Anda di halaman 1dari 26

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis,
khas ditandai dengan terjadinya pembentukan granuloma dan nekrosis. Infeksi ini paling
sering mengenai paru, akan tetapi dapat juga meluas mengenai organ organ tertentu1.
TB paru masih merupakan masalah kesehatan utama di negara sedang berkembang,
termasuk Indonesia, di mana sebagian besar penduduknya hidup di pedesaan dengan
derajat kesehatan yang masih rendah. Di Indonesia TB paru merupakan penyebab kematian
nomor empat setelah penyakit infeksi saluran napas bawah, diare dan penyakit jantung
koroner. Berbagai upaya perlu dilakukan untuk menurunkan prevalensi TB paru ini, salah
satu adalah usaha menemukan penderita yaitu dengan meningkatkan kemampuan
menegakkan diagnosis, agar dapat diberikan obat anti tuberkulosis (OAT) yang tepat.
Berdasarkan hasil pemeriksaan rontgen dada dapat dicurigai apakah suatu lesi pada paru
merupakan TB aktif atau inaktif, selain itu dapat digunakan untuk menyingkirkan
kemungkinan positif palsu pada hasil tes tuberkulin dengan tanpa gejala klinis. Selain itu,
pemeriksaan foto toraks dapat digunakan untuk kasus TB yang meragukan, yaitu dengan
menggunakan foto kontrol apakah terjadi perbaikan, menetap atau perburukan pada
penderita TB paru. Meskipun demikian pemeriksaan foto toraks tidak untuk diagnosis
tetapi penunjang dalam menegakkan diagnosis TB paru2,3.
Untuk mengetahui seberapa banyak dari pemeriksaan foto toraks yang digunakan
dalam mendukung diagnosis TB paru maka dilakukan penelitian di unit IRD RSUP
Sanglah dan dikelompokkan berdasarkan umur dan jenis kelamin dan ditemukannya lesi
TB aktif/ inaktif.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana gambaran distribusi TB Paru menurut jenis kelamin di IRD RSUP Sanglah
periode 1 Juni- 31 Desember 2008?
2. Bagaimana sebaran kejadian TB Paru berdasarkan kelompok umur sesuai dengan
kunjungan pasien di IRD RSUP Sanglah periode 1 Juni- 31 Desember 2008?
3. Berapa besarnya angka prevalensi kasus TB Paru aktif dan tidak aktif dilihat dari
gambaran radiologis paru pada kunjungan di IRD RSUP Sanglah periode 1 Juni- 31
Desember 2008?
1
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui gambaran distribusi TB Paru menurut jenis kelamin di IRD
RSUP Sanglah periode 1 Juni- 31 Desember 2008
2. Untuk mengetahui sebaran kejadian TB Paru berdasarkan kelompok umur sesuai
dengan kunjungan pasien di IRD RSUP Sanglah periode 1 Juni- 31 Desember 2008
3. Untuk mengetahui besarnya angka prevalensi TB aktif dan tidak aktif pada pasien
kunjungan di IRD RSUP Sanglah periode 1 Juni- 31 Desember 2008

1.4 Manfaat Penelitian


Dapat memberikan gambaran secara umum pola distribusi manifestasi radiologi TB
Paru berdasarkan jenis kelamin, umur, dan gambaran TB aktif dan tidak aktif radiologi
sebagai suatu variabel. Dengan studi ini diharapkan dapat dipakai sebagai data dasar
melakukan penelitian analisis lebih lanjut.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis
sistemis sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh, dengan lokasi terbanyak di
paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer1-3.

2.2 Etiologi
Penyebab dari tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculose, sejenis kuman
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 mikrometer dan tebal sekitar 0,3-0,6
mikrometer. Tempat masuk kuman ini adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan dan
luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberkulosis terjadi melalui udara (airborne),
yaitu penularan melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel
yang berasal dari orang-orang yang terinfeksi3.

2.3 Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah utama kesehatan di Indonesia, dan sebagian
besar negara-negara di dunia. Dengan meningkatnya penderita HIV/AIDS kecendrungan
permasalahan TB semakin meningkat. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa
terdapat 8,8 juta kasus baru TB pada tahun 2002, dengan 3,9 juta adalah kasus BTA
positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberculosis dan menurut regional
WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB
di dunia. Namun, bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.0000
penduduk. Di Afrika, hampir 2 kali lebih besar dari Asia Tenggara yaitu 350 per 100.000
penduduk dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat
kasus TB yang muncul. Di Indonesia, setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB paru
dan 140.000 meninggal dunia setiap tahunnya. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai
peringkat-3 penyumbang penderita TB di dunia, setelah India dan Cina1,4.
Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat pada saat ini diduga disebabkan
oleh berbagai hal, yaitu (1) diagnosis yang tidak tepat, (2) pengobatan yang tidak adekuat,
(3) program penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat, (4) infeksi endemik human
immuno-deficiency virus (HIV), (5) migrasi penduduk, (6) mengobati sendiri (self
3
treatment), (7) meningkatnya kemiskinan, dan (8) pelayanan kesehatan yang kurang
memadai1,4.

