Anda di halaman 1dari 4

Menjadikan Odha dan PSK sebagai Objek di Merauke

Oleh Syaiful W. Harahap*

“Sanksi Odha Pelanggar Perda di Merauke 3 Kali Lebih Besar” Ini judul berita di
tabloidjubi.com, Papua (17/6-2010).

Disebutkan: “ .... meningkatkan sanksi 3 kali lipat lebih besar jika kedapatan tidak
menggunakan kondom dalam transaksi seks.” Bagaimana cara yang dilakukan untuk
memastikan bahwa seseorang tidak memakai kondom ketika sanggama? Karena
menyangkut masalah hukum maka perlu alat bukti bukan hanya kesaksian. Jika hanya
mengandalkan kesaksian maka bisa muncul fitnah. Di kalangan pekerja seks bisa pula
saling menyikut dengan mengumbar ‘kesaksian’ yang bisa jadi merupakan fitnah.

Jika yang menjadi sasaran hanya pekerja seks komersial (PSK) maka sanksi itu bias
gender dan tidak adil. Soalnya, PSK sering dipaksa germo atau mami mereka untuk
meladeni laki-laki yang tidak mau memakai kondom. Soalnya, kalau ada PSK yang
menolak laki-laki yang tidak mau memakai kondom maka laki-laki itu memakai tangan
germo untuk memaksa PSK meladeninya.

Selain itu kalau hanya PSK yang dihukum maka tidak ada artinya dalam upaya
penanggulangan AIDS karena laki-laki yang tidak memakai kondom itu bisa menjadi
mata rantai penyebaran HIV. Pertama, laki-laki yang tidak memakai kondom akan
menyebarkan HIV kepada PSK jika laki-laki itu sudah mengidap HIV. Kedua, laki-laki
yang tidak memakai kondom akan tertular HIV dari PSK jika dia ‘memakai’ PSK yang
sudah mengidap HIV. Ketiga, jika PSK yang meladeni laki-laki yang tidak memakai
kondom dipenjara maka akan datang PSK lain menggantikan tempatnya. Keempat, laki-
laki yang mengidap HIV dan tidak mau memakai kondom akan menyebarkan HIV
kepada PSK atau perempuan lain, sepreti istrinya, pacarnya atau PSK lain. Kelima, laki-
laki yang tertular HIV dari PSK akan menambah jumlah mata rantai penyebaran HIV
secara horizontal antar penduduk.

Karena perda-perda AIDS di Indonesia ‘mencangkok’ program ‘wajib kondom 100


persen’ pada hubungan seks di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir, maka mekanisme
pemantauan dan sanksi pun seperti yang dilakukan di Thailand.

Pemantauan dilakukan melalui survailans tes IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis,
GO, klamidia, hepatitis B, dll.) terhadap PSK. Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap
IMS maka itu membuktikan PSK tadi meladeni laki-laki tanpa kondom. Germo diberi
peringatan sampai pencabutan izin usaha.

Sanksi berupa hukuman kurungan atau denda kepada germo atau mami lebih efektif
daripada hukuman terhadap PSK. Soalnya, satu PSK dihukum maka germo bisa
mendatangkan seratus PSK ‘baru’. Tapi, kalau seorang germo atau mami dihukum dan
usahanya ditutup maka tidak semerta muncul germo baru.
”Pengelola program KPAD Merauke, Pdt. Stefanus Lobwaer, .... menyampaikan,
kesepakatan ini diambil karena selama ini pendamping selalu melindungi hak asasi odha
dengan tidak membuka status mereka kepada publik. Namun odha pun tidak menyadari
bahwa dengan tidak mematuhi aturan, maka sama saja mereka melanggar hak-hak
kesehatan orang lain yang ingin sehat.” Pengalaman selama ini menunjukkan Odha akan
memutus mata rantai penyebaran HIV mulai dari dirinya. Ini bisa terjadi karena ada
konseling sebelum dan sesudah tes HIV.

