat yang meningkatkan aktivitas lambung.
1. Menghilangkan nyeri
b) Menghindari makanan dan minuman yang dapat mengiritasi mukosa lambung.
1. Mengurangi ansietas
e) Gunakan pendekatan untuk mengkaji pasien dan menjawab semua pertanyaan selengkap
mungkin.
e) Menjelaskan semua prosedur dan pengobatan sesuai dengan tingkat pemahaman klien.
1. E. EVALUASI
DAFTAR PUSTAKA
2) Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.2001.Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam.Jilid 2 Edisi 3.Jakarta : FKUI.
3) Smeltzer, Suzanne C.2001.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth.Edisi 8.Vol 2.Jakarta : EGC.
DHF
0
B. Etiologi
1. Virus dengue
Virus dengue yang menjadi penyebab penyakit ini termasuk ke dalam Arbovirus (Arthropodborn
virus) group B, tetapi dari empat tipe yaitu virus dengue tipe 1,2,3 dan 4 keempat tipe virus
dengue tersebut terdapat di Indonesia dan dapat dibedakan satu dari yang lainnya secara
serologis virus dengue yang termasuk dalam genus flavivirus ini berdiameter 40 nonometer dapat
berkembang biak dengan baik pada berbagai macam kultur jaringan baik yang berasal dari sel –
sel mamalia misalnya sel BHK (Babby Homster Kidney) maupun sel – sel Arthropoda misalnya
sel aedes Albopictus. (Soedarto, 1990; 36).
2. Vektor
Virus dengue serotipe 1, 2, 3, dan 4 yang ditularkan melalui vektor yaitu nyamuk aedes aegypti,
nyamuk aedes albopictus, aedes polynesiensis dan beberapa spesies lain merupakan vektor yang
kurang berperan berperan.infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur
hidup terhadap serotipe bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe jenis yang
lainnya (Arief Mansjoer &Suprohaita; 2000; 420). Nyamuk Aedes Aegypti maupun Aedes
Albopictus merupakan vektor penularan virus dengue dari penderita kepada orang lainnya
melalui gigitannya nyamuk Aedes Aegyeti merupakan vektor penting di daerah perkotaan
(Viban) sedangkan di daerah pedesaan (rural) kedua nyamuk tersebut berperan dalam penularan.
Nyamuk Aedes berkembang biak pada genangan Air bersih yang terdapat bejana – bejana yang
terdapat di dalam rumah (Aedes Aegypti) maupun yang terdapat di luar rumah di lubang –
lubang pohon di dalam potongan bambu, dilipatan daun dan genangan air bersih alami lainnya
( Aedes Albopictus). Nyamuk betina lebih menyukai menghisap darah korbannya pada siang hari
terutama pada waktu pagi hari dan senja hari. (Soedarto, 1990 ; 37).
3. Host
Jika seseorang mendapat infeksi dengue untuk pertama kalinya maka ia akan mendapatkan
imunisasi yang spesifik tetapi tidak sempurna, sehingga ia masih mungkin untuk terinfeksi virus
dengue yang sama tipenya maupun virus dengue tipe lainnya. Dengue Haemoragic Fever (DHF)
akan terjadi jika seseorang yang pernah mendapatkan infeksi virus dengue tipe tertentu
mendapatkan infeksi ulangan untuk kedua kalinya atau lebih dengan pula terjadi pada bayi yang
mendapat infeksi virus dengue huntuk pertama kalinya jika ia telah mendapat imunitas terhadap
dengue dari ibunya melalui plasenta. (Soedarto, 1990 ; 38).