2.4 Faktor Risiko


Faktor risiko menderita TB dibagi menjadi faktor risiko infeksi dan faktor risiko
penyakit TB.
1. Faktor Risiko Infeksi TB
Faktor risiko infeksi TB terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang
infeksius. Selain itu, tempat tinggal di daerah endemis, daerah dengan
prevalensi TB yang tinggi, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (tempat
penampungan atau panti perawatan yang penuh sesak, sirkulasi udara yang
tidak baik) juga merupakan faktor risiko infeksi TB2,3.
2. Faktor Risiko Penyakit TB
Anak usia ≤ 5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi
menjadi sakit TB karena imunitas selulernya belum berkembang sempurna.
Namun risiko ini berkurang seiring pertambahan usia. Bayi < 1 tahun yang
terinfeksi TB 43%-nya akan menjadi sakit TB, sedangkan anak usia 1-5 tahun
yang menjadi sakit hanya 24%, usia remaja 15%, dan dewasa 5-10%.
Faktor risiko lain adalah pada penderita TB yang tidak mendapat
pengobatan adekuat, keadaan imunokompromais misalnya malnutrisi, HIV,
keganasan, pengobatan imunosupresi, diabetes melitus, dan gagal ginjal
kronis2,3
Untuk terpapar penyakit TBC pada seseorang dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti : status sosial ekonomi, status gizi, umur, jenis kelamin, dan
faktor toksis untuk lebih jelasnya dapat kita jelaskan seperti uraian dibawah ini2-
4
:
1. Faktor Sosial Ekonomi.
Disini sangat erat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan
perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat bekerja yang buruk dapat
memudahkan penularan TBC. Pendapatan keluarga sangat erat juga
dengan penularan TBC, karena pendapatan yang kecil membuat orang
tidak dapat hidup layak dengan memenuhi syarat-syarat kesehatan.

4
2. Status Gizi.
Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi
dan lain-lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh sesoeranga
sehingga rentan terhadap penyakit termasuk TB-Paru. Keadaan ini
merupakan faktor penting yang berpengaruh dinegara miskin, baik pada
orang dewasa maupun anak-anak.
3. Umur.
Penyakit TB Paru sebelumnya paling sering ditemukan pada usia muda
atau usia produktif (15 – 64) tahun. Dewasa ini dengan terjadinya
transisi demografi menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi
lebih tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 64 tahun sistem imunologis
seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit,
termasuk penyakit TB Paru.
4. Jenis Kelamin.
Penyakit TB Paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki
dibandingkan perempuan. Menurut WHO, sedikitnya dalam periode
setahun ada sekitar 1 juta perempuan yang meninggal akibat TB-Paru,
dapat disimpulkan bahwa pada kaum perempuan lebih banyak terjadi
kematian yang disebabkan oleh TB-Paru dibandingkan dengan akibat
proses kehamilan dan persalinan. Pada jenis kelamin laki-laki penyakit
ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol sehingga
dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah
terpapar dengan agent penyebab TB-Paru.

2.5 Patogenesis

Penyakit TB dapat berkembang pada seseorang melalui dua cara. Yang pertama
dapat terjadi pada seseorang yang telah beberapa tahun terinfeksi TB dan telah sembuh
sempurna. Ketika kesehatannya menurun karena penyakit lain seperti AIDS atau diabetes,
atau karena penyalahgunaan alkohol maupun kurangnya kepedulian terhadap kesehatan
karena menjadi tuna wisma, infeksi TB dapat menjadi penyakit TB. Pada cara ini,
seseorang dapat menjadi sakit beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun setelah mereka
menghirup kuman TB5.

5
Cara yang lain terjadi jauh lebih cepat. Terkadang ketika seseorang pertama kali
menghirup kuman TB, tubuhnya tidak mampu melindungi diri terhadap penyakit ini.
Kuman tersebut kemudian berkembang menjadi penyakit TB aktif dalam beberapa
minggu. Seseorang dengan TB aktif akan menjadi sangat infeksius dan dapat menyebarkan
TB ke orang lain5.

Infeksi M. tuberculosis

Kuman mati ←Fagositosis oleh makrofag alveolus paru

Kuman hidup dan berkembang biak Masa
inkubasi
2-12 minggu
Pembentukan fokus primer
Penyebaran limfogen
Penyebaran hematogen


Kompleks primer
Uji tuberkulin (+) ← Terbentuk imunitas spesifik seluler

Sakit TB Infeksi TB
Komplikasi kompleks primer Imunitas optimal
Komplikasi penyebaran hematogen
Komplikasi penyebaran limfogen
↓ ↓
Meninggal Sembuh → Sakit TB
Reaktivasi/infeksi
Gambar 1. Patogenesis TB

Kuman TB dalam droplet nuclei yang terhirup dapat mencapai alveolus. Masuknya
kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag
alveolus akan memfagosit kuman TB di mana sebagian besar kuman TB akan hancur.

