Anda di halaman 1dari 13

TETANUS

I. PENDAHULUAN
Tetanus atau Lockjaw (rahang terkunci) adalah penyakit paralitik spastik akut
yang disebabkan oleh zat tetanospasmin, neurotoksin yang dihasilkan oleh kuman
Clostridium tetanii. Kuman C.tetanii menginfeksi tubuh melalui luka, gigitan
serangga, infeksi gigi, infeksi telinga, bekas suntikan dan pemotongan tali pusat.
Dalam tubuh manusia, kuman ini akan berkembang biak dan menghasilkan
eksotoksin, antara lain tetanospasmin yang dapat menyebabkan kekakuan (spasme)
dari otot bergaris. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot masseter dan otot-
otot rangka.1,2
Insiden dan angka kematian dari penyakit tetanus di negara-negara
berkembang seperti Indonesia, masih cukup tinggi. Oleh karena itu, tetanus masih
merupakan masalah kesehatan. Data statisktik menunjukkan bahwa tetanus
neonatorum biasanya terjadi pada 3-14 kelahiran bayi dengan kondisi non-steril dan
ibu yang sebelumnya tidak mendapatkan imunisasi tetanus. Belakangan ini dengan
adanya penyebarluasan program imunisasi di seluruh dunia, maka angka kesakitan
dan angka kematian telah menurun secara drastis.2,3

II. ETIOLOGI
Penyebab penyakit ini adaah Clostridium tetani yang berbentuk batang,
ramping berukuran 2-5 x 0,4-0,5 milimikron. Kuman tetanus ini termasuk golongan
gram positif, hidup anaerob, tersebar luas di tanah, dan membentuk spora berbentuk
lonjong dengan ujung bulat. Sifat spora ini tahan dalam air mendidih selama 4 jam
dan obat antiseptik, tetapi mati dalam autoclaf bila dipanaskan selama 15-20 menit
pada suhu 121oCelcius. Tidak seperti banyak clostridia lainnya, kuman tetanus tidak
invasif tapi mengeluarkan toksin bila dalam kondisi baik, yakni tetanospasmin dan
tetanolisin. Toksin tetanus adalah bahan kedua yang paling beracun yang diketahui,
hanya diungguli kekuatannya oleh toksin botolinum. Dosis letal toksin tetanus
diperkirakan 10-6 mg/kg. Tetanolisin ini dapat menghancurkan sel darah merah dan
merusak leukosit, sementara tetanospasmin yaitu toksin yang neurotropik yang dapat
menyebabkan ketegangan dan spasme otot.1,2,4
III. EPIDEMIOLOGI

1
Tetanus sudah sangat jarang dijumpai di negara yang telah maju sperti
Amerika Serikat, dikarenakan imunisasi aktif yang telah dilaksanakan dengan baik,
di samping sanitasi lingkungan yang bersih. Sedangkan di negara berkembang,
termasuk Indonesia, penyakit ini masih banyak dijumpai karena kurangnya
kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan. Perawatan luka yang kurang
higienis, serta kurangnya kekebalan terhadap tetanus. Penyakit tetanus biasanya
timbul di daerah yang mudah terkontaminasi dengan tanah dan dengan kebersihan
dan perawatan luka yang buruk.2,4
Tetanus terjadi di seluruh dunia dengan insiden yang sangat bervariasi.
Bentuk yang paling sering ialah tetanus neonatorum yang membunuh sekurang-
kurangnya 500.000 bayi setiap tahun karena ibu tidak diimunisasi. Lebih dari 70%
kematian ini terjadi pada sekitar sepuluh negara Asia dan Afrika. Tetanus
neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal dan menyumbangkan 20%
kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23/100
kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah
sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4
tahun, 18% kelompok >10 tahun, dan sisanya bayi <12 bulan. Angka kematian
keseluruhan antara 6,7-30%. Lagipula diperkirakan 15.000-30.000 wanita yang tidak
terimunisasi meninggal setiap tahun karena tetanus ibu yang merupakan akibat dari
infeksi C.tetani pada luka paska partus, paska abortus, atau bedah. Sekitar 50 kasus
tetanus dilaporkan setiap tahun di Amerika Serikat, kebanyakan pada orang-orang
umur 60 tahun atau lebih tua, tetapi seusia anak belajar jalan dan kasus neonatus juga
terjadi.1,2,5
Kebanyakan kasus tetanus non-neonatorum dihubungkan dengan jejas
traumatis, sering luka tembus yang diakibatkan oleh benda kotor, seperti paku,
serpihan, fragmen gelas, atau injeksi tidak steril. Tetanus paska injeksi obat terlarang
menjadi kasus yang sering, sementara keadaan yang tidak lazim adalah gigitan
binatang, abses, pelubangan cuping telinga, ulkus kulit kronik, luka bakar, fraktur
komplikata, radang dingin, dan sirkumsisi wanita. Penyakit ini juga terjadi sesudah
penggunaan benang jahit yang terkontaminasi atau setelah injeksi obat-obatan
intramuskuler.1
IV. PATOGENESIS