C. PATOFISIOLOGI
Infeksi Virus Dengue Perbanyak diri di hepar
PGE2 Hipotalamus Dilepaskan C3a dan C5a (peptida) Perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
Melepaskan histamin
Hipovolemia
pembuluh darah
Agregasi Trombosit
Efusi pleura dan asites Dalam jangka waktu lama menurun dan
terjadi DIC
Hipoksia jaringan Asidosis Metabolik Kematian Virus dengue yang telah masuk ketubuh
penderita akan menimbulkan virtemia. Hal tersebut menyebabkan pengaktifan complement
sehingga terjadi komplek imun Antibodi – virus pengaktifan tersebut akan membetuk dan
melepaskan zat (3a, C5a, bradikinin, serotinin, trombin, Histamin), yang akan merangsang PGE 2
di Hipotalamus sehingga terjadi termo regulasi instabil yaitu hipertermia yang akan
meningkatkan reabsorbsi Na+ dan air sehingga terjadi hipovolemi. Hipovolemi juga dapat
disebabkan peningkatkan permeabilitas dinding pembuluh darah yang menyebabkan kebocoran
palsma. Adanya komplek imun antibodi – virus juga menimbulkan Agregasi trombosit sehingga
terjadi gangguan fungsi trombosit, trombositopeni, coagulopati. Ketiga hal tersebut
menyebabkan perdarahan berlebihan yang jika berlanjut terjadi shock dan jika shock tidak
teratasi terjadi Hipoxia jaringan dan akhirnya terjadi Asidosis metabolik. Asidosis metabolik
juga disebabkan karena kebocoran plasma yang akhirnya tejadi perlemahan sirkulasi sistemik
sehingga perfusi jaringan menurun jika tidak teratasi terjadi hipoxia jaringan. Masa virus dengue
inkubasi 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari. Virus hanya dapat hidup dalam sel yang hidup, sehingga
harus bersaing dengan sel manusia terutama dalam kebutuhan protein. Persaingan tersebut sangat
tergantung pada daya tahan tubuh manusia.sebagai reaksi terhadap infeksi terjadi (1) aktivasi
sistem komplemen sehingga dikeluarkan zat anafilaktosin yang menyebabkan peningkatan
permiabilitas kapiler sehingga terjadi perembesan plasma dari ruang intravaskular ke
ekstravaskular, (2) agregasi trombosit menurun, apabila kelainan ini berlanjut akan menyebabkan
kelainan fungsi trombosit sebagai akibatnya akan terjadi mobilisasi sel trombosit muda dari
sumsum tulang dan (3) kerusakan sel endotel pembuluh darah akan merangsang atau
mengaktivasi faktor pembekuan. Ketiga faktor tersebut akan menyebabkan (1) peningkatan
permiabilitas kapiler; (2) kelainan hemostasis, yang disebabkan oleh vaskulopati;
trombositopenia; dan kuagulopati (Arief Mansjoer &Suprohaita; 2000; 419).
Demam terjadi secara mendadak berlangsung selama 2 – 7 hari kemudian turun menuju suhu
normal atau lebih rendah. Bersamaan dengan berlangsung demam, gejala – gejala klinik yang
tidak spesifik misalnya anoreksia. Nyeri punggung , nyeri tulang dan persediaan, nyeri kepala
dan rasa lemah dapat menyetainya. (Soedarto, 1990 ; 39).
5. Perdarahan
Perdaran biasanya terjadi pada hari ke 2 dan 3 dari demam dan umumnya terjadi pada kulit dan
dapat berupa uji tocniguet yang positif mudah terjadi perdarahan pada tempat fungsi vena,
petekia dan purpura. ( Soedarto, 1990 ; 39). Perdarahan ringan hingga sedang dapat terlihat pada
saluran cerna bagian atas hingga menyebabkan haematemesis. (Nelson, 1993 ; 296). Perdarahan
gastrointestinat biasanya di dahului dengan nyeri perut yang hebat. (Ngastiyah, 1995 ; 349).
6. Hepatomegali
Pada permulaan dari demam biasanya hati sudah teraba, meskipun pada anak yang kurang gizi
hati juga sudah. Bila terjadi peningkatan dari hepatomegali dan hati teraba kenyal harus di
perhatikan kemungkinan akan tejadi renjatan pada penderita . (Soederita, 1995 ; 39).