6
Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB
dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang biak akan menyebabkan makrofag mengalami lisis, dan kuman TB
membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru
disebut fokus primer Ghon3,5.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di
lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang terlibat adalah kelenjar limfe parahilus,
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe
regional yang membesar (limfadenitis), dan saluran limfe yang meradang (limfangitis)3,5.
Waktu yang diperlukan sejak kuman TB masuk sampai terbentuk kompleks primer
secara lengkap disebut masa inkubasi TB. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung antara
4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut,
kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk
merangsang respons imunitas seluler3.
Pada minggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman
TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberkulin,
mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer ini, infeksi
TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya
hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respon positif terhadap uji
tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer
terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar
individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, ketika sistem imun seluler berkembang,
proliferasi kuman TB terhenti. Namun sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam
granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam
alveoli akan segera dimusnahkan3,5.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya tidak sesempurna fokus
primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun
dalam kelenjar ini3,5.
7
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat
membesar dan menyebabkan pneumonitis dan pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis
perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui brokus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang
mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang
berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan
eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru. Obstruksi total dapat
menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat
merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB
endobronkial atau membentuk fistula. Masa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit
pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering
disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi3,5.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik3,5.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman
TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju
adalah organ yang memiliki vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru
sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai tempat tersebut, kuman TB
akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang
akan membatasi pertumbuhannya3,5.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya
oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus ini pada umumnya
tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus
reaktivasi. Fokus potensial ini disebut sebagai fokus Simon. Bertahun-tahun kemudian,
bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus Simon ini dapat mengalami reaktivasi dan
menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain3,5.

8
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogen
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar
kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB
diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit
bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem pejamu (host)
dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita3,5.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread
dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan
mempunyai ukuran lebih kurang sama. Istilah milier berasal dari gambaran lesi diseminata
yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi
ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologik merupakan
granuloma3,5.
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.
Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu proses perkijuan menyebar ke saluran vaskular di
dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara
klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized
hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang3,5.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya
sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgreen, ada tiga bentuk dasar TB pada anak, yaitu
penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0,5-3%
penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya
terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang
timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-
9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya
infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang
tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering
pada remaja dan dewasa muda3,5.
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB.
TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi
dalam 1 tahun, tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun
setelah infeksi primer3.

9
2.6 Tanda dan Gejala Klinis
Gejala umum/nonspesifik TB adalah :
1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan dengan
penanganan gizi.
2. Demam lama dan berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria, atau
infeksi aluran napas akut), dapat disertai keringat malam. Demam pada
umumnya tidak tinggi.
3. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multipel.
4. Batuk lama lebih dari 30 hari.
Sedangkan gejala spesifik sesuai organ yang terkena di antaranya TB
kulit/skrofuloderma; TB tulang dan sendi (gibbus, pincang, nyeri pangkal
paha/lutut); TB otak dan saraf/meningitis dengan gejala iritabel, kaku kuduk,
muntah, dan kesadaran menurun; TB mata (konjungtivitis fliktenularis, tuberkel
koroid), TB ginjal dan peritonitis TB3,5.

2.7 Diagnosis
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada
pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila
sedikitnya dua dari tiga spesimen sputum BTA hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen
yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau
pemeriksaan dahak diulang1,2.
- Kalau hasil rontgen mendukung TB, maka penderita didiagnosis sebagai penderita
TB BTA positif.
- Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB maka pemeriksaan dahak diulangi.
Apabila fasilitas memungkinkan, maka dilakukan pemeriksaan lain misalnya biakan.
Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif diberikan antibiotik spektrum luas ( misalnya
kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu. Bila tidak ada perubahan namun
gejala klinis tetap mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak.
- Kalau hasil positif, didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif.
- Kalau hasil SPS (pemeriksaan sewaktu, pagi, sewaktu) tetap negatif, lakukan
pemeriksaan foto rontgen dada untuk mendukung diagnosis TB.
∙ Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita TB BTA negatif rontgen
positif.
∙ Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB
10
Unit Pelayanan Kesehatan yang tidak memiliki fasilitas rontgen, penderita dapat dirujuk
untuk foto rontgen dada1.

2.8 Pemeriksaan Penunjang


1. Uji Tuberkulin1-3
Pembacaan hasil uji tuberkulin dilakukan setelah 48-72 jam, dengan hasil
positif bila terdapat indurasi diameter > 10mm, meragukan bila 5-9 mm (uji
tuberkulin dapat diulang 2 minggu kemudian untuk menghindari efek booster
tuberkulin) 3, dan negatif bila 0-4 mm. Pada anak yang telah mendapat BCG,
diameter indurasi 15 mm ke atas baru dinyatakan positif, sedangkan pada anak
kontak erat dengan penderita TB aktif, diameter indurasi ≥ 5 mm harus dinilai
positif.
Uji tuberkulin positif dijumpai pada keadaan:
1. Infeksi TB alamiah
 Infeksi TB tanpa sakit
 Infeksi TB dan sakit TB
 Pasca terapi TB
2. Imunisasi BCG (infeksi TB buatan).
3. Infeksi mikobakterium atipik (M. leprae).
Uji tuberkulin negatif dijumpai pada keadaan 3:
1. Tidak ada infeksi TB.
2. Dalam masa inkubasi infeksi TB.
3. Anergi (dapat disebabkan oleh keadaan infeksi berat, pemberian
imunosupresan, penyakit keganasan (leukimia), dapat pula oleh gizi
buruk, morbili, varisela, dan penyakit infeksi lain) 1.
2. Gambaran radiologis yang dicurigai TB adalah pembesaran kelenjar hilus,
paratrakeal dan mediastinum, atelektasis, konsolidasi, efusi pleura, kavitas, dan
1
gambaran milier . Dilakukan foto toraks paru posteroanterior dan lateral
karena TB primer > 95% terjadi di parenkim paru6,7.
3. Bakteriologis, bahan biakan kuman TB diambil dari bilasan lambung, namun
memerlukan waktu cukup lama. Saat ini tengah dikembangkan metode baru
untuk biakan kuman yaitu Bactec3,8.

