Anda di halaman 1dari 3

Anak Tukang Sampah

Denny Prabowo

“Anak tukang sampah! Anak tukang sampah!”


Arin berlari menjauhi kerumunan kawan-kawan sekolah. Ia tidak tahan dengan
cemoohan mereka. Arin berlari sambil sesekali mengusap airmatanya. Langkahnya diayun
secepat mungkin. Ia ingin segera menghilang dari pandangan kawan-kawannya. Kalau perlu
menghilang untuk selamanya.
Bruk!
“Aduh!” Arin terjatuh. Ia menabrak seorang penarik gerobak.
“Kalau lari hati-hati, Nak,” nasihat penarik gerobak yang tak lain ayahnya sendiri.
Arin menatap wajah ayahnya sambil menangis sesenggukan. Matanya yang merah
terlihat memendam marah.
Ayah mengulurkan tangannya, bermaksud membantu Arin berdiri. Namun Arin
segera menepisnya. Ia kemudian bangkit lalu berlari sambil terus menangis. Ayah tentu saja
bingung melihat sikap Arin. Ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
“Ada apa dengan Arin?” bisik hati Ayah, “tidak biasanya ia begitu.”
Sesampai di rumah, Arin langsung masuk ke dalam kamarnya. Tidak berapa lama
terdengar suara tangisan dari dalam kamar itu.
Ibu beranjak dari depan mesin jahit. Ia menyusul Arin ke kamarnya. Tapi pintu kamar
Arin terkunci dari dalam. Ibu mengetuk-ngetuk pintu kamar Arin. Putri semata wayangnya
itu tidak menyahut.
“Arin,” panggil Ibu dari balik pintu, “ada apa, Nak? Buka pintu kamarnya.”
Arin tidak menyahut. Dia menutupi kepalanya dengan bantal sambil terus menangis.
Tentu saja Ibu semakin khawatir. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Arin terus menangis
sampai ia tertidur dan terbangun di dunia mimpi.
Arin beranjak dari tempat tidurnya, lalu keluar kamar. Perutnya terasa lapar. Ia segera
menghampiri meja makan. Tidak ada makanan. Ke mana Ayah dan Ibu?
Hidung Arin mengendus bau busuk dari luar rumah. Seperti bau tumpukan sampah
yang berhari-hari tidak diangkat. Bahkan tercium juga bau bangkai. Arin menutup hidungnya
dengan sapu tangan.
“Hueeekkk! Kenapa bau banget?”
Arin berlari keluar rumah, bermaksud menghirup udara segar. Namun, bau busuk itu
kian menjadi. Sepertinya udara sudah tercemar bau sampah. Lalat-lalat bebas beterbangan
kian kemari. Ia menyaksikan tumpukan sampah menggunung di sana-sini. Hampir tak ada
sudut yang bebas dari tumpukan sampah.
“Arin!” panggil Rina, tetangga sebelah rumahnya, “cepat bersembunyi!”
Arin tidak dapat mendengar peringatan Rina. Suara Rina hilang ditelan suara
dengungan lalat yang semakin bising.
“Arin! Lari!” teriak Rina sambil menunjuk ke angkasa.
Arin masih tak dapat mendengar suara Rina. Suara dengung itu bertambah keras dan
dekat. Tapi Arin dapat mengerti maksud Rina. Arin menoleh ke angkasa. Lalat-lalat
berkerumun membentuk awan hitam. Ada seekor yang berukuran sangat besar. Arin segera
berlari menghampiri menuju rumah Rina. Lalat-lalat itu mengejar!
Rina cepat membuka pintu rumahnya. Ia segera mengunci kembali pintu begitu Arin
berhasil masuk ke dalam. Bapak Rina sibuk memukul lalat-lalat yang berhasil masuk ke