2
Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang
terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang atau pupuk. Biasanya penyakit
terjadi setelah luka tusuk yang dalam misalnya luka yang disebabkan tertusuk paku,
pecahan kaca, kaleng, atau luka tembak, karena luka tersebut menimbulkan keadaan
anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi yang kotor, luka bakar, dan patah tulang
terbuka juga akan megakibatkan keadaan anaerob yang ideal untuk pertumbuhan C.
Tetani ini. Walaupun demikian, luka-luka ringan seperti luka gores, lesi pada mata,
telinga atau tonsil dan traktus digestivus serta gigitan serangga dapat pula merupakan
porte d’entree dari C. Tetani. Juga sering ditemukan telinga dengan otitis media
perforata sebagai tempat masuk C. Tetani.4
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk
vegetatif bila ada linkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah.
Dalam kondisi anaerobik yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi, basil
tetanus mensekresi 2 macam toksin: tetanospasmin dan tetanolisin. Gejala klinis
timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular
junction serta saraf otonom. Pada masa pertumbuhan eksotoksin diproduksi, yang
diserap oleh aliran darah sistemik dan serabut saraf perifer. Toksin dari tempat luka
menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara
intraaxonal kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang
belakang, akhirnya menyebar ke SSP.2,5,6
Hipotesis mengenai cara absorbsi dan bekerjanya toksin:
1. Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui aksis silindrik
dibawa ke kornu anterior susunan saraf pusat
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah
arteri kemudian masuk ke dalam susunan saraf pusat.4
Toksin tersebut bersifat seperti antigen, sangat mudah diikat oleh jaringan
saraf dan bila dalam keadaan teikat, tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin
spesifik. Namun toksin yang bebas dalam peredaran darah sangat mudah dinetralkan
oleh antitoksin.4
Tetanolisin mampu secara local merusak jaringan yang masih hidup yang
mnegelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan
multiplikasi bakteri.6

3
Tetanospasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin
mencakup lebih dari 5% dari berat organisme. Toksin ini merupakan polipeptida
rantai ganda dengan berat 150.000 Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat
(100.000 Da) dan rantai ringan (50.000 Da) dihubungkan oleh suatu ikatan yang
sensitive terhadap protease dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan
jembatan disulfida yang menghubungkan dua rantai ini. Ujung karboksil dari rantai
berat terika pada membrane saraf dan ujung amino memungkinkan masuknya toksin
ke dalam sel. Rantai ringan bekerja pada presinaptik untuk mencegah pelepasan
neurotransmitter dari neuron yang dipengaruhi. Tetanoplasmin yang dilepas akan
menyebar pada jaringan di bawahnya dan terikat pada gangliosida GD1b dan GT1b
pada membran ujung saraf lokal. Jika toksin yang dihasilkan banyak, ia dapat
memasuki aliran darah yang kemudian berdifusi untuk terikat pada ujung-ujung saraf
di seluruh tubuh. Toksin kemudian akan menyebar dan ditransportasikan dalam axon
dan secara retroged ke dalam badan sel batang otak dan saraf spinal.6
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, di mana setelah
toksin menyeberangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade
pelepasan neurotransmitter inhibitori yaiutu glisin dan asam aminobutirik (GABA).
Interneron yang mneghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi,
sehingga neuron motorik ini kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu (karena jalur yang
lebih panjang) neuron simpatetik preganglionik pada ujung lateral dan pusat
parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara yang
sama, dan pelepasan asetilkolin ke dalam celah neurotransmitter dikurangi. Pengaruh
ini mirip dengan aktivitas toksin botulinum yang mnegakibatkan paralisis flaksid.
Namun demikian, pada tetanus, efek disinhibitori neuron motorik lebih berpengaruh
daripada berkurangnya fungsi pada ujung neuromuscular. Pusat medulla dan
hipotalamus mungkin juga dipengaruhi. Tetanospasmin mempunyai efek konvulsan
kortikal pada penelitian hewan. Apakah mekanisme ini berperan terhadap spasme
intermitten dan serangan autonomik, masih belum jelas. Efek prejungsional dari
ujung neuromuscular dapat berakibat kelemahan diantara dua spasme dan dapat
berperan pada paralisis saraf cranial yang dijumpai pada tetanus sefalik, dan myopati
yang tersedia setelah pemulihan. Pada spesies yang lain, tetanus menghasilkan gejala
karakteristik berupa paralisis flaksid.6