Permulaan syok biasanya terjadi pada hari ke 3 sejak sakitnya penderita, dimulai dengan tanda –
tanda kegagalan sirkulasi yaitu kulit lembab, dingin pada ujung hidung, jari tangan, jari kaki
serta sianosis disekitar mulut. Bila syok terjadi pada masa demam maka biasanya menunjukan
prognosis yang buruk. (soedarto ; 39). KLASIFIKASI DHF Menurut derajat ringannya
penyakit, Dengue Haemoragic Fever (DHF) dibagi menjadi 4 tingkat (UPF IKA, 1994 ; 201)
yaitu :
a. Derajat I
Panas 2 – 7 hari , gejala umumtidak khas, uji taniquet hasilnya positif
b. Derajat II
Sama dengan derajat I di tambah dengan gejala – gejala pendarahan spontan seperti petekia,
ekimosa, epimosa, epistaksis, haematemesis, melena, perdarahan gusi telinga dan sebagainya.
Penderita syok ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan cepat (>
120 / menit) tekanan nadi sempit (< 20 mmHg) tekanan darah menurun (120 / 80 mmHg) sampai
tekanan sistolik dibawah 80 mmHg.
d. Derajat IV
Nadi tidak teraba,tekanan darah tidak terukur (denyut jantung > – 140 mmHg) anggota gerak
teraba dingin, berkeringat dan kulit tampak biru. WHO, 1986 mengklasifikasikan DHF menurut
derajat penyakitnya menjadi 4 golongan, yaitu :
a. Derajat I
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan. Panas 2-7 hari, Uji tourniquet
positif, trombositipenia, dan hemokonsentrasi.
b. Derajat II
Sama dengan derajat I, ditambah dengan gejala-gejala perdarahan spontan seperti petekie,
ekimosis, hematemesis, melena, perdarahan gusi.
Ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan cepat (>120x/mnt )
tekanan nadi sempit ( £ 120 mmHg ), tekanan darah menurun, (120/80 ® 120/100 ® 120/110 ®
90/70 ® 80/70 ® 80/0 ® 0/0 )
d. Derajat IV
Nadi tidak teraba, tekanan darah tidak teatur (denyut jantung ³ 140x/mnt) anggota gerak teraba
dingin, berkeringat dan kulit tampak biru. Derajat (WHO 1997):
b. Derajat II : Derajat I disertai dengan perdarahan spontan dikulit atau
perdarahan lain.
c. Derajat III : Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun/ hipotensi disertai dengan kulit dingin lembab dan pasien menjadi
gelisah.
d. Derajat IV : Syock berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah
tidak dapat diukur.
TANDA DAN GEJALA Selain tanda dan gejala yang ditampilkan berdasarkan derajat
penyakitnya, tanda dan gejala lain adalah : - Hati membesar, nyeri spontan yang diperkuat
dengan reaksi perabaan. - Asites - Cairan dalam rongga pleura ( kanan ) -
Ensephalopati : kejang, gelisah, sopor koma. Gejala klinik lain yaitu nyeri epigasstrium, muntah
– muntah, diare maupun obstipasi dan kejang – kejang. (Soedarto, 1995 ; 39).