11
4. Serodiagnosis, beberapa di antaranya dengan cara ELISA (enzyme linked
immunoabsorbent assay) untuk mendeteksi antibodi atau uji peroxidase-anti
peroxidase (PAP) untuk menentukan IgG spesifik2,3.
5. Teknik biomolekular, merupakan pemeriksaan sensitif dengan mendeteksi
DNA spesifik yang dilakukan dengan metode PCR (polymerase chain reaction)
Uji serodiagnosis maupun biomolekular belum dapat membedakan TB aktif
atau tidak1.
6. Patologi anatomik, diagnostik histopatologi dapat ditegakkan dengan
menemukan perkijuan (kaseosa), sel epiteloid, limfosit, dan sel datia Langhans.
Spesimen yang paling mudah dan sering diperiksa adalah limfadenopati kolli,
dengan pemeriksaan biopsi aspirasi jarum halus atau biopsi2.

2.9 Peranan Foto Toraks dalam Pemeriksaan TB Paru


Pada saat ini pemeriksaan radiologi dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih
dibandingkan dengan pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal dapat
memberikan keuntungan seperti pada tuberculosis anak dan tuberkolosis milier.
Pada kedua hal diatas dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis dada,
sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif6,7.
Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apical
lobus atas atau segmen apical lobus bawah) tetapi dapat juga mengenai lobus
bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya pada
tuberculosis endobrakial)7.
Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia,
gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas
yang tidak tegas. Bila lesi ini sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat
berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal dengan tuberkuloma8,9.
Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis.
Lama-lama dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis terlihat
bayangan yang bergaris-garis. Pada kalsifikasi bayangannya tampak seperti bercak-
bercak padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang
luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagiana atau satu lobus maupun
pada satu bagian paru.

12
Gambaran tuberculosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang
umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru9.
Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberculosis paru adalah
penebalan pleura (pleuritis), massa cairan dibagian bawah paru (efusi
pleura/empiema), bayangan hitam radiolusen di pinggir paru / pleura
(pneumothorax)9.
Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan
sekaligus (pada tuberculosis yang sudah lanjut) seperti infiltrate, garis-garis
fibrotic, kalsifikasi, kavitas (non sklerotik/ sklerotik) maupun atelektasis dan
emfisema3,8.
Tuberkulosis sering memberikan gambaran yang aneh-aneh, terutama
gambaran radiologis, sehingga dikatakan tuberculosis is the great imitator.
Gambran infiltrasi dan tuberkuloma sering diartikan sebagai pneumonia, mikosis
paru, karsinoma bronkus atau karsinoma metastasis. Gambaran kavitas sering
diartikan sebagai abses paru. Disamping itu perlu diingat juga factor kesalahan
dalam membaca foto. Faktor kesalahan ini dapat mencapai 25%. Oleh karena itu
untuk diagnostik radiologi sering dilakukan foto lateral, top lordotik, oblik,
tomografi dan foto proyeksi densitas keras6-9.
Adanya bayangan (lesi) pada foto dada, bukanlah menunjukkan adanya
aktivitas penyakit, kecuali suatu infiltrat yang betul-betul nyata. Lesi penyakit yang
sudah non aktif, sering menetap selama hidup pasien. Lesi yang berupa fibrotik,
kalsifikasi, kavitas, schwarte, sering dijumpai pada orang-orang yang sudah tua6.
Berdasarkan hasil pemeriksaan foto toraks dapat dicuriga suatu lesi pada
paru adalah TB aktif atau tidak aktif. Mesikpun demikian, apapun hasil yang dilihat
pada gambaran foto toraks harus menyertakan pemeriksaan specimen sputum untuk
konfirmasi selain melihat klinis pasien. Adapun penilaiannya adalah sebagai
berikut3,9.
Pemeriksaan foto toraks yang mencurigai adanya TB aktif:
1. Adanya infiltrate atau konsolidasi. Gambaran ini dapat terlihat padat
atau halus dengan batas yang kabur.
2. Setiap lesi berupa kavitas dalam parenkim paru dengan atau tanpa
batas irregular yang berdinding tebal / tipis dan biasanya dikelilingi
oleh infiltrat atau konsolidasi. gambaran kalsifikasi juga bisa tampak
sekitar kavitas.
13
3. Nodul dengan batas tidak tegas, bisa juga disebut dengan
tuberkuloma.
4. Efusi pleura. Harus dibedakan dengan blunting dari costophrenic
angle yang tidak selalu disebabkan oleh adanya cairan dalam rongga
pleura.
5. Limfadenopati hilar atau mediastinal pada satu atau kedua hila, bisa
juga ditemukan dalam mediastinum.
6. Gambaran milier berupa nodul ukuran ±1-2 milimeter terrsebar di
seluruh lapangan paru.
Pemeriksaan foto toraks yang mencurigai adanya TB inaktif. Biasanya
memerlukan foto toraks kontrol sekitar 1 -2 bulan kemudian. Selain itu
juga mutlak diperlukan pemeriksaan sputum pasien. Adapun gambaran
radiolologi yang ditemukan adalah sebgai berikut:
1. Jaringan parut berupa fibrotic atau opasitas yang linear. Dapt
juga disertai dengan kalsifikasi dan disebut dengan
fibrokalsifikasi.
2. Nodul tanpa kalsifiaksi. Dimana ditemukan satu atau lebih
densitas nodular dengan batas tegas dan tanpa adanya gambaran
opasitas disekitarnya.
3. Fibrotic atau nodul dengan retraksi.
4. Schawrte atau penebalan pleura.

