Anda di halaman 1dari 4

PREVALENSI DAN PREDIKTOR KETERLIBATAN EKSTRA

PULMONER PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU

Keterlibatan organ ekstrapulmoner pada pasien terinfeksi HIV dengan TB Paru


dilaporkan 26%, namun, prediktor klinis keterlibatan ekstrapulmoner pada pasien TB
Paru belum pernah dilaporkan. Kami mencoba untuk menentukan prediktor klinis
adanya keterlibatan ekstrapulmoner pada pasien TB Paru. Cross-sectional study
dilakukan dengan memasukkan semua pasien dewasa dengan pembuktian diagnosa
dengan kultur antara 1 januari 2004 sampai 30 Juli 2006 pada rumah sakit rujukan
tertier di Korea Selatan. Adanya keterlibatan ekstrapulmoner didiagnosa berdasarkan
bukti bakteriologis, patologi atau klinis. Diantara 320 pasien TB paru dg pembuktian
kultur, 40 orang mengenai ekstrapulmoner. Pasien dengan keterlibatan kedua paru
kelihatannya lebih banyak yang mempunyai keterlibatan ekstrapuloner, dengan
adjusted odss ratio (OR) 4,21 (95% confidence interval [CI], 1.82-9.72), sementara
pada pasien diatas 60 tahun (adjusted OR, 0.27; 95% CI, 0.08-0.89), pasien dengan
cavitas (adjusted OR, 0.37; 95% CI, 0.16-0.84),dan pasien dengan level albumin
yang lebih tinggi (adjusted OR, 0.45; 95% CI, 0.25-0.78) lebih jarang mengalami
keterlibatan ekstrapulmoner. Dokter seharusnya lebih waspada dengan kemungkinan
keterlibatan ekstra pulmoner pada pasien TB pada kedua paru tanpa cavitas atau
pasien dengan albumin serum yang rendah.

PENDAHULUAN
Ekstrapulmoner tuberkulosis (EPTB) terdiri dari 9,7-46% dari semua kasus
tuberkulosis (TBC) (1-3). Walaupun kuman tuberkulosis bisa menyebar ke setiap
organ, organ-organ yang umum terlibat dengan EPTB adalah kelenjar getah bening,
pleura, tulang dan sendi, otak dan meninges, organ pencernaan, hati, Genitourinary
organ, peritoneum, dan perikardium. Meskipun Limfadenitis TB atau pleuritis
responnya relatif baik dengan pengobatan anti-TB, beberapa bentuk EPTB (misalnya,
TB meningitis) terkenal karena hubungan mereka dengan morbiditas dan mortaliras
yang tinggi (4, 5). Selanjutnya, TB milier, bentuk yang ekstrim EPTB, menimbulkan
suatu tantangan besar bagi kesehatan manusia karena tingginya angka kematian 18-
24%, dalam beberapa laporan terbaru (6-9).

Keterlibatan Organ ekstrapulmoner (10) pada pasien (HIV) dengan TB paru


dilaporkan 26%, Namun demikian, karakteristik klinis pasien dengan risiko TB paru
bersamaan dengan keterlibatan organ ekstrapulmoner belum pernah dipelajari secara
rinci, meskipun inisiasi pengobatan awal berikut identifikasi keterlibatan
ekstrapulmoner sangat penting. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan
prevalensi dan prediktor klinis adanya keterlibatan ekstrapulmoner pada pasien TB
paru

BAHAN DAN METODE

Pengaturan penelitian, subjek, dan pengumpulan data

Semua pasien TB dewasa dengan bukti kultur antara 1 Januari 2004 dan 31 Juli 2006
di SeoulNational University Hospital, sebuah rumah sakit rujukan tersier yang
dimasukkan untuk penelitian ini. Kami secara retrospektif meniinjau catatan medis
pasien tersebut, yang meliputi data demografi, hasil tes laboratorium, dan sebagainya.
Kami juga meninjau pemeriksaan radiografi pasien. Protokol Penelitian ini disetujui
oleh dewan peninjau kelembagaan Seoul National University Hospital.

Definisi Keterlibatan ektrapulmoner

Adanya keterlibatan ekstra pulmoner pada pasien TB paru didasarkan pada criteria
berikut: 1) ditemukannya basil tahan asam, atau pertumbuhan Mycobacterium
tuberculosis pada jaringan 2)adanya granuloma dengan atau tanpa nekrosis jaringan;
3) hasil positif PCR untuk DNA Mycobacterium tuberculosis dari jaringan; 4)
diagnosis klinis oleh dokter didasarkan gejala, laboratorium, penemuan radiografi,
dan respon pengobatan dengan antituberkulosis. Pleuritis TB tidak diklasifikasikan
sebagai EPTB karena pleura diyakini lebih sering dilibatkan secara invasi langsung
atau reaksi hipersensitifitas oleh Mycobacterium Tuberkulosis, dibanding penyebaran
melalui darah,