4
Aliran eferen yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang
otak akan menyebabkan kekakuan dan spasme muscular, yang dapat menyerupai
konvulsi. Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-otot
agonis dan antagonis berkontraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri dan
dapat berakibat fraktur atau rupture tendon. Otot rahang, wajah, dan kepala sering
terlihat pertama kali karena jalur aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh
mengikuti, sedangkan otot-otot perifer tangan kanan dan kaki relatif jarang terlibat.6
Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya
control otonomik dengan aktifitas berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin
plasma yang berlebihan. Terikatnya toksin pada neuron ireversibel. Pemulihan
membutuhkan tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus
berdurasi lama.6
Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang
bersangkutan yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang
dilepaskan di dalam luka memasuki aliran limfa dan darah dan menyebar luas
mencapai ujung saraf terminal: sawar darah otak memblokade masuknya toksin
secara langsung ke dalam sistem saraf pusat. Jika diasumsikan bahwa waktu
transport intraneuronal sama pada semua saraf, serabut saraf yang pendek akan
terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang: hal ini menjelaskan urusan
keterlibatan serabut saraf di kepala, tubuh dan ekstremitas pada tetanus generalisata.6
Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap
susunan saraf tepid an pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi
resinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmitter inhibisi yaitu GABA dan
glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai dari
tempat masuk kuman atau pada otot masseter (trimus), pada saat toxin masuk ke
sumsum tulang belakang terjadi kekauan yang makin berat, pada extremitas, otot-
otot bergaris pada dada, perut dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin mencapai
korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan.
Tetanospasmin pada sisem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi
gangguan pernafasan, metabolism, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran
kemih, dan neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama jantung,
hiperpirexi, hyperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang

5
dulu jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul.
Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat
diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan dikelola dengan teliti.5

V. GEJALA KLINIS
Masa tunas biasanya 5 – 14 hari, tetapi kadang-kadang sampai beberapa
minggu pada infeksi ringan atau kalau terjadi modifikasi penyakit oleh antiserum.
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin
bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit ini
menjadi nyata dengan :
1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris
2. Kaku kuduk sampai opistotonus (karena ketegangan otot-otot erektor trunki)
3. Ketegangan otot dinding perut
4. Kejang tonik terutama bila dirangsang (karena toksin yang terdapat di kornu
anterior)
5. Risus sardonikus, karena spasme otot muka (alis tertarik ke atas, sudut mulut
tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi)
6. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri kepala, nyeri anggota
badan
7. Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan opistotonus, ekstremitas inferior
dalam keadaan ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuaty. Anak tetap
sadar. Spasme mjula-mula intermiten diselingi periode relaksasi. Kemudian
tidak jelas lagi dan serangan tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang
terjadi perdarahan intramuskulus karena kontraksi yang kuat.
8. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring.
Retensi urin dapat terjadi karena spasme otot uretral. Fraktura kolumna
vertebralis dapat pula terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat.
9. Demam biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.
10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan
intrakranial.4
Ada 3 bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni:
1. Localited tetanus (tetanus local)

6
2. Cephalic tetanus
3. Generalized tetanus (tetanus umum)7

Tetanus Lokal
Pada tetanus lokal dijumpai adanya kontraksi persisten, pada daerah tempat
dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal ini merupakan tanda dari
tetanus local. Kontraksi otot btersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa
bulan tanpa progresif dan biasanya menghilang secara bertahap. Lokal tetanus ini
bisa berlanjut menjadi genelarized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan
jarang menimbulkan kematian, umumnya berprognosis baik. Bisa juga lokal tetanus
ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal
ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.6,7
Tetanus Sefalik
Cephalic Tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi
berkisar 1-2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India),
luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga
hidung.6,7
Tetanus Generalisata
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi
yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-
diam. Trismus merupakan gejala utama yang paling sering dijumpai (50%), yang
disebabkan oleh kekakuan otot-otot masetter, bersamaan dengan kekakuan otot leher
yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa
Risus Sardonicua (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus
(kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot
pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa disuria
dan retensi urine, kompressi fraktur dan perdarahan di dalam otot. Kenaikan
temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40 C. Bila
dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai
takikardi, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan
gejala klinis.6,7
Tetanus Neonatorum