1. Campak
2. Infeksi bakteri / virus lain (tonsilo faringitis, demam dari kelompok pnyakit exanthem,
hepatitis, chikungunya)
3. Demam tipoid
4. Renjatan septik oleh kuman gram negatif lain
5. Leukimia
6. Anemia aplastik
2. Dengan renjatan
Ensefalitis meningitis
H. PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya pengobatan pasien Dengue Haemoragic Fever (DHF) bersifat simtomatis dan
suportif (Ngastiyah, 12995 ; 344) Dengue Haemoragic Fever (DHF) ringan tidak perlu dirawat,
Dengue Haemoragic Fever (DHF) sedang kadang – kadang tidak memerlukan perawatan, apabila
orang tua dapat diikutsertakan dalam pengawasan penderita di rumah dengan kewaspadaan
terjadinya syok yaitu perburukan gejala klinik pada hari 3-7 sakit ( Purnawan dkk, 1995 ; 571)
Indikasi rawat tinggal pada dugaan infeksi virus dengue (UPF IKA, 1994 ; 203) yaitu: Panas 1-2
hari disertai dehidrasi (karena panas, muntah, masukan kurang) atau kejang–kejang. Panas 3-5
hari disertai nyeri perut, pembesaran hati uji torniquet positif/negatif, kesakitan, Hb dan Ht/PCV
meningkat, Panas disertai perdarahan, Panas disertai renjatan. Sedangkan penatalaksanaan
Dengue Haemoragic Fever (DHF) menurut UPF IKA, 1994 ; 203 – 206 adalah. Belum atau
tanpa renjatan: Grade I dan II Hiperpireksia (suhu 400C atau lebih) diatasi dengan antipiretika
dan “surface cooling”. Antipiretik yang dapat diberikan ialah golongan asetaminofen,asetosal
tidak boleh diberikan Umur 6 – 12 bulan : 60 mg / kaji, 4 kali sehari Umur 1 – 5 tahun : 50 – 100
mg, 4 sehari Umur 5 – 10 tahun : 100 – 200 mg, 4 kali sehari Umur 10 tahun keatas : 250 mg, 4
kali sehari Terapi cairan 1) infus cairan ringer laktat dengan dosis 75 ml / kg BB / hari untuk
anak dengan BB < 10 kg atau 50 ml / kg BB / hari untuk anak dengan BB < 10 10 kg bersama –
sama di berikan minuman oralit, air bauh susu secukupnya 2) Untuk kasus yang menunjukan
gejala dehidrasi disarankan minum sebanyak – banyaknya dan sesering mungkin. 3) Apabila
anak tidak suka minum sama sekali sebaiknya jumlah cairan infus yang harus diberikan sesuai
dengan kebutuhan cairan penderita dalam kurun waktu 24 jam yang diestimasikan sebagai
berikut :
Apabila menunjukkan perbaikan (tensi terukur lebih dari 80 mmHg dan nadi teraba dengan
frekuensi kurang dari 120/mnt dan akral hangat) lanjutkan dengan Ringer Laktat 10
mL/KgBB/1jam. Jika nadi dan tensi stabil lanjutkan infus tersebut dengan jumlah cairan dihitung
berdasarkan kebutuhan cairan dalam kurun waktu 24 jam dikurangi cairan yang sudah masuk
dibagi dengan sisa waktu ( 24 jam dikurangi waktu yang dipakai untuk mengatasi renjatan ).
Perhitungan kebutuhan cairan dalam 24 jm diperhitungkan sebagai berikut :
1. Apabila satu jam setelah pemakaian cairan RL 20 mL/Kg BB/1 jam keadaan tensi masih
terukur kurang dari 80 mmHg dan andi cepat lemah, akral dingin maka penderita tersebut
memperoleh plasma atau plasma ekspander (dextran L atau yang lainnya) sebanyak 10
mL/ Kg BB/ 1 jam dan dapat diulang maksimal 30 mL/Kg BB dalam kurun waktu 24
jam. Jika keadaan umum membai dilanjutkan cairan RL sebanyk kebutuhan cairan
selama 24 jam dikurangi cairan yang sudah masuk dibagi sisa waktu setelah dapat
mengatasi renjatan.
1. Apabila satu jam setelah pemberian cairan Ringer Laktat 10 mL/Kg BB/ 1 jam keadaan
tensi menurun lagi, tetapi masih terukur kurang 80 mmHg dan nadi cepat lemah, akral
dingin maka penderita tersebut harus memperoleh plasma atau plasma ekspander (dextran
L atau lainnya) sebanyak 10 Ml/Kg BB/ 1 jam. Dan dapat diulang maksimal 30 mg/Kg
BB dalam kurun waktu 24 jam.
ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
Identitas
- Umur: DHF merupakan penyakit daerah tropik yang sering menyebabkan kematian pada
anak, remaja dan dewasa ( Effendy, 1995 ). - Jenis kelamin: secara keseluruhan tidak
terdapat perbedaan pada penderita DHF. Tetapi kematian lebih sering ditemukan pada anak
perempuan daripada anak laki-laki. - Tempat tinggal: penyakit ini semula hanya
ditemukan di beberapa kota besar saja, kemudian menyebar kehampir seluruh kota besar di
Indonesia, bahkan sampai di pedesaan dengan jumlah penduduk yang padat dan dalam waktu
relatif singkat.
Keluhan utama
Penderita mengeluh badannya panas (peningkatan suhu tubuh) sakit kepala, lemah, nyeri ulu
hati, mual dan nafsu makan menurun.
Pada anak umur lima tahun, perkiraan berat badan dalam kilogram mengikuti patokan umur 1-6
tahun yaitu umur ( tahun ) x 2 + 8. Tapi ada rata-rata BB pada usia 3 tahun : 14,6 Kg, pada usia
4 tahun 16,7 kg dan 5 tahun yaitu 18,7 kg. Untuk anak usia pra sekolah rata – rata pertambahan
berat badan 2,3 kg/tahun.Sedangkan untuk perkiraan tinggi badan dalam senti meter
menggunakan patokan umur 2- 12 tahun yaitu umur ( tahun ) x 6 + 77.Tapi ada rata-rata TB pada
usia pra sekolah yaitu 3 tahun 95 cm, 4 tahun 103 cm, dan 5 tahun 110 cm. Rata-rata
pertambahan TB pada usia ini yaitu 6 – 7,5 cm/tahun.Pada anak usia 4-5 tahun fisik cenderung
bertambah tinggi.
Tahap perkembangan.
Riwayat imunisasi
Anak usia pre sekolah sudah harus mendapat imunisasi lengkap antara lain : BCG, POLIO I,II,
III; DPT I, II, III; dan campak.
Riwayat nutrisi
Kebutuhan kalori 4-6 tahun yaitu 90 kalori/kg/hari.Pembatasan kalori untuk umur 1-6 tahun 900-
1300 kalori/hari. Untuk pertambahan berat badan ideal menggunakan rumus 8 + 2n. Status Gizi
Klasifikasinya sebagai berikut :
Dampak Hospitalisasi
Sumber stressor :
1. Perpisahan
1. Protes : pergi, menendang, menangis
2. Putus asa : tidak aktif, menarik diri, depresi, regresi
3. Menerima : tertarik dengan lingkungan, interaksi
2. Kehilangan kontrol : ketergantungan fisik, perubahan rutinitas, ketergantungan, ini akan
menyebabkan anak malu, bersalah dan takut.
3. Perlukaan tubuh : konkrit tentang penyebab sakit.
4. Lingkungan baru, memulai sosialisasi lingkungan.
Sesak, perdarahan melalui hidung (epistaksis), pernapasan dangkal, tachypnea, pergerakan dada
simetris, perkusi sonor, pada auskultasi terdengar ronchi, effusi pleura (crackless).
1. Sistem Cardiovaskuler
Pada grade I dan II kesadaran compos mentis. Pada grade III dan IV gelisah, rewel, cengeng →
apatis → sopor → coma. Grade 1 sampai dengan IV dapat terjadi kejang, nyeri kepala dan nyeri
di berbagai bagian tubuh, penglihatan fotopobia dan nyeri di belakang bola mata.
1. Sistem perkemihan
Produksi urine menurun, kadang kurang dari 30 cc/jam terutama pada grade III, akan
mengungkapkan nyeri saat kencing, kencing berwarna merah.
Perdarahan pada gusi, Selaput mukosa kering, kesulitan menelan, nyeri tekan pada epigastrik,
pembesarn limpa, pembesaran pada hati (hepatomegali) disertai dengan nyeri tekan tanpa disertai
dengan ikterus, abdomen teregang, penurunan nafsu makan, mual, muntah, nyeri saat menelan,
dapat muntah darah (hematemesis), berak darah (melena).