ANALISIS STATISTIK
Perbandingan univarian antara Grup TB paru dengan keterlibatan ekstra pulmoner
dan grup TB paru tanpa keterlibatan ekstra pulmoner ditampilkan dengan
menggunakan Pearson’s chi-square test atau Fisher exact test untuk categorical
variable dan student’s test untuk continius variable. Variabel dianalisis dengan
memasukkan karakteristik demografi, hasil laboratorium, dan penemuan
radiografi.Penggunaan variabel dengan p values of <0.20 dari perbandingan
univariat, model multiple logistic regresi dibangun untuk mengidentifikasi predictor
dari adanya keterlibatan ekstrapulmoner. Pada logistic regresi, backward eliminasi
digunakan untuk menyeleksi variable untuk di pertahankan pada model akhir, dengan
menggunakan nilai p˂0,10 sebagai criteria untuk kebermaknaan statistic.
Area dibawah kurva penerimaan statistic dipergunakan untuk mengevaluasi
penampilan dari model. Untuk memuluskan membagi pasien kedalam subgroup yang
homogen, classification and regression trees (CART) digunakan untuk membangun
sebuah klasifikasi binary melalui pembagian yang berulang. Semua test signifikansi
dilakukan dua sisi dan p˂0,005 dipertimbangkan bermakna secara statistic. Kami
menggunakan software Stata 9.0 untuk menampilkan multiple logistic regresi dan R
2.4.1 untuk membangun CART.

HASIL
Tiga ratus dua puluh pasien didiagnosis TB dengan pembuktian kultur di Rumah sakit
Seoul National University antara 1 Januari 2004 dan 31 Juli 2006. Mereka rata-rata
berusia 45 thn dan 198 (62%) adalah laki-laki: 85 pasien (26,6%) penyakit yang
mendasari adalah infeksi HIV, diabetes, penyakit hati kronis, dan seterusnya; 83
pasien (25,9%) sebelumnya didiagnosis dan diobati TB (Tabel 1). Empat puluh
(12,5%) dari 320 pasien dengan TB paru telah mengalami keterlibatan
ekstrapulmoner .TB milier adalah manifestasi yang paling umum dari EPTB (12
pasien, 30%). LimfadenitisTB (8 pasien), TB usus (8 pasien), dan TB laring (8
pasien) . keterlibatan organ ekstrapulmoner dikonfirmasi bacteriologi pada 11 pasien
(27,5%) dan didiagnosa berdasarkan PCR positif untuk M. tuberculosis DNA pada 7
pasien(Tabel 2). Kami membandingkan karakteristik klinis dan hasil laboratorium
antara 40 pasien TB paru dengan keterlibatan ekstrapulmoner dengan 280 pasien
tanpa keterlibatan ekstrapulmoner.Tidak ada perbedaan antara kedua kelompok dalam
hal usia, penyakit yang mendasari, riwayat TB sebelumnya dan pola kerentanan obat.
Namun, keterlibatan paru-paru bilateral lebih sering terjadi pada pasien dengan
keterlibatan ekstrapulmoner (77,5% vs 46,4%, p <0,001). Selain itu, rata-rata
hematokrit, albumin, dan nilai kolesterol lebih rendah pada pasien dengan keterlibatan
ekstrapulmoner tabel 3.

Model regresi logistik ganda terakhir menunjukkan bahwa setelah penyesuaian hanya
kehadiran kavitas , tidak adanya keterlibatan paru bilateral , dan kadar albumin yang
rendah yang dikaitkan dengan keterlibatan ekstrapulmoner pada pasien dengan TB
paru. Pasien dengan keterlibatan paru bilateral kelihatannya lebih cenderung memiliki
keterlibatan ekstrapulmoner, dengan adjusted rasio odds (OR) dari 4,21 (95%
confidence interval[CI], 1.82-9.72), sementara pasien yang lebih tua dari 60 tahun
(adjusted OR, 0,27; 95% CI, 0,08-0,89) dan pasien dengan kavitas kurang cenderung
memiliki keterlibatan ekstrapulmoner (adjusted OR, 0,37; 95% CI, 0,16-0,84). Selain
itu, pasien dengan tingkat albumin yang lebih tinggi kurang sering mengalami
keterlibatan ekstrapulmoner (adjusted OR, 0.45; 95% CI, 0,25-0,78) (Tabel 4).