7
Selain itu terdapat juga bentuk lain yang disebut Tetanus Neonatorum.
Tetanus Neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal
apabila tidak diterapi. Tetanus bentuk ini terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari
ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan bekas
potongan tali pusat yang tidak steril. Resiko infeksi tergantung pada panjang tali
pusat, kebersihan lingkungan, dan kebersihan saat mengikat dan memotong
umbilikus. Onset biasanya dalam 2 minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit
menelan ASI, iritabilitas dan spasme merupakan gambaran khas tetanus neonatorum.
Di antara neonatus yang terinfeksi, 90% meninggal dan retardasi mental terjadi pada
yang bertahan hidup.6

A B
(Gambar A. Opistotonus yang tampak pada tetanus neonatorum, B. Trismus atau
Locked jaw)8

Menurut beratnya gejala dapat dibedakan 3 stadium:


1. Trismus (3 cm) tanpa kejang tonik umum meskipun dirangsang
2. Trismus (3 cm atau lebih kecil) dengan kejang tonik umum bila dirangsang
3. Trismus (1 cm) dengan kejang tonik umum spontan4
Ablett mengklasifikasikan tetanus sebagai:
 Derajat I (ringan) : Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata,
tanpa gangguan pernapasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia
 Derajat II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme
singkat ringan sampai sedang, gangguan pernapasan sedang dengan frekuensi
pernapasan lebih dari 30, disfagia ringan.

8
 Derajat III (berat) : Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme refleks
berkepanjangan, frekuensi pernapasan lebih dari 40, serangan apnea, disfagia
berat dan takikardia lebih dari 120
 Derajat IV (sangat berat) : Derajat 3 dengan gangguan otonomik berat
melibatkan sistem kardiovaskular. Hipertensi berat dan takikardia terjadi
berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap. 6

VI. DIAGNOSIS
Anamnesis
 Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk), pemotongan dan perawatan
tali pusat yang tidak steril, riwayat menderita otitis media, supurativa kronik
(OMSK), ganggren gigi, masa inkubasi, onset of period.
 Riwayat anak tidak diimunisasi/tidak lengkap imunisasi
tetanus/BUMIL/WUS. 2,5,6
Pemeriksaan Fisik
 Adanya kekakuan local atau trismus
 Adanya kaku kuduk, risus sardonicus, opisthotonus, perut papan
 Kelakuan extremitas yang khas : flexi tangan, extensi kaki
 Adanya penyulit.6
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium kurang menunjang dalam diagnosis. Biasanya
terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang didapatkan peninggian tekanan
cairan otak. Elektroenseflogram maupun elektromiogram tidak menunjukkan pola
yang khas. C.Tetani tidak dapat selalu dilihat pada warna gram bahan luka dan
oganisme ini diisolasi pada hanya sekitar sepertiga kasus.1,2,6

VII. DIAGNOSIS BANDING


 Meningitis bacterial
 Poliomielitis
 Trismus akibat abses gigi, abses parafaring/retrofaring/peritonsiler
 Sepsis neonatorum, ensefalitis, rabies
 Keracunan striknin, efek samping fenotiazin, tetani, epilepsy.2,6

9
VIII. PENATALAKSANAAN
Umum
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran
toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pernafasan sampai pulih.
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa: membersihkan
luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik), membuang
benda asing dalam luka serta kompres dengan H202.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan
membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan
personde atau parental.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap
penderita.
4. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.7
Khusus
 Pengirisan luka bedah dan debridement
Sering diperlukan untuk membuang benda asing atau jaringan yang mati yang
menciptakan pertumbuhan anaerob. Pembedahan harus dilakukan segera, setelah
pemberian globulin imun tetanus (GIT) manusia dan antibiotic. Eksisi sisa
umbilicus pada tetanus neonatorum tidak lagi dianjurkan.1
 Antitetanus toksin
Bila toksin tetanus telah memiliki aksonnya pada medulla spinalias, toksin ini
tidak dapat dinetralisasi oleh GIT. Karenanya GIT diberikan sesegera mungkin
untuk menetralkan toksin yang berdifusi dari luka ke sirkulasi sebelum toksin
dapat melekat pada kelompok otot yang jauh. Dosis optimal GIT belum
ditentukan. Satu injeksi intramuskuler 500 U GIT cukup untuk menetralisir
toksin tertanus sistemik, tetapi dosis setinggi 3000-6000 U juga dianjurkan.
Infiltrasi GIT kedalam luka sekarang dianggap tidak perlu. Jika GIT tidak ada,
penggunaan globulin imun manusia intravena yang mengandung 4-90 U/ml GIT
atau antitoksin tetanus (ATT) yang berasal dari kuda atau sapi, mungkin
diperlukan. GIIV dapat dipertimbangkan untuk pengobatan tetanus jika GIT