dalam rumah dengan raket listrik. Ibu Rina menyemprotkan pembasmi serangga ke arah lalat-
lalat itu.
“Kampung kita sudah dikuasai lalat!” tukas Rina.
“Dari mana lalat-lalat itu datang?” tanya Arin. Rina menggelengkan kepala.
“Yang pasti sejak sampah-sampah menggunung di kampung kita,” terang Pak Sidik,
bapaknya Rina.
“Ayahmu mogok tak mau mengangkut sampah-sampah di kampung kita lagi,” terang
Bu Sidik, “sejak itu sampah berserakan di mana-mana.”
“Mengapa Ayah tak mau menarik sampah?” tanya Arin masih dengan dada yang
berdegup kencang karena ketakutan.
“Bukannya kamu yang minta ayahmu nggak lagi menarik sampah?” Rina malah balik
bertanya.
“Aku?” Arin jadi bingung.
“Ya,” kata Rina, “soalnya kamu malu punya ayah tukang sampah.”
Arin menunduk. Ia merasa bersalah. Gara-gara dia, kampungnya jadi lautan sampah.
Akibatnya, lalat-lalat berdatangan. Tubuh lalat-lalat itu pun jadi kian besar karena banyak
makanan.
“Di mana ayahku?” tanya Arin.
“Mungkin sudah ikut mengungsi bersama yang lain,” jawab Pak Sidik.
“Mengungsi ke mana? Kenapa Arin nggak diajak?” suara Arin terdengar sedih.
“Kami tidak tahu, Arin...,” ujar Rina, lirih.
Arin menunduk sedih. Air matanya jatuh ke kedua pipi bulatnya. Rini beserta kedua
orang tuanya memeluk Arin. Tapi tiba-tiba....
Brrrraaakkkkk...!!!
Mereka semua menoleh ke asal suara. Pintu rumah Arin sudah hancur. Lalat-lalat itu
menyerbu masuk ke dalam rumah, menyerang Arin beserta Rini dan keluarganya.
“Tolong! Tolong! Tolong!” Arin berusaha berlari, tapi kakinya terasa berat. Ia sulit
melangkah, ia hanya bisa berteriak keras, “Ayaaaaaah!”
Duk!
“Aduuuuhhh...!” Arin terjatuh dari atas tempat tidur. Waktu ia membuka mata, Ayah
sudah berdiri di hadapannya. Rupanya, Ayah mendobrak pintu kamar Arin saat mendengar
anaknya itu berteriak ketakutan.
“Arin kenapa?” Ayah membantu Arin yang tergeletak di lantai untuk berdiri.
“Ayaaaah!” Arin memeluk tubuh ayahnya, erat, “lalat, Yah! Lalat-lalat menyerang
kampung kita! Lalatnya besar-besar!”
“Lalat?” Kening Ayah berkerut.
“Makanya, kalau pulang sekolah bersihkan dulu badan Arin, biar nggak mimpi
diserbu lalat,” nasihat Ibu.
Arin tersipu malu. Ia baru menyadari kalau ternyata ia hanya bermimpi. Arin
kemudian memeluk tubuh ayah dan ibunya, tanpa kata-kata. Setelah itu berlari ke kamar
mandi. Ayah dan Ibu tentu saja keheranan.
“Arin,” panggil Ayah, “kamu belum menjelaskan soal lalat tadi.”
Tapi Arin tak mendengarnya, ia sudah keburu asyik membasuh tubuhnya di kamar
mandi.
Keesokan pagi di sekolah, teman-temannya kembali mengolok-olok Arin.
“Anak tukang sampah! Anak tukang sampah! Anak tukang sampah!”
Tapi Arin tidak marah, ia malah tersenyum. Arin teringat dengan mimpinya kemarin.
Ah, kalau tak ada ayahku, rumah kalian pasti diserbu pasukan lalat, bisik hati Arin. Sayang,
teman-temannya tidak ada yang tahu mimpi Arin.
“Ayahku pahlawanku!” teriak Arin ke arah teman-temannya. Mereka terdiam dan
hanya bisa saling berpandangan, heran.

Selesai

Anda mungkin juga menyukai