1. Sistem integumen
Terjadi peningkatan suhu tubuh (Demam), kulit kering dan ruam makulopapular
Pada anak umur empat tahun, perkiraan berat badan dalam kilogram mengikuti patokan umur 1-6
tahun yaitu umur ( tahun ) x 2 + 8. Tapi ada rata-rata BB pada usia 3 tahun : 14,6 Kg, pada usia
4 tahun 16,7 kg dan 5 tahun yaitu 18,7 kg. Untu anak usia pra sekolah rata – rata pertambahan
berat badan 2,3 kg/tahun.Sedangkan untuk perkiraan tinggi badan dalam senti meter
menggunakan patokan umur 2- 12 tahun yaitu umur ( tahun ) x 6 + 77.Tapi ada rata-rata TB pada
usia pra sekolah yaitu 3 tahun 95 cm, 4 tahun 103 cm, dan 5 tahun 110 cm. Rata-rata
pertambahan TB pada usia ini yaitu 6 – 7,5 cm/tahun.Pada anak usia 4-5 tahun fisik cenderung
bertambah tinggi. b. Tahap perkembangan.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Peningkatan suhu tubuh (Hipertermi) berhubungan dengan proses infeksi virus dengue
(viremia).
2. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pindahnya cairan intravaskuler ke
ekstravaskuler
3. Resiko syok hypovolemik berhubungan dengan perdarahan yang berlebihan, pindahnya
cairan intravaskuler ke ekstravaskuler
4. Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekwat akibat mual dan nafsu makan
yang menurun.
5. Resiko terjadinya cidera (perdarahan) berhubungan dengan penurunan factor-fakto
pembekuan darah ( trombositopeni )
6. Kecemasan berhubungan dengan kondisi klien yang memburuk dan perdaahan
7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangya informasi.
Tujuan : Suhu tubuh normal kembali setelah mendapatkan tindakan perawatan. Kriteria hasil :
Suhu tubuh antara 36 – 37, membran mukosa basah, nadi dalam batas normal (80-100 x/mnt),
Nyeri otot hilang. Intervensi :
1. Berikan / anjurkan pasien untuk banyak minum 1500-2000 cc/hari ( sesuai toleransi )
1. Anjurkan keluarga agar mengenakan pakaian yang tipis dan mudah menyerap keringat
pada klien.
Rasional : Memberikan rasa nyaman dan pakaian yang tipis mudah menyerap keringat dan tidak
merangsang peningkatan suhu tubuh.
1. Observasi intake dan output, tanda vital ( suhu, nadi, tekanan darah ) tiap 3 jam sekali
atau lebih sering.
Rasional : Mendeteksi dini kekurangan cairan serta mengetahui keseimbangan cairan dan
elektrolit dalam tubuh. Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
1. Kolaborasi : pemberian cairan intravena dan pemberian obat antipiretik sesuai program.
Rasional : Pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tubuh yang tinggi. Obat
khususnyauntuk menurunkan suhu tubuh pasien.
Tujuan : Tidak terjadi devisit voume cairan / Tidak terjadi syok hipovolemik. Kriteria : Input dan
output seimbang, Vital sign dalam batas normal (TD 100/70 mmHg, N: 80-120x/mnt), Tidak ada
tanda presyok, Akral hangat, Capilarry refill < 3 detik, Pulsasi kuat. Intervensi :
Rasional : Dapat meningkatkan jumlah cairan tubuh, untuk mencegah terjadinya hipovolemic
syok.
Tujuan : Tidak terjadi syok hipovolemik Kriteria : Tanda Vital dalam batas normal Intervensi :
Raional ; Untuk memonitor kondisi pasien selama perawatan terutama saat terdi perdarahan.
