PENDAHULUAN
Ekstrapulmoner tuberkulosis (EPTB) terdiri dari 9,7-46% dari semua kasus
tuberkulosis (TBC) (1-3). Walaupun kuman tuberkulosis bisa menyebar ke setiap
organ, organ-organ yang umum terlibat dengan EPTB adalah kelenjar getah bening,
pleura, tulang dan sendi, otak dan meninges, organ pencernaan, hati, Genitourinary
organ, peritoneum, dan perikardium. Meskipun Limfadenitis TB atau pleuritis
responnya relatif baik dengan pengobatan anti-TB, beberapa bentuk EPTB (misalnya,
TB meningitis) terkenal karena hubungan mereka dengan morbiditas dan mortaliras
yang tinggi (4, 5). Selanjutnya, TB milier, bentuk yang ekstrim EPTB, menimbulkan
suatu tantangan besar bagi kesehatan manusia karena tingginya angka kematian 18-
24%, dalam beberapa laporan terbaru (6-9).
Semua pasien TB dewasa dengan bukti kultur antara 1 Januari 2004 dan 31 Juli 2006
di SeoulNational University Hospital, sebuah rumah sakit rujukan tersier yang
dimasukkan untuk penelitian ini. Kami secara retrospektif meniinjau catatan medis
pasien tersebut, yang meliputi data demografi, hasil tes laboratorium, dan sebagainya.
Kami juga meninjau pemeriksaan radiografi pasien. Protokol Penelitian ini disetujui
oleh dewan peninjau kelembagaan Seoul National University Hospital.
Adanya keterlibatan ekstra pulmoner pada pasien TB paru didasarkan pada criteria
berikut: 1) ditemukannya basil tahan asam, atau pertumbuhan Mycobacterium
tuberculosis pada jaringan 2)adanya granuloma dengan atau tanpa nekrosis jaringan;
3) hasil positif PCR untuk DNA Mycobacterium tuberculosis dari jaringan; 4)
diagnosis klinis oleh dokter didasarkan gejala, laboratorium, penemuan radiografi,
dan respon pengobatan dengan antituberkulosis. Pleuritis TB tidak diklasifikasikan
sebagai EPTB karena pleura diyakini lebih sering dilibatkan secara invasi langsung
atau reaksi hipersensitifitas oleh Mycobacterium Tuberkulosis, dibanding penyebaran
melalui darah,
ANALISIS STATISTIK
Perbandingan univarian antara Grup TB paru dengan keterlibatan ekstra pulmoner
dan grup TB paru tanpa keterlibatan ekstra pulmoner ditampilkan dengan
menggunakan Pearson’s chi-square test atau Fisher exact test untuk categorical
variable dan student’s test untuk continius variable. Variabel dianalisis dengan
memasukkan karakteristik demografi, hasil laboratorium, dan penemuan
radiografi.Penggunaan variabel dengan p values of <0.20 dari perbandingan
univariat, model multiple logistic regresi dibangun untuk mengidentifikasi predictor
dari adanya keterlibatan ekstrapulmoner. Pada logistic regresi, backward eliminasi
digunakan untuk menyeleksi variable untuk di pertahankan pada model akhir, dengan
menggunakan nilai p˂0,10 sebagai criteria untuk kebermaknaan statistic.
Area dibawah kurva penerimaan statistic dipergunakan untuk mengevaluasi
penampilan dari model. Untuk memuluskan membagi pasien kedalam subgroup yang
homogen, classification and regression trees (CART) digunakan untuk membangun
sebuah klasifikasi binary melalui pembagian yang berulang. Semua test signifikansi
dilakukan dua sisi dan p˂0,005 dipertimbangkan bermakna secara statistic. Kami
menggunakan software Stata 9.0 untuk menampilkan multiple logistic regresi dan R
2.4.1 untuk membangun CART.
HASIL
Tiga ratus dua puluh pasien didiagnosis TB dengan pembuktian kultur di Rumah sakit
Seoul National University antara 1 Januari 2004 dan 31 Juli 2006. Mereka rata-rata
berusia 45 thn dan 198 (62%) adalah laki-laki: 85 pasien (26,6%) penyakit yang
mendasari adalah infeksi HIV, diabetes, penyakit hati kronis, dan seterusnya; 83
pasien (25,9%) sebelumnya didiagnosis dan diobati TB (Tabel 1). Empat puluh
(12,5%) dari 320 pasien dengan TB paru telah mengalami keterlibatan
ekstrapulmoner .TB milier adalah manifestasi yang paling umum dari EPTB (12
pasien, 30%). LimfadenitisTB (8 pasien), TB usus (8 pasien), dan TB laring (8
pasien) . keterlibatan organ ekstrapulmoner dikonfirmasi bacteriologi pada 11 pasien
(27,5%) dan didiagnosa berdasarkan PCR positif untuk M. tuberculosis DNA pada 7
pasien(Tabel 2). Kami membandingkan karakteristik klinis dan hasil laboratorium
antara 40 pasien TB paru dengan keterlibatan ekstrapulmoner dengan 280 pasien
tanpa keterlibatan ekstrapulmoner.Tidak ada perbedaan antara kedua kelompok dalam
hal usia, penyakit yang mendasari, riwayat TB sebelumnya dan pola kerentanan obat.