10
tidak ada, tetapi dosis belum diketahui dan obat ini belum disetujui
pemakainnya. Dosis ATT biasanya 50.000-100.000 U, dan setengahnya
diberikan secara intravena dan setengahnya intramuskular, tetapi mungkin
diperlukan sedikit yaitu 10.000 U sudah cukup. Sekitar 15% penderita yang
diberikan dosis biasa ATT akan mengalami penyakit serum. Bila memberikan
ATT sangat penting mencegah untuk kemungkinan sensitifitas pada serum kuda
dan desensitasi mungkin juga diperlukan. Globulin imun yang berasal dari
manusia jauh lebih disukai karena waktu paruhnya lebih lama (30 hari) dan
sebenarnya karena tidak adanya alergi dan efek samping penyakit serum. GIT
intratekal yang diberikan untuk menetralisasi toksin tetanus dalam medulla
spinalis tidak efektif.
 Antibiotika
Penisilin G tetap antibiotika pilihan karena kerja klostridiosidnya dan
disfungsibilitasnnya efektif suatu pertimbangan karena aliran darah ke jaringan
terjejas dapat terganggu. Dosisnya adalh 100.000 U/kg/24 jam terbagi dan
diberikan pada interval 4-6 jam selama 10-14 hari. Metronidazol tampak sama
efektifnya. Eritromisin dan tetrasiklin (pada penderitaa usia > 9 tahun)
merupakan alternative untuk penderita alergi penisilin.
 Antikonvulsan dan sedative
Semua penderita dengan tetanus menyeluruh memerlukan relaksan otot.
Diazepam memberikan relaksasi maupun pengendalian kejang, dosis inisialnya
0,1-0,2 mg/kg setiap 3 sampai 6 jam diberikan secara intravena kemudian
dititrasi untuk menegndalikan spasme tetanus, sesudahnya dipertahankan selama
2-6 minggu sebelum penghentian secara bertahap (tapered). Juga digunakan
magnesium sulfat, benzosiazepin, klorpromazin, dantrolen, dan baklofen.
Baklofen intratekal menghasilkan relaksasi oto sempurna sehingga sering terjadi
apneu; seperti kebanyakan agen lain yang terdaftar, baklofen harus digunakan
hanya pada lingkungan unit perawatan intensif. Angka ketahanan hidup terbaik
pada tetanus menyeluruh dicapai dengan agen penyekat neuromuskuler seperti
vekuronium dan pankuronium yang menghasilkan paralisisflaksid umum yang
kemudian ditangani dengan ventilasi mekanik. Ketidakstabilan autonom diatur

11
dengan agen penyekat alfa dan beta (atau keduanya); morfin juga terbukti
berguna.7

IX. KOMPLIKASI
Komplikasi pada tetanus yang sering dijumpai: laringospasm, kekakuan otot-
otot pernafasan atau terjadinya akumulasi sekresi berupa pneumonia dan atelektase
serta kompressi fraktur vertebra dan laserasi lidah akibat kejang. Selain itu bisa
terjadi rhabdomyolisis dan renal failure.7

X. PENCEGAHAN
Mencegah tetanus melalui vaksinasi adalah jauh lebih baik daripada
mengobatinya. Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari vaksin
DPT (difteri, pertusis, tetanus). Dewasa sebaiknya menerima booster pada seseorang
yang memiliki luka, jika:
1. Telah menerima booster tetanus dalam waktu 5 tahun terakhir, tidak perlu
vaksinasi lebih lanjut
2. Belum pernah menerima booster dalam waktu 5 tahun terakhir, segera
diberikan vaksinasi
3. Belum pernah menjalani vaksinasi atau vaksinasinya tidak lengkap, diberikan
suntikan immunoglobulin tetanus dan suntikan pertama dari vaksinasi 3
bulanan.
Setiap luka (terutama luka tusukan yang dalam) harus dibersihkan secara
seksama karena kotoran dan jaringan mati akan mempermudah pertumbuhan bakteri
Clostridium tetani.9

XI. PROGNOSIS
Tetanus memiliki angka kematian sampai 50%. Kematian biasanya terjadi
pada penderita yang sangat muda, sangat tua dan pemakai obat suntik. Jika gejalanya
memburuk dengan segera atau jika pengobatan tertunda, maka prognosisnya buruk.
Dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat memperburuk keadaan:
 Masa inkubasi yang pendek
 Neonatus dan usia yang lebih muda
 Frekuensi kejang yang sering

12
 Kenaikan suhu badan yang tinggi
 Pengobatan terlambat
 Periode trismus dan kejang yang semakin sering
 Adanya penyulit spasme otot pernafasan2,9

13

Anda mungkin juga menyukai