Disebutkan ” .... pendamping selalu melindungi hak asasi odha dengan tidak membuka
status mereka kepada publik ....” Status semua jenis penyakit merupakan medical record
yang terikat dengan sumpah jabatan dokter yang hanya boleh dipublikasikan jika ada izin
dari ybs., terkait dengan wabah, dan diperintahkan hakim melalui sidang di pengadilan
negeri. Pembeberan medical record tanpa izin merupakan perbuatan yang melawan
hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM.

Disebutkan pula: ”Namun odha pun tidak menyadari bahwa dengan tidak mematuhi
aturan, maka sama saja mereka melanggar hak-hak kesehatan orang lain yang ingin
sehat.” Ini rancu karena Odha tidak bisa menularkan HIVmelalui air, udara, dan
pergaulan sosial sehari-hari. Ketika epidemi HIV sudah ada setiap orang wajib
melindungi dirinya sendiri dengan tidak melakukan hubungan seks tanpa kondom di
dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti dan dengan yang sering
berganti-ganti pasangan.

Lalu, aturan apa yang dilanggar Odha sehingga mereka disebut melanggar hak-hak
kesehatan orang lain yang ingin sehat? Odha tidak bisa menularkan HIV kepada
sembarang orang melalui pergaulan sehari-hari. Odha pun ingin sehat. Banyak Odha
tertular HIV karena mereka tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan yang
akurat. Ini semua terjadi karena selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi
(KIE) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama
sehingga menghilangkan fakta medis AIDS. Yang muncul hanya mitos (anggapan yang
salah) tentang AIDS.

Yang dimaksud Odha dalam berita ini masih gelap. Apakah penduduk yang sudah
terdeteksi HIV atau PSK yang HIV-positif?

Kalau yang dimaksud Odha dalam berita ini adalah PSK, maka biar pun PSK yang HIV-
positif itu dihukum kurungan karena meladeni laki-laki tanpa kondom tidak ada
dampaknya secara nyata terhadap penanggulangan AIDS. Soalnya, bisa jadi justru laki-
laki yang mengencaninya yang tidak memakai kondom itu yang HIV-positif. Laki-laki ini
menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat. Laki-laki ini lolos dari sanksi
hukum.

Tapi, mengapa PSK yang sudah terdeteksi HIV-positif masih diizinkan ’bekerja’?

Jika Odha yang dimaksud adalah laki-laki ’hidung belang’, maka: Mengapa mereka tidak
memutus mata rantai penyebaran HIV mulai dari dirinya? Pengalaman menunjukkan ini
terjadi karena tes HIV dilakukan tanpa konseling sebelum dan sesudah tes HIV. Tanpa
konseling mereka tidak mengetahui apa yang harus mereka lakukan dengan hasil tes yang
akan mereka terima.

Andaikan semua Odha yang ada di Merauke ditempel cap AIDS di keningnya tidak akan
menghentikan penyebaran HIV karena masih banyak penduduk yang sudah tertular HIV
tapi tidak terdeteksi. Justru orang-orang inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV
secara horizontal tanpa mereka sadari.

Ada lagi pernyataan: “Jadi hak-hak orang lain ini yang harus kita lindungi, bukan berarti
kita mendeskriditkan odha. Kalau hak mereka dilindungi, berarti hak orang lainpun
dilindungi. Jika mereka tidak melindungi hak orang lain, maka hak merekapun tidak
perlu dilindungi.” Hak Odha adalah mendapat perlakuan yang tidak diskriminatif dalam
semua sendi kehidupan bermasyarakat. Justru sebaliknya ada kewajiban bagi yang bukan
Odha untuk tidak mendiskriminasi Odha.

Ini pernyataan lagi: “Setelah perjalanan waktu, perda ini sudah tidak lagi komprehensif
untuk mengakomodir isu-isu lain secara menyeluruh.” Perda-perda AIDS di Indonesia,
sekarang sudah ada 37 daerah mulai dari provinsi, kabupaten dan kota yang mempunyai
Perda AIDS, sama sekali tidak menukik ke akar persoalan HIV/AIDS sebagai fakta
medis. Semua dibumbui dengan moral.