Namun, keterlibatan paru-paru bilateral lebih sering terjadi pada pasien dengan
keterlibatan ekstrapulmoner (77,5% vs 46,4%, p <0,001). Selain itu, rata-rata
hematokrit, albumin, dan nilai kolesterol lebih rendah pada pasien dengan keterlibatan
ekstrapulmoner tabel 3.
Model regresi logistik ganda terakhir menunjukkan bahwa setelah penyesuaian hanya
kehadiran kavitas , tidak adanya keterlibatan paru bilateral , dan kadar albumin yang
rendah yang dikaitkan dengan keterlibatan ekstrapulmoner pada pasien dengan TB
paru. Pasien dengan keterlibatan paru bilateral kelihatannya lebih cenderung memiliki
keterlibatan ekstrapulmoner, dengan adjusted rasio odds (OR) dari 4,21 (95%
confidence interval[CI], 1.82-9.72), sementara pasien yang lebih tua dari 60 tahun
(adjusted OR, 0,27; 95% CI, 0,08-0,89) dan pasien dengan kavitas kurang cenderung
memiliki keterlibatan ekstrapulmoner (adjusted OR, 0,37; 95% CI, 0,16-0,84). Selain
itu, pasien dengan tingkat albumin yang lebih tinggi kurang sering mengalami
keterlibatan ekstrapulmoner (adjusted OR, 0.45; 95% CI, 0,25-0,78) (Tabel 4).
Kecocokan dari model akhir baik dalam hal dianggap sebagai penanda beban kuman
tinggi dan dilaporkan dihubungkan dengan kekambuhan setelah selesainya
pengobatan(14). Pengamatan kami, keterlibatan ekstrapulmoner jarang pada pasien
TB paru dengan kavitas menunjukkan bahwa semakin tinggi beban kuman per se
tidak membuat host rentan terhadap keterlibatan ekstrapulmoner. Sebaliknya, dalam
kajian ini kehadiran kavitas dikaitkan dengan kemungkinanyang lebih rendah
dari penyebaran basil tuberkulosis ke organ ekstrapulmoner. Mengingat bahwa rongga
paru dilaporkan jarang terjadi pada pasien TB dengan imuno compromise(15, 16),
kehadiran rongga dapat menjadi ciritingkat tertentu kekebalan terhadap basil
tuberkulosis,menjamin perlindungan dari penyebaran lebih lanjut untuk organ lain.
Hipotesis ini dapat diuji melalui penelitian yang akan datang dengan membandingkan
sistemik serta imunitas lokal melawan M. tuberkulosis antara pasien TB dengan atau
tanpa kavitas paru harus dilakukan melalui penelitian di masa depan. Faktanya,
perbedaan itu sudah dilaporkan dalam ekspresi dari berbagaigen antara pasien TB
paru dan pasien TB ekstrapulmoner (17).
Hasil dari penelitian kami bahwa pasien yang lebih tua dengan TBC paru memiliki
risiko yang lebih rendah mengalami keterlibatan ekstrapulmoner (disesuaikan OR,
0,27; 95% CI, 0,08-0,89) tidak sesuai dengan laporan sebelumnya yang menunjukkan
bahwa EPTB lebih tinggi pada orang tua (28). Di samping itu, risiko rendah EPTB
pada orang tuatidak mendukung kekebalan sebagai penentu penyebaran dari basil
tuberculosis ke organ-organ lain karena tingginya kejadian TB di kelompok usia (29,
30) dan penurunan kekebalan terhadap basil tuberkulosis di tikus yang lebih tua (31).
Pengamatan ini bisa ditafsirkan dalam dua cara. Pertama, penurunan risiko
keterlibatan ekstrapulmoner pada orang tua dapat merupakan akibat kecilnya jumlah
pasien yang lebih dari 60 th(61 pasien, 19,1%) dalam kajian ini,Padakeadaan ini,
perubahan kecil pada jumlah pasien dengan keterlibatan ekstrapulmoner bisa
membuat perubahan signifikan pada OR. Kedua, penyebarluasan ekstrapulmoner
dengan keterlibatan paru-paru bilateral tetapi tanpa pembentukan kavitas dapat
dipahami sebagai karakteristik basil TB dibandingkan status kekebalan host.
Manifestasi Klinis mungkin berbeda di antara pasien TB terinfeksi dengan berbagai
jenis M. tuberkulosis. Misalnya, 'Beijing galur ', dilaporkan menyebabkan patologi
yang lebih parah pada tikus (32) dan juga lesi radiografi yang lebih jelas pada
manusia (33). Dalam konteks ini, infeksi oleh strain spesifik dari M. tuberculosis
mungkin lebih menyebabkan penyebaran ekstra dan intra pulmonerdibandingkan
pembentukan kavitas.