Selain itu terdapat juga pembagian klasifikasi TB secara radiologis berdasarkan luas lesi,
yaitu3:
1. Tuberculosis minimal. Terdapat sebagian kecil infiltrat nonkavitas pada satu paru
maupun pada kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.
2. Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4
cm. jumlah infiltrate bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru. Bila
bayangannya kasar tidak lebih dari sepertiga bagian satu paru.
3. Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrat dan kavitas yang melebihi keadaan
pada moderately advanced tuberculosis.

14
2.10 Tatalaksana
Obat TB utama (first line) saat ini adalah rifampisin, INH, pirazinamid, etambutol,
dan streptomisin. Obat TB lain (second line) adalah PAS, viomisin, sikloserin, etionamid,
kanamisin, dan kapriomisin,yang digunakan jika terjadi multidrug resistance (MDR).
Rifampisin dan INH merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid,
etambutol, dan streptomisin1,10.

Tabel 2. Obat tuberkulostatika, dosis, dan komplikasi yang ditimbulkan.


Nama Dosis Komplikasi
(mg/kgBB/hr)
Isoniazid (INH) 5-15 (300mg) Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitif
Rifampisin (RIF) 10-20 (500mg) Gastrointestinal, erupsi kulit, hepatitis,
25-35 (2 gr) trombositopenia, cairan tubuh oranye
Pirazinamid (PZA) 15-40 (1 gr) Hepatootksik, atralgia, gastrointestinal
Streptomisin 15-25 (1gr) Ototoksik, nefrotoksik
(parenteral) Neuritis 15ptic, ketajaman mata berkurang,
Etambutol (EMB) buta warna merah hijau, hipersensitif.

INH bersifat bakterisidal dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan
metabolit aktif dan bersifat bakteriostatik terhadap kuman dalam keadaan diam. Obat ini
efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan
cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal, cairan pleura, cairan ascites, dan jaringan
kaseosa. Efek toksik utama INH adalah hepatotoksik dan neuritis perifer yang frekuensi
kejadiannya meningkat dengan bertambahnya usia. Efek toksik lain yang dapat timbul
adalah reaksi hipersensitifitas10.
Rifampisin bersifat bakteriosidal pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki
semua jaringan, dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh INH.
Rifampisin diabsorbsi dengan baik pada perut dalam keadaan kosong. Selain itu, obat ini
tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan obat anti TB yang lain karena dapat
mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Distribusi rifampisisn ke dalam cairan
serebrospinal lebih baik dalam keadaan meningen yang sedang mengalami peradangan
dibanndingkan dalam keadaan normal. Efek samping obat ini adalah gangguan

15
gastrointestinal (mual dan muntah), hepatitis, trombositopenia, peningkatan enzim hati,
reaksi kulit, dan cairan tubuh berwarna oranye kemerahan10.
Pirazinamid berpenetrasi baik pada cairan dan jaringan tubuh termasuk SSP, cairan
serebrospinal, bakterisid hanya pada intrasel pada suasana asam, dan diresorbsi baik pada
saluran pencernaan. Obat ini baik diberikan ketika jumlah kuman masih sangat banyak di
mana suasananya menjadi asam. Efek samping obat ini adalah arthralgia, arthritis, atau
gout akibat hiperurisemia. Namun manifestasi klinis hiperurisemia sangat jarang terjadi
pada anak. Efek samping lain adalah hepatotoksik, anoreksia, dan iritasi saluran cerna,
sedangkan reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada anak10.
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik jika diberikan dengan dosis tinggi pada
terapi intermiten. Etambutol tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan
meningitis. Efek toksik obat ini adalah neuritis optik, ketajaman mata berkurang, buta
warna merah hijau, hipersensitifitas, dan gastrointestinal10.
Streptomisin bersifat bakteriosidal dan bakteriostatik kuman ekstraseluler pada
keadaan basa atau netral. Obat ini sangat baik melewati selaput otak yang meradang.
Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura. Penggunaan utamanya
saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap INH atau jika anak
menderita TB berat. Efek toksik obat ini adalah gangguan keseimbangan pendengaran
berupa telinga mendengung dan pusing karena terganggunya nervus VIII. Kontraindikasi
pemberian obat ini adalah pada wanita hamil karena obat ini dapat menemus plasenta yang
nantinya dapat merusak saraf pendengaran janin10.
Pengobatan TB minimal menggunakan 2 macam obat dan digunakan dalam waktu
relatif lama (6-12 bulan). Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase yaitu fase intensif (2 bulan
pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Pemberian paduan obat seperti ini bertujuan
mencegah terjadinya resistensi terhadap obat dan membunuh kuman intra maupun
ekstraseluler. Sedangkan pemberian obat jangka panjang bertujuan mengurangi
kemungkinan terjadinya relaps3,10.
Obat anti TB pada anak diberikan setiap hari untuk mengurangi ketidakteraturan
minum obat. Paduan obat yang baku untuk sebagian besar kasus TB pada anak adalah
rifampisin, INH, dan pirazinamid, sedangkan fase lanjutannya hanya diberikan rifampsin
dan INH10.
Pada TB berat seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang pada fase intensif
diberikan minimal 4 macam obat (rifampisi, INH, pirazinamid, etambutol, atau
streptomisin). Sedangkan pada fase lanjutan diberikan rifampisin dan INH selama 10
16
bulan. Untuk kasus TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial,
meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2
mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu
dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama 3.
Terapi TB terdiri dari1,10:
1. Tuberkulostatika jangka pendek
Tabel 3. Jenis obat tuberkulostatika dan dosis berdasarkan berat badan.
Nama BB < 10 kg BB 10-20 kg BB 20-30 kg BB 30-40 kb
Obat
INH : 5-15 50 mg 100 mg 200 mg 300 mg
mg/kg/hr,
maks. 300
g/hr

Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg 450 mg


: 10-15
mg/kg/hr,
maks. 600
g/hr
PZA : 25-  5 mg : 100 300 mg 450 mg 750 mg
35 mg
mg/kg/hr,  10 kg :
maks. 2 150 mg
g/hr

Lama pengobatan
TB ringan
Lama : 6 bulan → 2 bulan pertama : INH, rifampisin, PZA → 4
bulan berikutnya : INH dan rifampisin (2HRZ/4HR).
TB berat (TB milier, meningitis TB)
Lama : dapat sampai 12 bulan → 2 bulan pertama INH, rifampisin,
PZA ± Streptomisin 15-30 mg/kg, maks. 1g/hr ± Etambutol : 15-20

17
mg/kg/hr, maks. 2,5 g/hr → 10 bulan INH dan Rifampisin
(2HRZ±E±S/10HR).
Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)
Diperlukan pengawas yang mengawasi penderita setiap minum obat.
2. Steroid
Dipertimbangkan pada reaksi sensitivitas terhadap tuberkulin yang berlebihan,
misal pada efusi pleura, asites, konsolidasi masif di paru, TB milier yang
menimbulkan sianosis, meningitis TB, dan lain-lain. Biasanya dipakai
prednison dengan dosis 1-2 mg/kg selama sebulan dan diturunkan perlahan-
lahan sampai dihentikan dalam waktu 2 minggu.
3. Operasi
Sangat jarang dilakukan. Kadang-kadang diperlukan untuk menanggulangi
gejala sisa yang permanen : perikarditis konstriktif, mastoiditis TB, limfadenitis
superfisial, TB tulang belakang, dan lain-lain.

2.11 Pencegahan
1. BCG10
Imunisasi BCG diberikan sebelum usia 2 bulan. Bila BCG diberikan setelah
usia lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. BCG
efektif terutama untuk mencegah milier, meningitis, dan spondilitis TB pada
anak 3.
2. Kemoprofilaksis10
a. Kemoprofilaksis primer diberikan pada anak yang belum terinfeksi (uji
tuberkulin negatif), tetapi kontak dengan penderita TB aktif. Obat yang
digunakan adalah INH 5-10 mg/kg BB/hari selama 2-3 bulan 1.
b. Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak dengan uji tuberkulin
positif, tanpa gejala klinis, dan foto paru normal, tetapi memiliki faktor
resiko menjadi TB aktif. Golongan ini adalah balita, anak yang
mendapat pengobatan kortikosteroid atau imunosupresan lain, penderita
penyakit keganasan, terinfeksi virus (HIV, morbili), gizi buruk, masa
akil balik, atau infeksi baru TB, konversi uji tuberkulin kurang dari 12
bulan. Obat yang digunakan adalah INH 5-10 mg/kg BB/hari selama 6-
12 bulan.

18
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Waktu penelitian: Tanggal 27 April-23 Mei 2009
Tempat penelitian: Bagian Radiologi IRD RSUP Sanglah

3.2 Rancangan Penelitian


Penelitian deskriptif retrospektif dengan menggunakan data yang diperoleh dari
arsip radiologi pasien yang dilakukan pemeriksaan foto thorax di Bagian Radiologi IRD
RSUP Sanglah dari tanggal 1 Juni sampai 31 Desember 2008 sesuai dengan variabel jenis
kelamin, umur, lokasi kelainan dan gambaran x ray paru yang menyertai (TB aktif /
inaktif).

3.3 Populasi Penelitian


Pasien yang dilakukan pemeriksaan foto thorax di Bagian Radiologi IRD RSUP
Sanglah dari tanggal 1 Juni sampai 31 Desember 2008.

3.4 Sampel Penelitian


Pasien yang dilakukan pemeriksaan foto thorax di Bagian radiologi IRD RSUP
Sanglah dari tanggal 1 Juni sampai 31 Desember 2008, pada kesan foto didapatkan TB
Paru.

3.5 Variabel Penelitian


Jenis kelamin, umur, lokasi kelainan dan gambaran x ray paru yang menyertai TB
paru pada pasien (TB aktif / inaktif). Pasien yang dilakukan pemeriksaan foto thorax di
Bagian radiologi IRD RSUP Sanglah dari tanggal 1 Juni sampai 31 Desember 2008.