Perda AIDS Merauke No. 5/2003 tentang penanggulangan AIDS dan IMS, misalnya,
pada point menimbang ayat c. Disebutkan: ”bahwa kebijakan Pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS harus dilaksanakan secara terpadu melalui upaya
peningkatan perilaku hidup sehat ...” Apa kaitan langsung antara perilaku hidup sehat
dengan penularan HIV? Ini jargon moral. Pembatasan dan pengaturan terkait dengan
hubungan seksual adalah norma agama dan hukum yang disebut sebagai sifat hubungan
seksual (hubungan seks sebelum nikah, zina, ’jajan’ ’seks bebas’, selingkun, melacur, dan
homoseksual).

Tidak ada kaitan langsung antara sifat hubungan seksual dan penularan HIV karena HIV
bisa menular di dalam atau di luar nikah. Penularan HIV erat kaitannya dengan kondisi
hubungan seksual, yaitu: salah satu dari pasangan itu HIV-positif dan laki-laki atau
perempuan tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Ini fakta.

Di pasal 1 ayat i disebutkan: ”Pencegahan adalah suatu upaya agar masyarakat tidak
tertular virus Human Imunodeficiency Virus.” HIV tidak menulari masyarakat karena
HIV tidak terdapat di udara dan air. Penularan HIV terkait dengan perilaku seksual orang
per orang. Maka, pencegahan adalah upaya dengan cara-cara yang realistis untuk
mencegah agar seseorang tidak tertular HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar
nikah, transfusi darah, jarum suntik dan alat-alat kesehatan, serta air susu ibu (ASI).
Pada pasal 4 ayat a disebutkan: ”Setiap Penjaja Seks Komersial wajib menggunakan
kondom saat melakukan hubungan seksual.” Ini tidak akurat karena kondom
perempuan tidak tersedia secara luas. Yang diwajibkan adalah laki-laki sedangkan
PSK diwajibkan menolak laki-laki yang tidak mau memakai kondom jika mereka
sepakat untuk melakukan hubungan seksual.

Di ayat b disebutkan: ”Setiap Penjaja Seks Komersial wajib memeriksakan diri sekurang-
kurangnya satu kali dalam 1 (satu) bulan terhadap HIV/AIDS dan IMS pada klinik
reproduksi Merauke, Puskesmas, RSUD atau tempat lain yang ditetapkan oleh
Pemerintah.” Jika yang dipakai untuk tes HIV adalah rapid test atau ELISA maka tes
HIV bisa menghasilkan negatif palsu (hasil tes negatif karena reagent tidak bisa
mendeteksi antibodi HIV di dalam darah padahal ada kemungkinan HIV sudah ada) atau
positif palsu (hasil tes positif padahal di dalam darah tidak ada HIV) pada masa jendela
(tertular di bawah tiga bulan). Kecuali di Merauke dipakai PCR maka tes ini tidak
mengenal masa jendela.

Pada ayat c disebutkan: ”Setiap Penjaja Seks Komersial wajib tidak melakukan aktifitas
seksual pada saat terindikasi menderita penyakit HIV/AIDS dan IMS.” Apa dasar yang
dipakai untuk menetapkan seorang PSK HIV-positif? Kalau yang dipakai hasil tes
dengan rapid test atau ELISA maka bisa membawa celaka dua belas karena PSK yang
hasil tesnya negatif bisa saja itu negatif palsu. Sebaliknya, PSK yang terdeteksi positif
palsu menjadi korban karena tes yang tidak sesuai dengan standar prosedur tes HIV yang
baku. Ini merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap
HAM.

Pemantauan yang ditawarkan Perda ini sangat tidak akurat yaitu di pasal 9 disebutkan:
” .... sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sekali mengawasi program penggunaan
kondom melalui kotak monitor penggunaan kondom dan pemasaran kondom.” Ini
jelas tidak realistis karena bisa saja kotak monitor itu diisi dengan kondon yang
tidak dipakai pada saat sanggama. Bisa pula terjadi ada tangan usil yang
membuang kondom dari kotak monitor.

Mengapa Perda ini tidak memakai cara yang ditempuh Thailand dalam memantau
program ’wajib kondom 100 persen’? Kita sering membelenggu diri dengan
moralitas (semu) yang pada akhirnya bermuara kepada kemunafikan. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro”


Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Anda mungkin juga menyukai