Perawat segera mengetahui tanda-tanda presyok / syok
Rasional : Perawat perlu terus mengobaservasi vital sign untuk memastikan tidak terjadi
presyok / syok
1. Jelaskan pada pasien dan keluarga tanda perdarahan, dan segera laporkan jika terjadi
perdarahan
Rasional : Dengan melibatkan psien dan keluarga maka tanda-tanda perdarahan dapat segera
diketahui dan tindakan yang cepat dan tepat dapat segera diberikan.
Rasional : Cairan intravena diperlukan untuk mengatasi kehilangan cairan tubuh secara hebat.
Rasional : Untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah yang dialami pasien dan untuk
acuan melakukan tindakan lebih lanjut.
1. Berikan / Anjurkan pada klien untuk makanan sedikit namun sering dan atau makan
diantara waktu makan
Rasional : Makanan sedikit dapat menurunkan kelemahan dan meningkatkan masukan juga
mencegah distensi gaster.
Rasional : : Mencegah terjadinya distensi pada lambung yang dapat menstimulasi muntah.
1. Jelaskan pada klien dan keluarga tentang penting nutrisi/ makanan bagi proses
penyembuhan.
2. Sajikan makanan dalam keadaan hangat.
3. Anjurkan pada klien untuk menarik nafas dalam jika mual.
4. Kolaborasi dalam pemberian diet lunak dan rendah serat.
5. Observasi porsi makan klien, berat badan dan keluhan klien.
Tujuan : Tidak terjadi perdarahan selama dalam masa perawatan. Kriteria : TD 100/60 mmHg,
N: 80-100x/menit reguler, pulsasi kuat, tidak ada perdarahan spontan (gusi, hidung, hematemesis
dan melena), trombosit dalam batas normal (150.000/uL). Intervensi :
1. Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga tentang bahaya yang dapat timbul akibat
dari adanya perdarahan, dan anjurkan untuk segera melaporkan jika ada tanda perdarahan
seperti di gusi, hidung(epistaksis), berak darah (melena), atau muntah darah
(hematemesis).
Rasional : Keterlibatan pasien dan keluarga dapat membantu untuk penaganan dini bila terjadi
perdarahan.
1. Antisipasi adanya perdarahan : gunakan sikat gigi yang lunak, pelihara kebersihan mulut,
berikan tekanan 5-10 menit setiap selesai ambil darah dan Observasi tanda-tanda
perdarahan serta tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu dan pernafasan).
Rasional : Penurunan trombosit merupakan tanda adanya kebocoran pembuluh darah yang pada
tahap tertentu dapat menimbulkan tanda-tanda klinis seperti epistaksis, ptike.
Rasional : Dengan trombosit yang dipantau setiap hari, dapat diketahui tingkat kebocoran
pembuluh darah dan kemungkinan perdarahan yang dialami pasien.
DAFTAR PUSTAKA Carpenito, Lynda Juall. (1999). Rencana Asuhan & Dokumentasi
Keperawatan. Edisi 2. (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarata. Carpenito, Lynda
Juall. (2000.). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. (terjemahan). Penerbit buku
Kedokteran EGC. Jakarta. Doenges, Marilynn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi
3. (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta. Engram, Barbara. (1998). Rencana
Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume 2, (terjemahan). Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta. Junadi, Purnawan. (1982). Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta: Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Long, Barbara C. (1996). Perawatan
Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan). Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Pajajaran. Bandung. Mansjoer, Arif & Suprohaita. (2000). Kapita Slekta Kedokteran Jilid II.
Fakultas Kedokteran UI : Media Aescullapius. Jakarta. Ngastiyah (1997). Perawatan Anak
Sakit. Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta. Soeparman. (1987). Ilmu Penyakit Dalam Jilid
I Edisi kedua. Penerbit FKUI. Jakarta. Soetjiningsih. (1995). Tumbuh Kembang Anak. Penerbit
buku Kedokteran EGC, Jakarta. Suharso Darto (1994). Pedoman Diagnosis dan Terapi. F.K.
Universitas Airlangga. Surabaya. (1994). Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Kesehatan
Anak. Fakultas Kedokteran Unair & RSUD dr Soetomo Surabaya