3.6 Cara Pengumpulan Data


Penelitian ini dilakukan secara retrospektif yang bersifat deskriptif berdasarkan
arsip radiologis yang diperoleh dari arsip bacaan foto thorak pada pasien yang dilakukan
pemeriksaan foto thorax di bagian radiologi IRD RSUP Sanglah periode 1 Juni- 31

19
Desember 2008. Kasus TB Paru dicatat sesuai dengan jenis kelamin, umur, lokasi kelainan
dan gambaran x ray paru yang menyertai TB Paru.

3.7 Penyajian dan Analisis Data


Data dianalis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel.

20
BAB IV
HASIL PENELITIAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di bagian radiologi IRD RSUP Sanglah dari
1 Juni – 31 Desember 2008, diperoleh jumlah data pasien yang menjalani pemeriksaan
radiologi foto thorak sebanyak 383 orang. Adapun rincian kesan foto Kardiomegali 102
(26,6%), Thorak normal 89 (23,2%), Pneumonia 47 ( 12,3%), TB paru 28 (7,3%), Efusi
pleura 22 ( 5,7%), Edema Paru 17 (4,4%), Kongestif pulmonum 17 (4,4%),
Atherosklerotik aorta 14 (3,7%), Bronchitis kronis 11 (2,9%), fraktur kosta 6 (1,6 %),
HMD 5 (1,3%), Bronkiektasis 5 (1,3%), Massa 4 (1%), Emfisematous lung 4 (1%),
pneumothorak 4 (1%), Lymphadenopati 3 (0,8%), Schwarte 2 (0,5 %), Atelektasis 1
(0,5% ), TOF 1 (0,3%), Hematothoraks 1 (0,3%). Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 4.1.

21
Tabel 4.1 Distribusi Kasus Berdasarkan Foto Thorak di bagian Radiologi IRD RSUP
Sanglah dari 1 Juni-31 Desember 2008
Kesan Foto Frekuensi %
Kardiomegali 102 26.6
Normal thorak 89 23.2
Pneumonia 47 12.3
TB paru 28 7.3
Efusi pleura 22 5.7
Edema paru 17 4.4
Kongestif pulmonum 17 4.4
Atherosklerotik aorta 14 3.7
Bronchitis kronis 11 2.9
Fraktur kosta 6 1.6
HMD 5 1.3
Bronkiektasis 5 1.3
Massa 4 1.0
Emfisematous lung 4 1.0
Pneumothorak 4 1.0
Lymphadenopati 3 0.8
Schwarte 2 0.5
Atelektasis 1 0.3
TOF 1 0.3
Hematothoraks 1 0.3
Total Kasus 383 100

Tabel 4.2 Distribusi Kasus TB Paru Berdasarkan Jenis Kelamin di Bagian Radiologi IRD
RSUP Sanglah selama 1 Juni-31 Desember 2008
Jenis Kelamin Frekuensi %
Laki-laki 13 46,4
Perempuan 15 53,6
Total Kasus 28 100

Distribusi kasus TB Paru berdasarkan jenis kelamin selama 1 Juni-31 Desember


2008, didapatkan yang lebih banyak mengalami TB Paru adalah perempuan dengan jumlah
15 orang (53,6%) sedangkan laki-laki berjumlah 13 orang (46,4%)

Tabel 4.3 Distribusi Kasus TB Paru Berdasarkan Kelompok Umur di Bagian Radiologi
IRD RSUP Sanglah selama 1 Juni-31 Desember 2008
Kelompok umur Frekuensi %
0 – 5 tahun 2 7.1
22
6 – 18 tahun 0 0.0
19 –40 tahun 4 14.3
40 – 60 tahun 6 21.4
> 60 tahun 16 57.1
Total Kasus 28 100

Dari tabel 4.3 terlihat distribusi kasus TB Paru berdasarkan kelompok umur,
didapatkan yang tertinggi adalah kelompok umur diatas 60 tahun dengan jumlah 16 orang
(57,1%), kemudian kelompok umur 40-60 tahun sebanyak 6 orang (21,4%), kelompok
umur 19-40 tahun 4 orang (14,3%), kelompok umur 0-5 tahun 2 orang ( 7,1%), dan 6-18
tahun tidak ada (0%). Kemudian jika digolongkan berdasarkan kategori usia produktif,
kasus TB paru dapat dilihat sebagai berikut.

Tabel 4.4 Distribusi Kasus TB Paru Berdasarkan Kelompok Usia Produktif di Bagian
Radiologi IRD RSUP Sanglah selama 1 Juni-31 Desember 2008
Kelompok umur Frekuensi %
0 – 14 tahun 2 7.1
15 – 64 tahun 12 42,9
65 tahun ke atas 14 50,0
Total Kasus 28 100

Dari tabel 4.4 dapat terlihat bahwa, kasus TB Paru paling banyak pada usia 65
tahun ke atas sebesar 14 kasus (50%), pada usia 15 – 64 tahun sebanyak 12 kasus (42,9%)
dan pada usia 0 – 14 tahun sebanyak 2 kasus (7,1%).