Kecocokan dari model akhir baik dalam hal dianggap sebagai penanda beban kuman
tinggi dan dilaporkan dihubungkan dengan kekambuhan setelah selesainya
pengobatan(14). Pengamatan kami, keterlibatan ekstrapulmoner jarang pada pasien
TB paru dengan kavitas menunjukkan bahwa semakin tinggi beban kuman per se
tidak membuat host rentan terhadap keterlibatan ekstrapulmoner. Sebaliknya, dalam
kajian ini kehadiran kavitas dikaitkan dengan kemungkinanyang lebih rendah
dari penyebaran basil tuberkulosis ke organ ekstrapulmoner. Mengingat bahwa rongga
paru dilaporkan jarang terjadi pada pasien TB dengan imuno compromise(15, 16),
kehadiran rongga dapat menjadi ciritingkat tertentu kekebalan terhadap basil
tuberkulosis,menjamin perlindungan dari penyebaran lebih lanjut untuk organ lain.
Hipotesis ini dapat diuji melalui penelitian yang akan datang dengan membandingkan
sistemik serta imunitas lokal melawan M. tuberkulosis antara pasien TB dengan atau
tanpa kavitas paru harus dilakukan melalui penelitian di masa depan. Faktanya,
perbedaan itu sudah dilaporkan dalam ekspresi dari berbagaigen antara pasien TB
paru dan pasien TB ekstrapulmoner (17).

Berbeda dengan kehadiran kavitas paru, Keterlibatan paru-paru bilateral mungkin


lebih mencerminkan kekebalan host yang lemah dibanding jumlah kuman (18).
Menimbang bahwa berbagai jenis gangguan imunitas yang diperantarai sel telah
dianggap memainkan peran penting dalam perkembangan EPTB (10, 19-22),
penurunan kekebalan host yang dipengaruhi oleh adanya keterlibatan paru-paru
bilateral bisa sangat penting dalam penyebaran basil tuberkulosis ke organ ekstra
pulmoner. Fakta, pasien TB paru pada immunosuppressants cenderung memiliki
keterlibatan ekstrapulmoner (p =0,08) dalam studi ini, meskipun kami gagal
mendapatkan signifikansi statistikkarena jumlah pasien immunosuppressants yang
kecil. Tambahan lagi ,Hipoalbuminemia umumnya dianggap sebagai penanda
kurangnya status gizi pada pasien dengan TB (23, 24). Selain,Hipoalbuminemia /
protein gizi buruk sendiri dapat merusak kekebalan host terhadap M. tuberculosis
melalui penurunan produksi sitokin termasuk interferon-γ (25) atau pengurangan
CD4 dan jumlah sel CD8 yang diamati pada hewan percobaan(26). Hipoalbuminemia
sebagai prediktor untuk adanya keterlibatan organ ekstrapulmoner seperti yang
diamati dalam studi ini dapat dijelaskan oleh kemungkinan disfungsi imun melawan
basil tuberkulosis dan sesuai dengan laporan sebelumnya menunjukkan tingkat
albumin yang lebih rendah pada pasien dengan dissiminated TB (27).

Hasil dari penelitian kami bahwa pasien yang lebih tua dengan TBC paru memiliki
risiko yang lebih rendah mengalami keterlibatan ekstrapulmoner (disesuaikan OR,
0,27; 95% CI, 0,08-0,89) tidak sesuai dengan laporan sebelumnya yang menunjukkan
bahwa EPTB lebih tinggi pada orang tua (28). Di samping itu, risiko rendah EPTB
pada orang tuatidak mendukung kekebalan sebagai penentu penyebaran dari basil
tuberculosis ke organ-organ lain karena tingginya kejadian TB di kelompok usia (29,
30) dan penurunan kekebalan terhadap basil tuberkulosis di tikus yang lebih tua (31).
Pengamatan ini bisa ditafsirkan dalam dua cara. Pertama, penurunan risiko
keterlibatan ekstrapulmoner pada orang tua dapat merupakan akibat kecilnya jumlah
pasien yang lebih dari 60 th(61 pasien, 19,1%) dalam kajian ini,Padakeadaan ini,
perubahan kecil pada jumlah pasien dengan keterlibatan ekstrapulmoner bisa
membuat perubahan signifikan pada OR. Kedua, penyebarluasan ekstrapulmoner
dengan keterlibatan paru-paru bilateral tetapi tanpa pembentukan kavitas dapat
dipahami sebagai karakteristik basil TB dibandingkan status kekebalan host.
Manifestasi Klinis mungkin berbeda di antara pasien TB terinfeksi dengan berbagai
jenis M. tuberkulosis. Misalnya, 'Beijing galur ', dilaporkan menyebabkan patologi
yang lebih parah pada tikus (32) dan juga lesi radiografi yang lebih jelas pada
manusia (33). Dalam konteks ini, infeksi oleh strain spesifik dari M. tuberculosis
mungkin lebih menyebabkan penyebaran ekstra dan intra pulmonerdibandingkan
pembentukan kavitas.

Kesimpulannya, keterlibatan organ ekstrapulmoner padapasien TB paru lebih umum


pada pasiendengan keterlibatan paru-paru bilateral tetapi tanpa pembentukan kavitas
atau rendahnya tingkat serum albumin. Dokter harus tetapmemikirkan kemungkinan
keterlibatan ekstrapulmoner pada pasien ini.

Anda mungkin juga menyukai