Tabel 4.5 Distribusi Kasus TB Paru Berdasarkan Lokasi Lesi TB di Bagian Radiologi
IRD RSUP Sanglah selama 1 Januari-31 Desember 2008
Lokasi Frekuensi %
Paru kanan 8 28,6
Paru kiri 4 14,3
Bilateral 14 50
Extraparu 2 7,1
Total Kasus 28 100

23
Dari tabel 4.5 di atas dapat diketahui TB Paru paling sering terjadi pada kedua paru
dengan jumlah 14 orang (50%) diikuti dengan kelainan pada paru kanan 8 orang (28,6%),
paru kiri 4 orang (14,3%), extraparu 2 orang ( 7,1 %)

Tabel 4.6 Distribusi Kasus TB Paru aktif dan tidak aktif berdasarkan gambaran radiologis
pasien di Bagian Radiologi IRD RSUP Sanglah selama 1 Juni-31 Desember
2008
Jenis TB Frekuensi %
TB Aktif 25 89,3
TB Inaktif 3 10,7
Total Kasus 28 100

Pada tabel 4.6 di atas dapat diketahui Jenis TB aktif lebih banyak 25 orang (89,3%)
dibandingkan dengan TB Inaktif 3 orang (10,7%)

24
BAB 5
PEMBAHASAN

Jumlah pasien yang menjalani pemeriksaan radiologi foto thorak di bagian radiologi
IRD RSUP Sanglah dari 1 Juni - 31 Desember 2008 dari data yang tersedia yaitu
berjumlah 383 orang, dari jumlah tersebut hanya 28 kasus (7,3%) menunjukkan gambaran
TB Paru.
Dari penelitian ini didapatkan penderita laki-laki (52,1%) lebih banyak mengalami
efusi pleura dibanding perempuan (47,9%). Jika diperoleh rasio perbandingan antara
pasien laki-laki dengan perempuan yaitu 1,08 : 1. Dari angka tersebut, diperoleh gambaran
secara kasar hanya terdapat perbedaan yang sangat kecil mengenai kejadian TB paru pada
laki-laki dan perempuan, walaupun dalam hal ini perlu dilakukan uji diagnostik lebih
lanjut. Jika ditinjau dari kepustakaan, menurut WHO penyakit TB Paru cenderung lebih
tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan. Pada jenis kelamin laki-laki
penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol sehingga dapat
menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar dengan agent
penyebab TB-Paru
Apabila dilihat dari kejadian TB Paru berdasarkan klasifikasi umur, pada penelitian
ini diperoleh hasil bahwa kejadian TB Paru didapatkan yang tertinggi adalah kelompok
umur diatas 60 tahun. Dan jika ditinjau dari usia produktif, ternyata usia non produktif (65
tahun ke atas) lebih banyak terdapat kasus TB Paru dibandingka dengan usia produktif (15
– 64 tahun). Berdasarkan kepustakaan, pada usia lanjut lebih dari 64 tahun sistem
imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit,
termasuk penyakit TB-Paru.
Pada kejadian TB Paru berdasarkan lokasi lesi, pada penelitian ini diperoleh bahwa
lokasi TB paru yang paling banyak terjadi adalah pada kedua paru dibandingkan dengan
lokasi pada paru kanan, kiri ataupun ekstraparu. Dari data kejadian TB Paru berdasarkan
lesi yang dicurigai aktif atau inaktif. Didapatkan data bahwa lesi aktif lebih banyak
dibandingkan dengan TB Inaktif. Pada kedua hasil penelitian belum ada kepustakaan yang
mendukung, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk meneliti hubungan
kejadian TB paru dengan lokasi lesi pada paru dan kejadian TB paru berdasarkan
kecurigaan lesi aktif / inaktif.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Gerakan Terpadu Nasional Penanganan TB. 2007. Buku Pedoman Nasional


Penanggulangan TB. edisi 2. cetakan pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.

2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.2006. Tuberkulosis, Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia, Citra Grafika, Jakarta.

3. Amin, Zulkifi., Bahar, Asril. 2006. BAB 242 Tuberkulosis Paru in: Sudoyo, Aru
(eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV Jilid II.

4. Anonym. 2003. Prevalence and Incidence of Tuberculosis, (Cureresearch),


Available: http://www.Cureresearch.com/Tuberculosis/Prevalence.htm (Akses: 18
Mei 2009)

5. Price, S.A., Wilson, L.M. 1992. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit, edisi 4, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

6. Bijani, K et al. 2004. Pulmonary Tuberculosis with Normal Chest Radiograph in a


Region with a High Incidence of Tuberculosis. MJIH. Vol 6 No 2 pp 55 – 60

7. Singh, Satinder Pal., Nath, Hrudaya. 1994. Early Radiology of Pulmonary


Tuberculosis. AJR. Vol 162, p. 846.

8. Gomes, Mauro et al. 2003. Pulmonary Tuberculosis: Relationship Between Sputum


Bacilloscopy and Radiological Lession. Rev. Inst. Med. trop. S. Paulo, Vol 45. No.
5. pp. 275-281

9. Anonym. Tuberculosis Radiology. Wikipedia. 15 April 2009 (last modified).


Available at: http://en.wikipedia.org/wiki/Intravenous_therapy.html. accessed: 18
Mei 2008.

10. Amin, Zulkifi. 2006. BAB 243 Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir in: Sudoyo, Aru
(eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV Jilid II.

26

Anda mungkin juga menyukai